Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 194430 dokumen yang sesuai dengan query
cover
C. Monika S.N. Andarmawanti
"Latar Belakang: Barodontalgia adalah nyeri gigi yang disebabkan oleh perubahan tekanan udara lingkungan dan dapat terjadi pada penerbang yang mengalami perubahan tekanan udara saat fase terbang. Barodontalgia merupakan gejala perkembangan dari kondisi patologis gigi yang sudah ada sebelumnya.
Tujuan: Menganalisis hubungan kondisi patologis karies dentin, pulpitis, nekrosis, periodontitis apikalis, restorasi rusak, serta impaksi molar ketiga dengan kejadian barodontalgia pada penerbang sipil Indonesia.
Metode: Cross-sectional, subjek dipilih non-random yang memiliki kondisi patologis. Pemeriksaan klinis dan kuesioner diberikan pada 210 subjek.
Hasil dan Kesimpulan: Dua puluh lima subjek (12,3%) dari 204 subjek mengalami barodontalgia. Kondisi patologis yang berhubungan dengan barodontalgia adalah pulpitis.

Background: Barodontalgia is a tooth pain caused by changes in ambient barometric pressure and could affected a pilot. Barodontalgia is a symptom of pre-existing pathological condition of tooth.
Aim: To analyze the relationship of pathological conditions dentine caries, pulpitis, pulp necrosis, apical periodontitis, defective tooth restoration, and impacted third molars with barodontalgia on Indonesian civilian pilots.
Methods: Cross-sectional study. Selected non-random, based on dental pathological conditions. Clinical examination and questionnaire were given to 210 subjects.
Results and Summary: Twenty five (12,3%) from 204 subjects experienced barodontalgia. Pathological condition that has significant relationship with barodontalgia is pulpitis.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Indonesia, 2014
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Meta Yunia Candra
"ABSTRAK
Latar belakang : Penerbang Sipil merupakan profesi pekerjaan yang memiliki resiko mengalamistres karena tantangan yang dihadapinya setiap hari, seperti lingkungan penerbangan, ketinggian,kebisingan, komunikasi, dan getaran. Penerbangan jarak dekat yang terjadi di Indonesia sebagainegara kepulauan tidak dapat dihindirai oleh penerbang sehingga dapat menjadi pemicu terjadikelelahan yang menyebabkan stres. Untuk mengukur kelelahan yang menyebabkan stres padapenerbang sipil dapat diketahui berdasarkan kuesioner dan biomarker stres dapat mengunakansampel saliva dengan mendeteksi kadar enzim alfa amilase saliva. Tujuan : Dengan mengetahuihubungan stres akibat faktor kelelahan pada penerbang sipil Indonesia terhadap kadar enzim alfaamilase saliva, maka diharapkan dapat meningkatkan keselamatan penerbangan sipil Indonesia.Metode : membandingkan kadar enzim alfa amilase saliva pada dua kelompok penerbang sipilIndonesia yang melakukan penerbangan sektor dan memiliki jam terbang total lebih dari 6624 jamdengan kelompok penerbang sipil Indonesia yang yidak melakukan penerbangan sektor danmemiliki jam terbang total kurang dari 6624 jam. Hasil : Terdapat hubungan peningkatan kadarenzim alfa amilase saliva pada kelompok penerbang sipil dengan Indonesia yang melakukanpenerbangan sektor dan memiliki jam terbang total lebih dari 6624 jam dengan kelompokpenerbang sipil Indonesia yang tidak melakukan penerbangan sektor dan memiliki jam terbangtotal kurang dari 6624 jam. Kesimpulan : Kadar enzim alfa amilsae saliva berbeda secarasignifikan pada dua kelompok penerbang, sehingga enzim alfa amilase saliva dapat dijadikanbiomarker untuk mengetahui adanya stres pada penerbang sipil Indonesia.

ABSTRACT
Background Aviators are one of the high risk jobs that have high levels of stress due to aviationenvironment, altitude, noise, communication and vibration. Indonesia as an archipelagic countryrequires its civilian aviators to go through high frequency intersection routes between islands. Thiscircumstance triggers fatigue that leads to a stress condition. Salivary amylase is an enzyme thatcan be used as a stress biomarker. Aim This study aims at analyzing the effect of stress on salivary amylase levels in Indonesian civil aviators. Methods comparing salivary alpha amylaseenzyme levels in two groups of Indonesian civil aviators who are on a sector flight and have a totalflight time of more than 6624 hours with Indonesian civil aviation groups that do not fly sectorsand have a total flight time of less than 6624 hours. Result Nineteen people 47.5 from 40subjects were clinically diagnosed fatigue. Ten out of nineteen subjects 52.6 had high SAAlevel and the rest had moderate one. Summary Based on this study, SAA level can be utilized asan effective tool for forensic investigation on aviation accidents and or incidents caused by humanfactors."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Indonesia, 2018
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Radistrya Sekaranti Brahmanti
"Pendahuluan Excessive daytime sleepiness / EDS sering dikaitkan dengan penurunan performa kerja dan fatigue pada penerbang sipil. Namun, rekomendasi aeromedis untuk evaluasi EDS saat ini untuk lebih dikaitkan dengan kecurigaan apnea tidur obstruktif / OSA. Dewasa ini, sudah banyak penelitian yang menemukan hubungan antara obesitas dengan EDS terlepas adanya OSA. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui apakah ada hubungan antara obesitas dengan EDS pada penerbang sipil di Indonesia dan risikonya terkena OSA.
Metode Penelitian ini menggunakan disain krosseksional dan dilaksanakan di Balai Kesehatan Penerbangan. Responden diminta mengisi kuesioner, termasuk Epworth Sleepiness Scale untuk mengukur EDS dan STOP-Bang untuk menilai risiko OSA, dilanjutkan dengan pengukuran antropometri berupa indeks masa tubuh dan lingkar pinggang untuk indikator obesitas.
Hasil Didapatkan 156 responden dengan hasil prevalensi EDS sebesar 16,7%. Tidak ditemukan hubungan yang bermakna antara obesitas dan EDS (p >0,05), tapi prevalensi EDS lebih tinggi pada responden obese berdasarkan lingkar pinggang dibandingkan indeks masa tubuh (17,8% vs 15,6%). Pada penerbang obese dengan EDS, sebagian besar memiliki risiko rendah OSA (83,3% dan 80%).
Kesimpulan Terdapat prevalensi EDS yang meningkat pada penerbang sipil di Indonesia, terutama pada penerbang dengan obesitas sentral. Kejadian EDS tidak dipengaruhi oleh risiko penyakit OSA.

Introduction Excessive daytime sleepiness / EDS is often associated with decreased work performance and fatigue in civil pilots. However, aeromedical recommendations for evaluation of EDS are associated with suspicion of obstructive sleep apnea/OSA. Currently, many studies have found an association between obesity and EDS regardless of OSA. This study aims to determine whether there is a relationship between obesity and EDS in Indonesian civilian pilots, and its risks to get OSA.
Methods This study used a cross-sectional design and was carried out at the Directorate General Civil Aviation Medical. Respondents were asked to fill out questionnaires, including the Epworth Sleepiness Scale to measure EDS and STOP-Bang to assessed the risks to have OSA, followed by anthropometric measurements for body mass index and waist circumference as obesity indicators.
Results We obtained 156 respondents with EDS prevalence of 16.7%. There was no significant relationship between obesity and EDS (p > 0.05), but prevalence of EDS was higher in obese respondents based on waist circumference than body mass index (17,8% vs 15,6%). Most obese pilots with EDS had low risk of OSA (83,3% and 80%).
Conclusion There was an increase of EDS prevalence among Indonesian civilian pilots, especially in pilots with central obesity. The incidence of EDS was not affected by the risk of OSA.
"
Depok: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2022
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Intan Mariska
"Latar belakang: kecenderungan depresi yang berkaitan dengan dukungan purser, rekan kerja, beban kerja mental dan masa kerja pada pramugari akan mempengaruhi kinerja dan absen kerja. Tujuan penelitian ini membuktikan pengaruh dukungan purser dan faktor lainnya terhadap kecenderungan depresi pada pramugari penerbangan sipil di Indonesia.
Metode: Studi potong lintang dengan sampling purposif pada tanggal 12-28 Mei 2014 terhadap pramugari yang sedang melakukan pengujian kesehatan rutin di Balai Kesehatan Penerbangan, Jakarta. Pengambilan data dengan kuesioner Beck inventory dan NIOSH generic job stress. Kecenderungan depresi dianalisis dengan menggunakan regresi linear.
Hasil: Jumlah total pramugari yang melakukan pengujian kesehatan rutin di Balai Kesehatan Penerbangan 242 orang, tetapi yang memenuhi kriteria inklusi adalah 145 orang, kecenderungan depresi dipengaruhi oleh dukungan purser, dukungan di luar pekerjaan dan beban kerja mental. Beban kerja mental terbukti meningkatkan kecenderungan depresi [koefisien regresi (β) = 0,549; p = 0,045] sedangkan dukungan purser [(β) = 0,552; p = 0,033] dan dukungan di luar pekerjaan [(β) = -1,191; p = 0,000] terbukti menurunkan kecenderungan depresi.
Kesimpulan: Dukungan purser dan dukungan di luar pekerjaan menurunkan kecenderungan depresi, sedangkan beban kerja mental meningkatkan kecenderungan depresi.

Background: Depression is associated with a tendency purser support, co-workers support, and mental workload on the flight attendants working lives will affect the performance and absence from work. The purpose of this study demonstrate the influence of other factors support the purser and the tendency of depression in civil aviation flight attendants in Indonesia.
Methods: A cross-sectional study with purposive sampling on 12-28 May 2014 at flight attendant who was doing a routine health examination in Aviation Medical Center, Jakarta. Questionnaire data retrieval Beck inventory and NIOSH generic job stress. The tendency of depression were analyzed using linear regression.
Results: The total number of flight attendants who perform routine health examination in aviation medical Center hall 242 flight attendent, but the inclusion and exclusion criteria in this study was 145 flight attendent, depression tendencies influenced by the purser support, support outside work and mental workload. Mental workload proved increase of depression (p = 0.045, β = 0.549). wheareas purser support (p = 0.033, β = 0.552) and support outside work (p = 0.000, β = -1.191) shown to reduce the tendency of depression.
Conclusion: Purser support and support outside work reduces the tendency of depression, whereas mental workload increases of depression.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2014
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Yudijaya Kurniadi
"Berawal dari dikeluarkannya Undang-undang No.5 Tahun 2014 tentang Aparatur Sipil Negara yang menyebutkan bahwa ASN dibagi menjadi 2 yaitu PNS dan PPPK. Amanat Undang-undang Aparatur Sipil Negara tersebut tidak dilaksanakan sebagaimana mestinya, pengaturan terkait manajeman PPPK baru dibentuk di akhir tahun 2018. Namun dalam rentan waktu tahun 2014 sampai dengan 2018, berbagai instansi pemerintahan baik kementerian, lembaga negara dan pemerintah daerah melakukan rekrutmen pegawai honorer melalui vendor ataupun hubungan personal pejabat ybs dengan calon pelamar/pegawai. Di lingkungan kementerian perhubungan hal ini tetap diterapkan, padahal jauh sebelum Peraturan Pemerintah No. 49 Tahun 2018 ditetapkan, kementerian perhubungan sendiri sudah mempunya aturan internal terkait PPPK. Dimana dalam Peraturan Menteri No. 80 Tahun 2018 mengatur bahwa PPPK hanya untuk jabatan pelaksana. Tentu tindakan tersebut merupakan bentuk pelanggaran administratif dalam Undang-undang. Karena tidak dijalankan sesuai dengan amanat padahal telah ada regulasi yang sah dari instansi. Kedudukan PPPK dalam sistem kepegawaian di Indonesia menjadi permasalahan, dikarenakan tidak adanya jaminan mereka yang mengabdi akan diangkat menjadi PNS. Sehingga dalam hal ini asas kepastian hukum dan asas kemanfaatan dalam AAUPB dan prinsip Good Governance digunakan untuk menganalisis permasalahan yang ada. Perlu ada penyesuaian peraturan yang jelas terkait kedudukan PPPK sendiri dimana mengutamakan sistem merit dalam birokrasi pemerintahan namun tidak menghilangkan nilai-nilai keadilan, perlindungan hukum dan kemanfaatan bagi PPPK. Karena PPPK sendiri memiliki nilai positif dan negatif dalam birokrasi pemerintahan.

Starting from the issuance of Law No.5 of 2014 concerning the State Civil Apparatus which states that ASN is divided into 2 namely PNS and PPPK. The mandate of the State Civil Apparatus Act was not carried out properly, arrangements relating to first-aid management were only established at the end of 2018. However in the vulnerable period of 2014 to 2018, various government agencies, including ministries, state agencies and regional governments recruited temporary employees through vendor or personal relations of the official with prospective applicants / employees. In the ministry of transportation this matter is still applied, even though it was long before Government Regulation No. 49 of 2018 is stipulated, the ministry of transportation itself has internal rules regarding first aid. Where in Ministerial Regulation No. 80 of 2018 stipulates that first aid is only for executive positions. Of course this action is a form of administrative violation in the Law. Because it is not carried out in accordance with the mandate even though there are legal regulations from the agency. The position of PPPK in the personnel system in Indonesia is a problem, because there is no guarantee that those who serve will be appointed as civil servants. So in this case the principle of legal certainty and the principle of benefit in the AAUPB and the principle of Good Governance are used to analyze existing problems. There needs to be a clear adjustment of regulations regarding the position of the PPPK itself where prioritizing the merit system in the government bureaucracy does not eliminate the values of justice, legal protection and benefits for first aid. Because PPPK itself has positive and negative values in the government bureaucracy."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2018
T52419
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Tessa Apriestha
"Latar Belakang: Obesitas dapat menganggu kesehatan dan mempengaruhi penerbang dalam menjalankan tugasnya. Tujuan penelitian ini untuk mengidentifikasi faktor-faktor yang berhubungan dengan risiko obesitas pada penerbang sipil di Indonesia.
Metode: Studi potong lintang dengan sampel purposif pada penerbang sipil yang sedang melakukan pemeriksaan kesehatan berkala di Balai Kesehatan Penerbangan pada tanggal 18-29 Mei 2015. Data yang dikumpulkan meliputi faktor demografi, pekerjaan, sosial, genetik, pengetahuan, sikap dan perilaku. Data dikumpulkan dengan wawancara dan pengukuran antropometri. Analisis menggunakan regresi Cox dengan waktu konstan.
Hasil: Dari 690 penerbang, 428 subjek bersedia menjadi responden. Subjek terpilih untuk dianalisis berjumlah 259 penerbang terdiri dari 184 obesitas dan 75 subjek dengan berat badan normal. Dibandingkan subjek dengan kebiasaan hampir tidak pernah makan makanan berlemak, subjek dengan kebiasaan makan makanan berlemak 3-4 kali per minggu berisiko obesitas 6,3 kali lipat [risiko relatif suaian (RRa)=6,28; 95% interval kepercayaan (CI)=1,55-25,46; p=0,010], sedangkan pada subjek dengan kebiasaan makan makanan berlemak hampir setiap hari berisiko obesitas 6 kali lipat (RRa=6,04; CI=1,43-25,54; p=0,014). Selanjutnya, jika dibandingkan dengan subjek yang memiliki 16-1499 jam terbang total, subjek yang memiliki 1500-4999 jam terbang total berisiko 18% lebih tinggi obesitas (RRa=1,18; 95% CI=1,01-1,39; p=0,038) dan subjek yang memiliki 5000-28000 jam terbang total berisiko 39% lebih tinggi obesitas (RRa=1,39; 95% CI=0,99-1,93; p=0,052).
Simpulan: Kebiasaan makan makanan berlemak 3 kali atau lebih per minggu dan jam terbang total 1500 jam atau lebih meningkatkan risiko obesitas pada penerbang sipil di Indonesia.

Background: Obesity can interfere and affect the health of pilots in performing their duties. The purpose of this study was to identify factors associated with the risk of obesity among civilian pilots in Indonesia.
Methods: Cross-sectional study was done with purposive sampling among civilian pilots undergoing periodic medical examinations at Civil Aviation Medical Center on May 18-29th, 2015. Data collected were demographic, occupation, social, genetic, knowledge, attitudes and behavior factors. Data were collected through interviews and anthropometric measurements. Data analysis used Cox regression with constant time.
Results: There were 690 pilots eligible for this study, 428 subjects were willing to become respondents. The subject chosen for analysis amounted to 259 pilots, with 184 pilots were obese and 75 had normal BMI. Compared with pilots who rarely consumed fatty foods, pilots who ate fatty foods 3-4 times/week had 6.3-fold risk of obesity [adjusted relative risk (RRa)=6.28; 95% confidence interval (CI)=1.55-25.46; p=0.010], whereas the pilots who ate fatty foods almost everyday had 6-fold risk of obesity (RRa=6.04; CI=1.43-25.54; p=0.014). Furthermore, when compared to pilots with 16-1499 total flight hours, pilots with 1500-4999 total flight hours had 18% higher risk of obesity (RRa=1.18; 95% CI=1.01-1.39; p=0.038) and pilots with 5000-28000 total flight hours had 39% higher risk of obesity (RRa=1.39; 95% CI=0.99-1.93; p=0.052).
Conclusions: Eating fatty foods habit 3 times/week or more and 1500 or more of total flight hours increased the risk of obesity among civilian pilots in Indonesia.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2015
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Febi Arya Hidayat
"Latar Belakang: Dalam dunia penerbangan, fatigue dapat menyebabkan inkapasitasi penerbang dan mengakibatkan kecelakaan pesawat. Jam terbang merupakan salah satu faktor yang berhubungan dengan risiko fatigue. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengidentifikasi hubungan jam terbang 7 hari dan beberapa faktor lain terhadap risiko fatigue pada penerbang sipil di Indonesia.
Metode: Sebuah studi cross sectional dengan consecutive sampling dilakukan pada penerbang sipil yang sedang melakukan medical check-up di Balai Kesehatan Penerbangan di Jakarta pada Juni 2016. Karakteristik demografi, pekerjaan, kebiasaan dan jam terbang diperoleh melalui kuesioner dan wawancara. Data fatigue diperoleh melalui pemgisian self-questionnaire fatigue dan dihitung dengan Fatigue Severity Scale (FSS) yang telah dikalibrasi. Fatigue dikategorikan menjadi “Tidak Fatigue” (skor FSS <36) dan “Fatigue” (skor FSS ≥36). Analisis menggunakan risiko relatif dengan regresi Cox dan waktu yang konstan.
Hasil: Penelitian ini mencakup 542 penerbang, 50,2% mengalami fatigue, dan 49,8% tidak fatigue. Subyek yang memiliki jam terbang lebih dari 30 jam dalam 7 hari dibandingkan dengan yang kurang sama dengan 30 jam dalam 7 hari, memiliki risiko fatigue 1,39 kali lebih tinggi [risiko relatif disesuaikan (RRA)= 1,39; CI=1,16-1,68; p = 0,001]. Subjek yang memiliki lisensi tipe ATPL dibandingkan dengan yang CPL memiliki risiko fatigue 1,31 kali lebih tinggi (RRa= 1,31; CI=1,11-1,54 p= 0,001). Selanjutnya subyek yang berolahraga secara appropriate memiliki risiko fatigue 32% lebih kecil (RRa=0.68; CI=0,43-1,06; p=0.094).
Kesimpulan: Penerbang sipil di Indonesia yang memiliki jam terbang lebih dari 30 jam dalam 7 hari dan penerbang dengan lisensi tipe ATPL mengalami peningkatan risiko fatigue. Kebiasaan olahraga secara appropriate menurunkan risiko fatigue pada penerbang sipil di Indonesia.

Background: In aviation world, fatigue may cause the pilot incapacitation and can lead to the aircraft accidents. Flight hours is believed to be one of the factors related to the risk of fatigue. The purpose of this study is to identify relationship between flight hours in seven day and other factors to the risk of fatigue among civilian pilot in Indonesia.
Methods: A cross sectional study with consecutive sampling was conducted among civilian pilots who attended medical check-up at Aviation Medical Center in Jakarta on June 2016. Demographic characteristics, employment related factors, habits and flight hours were obtained through questionnaire and interviews. Fatigue data were obtained through fatigue self-questionnaire form and measured with Fatigue Severity Scale which had been validated. Fatigue was categorized into non-fatigue (FSS score <36) and fatigue (FSS score ≥36). Risk relative was computed using Cox regression with a constant time.
Results: This study included 542 pilots, 50,2% had fatigue and 49,8% were normal (non-fatigue). The subjects who have flight hours >30 hours/week compared to ≤30 hours/week, had 1.37-fold higher risk of fatigue [adjusted relative risk [RRa=1.37; CI=1,14-1,65; p=0.001]. The subject with ATPL license compared to CPL license, had 1.28-fold higher risk of fatigue [RRa=1.31; CI=1,11-1,54; p=0.001). Furthermore, subjects who have appropriate exercise, had 32% lower risk of fatigue (RRa=0.68; CI=0,43-1,06; p=0.094).
Conclusions: Civilian pilots in Indonesia who had more than 30 hours flight time in 7 days and ATPL type pilots have an increased risk of fatigue. Appropriate exercise decreased the risk of fatigue on civilian pilots in Indonesia.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2017
SP-Pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Irwan Janu Sucipta
"Kondisi hipoksia bagi penerbang merupakan ancaman bahaya yang selalu ada meskipun dengan pesawat kabin bertekanan. Tujuan penelitian ini untuk mengetahui faktor risiko hipoksia pada penerbang militer Indonesia. Penelitian ini memakai desain potong lintang dengan consecutive sampling pada penerbang militer Indonesia yang melaksanakan indoktrinasi dan latihan aerofisiologi ILA selama bulan Juni 2017 di Lakespra Saryanto Jakarta. Sebanyak 120 subjek didapatkan selama penelitian ini. Hipoksia ditandai dengan Waktu Sadar Efektif WSE < 4 menit saat latihan di Ruang Udara Bertekanan Rendah RUBR dengan ketinggian 25000 kaki.
Hasil menunjukkan bahwa fatigue, kesamaptaan dan ketahanan kardiovaskular VO2max tidak menunjukan hubungan yang bermaknan dengan WSE p>0,05. Pada penelitian ini dapatkan total jam terbang dan kebiasaan merokok sebagai faktor dominan. Subjek yang memiliki total jam terbang ge; 1000 jam memiliki risiko WSE < 4 menit 2,6 kali lebih tinggi dibandingkan dengan total jam terbang < 1000 jam [ORa= 2,65; IK 95 = 1,21-5,78; p= 0,014]. Subjek yang merokok memiliki risiko WSE < 4 menit lebih rendah 63 dibandingkan dengan yang tidak merokok [ORa= 0,37; IK 95 = 0,14-0,95; p= 0,039]. Dapat disimpulkan bahwa Fatigue, kesamaptaan dan ketahanan kardiovaskular tidak berhubungan dengan hipoksia yang ditandai oleh waktu sadar efektif. Total jam terbang ge; 1000 jam meningkatkan risiko WSE < 4 menit, sedangkan merokok menurunkan risiko WSE < 4 menit.

Hypoxic condition for pilots are an ever present threat of dangers even with pressurized cabin aircraft. The purpose of this study to determine the risk factors of hypoxia in Indonesia military pilots. This study used cross sectional design with consecutive sampling on Indonesia military pilots who carried out indoctrination and aerophysiology exercise during the month of June 2017 at Lakespra Saryanto Jakarta. 120 subjects were obtained during the study. Hypoxia is characterized by Time of Useful Consciousness TUC 4 minutes during exercise in the hypobaric chamber at 25000 feet chamber altitude.
The results showed that fatigue,physicall fitness and cardiovascular endurance VO2max did not show a meaningful relationship with TUC p 0.05. In this study, total flying hours and smoking habits were found as dominant factor. Compared to 1000 hours of total flying hours, subjects with a total flying hours ge 1000 hours were 2.6 times higher risk to have TUC 4 minutes ORa 2,65 CI 95 1,21 5,78 p 0,014. Compared to non smokers, smoker subjects were 63 lower risk to have TUC 4 minutes ORa 0,37 CI 95 0,14 0,95 p 0,039. In conclusion Fatigue, physicall fitness and cardiovascular endurance are not associated with hypoxia characterized by time of useful consciousness. Total flight hours ge 1000 hours increase risk for TUC 4 minutes, while smoking decrease risk for TUC 4 minutes.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2017
SP-Pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Widya Apsari
"Candida adalah jamur oportunistik yang umum ditemukan pada kasus HIV/AIDS. Penurunan jumlah CD4+ pada infeksi HIV mempengaruhi sifat Candida sp. dari komensal menjadi patogen. Penelitian ini merupakan studi potong lintang untuk mencari hubungan antara jumlah CD4+ dengan jumlah koloni Candida sp. pada rongga mulut anak terinfeksi HIV. Tiga puluh lima anak dengan infeksi HIV dibagi menjadi 3 kelompok sesuai jumlah CD4+. Isolasi Candida sp. ditemukan pada 27 sampel subjek(77,1%). Total koloni Candida sp. pada anak dengan CD4+ rendah sebesar 1315(30-2100)CFU/ml dan CD4+ normal sebesar 30(0-1020)CFU/ml. Hasil penelitian menunjukkan terdapat hubungan bermakna antara jumlah CD4+ dengan jumlah koloni Candida sp.

Candida is an opportunistic fungi that is commonly found in HIV/AIDS patients. Decrease in CD4+ count in HIV infection, affects the nature of Candida sp. from commensal be pathogenic. This was a cross-sectional study to find out the relationship between CD4+ count and the number of Candida sp. from oral cavity in HIV children. Thirty-five children with HIV infection were divided into 3 groups according to CD4+ count. Isolation of Candida sp. were found in 27 samples of subjects (77.1%). The total colony Candida sp. was 1315(30-2100)CFU/ml in children with lower CD4+ count and 30(0-1020)CFU/ml in children with normal CD4+ count. The results showed a significant relationship between CD4+count and the number of Candida sp.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Indonesia, 2014
SP-Pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Albert Fernandes
"Latar belakang: Perilaku keselamatan sangat penting untuk mengurangi terjadinya kecelakaan dalam penerbangan. Tujuan penelitian ini untuk menganalisis hubungan antara iklim keselamatan dan kesejahteraan psikologis dengan perilaku keselamatan penerbang komersil di Indonesia.
Metode: Penelitian ini merupakan studi analitik dengan menggunakan metode potong lintang dengan teknik pengambilan sampel yaitu consecutive sampling. Data dikumpulkan dengan pengisian kuesioner oleh subjek mengenai variabel iklim keselamatan, kesejahteraan psikologis dan perilaku keselamatan. Analisis data yang digunakan yaitu regresi linear berganda.
Hasil: Iklim keselamatan berhubungan positif dan signifikan terhadap perilaku keselamatan =0,646; p=0,000 , kesejahteraan psikologis berhubungan positif dan signifikan terhadap perilaku keselamatan =0,231; p=0,044.
Kesimpulan: Iklim keselamatan dan kesejahteraan psikologis berhubungan positif dan signifikan terhadap perilaku keselamatan penerbang sipil di Indonesia. Iklim keselamatan dan kesejahteraan psikologis secara simultan berpengaruh positif dan signifikan terhadap perilaku keselamatan penerbang sipil di Indonesia dengan nilai R2 = 0,742 dan p value

Background Safety behavior is very important to reduce the occurrence of accidents in flight. The purpose of this study is to analyze the relationship between the safety climate and psychological wellbeing with the commercial aviator safety behavior in Indonesia.
Method This research is an analytic study using cross sectional method with sampling technique that is consecutive sampling. Data were collected by filling out questionnaires by subjects regarding safety climate variables, psychological wellbeing and safety behaviors. The data analysis used is multiple linear regression.
Results The safety climate was positively and significantly related to safety behavior 0.646 p 0,000 , psychological well being was positively and significantly related to safety behavior 0.231 p 0.044.
Conclusion The psychological safety and well being climate is positively and significantly related to the safety behavior of civil aviators in Indonesia. The psychological safety and well being climate simultaneously has a positive and significant impact on the safety behavior of civil aviators in Indonesia with R2 0.742 and p value.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2017
SP-Pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>