Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 196881 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Rike Yolanda Sari
"Tesis ini membahas mengenai analisis fungsi,kewenangan dan kedudukan sebuah Perguruan Tinggi Negeri Badan Hukum (?PTN BH?) dalam konsepsi organ negara. Pemetaan mengenai fungsi, kewenangan dan kedudukan PTN BH diperlukan dalam upaya analisis mengenai fungsi publik sebuah organ negara. Penelitian ini dianalisis secara deskriptif dan sistematis analitis dengan menggunakan pendekatan yuridis normatif. Tujuan pemetaan dalam upaya memposisikan PTN BH sebagai badan hukum publik disamping fungsi lainnya yang utama yaitu sebagai badan hukum. Pemetaan fungsi dianalisis dengan kewenangan law making dan law applying sebagai faktor penentu PTN BH sebagai badan publik, fungsi jabatan publik, fungsi tujuan badan publik serta analisis jabatan publik yang ada pada sebuah organ negara. Setelah mengetahui fungsi dan kewenangan, maka PTN BH dapat diketahui kedudukannya di dalam stuktur kelembagaan negara. Analisis kedua mengenai dampak kedudukan PTN BH di dalam organ negara di dalam tata kelola akademik dan non akademik dalam mewujudkan tujuan otonomi sebuah badan hukum. Analisis ini digunakan untuk melihat fungsi, kewenangan dan kedudukan PTN BH secara menyeluruh pada ketentuan hukum PTN BH di Indonesia sehingga dapat dilihat fungsi yang paling utama dari PTN BH sebagai sebuah badan hukum publik dalam struktur kelembagaan negara.

This thesis discussing on Function, Authority, and Legal Position as a Perguruan Tinggi Negeri Badan Hukum(?PTN BH?) in Conception of State Organ ofThe Constitution of Indonesia. This study analyzed by descriptive and systematic analysis using a judicial normative approach. The first analyze is map the Function, Authority, and Legal Position of PTN BH that required in an attempt analysis of the public functions of State Organ.The mapping purpose is to position of PTN BH as public functions as well as other major function as a legal entity. The mapping functions analyze the authority of law making and law applying as main factor of PTN BH as a public entity, public function, purpose function of public entity, and public position in a State Organ. After knowing the function and the authority, we know the legal position of PTN BH in state organ structure. The second analyze is the impact of legal position of PTN BH as a state organ in academic and non-academic governance to realization the autonomy purpose as a legal entity. This is to analyzed the function, authority and legal position of PTN BH thoroughly PTN BH in Indonesia so the main function of PTN BH as a public legal entity in organ state structure."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2014
T39658
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Septarinda Bella Pramesti
"Skrpsi ini membahas kedudukan hukum Badan Perwakilan Anggota (BPA) sebagai lembaga tertinggi di Perusahaan Asuransi Jiwa Bersama Bumiputera 1912 dalam mengatasi masalah gagal bayar di perusahaan tersebut. Pokok permasalahan dalam skripsi ini adalah 1.Bagaimana kedudukan Badan Perwakilan Anggota secara hukum dalam mengatasi masalah gagal bayar Perusahaan Asuransi Jiwa Bumiputera 1912 ? 2.Bagaimana pengaruh keberlakuan Peraturan Pemerintah Nomor 87 Tahun 2019 tentang Perusahaan Asuransi Berbentuk Usaha Bersama terhadap Kedudukan dari Badan Perwakilan Anggota dalam Perusahaan Asuransi Jiwa Bumiputera 1912 ? 3.Bagaimanakah peran Otoritas jasa Keuangan sebagai lembaga pengawas kegiatan di sektor perasuransian dalam mengatasi masalah gagal bayar di Perusahaan Asuransi Jiwa Bumiputera 1912 ?. Adapun metode peneliltian yang digunakan dalam penulisan penelitian ini adalah yuridis normatif. Hasil penelitian dari skripsi ini adalah secara hukum perusahaan dengan bentuk usaha bersama dan kedudukan Badan Perwakilan Anggota belum secara khusus dan tegas diatur dalam undang-undang. Akan tetapi terdapat Peraturan Pemerintah Nomor 87 Tahun 2019 tentang Perusahaan Asuransi Berbentuk Usaha Bersama yang membahas terkait dengan hal tersebut dan memberikan pengaruh terhadap kedudukan Badan Perwakilan Anggota. Dalam permasalahan ini peran Otoritas Jasa Keuangan dinilai sangat penting. Saran yang dapat disampaikan dari penelitian ini adalah segera dibentuk Undang-Undang yang mengatur secara khusus perusahaan dengan bentuk usaha bersama, khususnya perusahaan asuransi dan diaturnya kedudukan Badan Perwakilan Anggotaatau yang saat ini disebut sebagai Rapat Umum Anggota dalam peraturan perundang-undangan secara tegas. Selain itu, Otoritas Jasa Keuangan diharapkan mampu untuk bersikap lebih tegas kepada pihak-pihak terkait.

This thesis discusses the legal position of Badan Perwakilan Anggota (BPA) as the highest institution in the AJB Bumiputera 1912 company in overcoming the problem of default in the company. The main problem in this thesis is 1.What is the position of Badan Perwakilan Anggota legally in overcoming the problem of default of the AJB Bumiputera 1912 Company? 2.What is the effect of the enforcement of Government Regulation Number 87 of 2019 concerning Insurance Companies in the Form of mutual on the Position of Badan Perwakilan Anggota in the AJB Bumiputera 1912Company? 3.What is the role of the Otoritas Jasa Keuangan as a supervisory agency for activities in the insurance sector in overcoming the problem of default in the AJB Bumiputera 1912 Company? The research method used in writing this research is normative juridical. The result of this research is that legally a company with a mutual business form and the position of Badan Perwakilan Anggota has not been specifically and explicitly regulated by law. However, there is a Government Regulation Number 87 of 2019 concerning Mutual Insurance Companies which discusses related to this matter and has an influence on the position of Badan Perwakilan Anggota. In this matter, the role of the Otoritas Jasa Keuangan is considered very important. Suggestions that can be conveyed from this research is to immediately form a law that specifically regulates companies with mutual, especially insurance companies and regulates the position of Badan Perwakilan Anggota or what is currently referred to as Rapat Umum Anggota in the laws and regulations strictly. In addition, Otoritas Jasa Keuangan is expected to be able to be more assertive with related parties."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2022
SP-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
cover
Miftahul Jannah
"ABSTRAK
Penetapan Undang-undang Nomor 12 Tahun 2012 tentang Pendidikan Tinggi mengamanatkan Universitas Indonesia yang sebelumnya berstatus sebagai Badan Hukum Milik Negara menjadi Perguruan Tinggi Negeri Badan Hukum. Perubahan status perguruan tinggi berdampak pada status kepegawaian di Universitas Indonesia. Tidak terdapat ketentuan aturan hukum mengenai perlindungan hak dan kewajiban bagi pegawai tetap dan pegawai tidak tetap di lingkungan UI. Tumpang tindih antara Undang- Undang Ketenagakerjaan, Statuta Universitas Indonesia, dan Undang-Undang Aparatur Sipil Negara mengakibatkan ketidakjelasan status dan perlindungan hukum pegawai Universitas Indonesia. Masing-masing peraturan tersebut mengatur sistem rekrutmen, jenjang karier, serta hak dan kewajiban pegawai secara berbeda. Dengan demikian, untuk menyelesaikan permasalahan kepegawaian Universitas Indonesia dapat dilakukan dengan menetapkan aturan atau kebijakan Rektor terkait perlindungan hukum pegawai Universitas Indonesia. Perlindungan hukum dimaksud adalah aturan hukum memberikan jaminan atas perlindungan hak-hak pegawai Universitas Indonesia.

ABSTRACT
Application of Law No. 12 of 2012 on Higher Education, University of Indonesia mandates that previously existed as a State-owned Legal Entity (BHMN) into the Higher Education State of Legal Entity (PTN-BH). Status changes of higher education has an impact on employment status at the University of Indonesia. No provisions regarding the rule of law for the protection of the rights and obligations of permanent and temporary employees in UI causing staffing problems. Overlap between the Employment Act, Statute of the University of Indonesia, and the Law of State's Civil Officer lead status, position and legal protection for employees of the University of Indonesia as PTN BH becomes unclear. Each of these regulations regulate the system of recruitment, career path, and the rights and obligations of employees differently. Thus, the staffing problems of University of Indonesia can be resolved by setting up rules and policies related to legal protection of temporary employees of the University of Indonesia. This legal protection explains what Goverment Law guarantees about protection of the rights of permanent and temporary employees of the University of Indonesia.
"
Depok: Universitas Indonesia, 2015
T44350
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Bertha Manimbul Jayanti
"Undang-Undang Migas Tahun 2001 menjelaskan Negara (Pemerintah) turut terlibat dalam penyelenggaraan kegiatan usaha hulu migas. Negara diberikan kewenangan mengusahakan hulu migas dalam bentuk Kontrak Production Sharing (KPS) yang didukung filosofis amanat Pasal 33 ayat (3) UUD 1945. Metode penelitian ini adalah penelitian hukum normatif. Hasil penelitian menunjukkan posisi Negara (Pemerintah) dalam KPS menurut analisis KUHPER adalah seimbang. Negara (Pemerintah) menurut KUHPER diakui sebagai subjek hukum perdata yang dapat turut serta dalam hubungan privat. Adanya keseimbangan posisi berkontrak antara Negara (Pemerintah) dengan kontraktor menurut analisis KUHPER karena KPS tidak bisa terlepas dari syarat subjektif sahnya perjanjian menurut Pasal 1320 KUHPER. Walaupun konsep KPS dikembangkan dari perjanjian bagi hasil menurut hukum adat secara nasional untuk kegiatan usaha hulu migas dari hukum perjanjian dengan pemikiran asas kebebasan berkontrak Pasal 1338 ayat (1) KUHPER tetapi ketika Negara (Pemerintah) hendak ikut terlibat menjadi pengusaha dalam usaha hulu migas maka asas kebebasan berkontrak tidak sepenuhnya diberlakukan bagi Negara (Pemerintah) karena prosedur dan pembuatan KPS tidak bisa lepas dari aspek kepentingan publik. Sedangkan jika melihat posisi Negara (Pemerintah) dalam KPS menurut Undang-Undang Migas No. 22 Tahun 2001 adalah tidak seimbang karena KPS bersifat khusus yang persyaratan formalitasnya tidak bisa lepas dari amanat Pasal 33 ayat (3) UUD 1945 dan karena objek yang diperjanjikan adalah bagi hasil produksi migas. Pembuatan KPS didahulukan pengaturannya secara khusus karena melekatnya tanggungjawab Negara (Pemerintah) terhadap pengusahaan aset publik. Negara (Pemerintah) juga memiliki kapasitas untuk menandatangani KPS karena Negara (Pemerintah) merupakan subjek hukum yang dapat mengembang hak dan kewajiban sama seperti halnya manusia. Negara (Pemerintah) dapat menutup KPS dimana syarat unsur kapasitasnya diukur dari kewenangannya yang melekat pada pengurus yang mewakili badan hukum tersebut. Kepentingan tindakan privat Negara (Pemerintah) diwakili oleh alat-alat atau organ pengurusnya yang mempunyai kewenangan sebagaimana diatur dalam peraturan perundang-undangan. Apabila pengurus yang mewakili kepentingan Negara itu mempunyai kewenangan untuk menandatangani KPS maka Negara mempunyai kapasitas untuk membuat dan menandatangani kontrak.

The Law No. 22/2001 Concerning Natural Oil And Gas defines the State (Government) involved in the operation of oil and gas upstream activities. The State has the authority to exploit the oil and gas in the form of Production Sharing Contract (PSC) which is based by the philosophical mandate of Article 33 (3) The 1945 Constitution. The research method of this study is using a normative legal research. The results of this study indicates that the position of the State (Government) in the PSC by analysing according to the Civil Code has an equal standing. The State (Government) according to the Civil Code is approved by the law as a legal entity and could be bound in a legal relationship. Indicating there is an equal standing between the State (Government) and the contractor in the contract according to Civil Code is wherefore the PSC obliged to fulfill the subjective requirements for the validity of contract under Article 1320 Civil Code. Although the PSC concept was evolved from the sharing agreement under customary law nationally for the upstream oil and gas activities pursuant to the contract law by the principle of freedom of contract Article 1338 (1) Civil Code however when the State (Government) would perform its role as entrepreneur in the upstream oil and gas activites, the principle of the freedom of contract is not fully applicable to the State (Government) since the PSC has also within the aspects of public interest. Whereas the position of the State (Government) in PSC according to the Law No. 22/2001 has not an equal standing since of the special nature of PSC requirements prohibited to contravene the mandate of Article 33 (3) The 1945 Constitution. The PSC's substance is specifically regulated by reason of the State (Government) bear of the responsibility over natural resources. The State (Government) has the capacity to sign the PSC by reason of the State (Government) is also a legal subject has the same rights and obligations as well as natural person. The State (Government) could close the PSC where the State's legal capacity is measured from the public official authorization in representing the State's private acts wherein stipulated accordance to the legislations. When the public official has the authority to represent the State's private act therefore the State holds the legal capacity to enter and bound in a contract.
"
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2014
T41795
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Fajar Perkasa
"Penelitian ini menggunakan penelitian hukum normatif dengan pendekatan yuridis, pendekatan historis, dan pendekatan komparatif. Kewenangan pemberian grasi oleh Presiden yang terdapat dalam Pasal 14 ayat (1) UUD 1945 merugikan korban, termasuk keluarga korban dan masyarakat, karena korban sebagai pihak yang paling dirugikan tidak memiliki peran apapun dalam pengambilan keputusan pemberian grasi. Konsep pemberian pengampunan yang tidak mengabaikan hak korban kejahatan adalah konsep pemberian pengampunan yang sesuai dengan hukum Islam dan hukum adat. Berdasarkan Dekrit Presiden 5 Juli 1959, Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945, serta Pasal 29 ayat (1) dan (2) Undang-Undang Dasar 1945, Syariat Islam wajib diberlakukan terhadap orang Islam. Kewenangan pemberian grasi oleh Presiden bertentangan dengan konsep pemaafan terhadap tindak pidana hudud, qishash dan diyat dalam Syariat Islam, tetapi tidak bertentangan dengan konsep pemaafan terhadap tindak pidana ta'zir. Kewenangan tersebut juga tidak sesuai dengan konsep negara republik yang berintikan demokrasi sebagai lawan dari kediktatoran, serta sistem pemerintahan presidensiil yang memberikan kewenangan kepada kepala negara sekaligus sebagai kepala pemerintahan yang memungkinkan terjadinya campur tangan kekuasaan eksekutif terhadap putusan hakim yang bertentangan dengan teori pemisahan kekuasaan. Tujuan negara hukum, pembentukan konstitusi, dan pemisahan kekuasaan diantaranya mencegah perbuatan sewenang-wenang penguasa dan menjamin hak-hak rakyat. Kewenangan pemberian grasi oleh Presiden selain membuka peluang terjadinya kesewenang-wenangan, juga melanggar hak asasi manusia, diantaranya hak korban, termasuk keluarga korban dan masyarakat. Hak memperoleh keadilan dan hak beragama menekankan bahwa konsep pemberian pengampunan harus memperhatikan korban dan pelaku kejahatan secara seimbang. Pasal 14 ayat (1) UUD 1945 dan UU tentang Grasi harus disesuaikan agar tidak bertentangan dengan Pembukaan UUD 1945 dan Konsep Negara Kesatuan Republik Indonesia. Terdapat dua alternatif konsep dalam merumuskan dan/atau mengubah peraturan perundang-undangan terkait dengan grasi yakni konsep unifikasi hukum dan konsep pemisahan hukum. Pemberian pengampunan terkait dengan tindak pidana hudud dan qishash tidak boleh bertentangan dengan hukum Islam bagi orang Islam, dan hukum adat bagi orang non-Islam. Terkait dengan tindak pidana ta'zir, kewenangan pemberian pengampunan sebaiknya diberikan kepada hakim agar sesuai dengan tujuan negara hukum, pembentukan konstitusi, dan pemisahan kekuasaan.

This research using normative law research with juridical approach, historical approach, and comparative approach. The authority of pardon granted by President regulated in Article 14 paragraph (1) Constitution 1945 is giving great loss to the victim, including their family and to the society, since the victim as the most suffering side has no role in the process of pardon. Pardon concept where the rights of victim were not neglected is appropriate with Islamic law and Adat law. According to President Decree July 5th, 1959, Preambule of Constitution 1945, and Article 29 paragraph (1) and (2) of Constitution 1945, Islamic syariah shall applicated to all muslim. The authority of pardon granted by President is contradicted with the concept of pardon as in Hudud criminal act, Qishash, and Diyat in Syariah, but not contrary to Ta?zir criminal act. Those authority also not suitable with the Republic State concept with democracy as the core as the opponent of dictatorship, and Presidential government system which giving the authority to the head of state as well as to the head of government which make the executive power participate in judicial verdict which make it contrary to the theory of power separation. The aim of law state, formation of constitution, and separation of power are made to restrain arbitrariness of the ruler and ensure the rights of people. The authority of pardon granted by President, besides open the opportunity for arbitrariness also contravene with human rights, some of them are victim rights, including their family and society. Right to obtain justice and Right in religion emphasize the concept of pardon must giving equal position to the victim and the perpetrator as well. Article 14 paragraph (1) Constitution 1945 and Pardon Act shall be adjusted to make sure it will not contradicted with Preambule of Conitution 1945 and the concept of Negara Kesatuan Republik Indonesia. There are two alternative concepts for the formulation and/or regulation amendment of pardon, they are unification and separation of law concepts. Pardon related to Hudud criminal act and Qishash should not be contradicted with Islamic law for muslim, and Adat law for non-muslim. While related to Ta'zir criminal act, the authority of pardon shoud be given to judges to ensure the aim of law state, formation of constitution, and separation of power"
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2016
T46728
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Anggria Septariani
"Di dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2014 tentang Aparatur Sipil Negara tidak mengenal istilah pegawai honorer, pegawai tidak tetap, tenaga kerja sukarela, ataupun sejenisnya. Undang-Undang tersebut hanya menyebutkan pegawai aparatur sipil negara hanya terdiri atas pegawai negri sipil dan pegawai pemerintah dengan perjanjian kerja. Sehingga status hukum dari pegawai pemerintah bukan APARATUR SIPIL NEGARA yang sebelumnya dikenal didalam peraturan sebelumnya menjadi hilang. Metode penelitian yang digunakan adalah yuridis normatif dengan menganalis dari peraturan perundangundangan khusunya di bidang kepegawaian. Di dalam peraturan perundang-undangan sebelum lahirnya Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2014 Tentang Aparatur Sipil Negara, pejabat yang berwenang dapat mengangkat pegawai selain dari pegawai negeri sipil sepanjang dibutuhkan oleh instansi pada pemerintahan tersebut baik di instansi pemerintah pusat maupun di daerah. Sehingga dengan lahirnya Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2014 pegawai pemerintah bukan aparatur sipil negara menjadi tidak diatur keberadaannya. Seharusnya ada kebijakan dari pemerintah untuk mengakomodasi dari polemik yang ada pada pegawai pemerintah bukan aparatur sipil negara tersebut

In Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2014 tentang Aparatur Sipi Negara, the term honorary employees, non-permanent employees, voluntary workers, or the like is not recognized. The law only states that state civil servants only consist of civil servants and government employees with work agreements. So that the legal status of non-APARATUR SIPIL NEGARA government employees previously known in the previous regulations was lost. The research method used is normative juridical by analyzing the laws and regulations, especially in the field of personnel. In the laws and regulations prior to the enactment of the APARATUR SIPIL NEGARA Law, authorized officials can appoint employees other than civil servants as long as required by the agency in the government, both in central and regional government agencies. So with the enactment of Undang- Undang Nomor 5 Tahun 2014 Tentang Aparatur Sipil Negara government employees not state civil servants are not regulated. There should be a policy from the government to accommodate the polemics that occur in government employees, not the state civil apparatus."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2021
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Hanifah Rizmadeta
"UU Cipta Kerja mengubah beberapa pengaturan perizinan, termasuk perizinan bangunan gedung. Tahun 2021 lalu, MK mengeluarkan Putusan MK No. 91/PUUXVIII/2020 yang menyatakan bahwa UU Cipta Kerja inkonstitusional bersyarat sehingga pelaksanaan UU Cipta Kerja yang berkaitan dengan hal-hal strategis dan berdampak luas harus ditangguhkan termasuk membentuk peraturan pelaksana baru. Dalam pengimplementasiannya, penyelenggaraan PBG mengalami kendala di daerah, dalam penelitian ini adalah Kota Serang. Penelitian dilakukan dengan metode yuridis-normatif dengan alat pengumpulan data berupa studi dokumen yang terdiri atas bahan hukum primer dan sekunder, serta wawancara dengan pihak terkait. Dalam penelitian ini, kewenangan pemerintah dalam penyelenggaraan PBG setelah UU Cipta Kerja masih menjadi kewenangan daerah yang dilaksanakan oleh DPMPTSP. Kewenangan tersebut masih sama dengan regulasi bangunan gedung sebelum UU Cipta Kerja. Hubungan kewenangan pusat dan daerah terlihat dari terintegrasinya pemerintah pusat dan daerah melalui sistem SIMBG yang mana pemerintah pusat dapat melakukan pengawasan langsung terhadap izin yang diterbitkan oleh daerah. Adapun kendala yang dihadapi oleh Kota Serang dalam penyelenggaraan PBG setelah UU Cipta Kerja adalah tidak adanya penyesuaian regulasi daerah terhadap UU terbaru. Sehingga, penyelenggaraan PBG terhambat termasuk penarikan retribusinya yang menyebabkan perolehan PAD menurun. Putusan MK tersebut tidak berimplikasi terhadap pembentukan regulasi PBG di daerah mengingat pemerintah daerah hanya melaksanakan kebijakan yang sudah ditetapkan dalam beberapa peraturan pelaksanaan UU Cipta Kerja. Oleh sebab itu, penulis berharap Kota Serang dapat segera mengesahkan Perda PBG yang telah disesuaikan dengan UU Cipta Kerja dan peraturan turunannya. Hal tersebut sebagai solusi permasalahan penyelenggaraan PBG di daerah terutama dalam hal retribusi.

Law of the Job Creation led to changes in building permit regulation. In 2021, the Constitutional Court of Indonesia issued Constitutional Court Decision No. 91/PUU-XVIII/2020 which stated that the Law of the Job Creation was unconstitutional so its implementation related to strategic matters and had a broad impact should be suspended, including forming new implementing regulations. There are some constraints on the level of local government in the implementation of building permits. This research uses juridical-normative methods with data collection tools in the form of document studies consisting of primary and secondary legal materials, as well as conducting interviews with related informants. In this research, implementation of PBG after the Law of the Job Creation is still a regional authority implemented by DPMPTSP. This authority is still the same as the building regulations before the Law of the Job Creation. The relationship between central and regional authorities can be seen from the integration governments through the SIMBG system where the central government can conduct direct supervision of permits issued by the regions. The constraints faced by local governments is there are no regulatory adjustments in the regional level. This caused the issuance of building permits to be obstructed including the retribution that reduced regional revenues. The Constitutional Court's decision has no implications for the implementation of PBG in the regions considering that local governments just implement policies that have been stipulated in several implementing regulations of Law of the Job Creation. Therefore, the author hopes that Serang City can immediately establish PBG Regulation which has been adjusted to the new regulations.
"
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2022
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Mahyudin
"Pembentukan Mahkamah Konstitusi (MK) berdasarkan perubahan ketiga UUD NRI 1945 sebagai lembaga baru dalam melaksanakan fungsi kekuasaan kehakiman di samping Mahkamah Agung (MA). Kewenangan yang dimiliki oleh MK berbeda dengan kewenangan yang dimiliki MA yang menguji peraturan perundang-undangan di bawah undang-undang terhadap udang-undang. Kewenangan MK sebagaimana dalam Pasal 24C ayat (1) dan (2) UUD 1945 adalah (i) MK berwenang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk menguji undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar, memutus sengketa kewenangan lembaga negara yang kewenanganya diberikan oleh Undang-Undang Dasar, memutus pembubaran partaipolitik, dan memutus perselisihan tentang hasil Pemilihan Umum; (ii) MK wajib memberikan putusan atas pendapat Dewan Perwakilan Rakyat mengenai dugaan pelanggaran oleh Presiden dan/atau Wakil Presiden menurut Undang-Undang Dasar. Kewenangan yang diberikan oleh UUD tersebut hanya untuk menguji konstitusionalitas UU terhadap UUD dan tidak diberikan kewenangan pengujian terhadap peraturan perundang-undangan lainnya. Pengujian Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perpu) Nomor 4 Tahun 2009 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi oleh MK melalui putusan perkara Nomor 138/PUU-VII/2009 telah menimbulkan perbedaan pendapat tidak hanya dikalangan para hakim MK melainkan juga para ahli-ahli hukum terlebih lagi pengujian Perpu tersebut MK menyatakan berwenang melakukan pengujian dan bahkan putusan tersebut telah dijadikan yurisprudensi dan diikuti oleh hakimhakim konstitusi selanjutnya dalam memutus setiap permohonan pengujian Perpu terlihat dalam berbagai putusan MK dengan menggunakan pertimbangan hukum yang terdapat pada putusan Pengujian Perpu Nomor 4 Tahun 2009 dan dengan dasar pertimbangan itu menyatakan MK berwenang melakukan pengujian Perpu. Terhadap kewenangan yang diperoleh MK melalui penafsiran pengujian Perpu telah memperluas kewenangan yang dimilikinya yang tidak hanya terbatas pada penggujian UU namun telah bertambah dengan pengujian Perpu terhadap UUD yang sebetulnya kewenangan pengujian Perpu merupakan kewenangan DPR sebagai pembentuk UU sesuai ketentuan Pasal 22 UUD 1945. Perbandingan dengan negara-negara lain berkaitan kewenangan MK menguji Perpu, dari keempat negara yakni Jerman, Korea Selatan, Thailand dan Italia menunjukan tiga negara yakni Jerman, Korea Selatan dan Italia tidak memiliki kewenangan untuk menguji Perpu sementara satu negara yakni Thailand kewenangan MK hanya dapat menguji rancangan peraturan darurat/Perpu.

The establishment of the Constitutional Court (MK) by the third amendment to the Constitution NRI 1945 as a new institution in carrying out the functions of the judicial power in addition to the Supreme Court (MA). Authority possessed by the Court is different from the authority possessed MA examine the legislation under laws against shrimp reserved. The authority of the Constitutional Court as in Article 24C paragraph (1) and (2) of the 1945 Constitution are: (i) the Court authority to hear at the first and last decision is final for a law against the Constitution, rule on the dispute the authority of state institutions are an arbitrary granted by the Constitution, to decide the dissolution partaipolitik, and to decide disputes concerning the results of the General Election; (ii) The Court shall give a decision on the opinion of the House of Representatives regarding the alleged violations by the President and / or Vice President by the Constitution. The authority granted by the Constitution just to test the constitutionality of laws against the Constitution and not be authorized tests on other legislation. Testing Government Regulation in Lieu of Law (decree) No. 4 of 2009 regarding the Commission for Corruption Eradication by the Court through a ruling Case Number 138 / PUU-VII / 2009 has caused dissent not only among the judges of the Constitutional Court, but also the legal experts moreover testing the decree of the Constitutional Court states the authority to conduct testing and even the decision has been made jurisprudence and followed by the judges of the constitution later in deciding each petition decree seen in various decision of the Court using legal considerations contained in the decision of Testing Regulation No. 4 of 2009 and with the consideration that the Court declare decree authorized to conduct testing. Against the authority acquired through the interpretation of the Constitutional Court decree has expanded testing of its authorities are not just limited to penggujian Act but has increased with the testing decree against the Constitution are actually testing decree authority is the authority of Parliament as former Act in accordance with Article 22 of the 1945 Constitution Comparison with the state Other related MK-state authorities test the decree, from the four countries namely Germany, South Korea, Thailand and Italy showed three countries, namely Germany, South Korea and Italy do not have the authority to examine the decree while the Court states that the Thai authorities can only test the draft emergency ordinance/Perpu."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2016
T44831
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Fika Candra
"Direktorat Jenderal Pajak (DJP) masih memiliki keterbatasan kewenangan. Penelitian ini akan membahas terkait peningkatan kewenangan DJP berdasarkan standar OECD. Peningkatan kewenangan yang dimaksud antara lain pembuatan peraturan pelaksanaan perpajakan, penetapan sanksi administrasi, penetapan standar pelayanan, manajemen anggaran, perencanaan struktur organisasi, dan manajemen SDM dalam proses rekrutmen pegawai. Metode penelitian yang digunakan adalah penelitian kualitatif dengan jenis penelitian deskriptif. Data kualitatif diperoleh melalui studi literatur dan wawancara mendalam. Berdasarkan penelitian, diperoleh hasil bahwa kewenangan DJP saat ini masih terbatas dan perlu adanya peningkatan kewenangan DJP dengan mempertimbangkan kesiapan dari DJP.

The Directorate General of Taxes has limited authority. This research will discuss the measures on how to increase the authority of the Directorate General of Taxes based on the OECD standard. Improvement of the authority covers tax law interpretation designing, penalties and interest, performance standard setting, budget expenditure management, organization and planning, and human resource management in recruitment process. This research uses descriptive qualitative with research design. We uses the study of literature and deep interviews to obtain the data. Based on the research, the author conclude that the Directorate General of Taxes’s authority is still limited, and it needs to be increased by considering the readiness of the Directorate General of Taxes."
Depok: Fakultas Ilmu Administrasi Universitas Indonesia, 2014
S55685
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>