Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 118770 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Ahmad Fikri Hadi
"ABSTRAK
Tesis ini membahas tentang deradikalisasi terorisme yang diterapkan melalui
ruang Densus 88 AT Museum Polri. Terorisme telah berkembang menjadi sebuah
permasalahan yang tidak kunjung selesai di Indonesia. Berkembangnya terorisme
dianggap sebagai tidak efektifnya metode pemberantasan yang dilakukan selama
ini yaitu penegakan hukum yang cenderung represif. Untuk mengatasi hal ini,
Pemerintah melalui BNPT (Badan Nasional Penanggulangan Terorisme) memiliki
sebuah perogram untuk memberantas terorisme dengan pendekatan baru yang
mengedepankan pendekatan lunak dan pendekatan jiwa, yaitu deradikalisasi.
Deradikalisasi dilakukan oleh Polri dan kerjasama dengan berbagai macam
lembaga dan kementerian yang terkait. Museum Polri sebagai museum institusi
milik Polri memiliki tanggung jawab sosial untuk mengangkat permasalahan
terorisme melalui ruang Densus 88 AT sehingga masyarakat dapat memhami
permasalahan terorisme secara utuh sebagai bagian dari upaya deradikalisasi
terorisme. Akan tetapi ruang Densus 88 AT saat ini dianggap belum dapat
menerapkan program tersebut dengan baik karena tata pamer di ruang tersebut
belum terkonsep dengan baik. Oleh karena itu dibutuhkan konsep untuk menata
ulang ruang tersebut agar deradikalisasi terorisme dapat tersampaikan dengan baik
ke masyarakat. Tesis ini menggunakan metode kualitatif dan menerapkan teori
memori kolektif dan teori pendidikan konstruktif yang disesuaikan dengan
kebutuhan untuk menciptakan sebuah ruang yang mampu menciptakan suasana
kontemplatif bagi masyarakat yang datang.

ABSTRACT
This thesis discusses on de-radicalization of terrorism applied through Special
Detachment 88 AT space at the Museum of Indonesian National Police. Terrorism
has evolved into a never-ending problem in Indonesia. The expanding of terrorism
is considered because of the uneffectivenes of the eradiction method that has been
performed, which is a represif law enforcement. To overcome this, the
Government through Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (the Indonesian
National Counter Terrorism Agency, BNPT), has a program to counter terrorism
with a new approach, emphasizing on soft and soul approach, which is the deradicalization.
Deradicalization carry out by Indonesian National Police and
cooperate with various institutions and relevant ministries. As a part of Indonesian
National Police, The Museum of Indonesian National Police has a social
responsibility to increase the public awareness about terrorism issue through
Special Detachment 88 AT space. By that, society will have a comprehensive
understanding which is part of the de-radicalization effort. However, Special
Detachment 88 AT space at the museum is considered not been able to implement
the program because the exhibition design is not well conceptualized. Therefore,
it takes a concept to rearrange the space so the de-radicalization of terrorism can
be conveyed properly to the public. This thesis uses a qualitative method and
apply the collective memory theory also the theory of constructive education
adjusted to the need of a space that is able to create a contemplative atmosphere
for the people who come."
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia, 2014
T42045
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Reeza Andi Nova
"Terorisme merupakan salah satu permasalahan yang sangat serius di Indonesia. Apabila tidak ditanggulangi dan dengan reaksi yang cepat (counter reaction) dapat menjadi sebuah ancaman besar bagi stabilitas dan keamanan baik nasional maupun regional. Kebijakan Pemerintah Indonesia dalam menanggulangi terorisme melalui pendekatan lunak salah satunya dengan Program Deradikalisasi. Koordinator Deradikalisasi menurut Undang-undang Nomor 5 Tahun 2018 adalah Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) yang didukung oleh beberapa Kementerian dan Lembaga lain. Penelitian ini menemukan adanya kekosongan antara pengaturan terkait deradikalisasi yang diatur dalam Undang-undang dan peraturan turunnya dengan pelaksanaan Deradikalisasi di lapangan. Secara faktual, pelaksanaan deradikalisasi untuk para pelaku tindak pidana terorisme dari tahapan pada status tersangka, terdakwa, terpidana, narapidana hingga mantan narapidana tindak pidana terorisme selama ini dilakukan oleh Densus 88 AT secara intensif. Idealnya, jika pada status tersangka deradikalisasi dilakukan oleh Densus 88 AT, status terdakwa oleh Kejaksaan, terpidana oleh Pengadilan, Narapidana Oleh Lembaga Pemasyarakatan dan mantan narapidana dilakukan oleh BNPT. Selain itu, guna deteksi dini perkembangan jaringan teror didalam maupun diluar Lembaga pemasyarakatan. Sehingga, dipandang penting bahwa personil Densus harus melekat dalam setiap tahapan untuk memberikan rekomendasi yang sesuai. Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif dengan pemilihan informan secara purposive sampling. Hasil penelitian ini menjelaskan bahwa Program Deradikalisasi yang dilakukan oleh densus 88 AT sesuai antara regulasi dan implementasinya. Hal tersebut dilakukan karena adanya kekosongan (gap) antara regulasi dan implementasi Program Deradikalisasi di lapangan dipandang dari sudut pandang normatif, karena Densus 88 AT melakukan pekerjaan melebihi dari yang diamanahi oleh Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2018, namun hal tersebut dianggap baik karena merupakan kebutuhan yang harus dilakukan dalam penanganan terorisme di Indonesia dan mencegah aksi terorisme dimasa depan.

Terrorism is a very serious problem in Indonesia. If not handled and with a quick reaction counter reaction it can become a big threat to stability and security both nationally and regionally. The Indonesian government's policy in tackling terrorism is through a soft approach, one of which is the Deradicalization Program. The Deradicalization Coordinator according to Law Number 5 of 2018 is the National Counter-Terrorism Agency (BNPT) which is supported by several Ministries and other Institutions. This study found a gap between the regulations related to deradicalization regulated in the Act and its regulations and the implementation of deradicalization in the field. Factually, the implementation of deradicalization for perpetrators of criminal acts of terrorism from the stages of the status of suspects, defendants, convicts, convicts to ex-convicts of criminal acts of terrorism has so far been carried out intensively by Densus 88 AT. Ideally, if the status of deradicalization suspect is carried out by Densus 88 AT, the status of defendant is by the Prosecutor's Office, convicted by the Court, Convicts by the Correctional Institution and ex-convicts is carried out by BNPT. In addition, for early detection of the development of terror networks inside and outside prisons. Thus, it is deemed important that Densus personnel must be attached to each stage to provide appropriate recommendations. This study uses a qualitative approach with the selection of informants by purposive sampling. The results of this study explain that the Deradicalization Program carried out by Densus 88 AT is in accordance with the regulation and its implementation. This was done because there was a gap between regulation and the implementation of the Deradicalization Program in the field from a normative point of view, because Densus 88 AT did more work than was mandated by Law Number 5 of 2018, but this was considered good because it was a necessity. that must be done in dealing with terrorism in Indonesia and preventing future acts of terrorism"
Depok: Sekolah Kajian Stratejik dan Global Universitas Indonesia, 2022
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Viora Andari Yasman
"Terorisme merupakan sebuah permasalahan yang selalu menarik perhatian banyak orang. Kerusakan secara materiil bahkan hingga terancamnya nyawa seseorang menjadi hal yang tidak luput dari peristiwa terorisme. Tidak hanya skala kecil, terorisme juga menjadi ancaman untuk skala Internasional. Terbentuk dalam jaringan besar yang bergerak secara diam-diam, kelompok yang memiliki pemikiran dan tujuan ekstrimis ini menjadi salah satu musuh berbahaya di setiap negara. Tragedi pemboman yang terjadi di beberapa wilayah di Indonesia membuat pemerintah harus berfikir tepat dalam melakukan upaya dalam menghadapi kasus terorisme. Tidak hanya undang-undang, bahkan pemerintah juga membentuk suatu badan yang khusus menangani kasus terorisme. Perubahan alur dalam pembentukan undang-undang menjadi pewarna dalam usaha pemerintah untuk menghadapi kasus terorisme. Hal ini pun melahirkan sebuah pertanyaan mengenai seberapa besar efektivitas yang dihasilkan dari upaya yang telah dilakukan oleh pemerintah hingga saat ini dan juga mengenai penerapan penegakan hukum yang ideal berdasarkan UU No.5 Tahun 2018 yang dilakukan oleh POLRI. Berawal dengan dibentuknya Perppu No.1 Tahun 2002 yang membahas akan kasus terorisme dari segi hukum, nyatanya tak menghentikan pergerakan kelompok ekstrimis di Indonesia. Hal ini pun menjadi bahan evaluasi untuk disahkannya Perppu tersebut menjadi UU No. 15 Tahun 2003. Diharapkan menjadi payung hukum yang sah dan menjadi senjata mutakhir dalam menghilangkan terorisme, tak menjadikan UU ini cukup efektif dalam pelaksanaannya. Dengan segala diskusi dan pembahasan, pada akhirnya disahkanlah UU No.5 Tahun 2018 yang hingga saat ini menjadi aturan utama dalam kasus terorisme di Indonesia. Tak selalu berjalan mulus, UU yang disebut sebagai Security Act dan juga Patriot Act yang dalam pelaksanaannya sering mendapat kecaman karena ketidak sesuaiannya dengan Hak Asasi Manusia. Dalam penelitian ini, fokus masalah akan dibahas dengan metode penelitian hukum dengan kajian hukum normatif, empiris dan implementasi. Penelitian ini juga menggunakan teori efektivitas hukum, implementasi hukum dan tujuan hukum yang dikolaborasikan dengan hasil wawancara dan data lainnya hingga menghasilkan analisa data. Sebagai kesimpulannya, ditemukan bahwa dengan proses perubahan pada aturan dan perundang-undangan mengenai kasus terorisme telah menghasilkan perubahan yang signifikan sebagai upaya dalam menghadapi kasus terorisme. Meskipun beberapa upaya teror masih tetap dilakukan di sejumlah wilayah, namun upaya yang dilakukan Densus 88 dalam menangkap sejumlah tersangka yang tergabung dalam kelompok radikal menunjukan perubahan yang signifikan. Hal ini tentunya membantu dalam mengurangi upaya terjadinya peristiwa terorisme. Dengan disahkannya UU No.5 Tahun 2018 yang memberikan wewenang kepada pihak kepolisian untuk melakukan upaya preventif sebagai pencegahan kasus terorisme, memberikan keleluasaan atas penanganan kasus terorisme. Upaya preventif yang dapat dilakukan sebelum terjadinya kasus terorisme memudahkan pihak kepolisian untuk melakukan penyidikan terhadap pihak-pihak yang berkaitan dengan jaringan terorisme. Dengan dilakukannya penyidikan ini, tentunya membantu dalam menguak ide atau rencana yang direncanakan oleh jaringan terorisme tersebut. Sehingga bisa dikatakan pula bahwa UU anti terorisme yang saat ini digunakan telah memberikan dampak yang cukup efektif terhadap permasalahan terorisme di Indonesia . Namun, dalam pelaksanaanya haruslah selalu diperhatikan komponen pelaksanaan dan penggunaan wewenang agar tetap sesuai dengan kaidah Hak Asasi Manusia.

Terrorism is a problem that always attracts the attention of many people. Material damage, even to the point of threatening one's life, is something that is not spared from terrorism. Not only on a small scale, terrorism is also a threat on an international scale. Formed in a large network that moves secretly, this group that has extremist thoughts and goals has become one of the most dangerous enemies in every country. The bombing tragedy that occurred in several regions in Indonesia made the government have to think properly in making efforts to deal with cases of terrorism. Not only laws, even the government has also established a body that specifically handles terrorism cases. Changes in the flow in the formation of laws become coloring in the government's efforts to deal with cases of terrorism. This also raises a question about how much effectiveness has resulted from the efforts that have been made by the government to date and also regarding the ideal implementation of law enforcement based on Law No. 5 of 2018 carried out by POLRI. Starting with the formation of Perppu No. 1 of 2002 which discussed terrorism cases from a legal perspective, in fact it did not stop the movement of extremist groups in Indonesia. This has also become an evaluation material for the ratification of the Perppu to become Law no. 15 of 2003. It is hoped that this law will become a legal umbrella and become the latest weapon in eliminating terrorism, but this law will not be effective enough in its implementation. With all the discussion and discussion, in the end Law No. 5 of 2018 was passed which until now has become the main rule in terrorism cases in Indonesia. It does not always run smoothly, the law which is referred to as the anti-terrorism law is often equated with the anti-subversion law and also the Internal Security Act and the Patriot Act which in their implementation have often been criticize for their incompatibility with human rights. In this study, the focus of the problem will be discussed using legal research methods with normative, empirical and implementation legal studies. This study also uses the theory of legal effectiveness, legal implementation and legal objectives which are collaborated with the results of interviews and other data to produce data analysis. In conclusion, it was found that the process of changing the rules and regulations regarding terrorism cases has resulted in significant changes as an effort to deal with terrorism cases. Although several terror attempts are still being carried out in a number of areas, the efforts made by Densus 88 to arrest a number of suspects belonging to radical groups have shown significant changes. This certainly helps in reducing efforts to occur terrorist incidents. With the passing of Law No. 5 of 2018 which authorizes the police to carry out preventive measures to prevent terrorism cases, it provides flexibility in handling terrorism cases. Preventive efforts that can be carried out before the occurrence of terrorism cases make it easier for the police to carry out investigations of parties related to terrorist networks. By carrying out this investigation, it certainly helps in uncovering ideas or plans planned by the terrorist network. So that it can also be said that the current anti-terrorism law has had a fairly effective impact on the problem of terrorism in Indonesia. However, in its implementation it must always pay attention to the components of the implementation and use of authority so that it remains in accordance with the principles of human rights."
Jakarta: Sekolah Kajian Stratejik dan Global Universitas Indonesia, 2022
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Guntur Wijaya Kesuma
"Resolusi DK PBB 1267 (1999) dan 1373 (2001), menyerukan kepada seluruh negara-negara di dunia untuk memberikan sanksi finansial terhadap kelompok Al-Qaeda dan Taliban, termasuk warga setiap negara yang berafiliasi dan membantu Al-Qaeda dan Taliban. Tahun 2012 FATF kembali menempatkan Indonesia sebagai “Non-cooperative Countries and Territories (NCCTs)”, kali ini berkaitan dengan penanganan tindak pidana pendanaan terorisme, karena menilai regulasi penanganan pendanaan terorisme yang ada di Indonesia belum memenuhi standar internasional yang ditetapkan dalam rekomendasi FATF dan menjadikan Indonesia sebagai negara beresiko tinggi pendanaan terorisme, yang berdampak pada perekonomian Indonesia karena seluruh negara dan institusi keuangan di dunia diminta waspada saat menjalankan hubungan perekonomian terhadap Indonesia. Berdasarkan data yang didapatkan penelitian ini bermaksud menemukan kendala-kendala yang dihadapi pemerintah Indonesia serta memberikan masukan bagaimana membagun kolaborasi antara pemerintah dan unsur lainnya dalam upaya penegahan tindak pidana tindak pidana pendanaan terorisme melalui pembekuan aset individu dan entitas yang tercantum pada Daftar Terduga Teroris dan Organisasi Teroris (DTTOT), sebagaimana Rekomendasi 6 FATF. serta upaya Indonesia menjadi anggota tetap FATF di tahun 2023.

UN Security Council Resolutions 1267 (1999) and 1373 (2001), call on all countries in the world to provide financial sanctions against Al-Qaeda and the Taliban, including citizens of every country affiliated with and helping Al-Qaeda and the Taliban. In 2012 the FATF again placed Indonesia as "Non-cooperative Countries and Territories (NCCTs)", this time relating to the handling of criminal acts of terrorism financing, because it assessed that the regulations for handling terrorism financing in Indonesia did not meet the international standards set out in the FATF recommendations and made Indonesia is a country at high risk of financing terrorism, which has an impact on the Indonesian economy because all countries and financial institutions in the world are asked to be vigilant when carrying out economic relations with Indonesia. Based on the data obtained, this study intends to find the obstacles faced by the Indonesian government and provide input on how to build collaboration between the government and other elements in efforts to prevent criminal acts of terrorism financing through freezing the assets of individuals and entities listed on the List of Suspected Terrorists and Terrorist Organizations (DTTOT), as per FATF Recommendation 6. as well as Indonesia's efforts to become a permanent member of the FATF in 2023,"
Jakarta: Sekolah Kajian Stratejik dan Global Universitas Indonesia, 2022
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Shah, Giriraj
New Delhi: Anmol Publications PVT. Ltd., 2000
R 364.03 SHA e (XIII)
Buku Referensi  Universitas Indonesia Library
cover
Zopfan Aseanata Bayudhita
"Terjadinya perubahan cara manusia dalam berkomunikasi saat ini merupakan buah dari perkembangan teknologi yang sangat pesat. Dalam berkomunikasi, manusia tidak perlu lagi melakukan tatap muka dan penyampaian pesan dapat dilakukan secara cepat dan menjangkau banyak orang. Oleh sebab itu, aplikasi perpesanan instan dan media sosial sangat populer digunakan. Dari berbagai aplikasi perpesanan instan yang populer tersebut, Telegram adalah aplikasi perpesanan instan yang banyak digunakan. Kepopuleran Telegram dengan berbagai fiturnya yang menarik, turut dimanfaatkan oleh teroris untuk menyebarkan propaganda terorisme. Penggunaan Telegram dianggap efektif dan mampu menyasar berbagai kalangan dalam satu waktu. Telegram juga dapat mengamankan pemberi propaganda dari kemungkinan dilacak oleh aparat penegak hukum, karena sifatnya yang anonymous sehingga mereka nyaman dalam menyebarkan propaganda. Maraknya pelaku teror yang melakukan aksi teror setelah sebelumnya teradikalisasi melalui Telegram menjadi permasalahan utama saat ini. Masifnya penyebaran propaganda di Telegram, memberikan andil terhadap timbulnya pemasalahan ini. Oleh sebab itulah, penelitian ini akan membahas bagaimana Detasemen Khusus 88 Anti Teror Polri sebagai aparat penegak hukum yang memiliki kewenangan menangani permasalahan terorisme, menangani propaganda terorisme melalui aplikasi Telegram

Changes in how people communicate is a result of technology developing that grow so fast. Nowadays, when communicate, people do not need to meet directly and the message can spread quickly and reach any social class. That's why, messenger and social media are popular. From various social media and messenger that exists, Telegram is one of the most popular messenger used by people. Telegram popularity with it features, attract terrorist to spread terrorism propaganda through it. Telegram is considered effective and can reach any people in one time. Telegram also can secured the terrorist who give propaganda because Telegram is anonymous so it secure them from being trace by law enforcement and give them convenience to spread the propaganda. The massive number of terrorism propaganda spread through Telegram made the problem for national security. That's why, this research will explain how Detachment 88 Anti Teror as the stakeholder for terrorism, handling this problem."
Jakarta: Sekolah Kajian Stratejik dan Global Universitas Indonesia, 2019
T55471
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Alfredo Benhard Pattiwaellapia
"Ancaman terorisme yang berbasiskan ideologi transnasional telah  masuk melalui penetrasi atau infiltrasi budaya dan agama. Dalam upaya pencegahan radikalisasi, Pemerintah Indonesia mengembangkan program deradikalisasi. Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis strategi deradikkalisasi Densus 88 AT Polri terhadap para mantan pelaku tindak pidana terorisme pada yayasan HWI 19. Program deradikalisasi di Indonesia memiliki empat pendekatan utama, yaitu re-edukasi, rehabilitasi, resosialisasi, dan reintegrasi. Program deradikalisasi yang dilakukan oleh Densus 88 AT Polri pada Yayasan HWI 19 tersebut maka akan berimplikasi pada penurunan angka ancaman terorisme di Indonesia. Namun hal tersebut harus dibarengi dengan kerjasama seluruh stakeholder terkait guna bisa mewujudkan re-integrasi dan re – sosialisasi kepada eks narapidana terorisme untuk bisa diterima kembali ditengah – tengah masyarakatPenelitian ini menggunakan metode penelitian kualitatif dengan teknik pengumpulan data wawancara terhadap beberapa pihak – pihak yang berkompeten dalam upaya program deradikalisasi oleh Densus 88 AT pada yayasan HWI 19

The threat of transnational ideological-based terrorism has entered through the penetration or infiltration of culture and religion. In an effort to prevent radicalization, the government of Indonesia is assigned to develop deradicalization programs. This research aims to analyze the deradicalization strategies of Densus 88 AT (Special Counterterrorism Unit) of the Indonesian National Police towards former perpetrators of terrorism crimes at the HWI 19 Foundation. Deradicalization programs in Indonesia have four main approaches: re-education, rehabilitation, resocialization, and reintegration. The deradicalization program conducted by Densus 88 AT of the Indonesian National Police at the HWI 19 Foundation will have implications for reducing the threat of terrorism in Indonesia. However, this must be accompanied by the collaboration of all relevant stakeholders in order to achieve reintegration and resocialization of former terrorism convicts to be accepted back into society. This research uses a qualitative research method with data collection techniques such as interviews with several competent parties involved in the deradicalization program by Densus 88 AT at the HWI 19 Foundation"
Depok: Sekolah Kajian Stratejik dan Global Universitas Indonesia, 2023
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Jely Agri Famela
"Pelaksanaan program deradikalisasi diharapkan mampu untuk menanggulangi permasalahan terorisme di Indonesia. Penelitian ini membahas tentang pelaksanaan program deradikalisasi yang sudah dilakukan oleh Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) serta pendapat pro dan kontra terhadap pelaksanaan program tersebut.
Kerangka pemikiran yang digunakan dalam penelitian ini adalah konsep-konsep yang terdiri dari terorisme, deradikalisasi dan counter-radicalization. Metode penelitian adalah kualitatif dengan analisis deskriptif-eksplanatif. Teknik penggumpulan data dilakukan melalui wawancara mendalam dengan informan.
Kesimpulan dari penelitian ini memperlihatkan bahwa ada kesenjangan antara konsep deradikalisasi dengan pelaksanaan program deradikalisasi di lapangan BNPT juga mengalami kendala dalam pelaksanaan program deradikalisasinya. Program deradikalisasi BNPT pun memunculkan pro dan kontra yang berindikasi terhadap efektivitas program dalam penanggulangan terorisme di Indonesia.

The implementation of De-radicalization Program by National Counter Terrorism Agency (NCTA) is expected to be able to overcome terrorism in Indonesia. This research will talk about of De-radicalization Program which is already implemented by National Counter Terrorism Agency in Indonesia but with a lot of pros and cons upon its implementation.
This research uses several conceptual frameworks such as terrorism, de-radicalization, and counter-radicalization. This is a qualitative study using descriptive-explanative analysis. The information used in this research was collected through deep interview from the informant.
The research finds that there is a gap between de-radicalization concept and the implementation of de-radicalization program in the field. NCTA also had a lot of obstacles during its implementation. A lot of pros and cons upon De-radicalization program of NCTA was indicated to its effectiveness to counter terrorism in Indonesia.
"
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2013
S46902
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Dikdik M. Arief Mansur
Jakarta: Pensil, 2012
344.598 052 DIK h
Buku Teks SO  Universitas Indonesia Library
cover
Miktha Farid Alkadri
"Tesis ini mengajukan sebuah penelusuran disain berbasis ide void dalam konteks ruang kampung. Ruang kampung yang terdiri dari berbagai aktivitas secara tidak langsung melibatkan berbagai jenis translasi void. Diskursus dalam tesis ini dimulai dengan pemahaman void terhadap persoalan kehadiran dan ketidakhadiran sebagai bentuk kajian representasi ruang. Pendekatan konteks spasial digunakan untuk mencari translasi mekanisme ruang void yang selanjutnya akan menjadi dasar pengembangan metode perancangan. Unsur absence-presence, tangible-intangible menjadi sebuah pengungkapan yang penting dalam penelusuran jejak ruang void ini, hingga pada akhirnya berujung pada mekanisme void sebagai sebuah ketertundaan ruang. Dalam proses ketertundaan itu, bekerja sistem diskontinuitas spasial yang akhirnya mendefinisikan pemaknaan dalam void seperti void as boundary, void as inbetween space, void as intermediary, void as residual space, void as perceptual activity, dan void as servant space. Translasi jenis void ini kemudian membuka kemungkinan yang lain sebagai spatial potential order dalam konteks perancangan ruang kampung. Mekanisme dalam void tersebut menghasilkan beberapa karakter ruang yang digunakan untuk melakukan transaksi ruang terhadap event void yang baru pada konteks. Oleh karena itu, rekonfigurasi event void yang terbentuk dapat membangun sistem ruang void sebagai transformasi ruang potensial dalam kehidupan ruang kampung yang lebih baik. Serta memberikan cara baru dalam melihat investigasi mekanisme pengungkapan ruang dalam arsitektur.

This thesis proposes a design approach based on the idea of “void” in the context of urban kampung. Urban kampung consists of a series of activities involving the existence of “void” in various meaning. The discourse in this thesis begins with the understanding of void in terms of the presence and the absence matter as form of space representation. Spatial context approach is used to explore the translation of void space mechanism as a basis of developing the design method. The element of presence-absence, tangible-intangible becomes a manifestation in exploring void as the delaying space. In the delaying process, there is a system of spatial discontinuity to define the meaning of void such as void as boundary, void as in-between space, void as intermediary, void as residual space, void as perceptual activity, and void as servant space. The translation of these different kind of void opens the other possibility as spatial potential order in the context of urban kampung. The mechanism of the idea of void produces several space character which is used to explores spatial transaction of the new void event in the spatial context. Therefore, the reconfiguration of void event develops the system of spatial void as a potential space transformation in the better kampung living. It also provides the new ways of seeing spatial investigation mechanism in architecture realm.
"
Depok: Fakultas Teknik Universitas Indonesia, 2013
T34989
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>