Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 173827 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Dini Hapsari
"Latar Belakang: Ulkus kornea bakteri merupakan penyebab utama buta kornea. Tatalaksana standar ulkus kornea bakteri hingga kini masih terfokus pada eliminasi infeksi melalui antibiotik. Meskipun amplifikasi bateri telah dihentikan, inflamasi sekunder kornea terus berlangsung dan mengakibatkan destruksi kornea lebih lanjut dan sikatriks yang tebal.
Tujuan: Untuk mengevaluasi efektivitas dan keamanan terapi kombinasi keratektomi superfisial dengan transplantasi membran amnion dan plasma autolog topikal pada ulkus kornea bakteri sedang dan berat, dalam memfasilitasi penyembuhan dan meminimalisasi inflamasi sekunder kornea.
Metode: Uji klinis terandomisasi terbuka. Pembedahan pada kelompok eksperimental dilakukan dalam 72 jam pasca pemberian tiga hari antibiotik inisial.
Hasil: Enambelas mata dengan ulkus kornea bakteri diikutkan dalam penelitian ini. Seluruh ulkus sembuh dalam waktu 36 hari pada kelompok eksperimental, dan 54 hari pada kelompok kontrol. Kecepatan epitelisasi kelompok eksperimental lebih cepat dibandingkan dengan kontrol (1,82±1,11 vs 0,97±0,74 mm2/hari, p=0,04, uji t tidak berpasangan). Terdapat kecenderungan pembentukan sikatriks kornea yang lebih tebal pada kelompok kontrol. Pada akhir evaluasi, tajam penglihatan lebih baik didapatkan pada kelompok eksperimental (0,344 ± 0,15 vs 0,196 ± 0,12 pada ulkus sedang, p=0,2, uji t tidak berpasangan; dan 0,14 ± 0,05 vs 0,014 ± 0,02 pada ulkus berat, p<0,01, uji t tidak berpasangan). Tidak ada komplikasi pada kelompok eksperimental, namun terdapat dua komplikasi pada kelompok kontrol.
Simpulan: Terapi kombinasi keratektomi superfisial dengan transplantasi membran amnion dan plasma autolog topikal pada ulkus kornea bakteri terbukti lebih efektif dan aman dibandingkan terapi antibiotik konvensional. Terapi ini mempercepat epitelisasi dan penyembuhan ulkus, sehingga membentuk sikatriks kornea yang lebih tipis dengan tajam penglihatan lebih baik.

Background: Bacterial corneal ulcer is a leading cause of corneal blindness. Up to now, the standard treatment for bacterial corneal ulcer is limited to the elimination of infection with antibiotic. However, the secondary tissue inflammation may still persist, leading to further corneal tissue destruction and dense corneal scar.
Objectives: To evaluate the efficacy and safety of superficial keratectomy, freeze-dried amniotic membrane transplantation and topical autologous plasma as a novel combination therapy in moderate and severe bacterial corneal ulcer, for promoting corneal wound healing and minimizing second injury of the cornea.
Methods: An open randomized controlled trial. The operation in experimental group was performed within 72 hours after three days application of initial antibiotic.
Results: Sixteen eyes of bacterial corneal ulcers were enrolled. All ulcers were healed within 36 days in the experimental group, compared to 54 days in the control group. Epithelialization rate of the experimental group was significantly faster than the control group (1,82±1,11 vs 0,97±0,74 mm2/day, p=0,04, unpaired t-test). Dense corneal scarring was more likely marked in the control group. Higher visual acuity at the last follow-up was achieved in the experimental group (0,344±0,15 vs 0,196±0,12 for moderate cases, p=0,2, unpaired t-test; and 0,14±0,05 vs 0,014±0,02 for severe cases, p<0,01, unpaired t-test). None complication was found in experimental group, while two complications (impending perforation and limbal damage) were noted within the control group.
Conclusions: Combination of superficial keratectomy with amniotic membrane transplantation and topical autologous plasma shows its benefits and safety for bacterial corneal ulcers. It promotes early epithelialization and corneal wound healing, thus achieving less corneal scarring with better visual acuity than conventional antibiotic therapy.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2014
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
"Proliferation phase is the second of the three phases in wound healing. In this phase, fibroblast is a pivotal component. The migration and proliferation of fibroblasts are influenced by FGF, TGF-β and FGF. Amniotic membrane (AM) which consists of several growth factors that play an important role in wound healing can be used as transplantation materials. This study investigated the influence of AM on the number of fibroblast cells in the process of wound healing on rabbit's gingiva. Thirty six rabbits were divided into 2 groups, one is the control group (C) and the other is the treatment group (I). Each of the groups were divided into 6 groups. composed of 3 rabbits based on the date of termination, i.e. 1st, 3rd, 5th. 7th. 10th and 14th day after wounded. Five layers of AM were applicated on T group wounding and C group wounding were let open. Histological evaluation was done to calculate the number of fibroblast cells. Data analysis was done by using MANOVA. The results showed there was a significant difference (p<0,05) in the number of fibroblast cells between T and C groups among the groups of termination dates. The one having the highest number of fibroblast cell was in T 10 group. lt can be concluded that AM enhanced the number of fibroblast cells in the process of wound healing on rabbit's gingival."
Journal of Dentistry Indonesia, 2003
pdf
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
cover
Ani Retno Prijanti
"Anti rat amniotic protein antibody was developed by immunization of rabbits with total rat amniotic protein as antigen in Freund's adjuvant. This antibody could react with both male rat serum and amniotic proteins. To obtain the pure anti AFP antibody, rabbit anti serum was loaded on an affinity chromatography column which contain agarose, activated by carbodiimide, and male rat serum protein immobilized. Eluat containing protein that was not reacting with immobilized male rat serum was collected in 2 mL fractions. Each fraction was measured. The first 8 fraction give a peak. The range of protein concentration were about 0,35 - 4,51 mg/mL. The range of anti rat .AFP antibody titre were 40 - 1280. The conclusion is that the anti rat amniotic protein antibodies contain the antibody againts rat AFP. The anti rat AFP antibody could reacted or detected the AFP in amniotin fluid proteins that was not in the adult male rat serum. The conclusion is that the anti rat amniotic protein antibodies contain the antibody againts rat AFP. The anti rat AFP antibody can react or detect the AFP in the amniotic fluid protein that is not in the adult male rat serum."
Depok: Lembaga Penelitian Universitas Indonesia, 1996
LP-pdf
UI - Laporan Penelitian  Universitas Indonesia Library
cover
"Biofuling is the undesirable accumulation of microorganisms, plants, algae and animals on submerged structures espicially ship hulls...."
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
cover
"The isotherm adsorptions of Cu2+ ions in aqueous slutions by cross-linked chitosan-cellulose composite membranes were investigated...."
IPTEKAB
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
cover
Fitri Muslim
"Latar belakang : Simblefaron merupakan suatu proses penempelan konjungtiva
tarsal dengan konjungtiva bulbi yang terjadi akibat inflamasi kronis. Transplantasi
membran amnion merupakan tata laksana yang umum dilakukan pada kasus
simblefaron. Terdapat 2 jenis membran amnion yaitu cryopreserved dan frezeedried
yang berbeda proses pengawetanya. Hingga saat ini belum ada penelitian
yang membandingkan secara langsung efektivitas kedua amnion tersebut dalam
proses epitelisasi konjungtiva.
Tujuan: Mengetahui perbandingan efektivitas membrane amnion cryopreserved
dan frezee-dried dalam epitelisasi konungtiva, dalam menurunkan inflamasi dan
meningkatkan densitas sel goblet.
Metode: Sebanyak 14 mata (10 subyek) simblefaron dilakukan randomisasi
kemudia dibagi kedalam 2 kelompok. 7 mata menjalani release simblefaron dan
transplantasi membrane amnion cryopreserved, 7 mata lainnya dengan amnion
freeze-dried. Pasca bedah pada minggu 1,2,3 dan 4 dilakukan foto segmen anterior
untuk menilai waktu epitelisasi dan derajat inflamasi. Dan pada minggu ke-4
pasien menjalani pemeriksaan sitologi impresi dan Ferning untuk dibandingkan
dengan hasil yang telah dilakukan pre operasi.
Hasil: kelompok mata dengan amnion cryopreserved menunjukan rerata waktu
epitelisasi 2,14 ± 1,07 minggu sedangkan amnion freeze-dried 3,29 ± 1,25 minggu.
Derajat inflamasi berat lebih banyak ditemukan pada kelompok freeze-dried.
Densitas sel goblet dan derajat Ferning lebih tinggi ditemukan pada kelompok
cryopreserved.
Kesimpulan: Secara klinis membran amnion cryopreserved memiliki
kecenderungan hasil yang lebih baik dibandingkan amnion freeze-dried dalam
proses epitelisasi, menurunkan inflamasi dan meningkatkan densitas sel goblet.

Background : symblepharon is a attachment of conjunctival bulbi to conjunctival
tarsal due to chronic inflammation. Amnion membrane (AM) transplantation is a
surgical treatment for symblepharon. There are two types of amniotic membranes
namely cryopreserved and freeze-dried which have different preservative
processes.
Objective : Our aims was to compare AM cryopreserved and freeze-dried in
complete conjunctival epithelization, reduce the inflammation and restored goblet
cells.
Methods : In 14 eyes of symblepharon, symblepharon release with AM
transplantation were performed. 7 eyes with AM cryopreserved, 7 eyes with MA
freeze-dried. Post-operative evaluation was done weekly in all subjects until 4
weeks after surgery include photographic documentation to evaluate conjunctival
epithelization and grading inflammation. On the last week subjects underwent
cytology impression and Ferning test (mucin production) to be compared with
results that have been done pre-operatively.
Results : Eyes with AM cryopreserved showed epithelization in 2,14 ± 1,07 weeks,
while AM freeze-dried was 3,29 ± 1,25 weeks. Severe inflammation (4/7) was
found in eyes with freeze-dried, goblet cells and mucin production were higher in
eyes with AM cryopreserved.
Conclusion : Clinically AM cryopreserved showed better result in completing
conjunctival epithelization, reduce inflammation and restored goblet cells
compared with AM freeze-dried.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2019
SP-Pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Made Susiyanti
"Latar belakang: Ulkus kornea adalah salah satu penyakit infeksi mata yang banyak ditemukan di negara berkembang termasuk Indonesia. Tatalaksana ulkus kornea bakteri konvensional umumnya dapat menimbulkan jaringan parut kornea permanen yang dapat menurunkan tajam penglihatan. Penggunaan transplantasi membran amnion (TMA) pada ulkus kornea dapat mempercepat proses penyembuhan dan mengurangi terbentuknya jaringan parut kornea. Membran amnion diduga menjadi kerangka baru dan mengekspresi beberapa komponen biologis yang berperan membantu proses epitelisasi dan pembentukan jaringan parut di kornea.
Tujuan: Mengetahui dan membuktikan perbedaan perubahan klinis pada kelompok TMA dan terapi standar (non-MA) pada pasien dengan ulkus kornea bakteri, perbedaan perubahan kadar protein TNF-, MMP-9, TGF-β1 di air mata dan ekspresi mRNA TNF-, MMP-9, TGF-β1, dan TGF-β2 di air mata dan kornea.
Metode: Penelitian tahap pertama, dilakukan penilaian klinis sebelum dan sesudah pada grup TMA dan terapi standar (non-TMA) dengan menilai tajam penglihatan, waktu epitelisasi total, waktu pembentukan sikatrik total dan derajat sikatrik serta uji kadar protein TNF-, MMP-9, TGF-β1 di air mata dengan pemeriksaan ELISA. Penelitian tahap kedua, dilakukan pemeriksaan ekspresi mRNA TNF-, MMP-9, TGF-β1, dan TGF-β2 di air mata dan kornea dengan pemeriksaan quantitative Reverse Transcriptase-Polymerase Chain Reaction (qRT-PCR).
Hasil: Hasil penelitian pertama, pada grup TMA terjadi perbaikan yang signifikan bermakna pada tajam penglihatan (p=0.001), waktu epitelisasi total (p=0.002), waktu terbentuk sikatrik total (p=0.005), dan derajat sikatrik (p=0.001) dibandingkan grup non-TMA. Hasil kadar proteinTNF-, MMP-9, dan TGF-β1 di air mata tidak terjadi perubahan yang bermakna sebelum dan sesudah dan tidak terdapat perbedaan bermakna pada kedua grup (p>0.005). Pada hasil penelitian kedua, ekspresi mRNA TNF-α menurun paling tinggi pada grup TMA (0.824 ± 0), MMP-9 meningkat paling tinggi pada grup TMA (66.698 ± 24.948), TGF-β1 meningkat paling tinggi pada grup TMA (34.425 ± 14.025), sedangkan TGF-β2 mengalami peningkatan tertinggi pada grup non-TMA (114.049 ± 55.344).
Kesimpulan: Terdapat perbaikan klinis yang signifikan pasca TMA, sejalan dengan ekspresi gen dari molekul yang terkait ditandai dengan penurunan inflamasi, re-epitelisasi yang lebih cepat, dan pengurangan pembentukan sikatrik. Kadar protein dan ekspresi gen molekul inflamasi di air mata tidak dapat dijadikan penanda untuk proses yang terjadi di kornea.

Background: Corneal ulcer is one of ocular infection disease that is commonly found in developing country like Indonesia. The conventional treatment for bacterial corneal ulcer usually causes the forming of permanent corneal scar which results in decrease of visual acuity. The use of amniotic membrane transplantation (AMT) in corneal ulcer is believed can shorten the healing process and reduce corneal scar. Amniotic membrane is expected to become as a new scaffold and have several biological properties that play a role in epithelization process and fibrotic tissue formation.
Objective: To evaluate and establish the clinical differences on amniotic membrane transplantation and standard therapy of patients with bacterial corneal ulcer, and laboratory evaluation of protein level and mRNA expression changes of TNF-, MMP-9, TGF-β1 and TGF-β2 in tears and corneal tissue.
Method: This study was divided into two phases on two groups of AMT and standard therapy group (non-AMT). On the first phase, clinical evaluation was examined include visual acuity, total duration of epithelization, total duration of scar formation and the degree of corneal scar, along with laboratory of protein level of TNF-, MMP-9, TGF-β1 in tears with ELISA. On the second phase, mRNA expression of TNF-, MMP-9, TGF-β1, and TGF-β2 in tears and cornea were examined with quantitative Reverse Transcriptase-Polymerase Chain Reaction (qRT-PCR).
Result: The result of first phase on TMA group showed significant improvement on visual acuity (p=0.001), total duration of epithelization (p=0.002), total duration of scar formation (p=0.005), and cicatrix degree (p=0.001) compared to non-TMA group and a non-significant result on protein level of TNF-, MMP-9, TGF-β1 in tears on both groups (p>0.005).On the second phase, mRNA expression of TNF-showed the highest decrease on TMA group (0.824 ± 0), MMP-9 showed the highest increase on group TMA (66.698 ± 24.948),TGF-β1 expression increased the highest on TMA group (34.425 ± 14.025), whereas TGF-β2 showed the highest result on non-TMA group (114.049 ± 55.344).
Conclusion: There was significant clinical improvement observed in TMA group parallel with related molecular genetic expression, indicated decreasing of inflammation, faster re-epithelization, and less dense scar formation. Protein level and genetic molecular expression in tears are poor predictors of processes occurring in the cornea.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2018
D-Pdf
UI - Disertasi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Sabar Sungkowo
"ABSTRAK
Model matematis satu dimensi dikernbangkan untuk mensimulasikan pengaruh parameter operasi (suhu reaktor, tekanan total sisi shell, laju alir metana dan rasio Ar/CI-1.1) terhadap konversi dan selektivitas dari reaktor membran perovskite (LaGa0_39Co0_60MgQ,|0O35). Reaktor membran diasumsikan bekerja pada kondisi adiabatis isotennal dengan tipe aliran plug. Reaksi yang diamati adalah oksidasi parsial metana menjadi gas sintetis dcngan katalis Ni.
Persamaan yang diperoleh merupakan persamaan diferensial biasa orde satu uuronomous yang saling terkait. Untuk menyelesaikan sekumpulan persamaan diferensial yang saling terkait ini digunakan metode Quasi Newton dimana matriks Jacobiannya dihimng secara numeris dengan pendekatan backward cliff/Ezrences.
Untuk invers matri ks Jacobiannya sendiri digunakan metode dekomposisi LU.
Hasil simulasi menunjukkan bahwa produk reaksi pembakaran metana Iebih banyak dari produk reaksi oksidasi parsial. Produk reaksi oksidasi parsial yang diperoleh sedikit karena kesetimbangan bergeser ke arah realctan sehingga gas sintetis yang terbentuk kembali terurai. Nilai konversi metana yang kecil (26,6%) disebabkan karena jumlah metana yang bereaksi dibatasi oleh laju difusi oksigen dari sisi lube ke sisi shell. Kenaikan suhu reaktor meningkatkan konversi metana yang terbakar akibat naiknya laju difusi oksigen sesuai dengan kenaikan suhu reaktor. Penlnunan tekanan total sisi shell dari 1 atm ke 0,1 atm akan rncnaikkan konvcrsi metana sekitar 4%. Kenaikan konversi ini disebabkan lebih banyak metana yang bereaksi menjadi gas sintetis akibat kesetimbangan bergeser ke arah produk gas sintetis.
Kenaikan laju alir metana akan mendorong reaksi oksidasi parsial lebih banyak teljadi dikarenakan reaksi terjadi dalam kondisi kekurangan oksigen. Rasio Ar/CH4 yang semakin meningkat dari 0 ke 25 hanya menaikkan konversi metana 2,2%
akibat pembentukan gas sintetis bertambah banyak.

"
2001
S49162
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Peter
"Kontaktor membran serat berlubang adalah suatu peralatan kontak dan filtrasi yang memungkinkan terjadinya perpindahan massa untuk sistem gas-cair tanpa dispersi antara satu fasa dengan fasa lainnya. Kontaktor membran serat berlubang telah banyak digunakan sebagai peralatan kontak karena memberikan luas permukaan yang tinggi pada volume peralatan yang kecil. Sebagai kontaktor gas-cair, tidak seperti halnya pada aplikasi proses membran konvensional seperti mikrofiltrasi, ultrafiltrasi dan osmosa balik, gaya penggerak bagi terjadinya proses pemisahan adalah gradien konsentrasi bukannya gradien tekanan. Dengan demikian hanya diperlukan perbedaan tekanan yang kecil di sepanjang membran untuk menjamin bahwa interfasa gas-cair tetap berada pada pori-pori membran.
Studi ini menggunakan kontaktor membran serat berlubang untuk memisahkan oksigen terlarut dari air melalui proses vakum. Serat yang digunakan adalah MEMCOR CMF-S S10T dari MEMCOR Australia berukuran 650 ?m diameter luarnya, 130 ?m tebal dindingnya dan 0,2 ?m ukuran nominal pori membrannya. Ada 3 kontaktor membran yang digunakan dalam penelitian ini dengan jumlah serat bervariasi yaitu 19, 28 dan 38 buah.
Dalam eksperimen kecepatan air divariasikan dari 38 hingga 79 cm/detik, memberikan variasi pada bilangan Reynolds aliran dari sekitar 2300 hingga 7000. Koefisien perpindahan massa yang diperoleh berdasarkan hasil eksperimen berkisar antara 0,006 hingga 0,015 cm/detik. Berdasarkan hasil eksperimen terlihat bahwa koefisien perpindahan massa yang terjadi di dalam kontaktor turun dengan naiknya fraksi kepadatan membran di dalam kontaktor pada laju alir linier air yang sama dan naiknya temperatur pemanasan awal pada air umpan. Korelasi perpindahan massa dapat dinyatakan dalam persamaan sh = (-1,9261? + 0,2695) Re0,67 Sc0,33 yang mengindikasikan bahwa perpindahan massa yang terjadi berada pada daerah turbulen. Hal ini juga didukung dalam studi hidrodinamika dimana penurunan tekanan di dalam kontaktor merefleksikan bahwa aliran fluida yang terjadi di selongsong kontaktor juga berada dalam daerah turbulen.
Selain itu pengaruh konfigurasi modul juga menunjukkan bahwa modul membran ujung bebas (dinamis) memberikan performansi perpindahan massa yang lebih baik daripada modul membran ujung terikat (statis). Peninjauan yang lain menunjukkan bahwa semakin tinggi temperatur air umpan di dalam reservoir, maka nilai koefisien perpindahan massanya cenderung menurun. Studi hidrodinamika menunjukkan bahwa nilai faktor friksi aliran air di dalam kontaktor lebih besar 1,86 hingga 6,82 kali daripada nilai faktor friksi teoritis yang dikarenakan adanya gesekan tambahan antara air dengan serat selain antara air dengan dinding kontaktor."
Depok: Fakultas Teknik Universitas Indonesia, 2006
S49600
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Alfi Magfirwan Ramadhan
"Kelemahan utama pada kontaktor membran adalah turunnya kinerja kontaktor membran tersebut apabila terbasahi oleh limbah maupun larutan penyerapnya. Penelitian yang diusulkan akan mencoba untuk mengatasi kelemahan di atas dengan menggunakan membran yang bersifat superhidrofobik.
Hasil penelitian memperlihatkan bahwa efisiensi penyisihan amonia meningkat seiring dengan meningkatnya laju alir. Secara umum kenaikan laju alir juga akan meningkatkan koefisien perpindahan massa amonia secara keseluruhan. Koefisien perpindahan massa tertinggi yang didapatkan pada percobaan ini adalah sebesar 3,6 x 10-4 cm/s pada laju alir 2,5 Lpm dan konsentrasi awal sebesar 200 ppm. Hasil uji hidrodinamika menunjukan bahwa rasio friksi dari membran yang digunakan berkisar antara 9 sampai dengan 12.

The main weakness in the membrane contactor is the decline in the performance of the membrane when wetted by wastewater or absorbent solution. The proposed research will try to overcome that weakness by using membranes that has superhydrophobic properties.
Experimental results showed that the amonia removal efficiency increase as the increasing flow rate of wastewater containing amonia. The increase in the flow rate of the wastewater in general will also increase the overall mass transfer coefficient and fluxes. The highest mass transfer coefficients obtained in this experiment is 3,6 x 10-4 cm/s at 2,5 Lpm and the initial concentration of ammonia is 200 ppm. Hydrodynamic result shows that the friction ratio of membrane used is ranged from 9 to 12.
"
Depok: Fakultas Teknik Universitas Indonesia, 2014
S58869
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>