Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 160202 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Agnes Minarni
"Latar Belakang: Penggunaan deksmedetomidin dengan bolus awal memiliki efek samping seperti transient hypertension, bradikardi dan hipotensi. Penggunaan deksmedetomidin intravena dosis rendah diharapkan tidak menimbulkan efek samping namun diharapkan tetap memberikan efek sedasi yang baik untuk premedikasi pasien yang akan menjalani anestesia umum dibandingkan midazolam sebagai kontrol.
Metode: pada uji klinik dengan randomisasi tersamar ganda ini, 80 pasien yang menjalani pembedahan elektif di RSUPN Dr. Cipto Mangunkusumo dibagi menjadi 2 kelompok yang mendapatkan regimen premedikasi yang berbeda. Kelompok deksmedetomidin mendapatkan deksmedetomidin 0,3 µg/kgbb/jam intravena selama 15 menit dosis tunggal dikuti NaCl 0,9% 2ml intravena bolus, sedangkan kelompok midazolam mendapatkan NaCl 0,9% 20ml intravena selama 15 menit diikuti midazolam 0,05 mg/kgbb dosis tunggal. Kedua kelompok kemudian menjalani prosedur induksi, laringoskopi-intubasi yang sama. Tingkat sedasi pada menit ke-20 setelah obat mulai diberikan akan dibandingkan. Tingkat sedasi disebut baik bila berada pada Ramsay Sedation Scale 2.
Hasil: Terdapat perbedaan tingkat sedasi yang bermakna secara statistik (p<0,005) yaitu dari 40 pasien yang mendapatkan deksmedetomidin semuanya (100%) berada pada Ramsay Sedation Scale 2, sedangkan dari 40 pasien yang mendapatkan midazolam 25 pasien berada pada Ramsay Sedation Scale 2 (62,5%), dan 15 pasien berada pada Ramsay Sedation Scale 3 (37,5%).
Kesimpulan: Deksmedetomidin dosis 0,3 µg/kgbb/jam intravena selama 15 menit dosis tunggal memiliki tingkat sedasi yang lebih baik daripada midazolam 0,05 mg/kgbb intravena.

Background: The administration dexmedetomidine using loading dose have some undesirable effects such as transient hypertension, bradycardia and hypotension. The use of low-dose dexmedetomidine single infusion was proposed to avoid those undesirable effects but still provide goodsedation effects for premedication, compared to midazolam as a control, for patients undergoing general anesthesia.
Method: in this randomized double-blind trial, 80 patients planned for elective surgery in RSUPN Dr. Cipto mangunkusumo were enrolled and divided into 2 groups receiving different premedication regimens. The dexmedetomidine group got 0.3 micrograms/kg/hour infusion in 15 minutes followed by a single bolus of 2ml NaCl 0.9%, while the midazolam group got 20ml of NaCl 0.9% infusion in 15 minutes followed by single bolus of midazolam 0.05 milligram/kg. The level of sedation at minute 20 after the start of drug administration was compared. Both groups then underwent the same induction, laryngoscopy and intubation procedures. The level of sedation is stated good when The Ramsay Sedation Scale is 2.
Results: all 40 patients (100%) in the dexmedetomidine group were on Ramsay Sedation Scale 2 while in the midazolam group 25 patients werw on Ramsay Sedation Scale 2 (62.5% ), and 15 patients were in the Ramsay Sedation Scale 3 (37.5%) and statistically there was a significant difference (p<0.005).
Conclusion: Dexmedetomidine 0.3 micrograms/kg/hour single infusion in 15 minutes provide a better level of sedation than midazolam 0.05 milligram/kg single bolus.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2014
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Nismara Datyani
"Latar Belakang Nyeri merupakan salah satu gejala yang paling banyak dirasakan pasien sesudah menjalani operasi. Sebanyak lebih dari 80% pasien melaporkan nyeri akut pascabedah. Nyeri akut pascabedah dipengaruhi oleh banyak faktor preoperatif seperti usia, jenis kelamin, komorbiditas, tingkat pendidikan, jenis analgesia, nyeri prabedah, dan jenis pembedahan. Maka dari itu, peneliti ingin menginvestigasi faktor-faktor yang memengaruhi derajat nyeri akut pascabedah elektif pada pasien dewasa di RSUPN Dr. Cipto Mangunkusumo. Metode Penelitian kohort retrospektif dilakukan dengan mengambil rekam medis pada bulan 15 Juni—14 Juli 2022. Didapatkan sejumlah 137 sampel yang memenuhi kriteria inklusi dan eksklusi. Data rekam medis dianalisis dengan uji Chi-square untuk melihat hubungannya. Hasil Faktor preoperatif yaitu jenis analgesia dan nyeri prabedah bermakna signifikan secara statistik terhadap derajat nyeri akut 24 jam pascabedah (p<0,05). Faktor lain seperti usia, jenis kelamin, komorbiditas, dan tingkat pendidikan tidak memiliki hubungan bermakna yang signifikan terhadap derajat nyeri akut 24 jam pasacabedah (p>0,05). Kesimpulan Faktor preoperatif seperti jenis analgesia dan nyeri prabedah mampu memengaruhi derajat nyeri akut 24 jam pascabedah elektif pada pasien dewasa di RSUPN Dr. Cipto Mangunkusumo.

Introduction Pain is one of most common symptoms experienced by patients after undergoing surgery. More than 80% of patients report acute postoperative pain. Acute postoperative pain if influenced by many preoperative factors, such as age, gender, comorbidities, education level, type of analgesia, preoperative pain, and types of surgery. Therefore in this study, researcher wants to investigate the factors that influence the degree of acute postoperative pain after elective surgery in adult patients at RSUPN Dr. Cipto Mangunkosomo. Methods A retrospective cohort study was conducted by taking medical records from 15 June to 14 July 2022. A total of 137 samples that met the inclusion and exclusion criterias were obtained. Medical records data was analyzed using the Chi-square test to see the relationship between factors and acute postoperative pain. Results Preopetaive factors, such as the type of analgesia and preoperative pain, were statistically significant on the degree of acute pain 24 hourse after surgery (p<0,05). Other factors such as age, gender, comorbidities, and education level do not have a significant relationship to the degree of acute pain 24 hours after surgery (p>0,05). Conclusion Preoperative factors such as the type of analgesia and preoperative pain can influence the degree of acute pain 24 hours after elective surgery in adult patients at RSUPN Dr. Cipto Mangunkusumo."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2023
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Dian Rosanti Khalid
"Latar Belakang : Tingkat kepuasan pasien merupakan salah satu indikator kualitas pelayanan anestesia, baik rawat inap maupun rawat jalan. Bedah rawat jalan menawarkan banyak kelebihan dibandingkan rawat inap, sehingga berkembang sangat pesat di Indonesia khususnya di RSUPN Cipto Mangunkusumo Jakarta dan sebagian besar jenis anestesia pada bedah rawat jalan adalah anestesia umum. Perkembangan ini harus diimbangi dengan peningkatan kualitas pelayanan anestesia. Oleh karena itu perlu dilakukan penilaian terhadap tingkat kepuasan pasien dan faktor-faktor yang memengaruhinya. Tingkat kepuasan pasien dapat memberikan feedback untuk meningkatkan kualitas pelayanan anestesia pada instalasi bedah rawat jalan.
Tujuan : Mengetahui tingkat kepuasan pasien yang menjalani anestesia umum pada instalasi bedah rawat jalan di RSUPN Cipto Mangunkusumo dan faktor yang memengaruhinya.
Metode : Penelitian ini adalah penelitian potong lintang. Dilakukan penilaian tingkat kepuasan pada 76 pasien dengan menggunakan kuesioner yang telah divalidasi. Kriteria penerimaan adalah usia 18-65 tahun yang menjalani pembiusan umum pada instalasi bedah rawat jalan di RSUPN Cipto Mangunkusumo Jakarta, dapat berbahasa Indonesia, membaca dan menulis, bersedia berpartisipasi dan menandatangani surat persetujuan penelitian, pulang dihari yang sama setelah pembedahan atau dirawat kurang dari 24 jam. Hasil kuesioner akan diolah menggunakan perangkat lunak SPSS dengan uji univariat dan bivariat.
Hasil : Uji univariat menunjukkan tingkat kepuasan pasien terhadap anestesia umum rata-rata diatas 70 %. Sedangkan dari uji bivariat, faktor yang berpengaruh terhadap tingkat kepuasan pasien adalah usia, jenis kelamin dan pekerjaan.
Kesimpulan : Pasien merasa puas terhadap pelayanan anestesia umum pada instalasi bedah rawat jalan di RSUPN Cipto Mangunkusumo Jakarta. Karakteristik pasien yang memengaruhi tingkat kepuasan pasien adalah usia, jenis kelamin dan pekerjaan.

Background : Patient satisfaction has been one of quality indicators in anesthesia services whether it is inpatient or outpatient. Ambulatory surgery offers more advantages compares to inpatient services, thus it developed nicely in Indonesia especially in RSUPN Cipto Mangunkusumo Jakarta where most patients undergone general anesthesia. This development is yet to be offset by improvement in anesthesia quality services. Thus, it is needed to assess patient satisfaction and factors. Patient satisfaction can give feedback to improve quality of anesthesia services in ambulatory surgery.
Purpose : The purpose of this study was to know patient satisfaction toward general anesthesia and influencing factors in ambulatory surgery RSUPN Cipto Mangunkusumo Jakarta.
Methods : This is a cross sectional study. Patient satisfaction was assessed in 76 patients using validated questionnaire. The inclusion criteria were age 18-65 undergoing general anesthesia in Ambulatory Surgery, Bahasa speaking, able to read and write, and agreed to participate in this study by signing research consent and discharged on the same day or hospitalized less than 24 hours after surgery. Result was processed using SPSS with univariate and bivariate test.
Results: Univariate test showed patient satisfaction toward general anesthesia was above 70%. While Bivariate test indicated factors influencing patient satisfaction were age, gender and occupation.
Conclusion : Patients were satisfied with general anesthesia services in Ambulatory Surgery RSUPN Cipto Mangunkusumo Jakarta. Patient characteristics influencing patient satisfaction were age, gender and occupation.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2016
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Affan Kalik
"Latar belakang. Obat sedasi yang digunakan pada anak yang menjalani magnetic resonance imaging (MRI) diharapkan memiliki efek samping minimal dengan waktu mula kerja dan waktu pulih yang cepat. Rute pemberian obat pada anak sebaiknya minimal invasif. Penelitian ini bertujuan membandingkan efektivitas sedasi deksmedetomidin intranasal dosis 2 mcg/kg dan 4 mcg/kg pada anak yang menjalani MRI.
Metode. Penelitian ini merupakan uji klinis acak tersamar tunggal terhadap pasien anak yang menjalani MRI di Ruang MRI RSUPN Cipto Mangunkusumo pada bulan Februari-April 2019. Sebanyak 94 pasien diambil dan dirandomisasi menjadi dua kelompok. Kelompok DIN2 (n=47) mendapatkan sedasi deksmedetomidin intranasal 2 mcg/kg, sedangkan kelompok DIN4 (n=47) mendapatkan sedasi deksmedetomidin intranasal 4 mcg/kg. Kedalaman sedasi diukur menggunakan skor sedasi Ramsay. Heart rate (HR), saturasi oksigen dan skor sedasi Ramsay dinilai sebelum induksi dan setiap 10 menit setelah pemberian obat sedasi. Analisis data menggunakan uji-t tidak berpasangan atau Mann-Whitney.
Hasil. Waktu mula kerja sedasi deksmedetomidin intranasal 4 mcg/kg (23,00 (18,00-27,00) menit) lebih cepat dibandingkan deksmedetomidin 2 mcg/kg (26,00 (21,00-29,00) menit) (p <0,001). Waktu lama kerja sedasi deksmedetomidin intranasal 4 mcg/kg (47,00 (41,00-53,00) menit) lebih lama dibandingkan deksmedetomidin 2 mcg/kg (34,00 (30,00-37,00) menit) (p <0,001). Waktu pulih sedasi antara deksmedetomidin intranasal 2 mcg/kg (10,00 (5,00-15,00) menit) dan 4 mcg/kg (10,00 (5,00-15,00) menit) tidak berbeda bermakna (p 0,774). Tidak ada perbedaan efek samping sedasi antara kedua kelompok penelitian. Tidak ada perbedaan kebutuhan rescue dose propofol antara kedua kelompok penelitian.
Simpulan. Sedasi deksmedetomidin intranasal 4 mcg/kg tidak lebih efektif dibandingkan deksmedetomidn intranasal 2 mcg/kg pada anak yang menjalani MRI.

Background. Anaesthetic agents used in pediatric patients undergoing magnetic resonance imaging (MRI) should have minimal adverse effects with rapid onset of induction and recovery time. The administration route in pediatric should be minimally invasive. This study aimed to compare the effectiveness of intranasal dexmedetomidine sedation at dose of 2 mcg/kg and 4 mcg/kg in pediatric undergoing MRI.
Methods. This study was a single blind randomized clinical trial in pediatric patients undergoing MRI at Cipto Mangunkusumo General Hospital in February-April 2019. Ninety-four patients were recruited and randomized into two groups. Group DIN2 (n = 47) received intranasal dexmedetomidine at dose of 2 mcg/kg, while Group DIN4 (n = 47) received intranasal dexmedetomidine at dose of 4 mcg/kg. Depth of sedation was measured using Ramsay Sedation Scale. Heart rate (HR), oxygen saturation and Ramsay Sedation Scale scores were assessed before the induction and every 10 minutes after administration of sedation agents. Data analysis using unpaired t-test or Mann-Whitney.
Results. Onset time of intranasal dexmedetomidine sedation at dose of 4 mcg/kg (23.00 (18.00-27.00) minutes) is faster than dexmedetomidine at dose of 2 mcg/kg (26.00 (21.00-29.00) minutes) (p <0.001). Duration time of intranasal dexmedetomidine sedation at dose of 4 mcg/kg (47.00 (41.00-53.00) minutes) is longer than dexmedetomidine at dose of 2 mcg/kg (34.00 (30.00-37.00) minutes) (p <0.001). Recovery time of sedation between intranasal dexmedetomidine at dose of 2 mcg/kg (10.00 (5.00-15.00) minutes) and 4 mcg/kg (10.00 (5.00-15.00) minutes) were not statistically different (p 0.774). There were no differences in adverse effects of sedation between the two study groups. There were no differences in the need of rescue dose requirements between the two study groups.
Conclusion. Intranasal dexmedetomidine sedation at dose of 4 mcg/kg is not more effective than intranasal dexmedetomidine at dose of 2 mcg/kg in children undergoing MRI."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2019
T58693
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Fitria
"Latar Belakang: Secara global, jumlah penduduk usia lanjut terus meningkat yang diiringi dengan jumlah pasien usia lanjut yang menjalani pembedahan juga meningkat. Pasien usia lanjut memerlukan perhatian khusus dalam persiapan, saat pembedahan dan pasca pembedahan karena kemunduran sistem fisiologis dan farmakologi sehingga lebih berisiko mengalami komplikasi.
Tujuan: Mendapatkan angka mortalitas, model prediksi, serta performa model prediksi pasien usia lanjut yang menjalani pembedahan elektif di RSCM. Metode: Penelitian menggunakan desain kohort retrospektif dengan metode sampling konsekutif. Data sekunder rekam medis pasien usia lanjut yang menjalani pembedahan elektif di RSCM periode Januari 2015-Desember 2017 dianalisis dengan program statistik SPSS Statistics 20.0 untuk analisis univariat, bivariat, multivariat, Receiving Characteristics Operator (ROC), dan analisis bootstrapping pada uji kalibrasi Hosmer-Lemeshow.
Hasil: Terdapat 747 subjek penelitian yang dianalisis untuk mendapatkan angka mortalitas dan prediktor yang bermakna untuk disertakan sebagai komponen sistem skor. Sebanyak 108 (14,5%) pasien meninggal pascabedah. Variabel status fungsional, komorbiditas, kadar albumin serum preoperatif, jenis pembedahan, dan status fisik ASA merupakan variabel yang secara statistik independen berhubungan dengan mortalitas. Sistem skor yang dibuat memiliki nilai AUC = 0,900 (KI 95% 0,873-0,927). Kalibrasi sistem skor baik dengan nilai p>0,05. Hasil ini konsisten setelah dilakukan bootstrapping.
Kesimpulan : Angka mortalitas pasien geriatri yang menjalani pembedahan elektif adalah 14,5%. Prediktor dan komponen skor prediksi mortalitas pembedahan elektif pada pasien usia lanjut yaitu status fungsional, komorbiditas, kadar albumin serum preoperatif, jenis pembedahan, dan kategori ASA. Model prediksi memiliki kualitas kalibrasi dan diskriminasi yang baik dan kuat.

Background: Globally, the number of elderly population continues to grow. It is accompanied by the increasing number of older people undergoing surgery. Elderly patients need certain care in preoperative, intraoperative,and postoperative phase since they are more likely to develop postoperative complication due to physiological and pharmacological deterioration. Aim: To get mortality rate, predictive model, and the performance of predictive model in elderly patients undergoing elective surgery in RSCM.
Methods: This study is a retrospective cohort study with consecutive sampling method. Secondary data from patients' medical record who underwent elective surgery from January 2015-December 2017 is analysed using SPSS Statistics 20.0 for univariate, bivariate, multivariate, and Receiving Operator Characteristics (ROC) and SPSS Statistics 20.0 for bootstrapping analysis in Hosmer-Lemeshow calibration test.
Results: All 747 subjects are analysed to get mortality rate and predictor variables that
are statiscally significant included as scoring system components. A hundred eight patients (14.5%) died within thirty days after surgery. Functional status, comorbidities, preoperative serum albumin level, type of surgery, and ASA physical status are independently associated with mortality. A scoring system composed of above predictors has an AUC value at 0.900 (95% CI 0.873-0.927). This scoring system shows good calibration with p>0,05 and this result is consistent even after bootstrapping analysis.
Conclusion: The mortality rate of elderly patients undergoing elective surgery in RSCM is 14.5%. Scoring system for predicting mortality in elderly patients undergoing elective surgery consist of functional status, comorbidities, preoperative serum albumin
levels, type of surgery and ASA physical status. The predictive model shows good calibration and strong discrimination."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2018
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Nina Halimah Sakdiah
"[Pasien hemodialisis dapat mengalami perubahan yang bisa menjadi suatu stresor pada dirinya. Penelitan ini untuk melihat gambaran psikopatologi pada pasien hemodialisis, merupakan penelitian deskriptif analitik menggunakan rancangan penelitian potong lintang dilakukan terhadap pasien di unit hemodialisis RSCM pada bulan Juli-November 2014 menggunakan kuesioner Symptom Check List 90 (SCL-90). Sebagian besar subyek penelitian menunjukkan adanya gambaran psikopatologi (50.5%) dengan gejala terbanyak adalah depresi, gangguan obsesif kompulsif, fobia, ansietas dan gejala tambahan. Terdapat hubungan antara variabel usia (p 0.028), pendidikan (p 0.008) dan pendapatan (p 0.031) dengan munculnya gejala psikopatologi;Hemodialysis patients can undergo changes that could be a stressor in itself. The study is conducted to see the psychopathology features in patients on hemodialysis. The design of the study was a cross-sectional analytic descriptive study which was conducted on patients in hemodialysis units in RSCM on July-November 2014 using Symptom Checklist 90 (SCL-90) questionnaire. Most of the study subjects showed psychopathology features (50.5%) with the prominent symptoms being depression, obsessive compulsive disorder, phobias, anxiety and additional symptoms. There is a correlation between age (p 0.028), education (p 0.008) and income (p 0.031) variables with psychopathology symptoms, Hemodialysis patients can undergo changes that could be a stressor in itself. The study is conducted to see the psychopathology features in patients on hemodialysis. The design of the study was a cross-sectional analytic descriptive study which was conducted on patients in hemodialysis units in RSCM on July-November 2014 using Symptom Checklist 90 (SCL-90) questionnaire. Most of the study subjects showed psychopathology features (50.5%) with the prominent symptoms being depression, obsessive compulsive disorder, phobias, anxiety and additional symptoms. There is a correlation between age (p 0.028), education (p 0.008) and income (p 0.031) variables with psychopathology symptoms]"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2015
T58722
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Nainggolan, Gina Adriana
"Latar Belakang: Kecemasan praoperasi selalu menjadi perhatian bagi pasien maupun dokter anestesiologis dan dokter bedah. Pasien-pasien yang dihadapkan pada kenyataan harus menjalani operasi khususnya operasi jantung mungkin akan mengalami kecemasan yang lebih tinggi karena keadaan jantung mereka yang tidak baik, konsep operasi jantung yang menakutkan dan ketidakpastian terhadap hasilnya. Kecemasan akan mengaktifkan stres respon yang menyebabkan stimulasi sistem saraf simpatis yang kemudian akan menstimulasi kardiovaskular dengan meningkatkan jumlah katekolamin darah yang menyebabkan takikardi, hipertensi, iskemik dan infark miokardial. Respon tersebut mungkin mempunyai efek merugikan pada sirkulasi koroner, yang menyebabkan peningkatan morbiditas dan mortalitas. Berbagai penanganan telah dikembangkan, salah satunya adalah dengan pemberian informasi (edukasi). Dengan pemberian edukasi melalui komunikasi efektif, informatif dan empati diharapkan terjadi penurunan tingkat kecemasan pasien sebelum menjalani pembiusan dan pembedahan. Penelitian ini secara umum ingin mengetahui pengaruh edukasi pra-anestesia terhadap tingkat kecemasan pasien dewasa yang akan menjalani operasi jantung terbuka di Instalasi PJT RSUPN Cipto Mangunkusumo.
Metode: Penelitian ini menggunakan uji kuasi eksperimen pada pasien dewasa yang akan menjalani operasi jantung terbuka di Instalasi PJT RSUPN Cipto Mangunkusumo. Setelah mendapatkan ijin komite medik dan informed consent, sebanyak 36 subyek didapatkan dengan consecutive sampling pada bulan Maret 2016. Sebelum dilakukan penilaian tingkat kecemasan sebelum edukasi dengan menggunakan instrumen APAIS, terlebih dahulu dilakukan pengukuran tanda vital, kemudian dilanjutkan dengan pemberian edukasi dan diskusi. Jika subyek tidak mengalami gaduh gelisah dan atau tanda bahaya kardiovaskular, maka keesokan hari sebelum subyek dibawa ke ruang operasi, akan dilakukan penilaian ulang tingkat kecemasan subyek dengan menggunakan instrumen yang sama.
Hasil: Uji Wilcoxon menunjukkan terdapat penurunan bermakna rerata tingkat kecemasan sebelum edukasi dibandingkan dengan sesudah edukasi (p<0,001).
Simpulan: Edukasi pra-anestesia menurunkan tingkat kecemasan pasien dewasa yang akan menjalani operasi jantung terbuka di Instalasi PJT RSUPN Cipto Mangunkusumo.

Background: Preoperative anxiety is always a concern for patients, anesthetist and surgeon. Patients are faced with the reality had to undergo surgery, especially heart surgery may experience higher anxiety because their heart condition is not good, scary concept of heart surgery and uncertainty of the results. Anxiety will activate the stress response that causes stimulation of the sympathetic nervous system, which then stimulates the cardiovascular by increasing the amount of blood catecholamines that cause tachycardia, hypertension, ischemia and myocardial infarction. The response may have detrimental effects on the coronary circulation, which leads to increase morbidity and mortality. Various handling have been developed, one of which is the provision of information (education). With the provision of education through effective and informative communication with empathy are expected to decline the level of anxiety of patients before undergoing anesthesia and surgery. The objective of this study is to determine the effect of preanesthesia education to the level of anxiety in adult patients undergoing open heart surgery in the Installation of PJT Cipto Mangunkusumo.
Methods: This study used a quasi-experimental trials of adult patients undergoing open heart surgery in the Installation of PJT Cipto Mangunkusumo. After getting permission from the medical committee and getting informed consent, a total of 36 subjects is obtained by consecutive sampling in March 2016. Prior to the assessment of the level of anxiety before education using APAIS instrument, first performed measurements of vital signs, and then continued with education and discussion. If the subject is not experiencing restless and rowdy or cardiovascular distress signal, then the next day before the subject is taken to the operating room, the level of anxiety of the subject will be reassessed using the same instrument.
Results: Wilcoxon test showed that there was a significant decrease in the average level of anxiety before education compared with after education (p<0.001).
Conclusion: Preanesthesia education lowers the level of anxiety in adult patients undergoing open heart surgery in the Installation of PJT Cipto Mangunkusumo.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2016
SP-Pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Mifta Nurindah
"Pendahuluan: Endometriosis merupakan penyakit yang secara klinis berhubungan dengan fertilitas dan memiliki beban ekonomi yang signifikan. Patogenesis endometriosis dan hubungannya dengan subfertilitas masih belum dipahami dengan jelas. Fertilisasi in Vitro (FIV) adalah terapi yang efektif untuk pasien dengan subfertilitas terkait endometriosis. Tingkat keberhasilan FIV di RSCM tidak dapat diperkirakan karena belum ada studi epidemiologi. Tujuan: Mengetahui angka kehamilan FIV pada pasien endometriosis di RSUPN dr. Cipto Mangunkusumo dan faktor-faktor yang mempengaruhinya.Metode: Penelitian ini menggunakan metode desain cross sectional. Sebanyak 225 pasien endometriosis dan blok tuba sebagai kontrol yang menjalani FIV di Klinik Yasmin Rumah Sakit Umum Nasional Dr. Cipto Mangunkusumo, Jakarta, pada periode Januari 2013 – Agustus 2021 disertakan dalam penelitian ini. Infertilitas karena faktor laki-laki diekslusi. Data demografi, dosis hormon rekombinan, durasi stimulasi, tingkat pembuahan, dan tingkat kehamilan yang diperoleh dari penelitian ini. Hasil: Angka kehamilan dibagi menjadi 3 jenis: biokimia, klinis, dan kehamilan berkelanjutan. Angka kehamilan pada pasien endometriosis lebih rendah dari faktor tuba, kehamilan biokimia (47,3% vs 52,7%, nilai p 0,375), kehamilan klinis (43,1% vs 56,9%, nilai p 0,215), dan kehamilan berkelanjutan (45,5% vs 54,5%) , nilai p 0,511). Kesimpulan: Penelitian kami menunjukkan bahwa angka kehamilan IVF pada pasien endometriosis lebih rendah daripada pasien dengan blok tuba, tetapi secara statistik tidak signifikan.

Introduction: Endometriosis is a disease that is clinically related to fertility and has a significant economic burden. The pathogenesis of endometriosis and its relationship to subfertility is still not clearly understood. IVF is an effective therapy for patients with endometriosis-associated subfertility. The success rate of IVF in RSCM can’t be estimated because there is no epidemiological study. Objective: Knowing the pregnancy rate of IVF in endometriosis patients at the Yasmin Clinic, RSCM and the factors that influence it. Methods: This study was using cross sectional design. A total of 225 patients with endometriosis and tubal block as control who undergoing IVF at the Yasmin Clinic Dr. Cipto Mangunkusumo National General Hospital, Jakarta, in the period January 2013 – August 2021 were enrolled in this study.Infertility due to male factor were excluded. Demographic data, doses of recombinant hormone, duration of stimulation, fertilization rate, and pregnancy rate were obtained. Results: Pregnancy rate was divided into 3 types: biochemical, clinical, and ongoing pregnancy. Pregnancy rate in endometriosis patients were lower than tubal factor, biochemical pregnancy (47.3% vs 52.7%, p value 0.375), clinical pregnancy (43,1% vs 56.9%, p value 0.215), and ongoing pregnancy (45.5% vs 54.5%, p value 0.511). Conclusions: Our study demonstrated that pregnancy rate of IVF in endometriosis patient was lower than patient with tubal block, but statistically not significant. "
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2022
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Jenni Pratita
"Hipotensi merupakan komplikasi yang sering terjadi pada pasien yang menjalani bedah sesar dengan anestesi spinal. Kejadian hipotensi dapat membahayakan baik ibu maupun janin. Penelitian yang telah dilakukan di luar negeri menunjukan angka kejadiannya mencapai 70-80% tanpa penggunaan profilaksis farmakologis, namun di Indonesia penelitian tentang subjek ini masih sangat minim, termasuk tentang faktor-faktor yang berhubungan dengan kejadian hipotensi tersebut.
Untuk itu, penelitian ini dilakukan untuk mengetahui karakteristik sosio demografik dan klinik pasien yang menjalani bedah sesar dengan anestesi spinal di RSUPN Ciptomangunkusumo (status hipotensi, jenis cairan yang diberikan, usia, penyakit penyerta, lokasi penyuntikan, dosis cairan anestesi, dan tinggi badan) serta hubungan status hipotensi dengan berat badan lahir bayi.
Penelitian ini merupakan penelitian cross sectional dengan 107 subjek yang didapatkan melalui pemenuhan kriteria penelitian serta metode consecutive sampling. Subjek penelitian merupakan pasien yang menjalani bedah sesar emergensi di Instalasi Gawat Darurat RSUPN Ciptomangunkusumo. Pengertian hipotensi yang digunakan dalam penelitian ini yaitu penurunan tekanan darah sistolik dibawah 80% tekanan darah awal yang diukur sebelum operasi dilakukan. Penelitian menggunakan data sekunder.
Hasil penelitian ini menunjukan bahwa hipotensi ditemukan pada 24,3% subjek. Dari segi karakteristik lainnya, mayoritas subjek tidak memiliki faktor risiko hipotensi berdasarkan penelitian terdahulu kecuali dari segi jenis cairan yang diberikan. Tidak ditemukan hubungan yang bermakna secara statistik antara berat badan lahir bayi dengan status hipotensi, namun ratarata berat badan lahir bayi dari subjek pada kelompok hipotensi lebih besar daripada kelompok non-hipotensi.

Hypotension is a common complication in patients undergoing caesar surgery with spinal anesthesia. Hypotension could endanger both the mother and the fetus. Studies done abroad show that the event rate of hypotension could reach 70-80% without pharmacologic profilaxis, but in Indonesia the number of studies on this subject is very limited, including about factors correlated with the event of hypotension.
Therefore, this study is done to find out the sociodemographic and clinical characteristics of patients undergoing emergency Caesar surgery with spinal anesthesia in RSUPN Ciptomangunkusumo (type of fluid given, age, concurring illness, injection site, dosage of anesthetic solution, height, and hypotension status) and the correlation between hypotension status and the babies? birth weight.
This study is a cross sectional study with 107 subjects acquired through criterias of the study and consecutive sampling. Subjects are patients undergoing emergency Caesar surgery in emergency installation of RSUPN Ciptomangunkusumo. The definition of hypotension used in this study is a decrease of systolic pressure under 80% baseline pressure measured before the surgery. Secondary data is used in this study.
The study shows that hypotension was found in 24.3% subject. Based on other characteristics, majority of the subjects don?t have risk factors for hypotension, except about the type of the fluid given. No statistically significant correlation is found between the babies? birth weight and the hypotension status, but the mean birth weight of babies from the hypotension group is higher than non-hypotension group.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2015
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Trisha Rahmi Dian Reswara
"End-stage kidney disease (ESKD) pada anak berdampak tidak terbatas pada aspek kesehatan fisik, tetapi juga perubahan emosi dan perilaku. Namun, kondisi ini seringkali diabaikan. Di Indonesia, data mengenai gangguan emosi dan perilaku khususnya pada pasien ESKD anak yang menjalani hemodialisis (HD) jumlahnya pun terbatas. Studi potong lintang ini dilakukan untuk mengetahui prevalensi, jenis gangguan, dan asosiasi faktor-faktor yang berhubungan terhadap gangguan emosi dan perilaku pada pasien ESKD anak yang menjalani HD. Total 28 pasien ESKD anak di RSCM usia 4-18 tahun yang menjalani hemodialisis minimal 1 bulan diikutkan dalam penelitian. Skrining gangguan emosi dan perilaku diukur menggunakan PSC-17. Analisis bivariat dilakukan menggunakan uji Chi-Square/Fisher. Studi ini menemukan prevalensi gangguan emosi dan perilaku pada pasien ESKD anak yang menjalani HD di RSCM sebesar 32%, dengan persentase abnormal tertinggi pada subskala internalisasi (21,4%). Variabel jenis kelamin menunjukkan hubungan signifikan (p<0,05) terhadap gangguan emosi dan perilaku.

Children with end-stage kidney disease (ESKD) have behavioral and emotional difficulties in addition to physical health problems. But this condition is frequently disregarded. Data on emotional and behavioral issues among pediatric ESKD patients in Indonesia, especially those receiving hemodialysis (HD), is still scarce. The purpose of this cross-sectional study is to identify the prevalence, type, and correlation of variables associated with emotional and behavioral issues in pediatric hemodialysis patients. There were a total of 28 pediatric ESKD patients at RSCM, ages 4 to 18, who received hemodialysis treatment for at least one month included in this study. The children were screened for emotional and behavioral problems using PSC-17 questionnaire. Bivariate analysis was measured using Chi-Square/ Fisher test. This study discovered the prevalence of behavioral and emotional issues in children with ESKD receiving HD in RSCM is 32%, high proportion found in internalization subscale (21.4%). The risk of emotional and behavioral issues was shown to be significantly correlated with gender (p<0.05)."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2022
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>