Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 118699 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Firda Fairuza
"Latar belakang. Kolestasis terkait sepsis (KTS) masih merupakan permasalahan medis di negara berkembang disebabkan tingginya morbiditas, mortalitas dan lama rawat. Inflamasi usus akibat disfungsi sawar usus diduga berperan dalam KTS sehingga perlu dibuktikan perannya terhadap terjadinya KTS. Inflamasi dan permeabilitas mukosa usus dapat dinilai melalui kadar kalprotektin dan alfa-1 antitripsin (AAT) pada tinja.
Tujuan. Untuk mengetahui hubungan antara terjadinya KTS pada sepsis neonatorum dengan inflamasi dan gangguan permeabilitas usus yang dinilai dengan peningkatan kadar kalprotektin dan α-1-antitripsin dalam tinja. Metode. Studi kohort prospektif di ruang rawat inap Perinatologi dan Neonatal Intensive Care Unit Departemen Ilmu Kesehatan Anak Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo periode Juni 2012- Oktober 2013. Delapan puluh neonatus diambil secara consecutive sampling dari 271 subjek proven sepsis yang dirawat pada periode studi ini, terbagi menjadi 2 kelompok (KTS dan sepsis tidak kolestasis) masing-masing 40 subjek. Dilakukan pemeriksaan kadar kalprotektin dan AAT tinja.
Hasil penelitian. Tidak ditemukan perbedaan antara KTS dan sepsis tidak kolestasis dalam ekskresi kalprotektin tinja [KTS vs. sepsis tidak kolestasis, median (rentang) 104,4 (25 sampai 358,5) vs. 103,5 (5,4 sampai 351) μg/g; p = 0,637] dan alfa-1 antitripsin tinja [median (rentang) 28 (2 sampai 96) vs. 28 (2 sampai 120) mg/dL; p = 0,476). Tidak ditemukan peningkatan bermakna kadar kalprotektin tinja dengan nilai p = 0,63 (IK 95% 0,4 sampai 3,6) dan kadar AAT tinja dengan nilai p=0,152 (IK 95% 0,4 sampai 3,3).
Simpulan. Kadar kalprotektin dan alfa-1 antitripsin tinja tidak terbukti dapat memprediksi kejadian KTS pada sepsis neonatorum. Tidak ada bukti proses inflamasi usus yang terjadi pada KTS melalui peningkatan permeabilitas paraselular usus. Perlu dilakukan penelitian lebih lanjut mengenai patogenesis inflamasi usus yang terjadi melalui peningkatan permeabilitas trans-selular dan kerusakan enterosit usus pada KTS.

Background. Sepsis-associated cholestasis (SAC) remain a medical problem in developing countries due to high morbidity, mortality and length of hospital. Intestinal inflammation as the causes of intestinal barrier dysfunction are suspected play a role in SAC, so it is necessary to prove its contribution to SAC. Intestinal inflammation and increased permeability were assessed through faecal calprotectin and alpha-1 antitrypsin (AAT) concentrations.
Objective. To determine the association between SAC in sepsis neonatorum with intestinal inflammation and permeability were assessed through increased faecal calprotectin and AAT levels.
Methods. This was cohort prospective study at Perinatologi and Neonatal Intensive Care Unit Department of Child Health Cipto Mangunkusumo Hospital during June 2012 to October 2013. Eighty neonates were obtained by consecutive sampling, of which 271 proven sepsis hospitalized in this period, devided 2 groups (SAC and non cholestasis sepsis) respectively 40 subjects. Faecal calprotectin and AAT concentrations was measured.
Results. There was no significant association between SAC and faecal calprotectin excretion [SAC vs. non cholestasis sepsis, median (range) 104.4 (25 to 358,5) vs. 103.5 (5.4 to 351) μg/g; p = 0.637] and faecal AAT [median (range) 28 (2 to 96) vs. 28 (2 to 120) mg/dL; p = 0.476). Increased faecal calprotectin (CI 95% 0.4 to 3.6; p = 0,63) and AAT (CI 95% 0.4 to 3.3; p=0.152) did not differ significantly between the two groups.
Conclusions. Faecal calprotectin and alpha-1 antitrypsin concentrations is not associated with SAC in sepsis neonatorum. There is no evidence of intestinal inflammation causes increased paracellular intestinal permeability in SAC. Further research is needed on the pathogenesis of intestinal inflammation in SAC which may result in increased intestinal permeability by transcellular and enterocyte damage."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2014
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Ety Mariatul Qiptiah
"ABSTRAK
Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui kadar fecal calprotectin (FC) pada anak dengan BB normal, BB lebih termasuk obesitas akibat inflamasi dan disfungsi saluran cerna serta faktor risiko apa saja pada awal kehidupan yang dapat menyebabkan terjadinya obesitas usia pra sekolah. Penelitian ini merupakan studi kasus-kontrol, subyek penelitian terdiri dari 58 anak kelompok kasus (BB lebih atau obesitas) dan 58 anak kelompok kontrol (BB normal) yang dipasangkan
dengan jenis kelamin, usia, dan sekolah. Hasil penelitian didapatkan median IMT z-zcore 2,05 (-1,86?6,78) SD, rerata asupan energi total sebesar 1541,66 + 389,69 kkal dan asupan lemak 54,92 + 17,48 gram. Didapatkan hubungan bermakna asupan energi total dan lemak pada kelompok kasus dan kontrol (p=0,040 dan
p=0.022). Tidak ditemukan hubungan bermakna kadar FC antara kelompok kasus
dan kontrol (p=0,454). Dilakukan analisis multivariat terhadap faktor risiko awal
kehidupan dengan status gizi lebih lebih dan kadar FC diaatas normal, tidak
didapatkan hubungan. Namun setelah dihubungkan dengan faktor penggangu,
didapatkan kecendrungan kenaikan nilai OR dan penurunan p-value. Hal ini
menunjukkan bahwa ada hubungan antara kejadian obesitas dan peningkatan
kadar FC pada anak pra sekolah dengan faktor risiko awal kehidupan

ABSTRACT
This study was conducted to determine levels of fecal calprotectin (FC) in
children that have normal weight, overweight (OW) including obesity due to
inflammation and dysfunction of the gastrointestinal tract and any risk factors in
early life can lead to obesity preschool children. This study was a case-control
study, subjects consisted of 58 children in group cases (OW or obese) and 58
controls group (normal weight) were matched by sex, age, and school. The results
showed a median BMI z-zcore 2.05 (-1,86-6,78) SD. Mean total energy intake and
fat intake were 1541.66+389.69 kcal and 54.92+17.48 grams. We found
significant relationship between subject cases and control for total energy intake
and fat intake (p=0,040 and p=0.022). And no significant value of FC between
case and control (p=0,454). Multivariate analysis of the early life risk factors with
nutritional status and levels of FC, no significant. However, after adjusted with a
disturbance factor, obtained trend increase the value of OR and decrease p-value.
This suggests that there is a relationship between the incidence of obesity in preschool
children and increased value of FC with risk factors early in life"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2014
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Simanjuntak, Sartika
"ABSTRAK
Pengelolaan lumpur tinja (Faecal Sludge Management, FSM) yang tidak tepat menjadi masalah global penghambat pembangunan berkelanjutan. Lumpur tinja sering dibuang ke lingkungan yang berisiko pada lingkungan dan kesehatan masyarakat. Riset menilai tingkat keamanan FSM pada lingkungan di Sumatera Barat dan Lampung dengan pendekatan kuantitatif, mix method dan flow chart menurut ekonomi dan sosial rumah tangga. Riset menunjukkan tingkat keamananan FSM pada lingkungan mayoritas di wilayah riset tidak aman pada lingkungan dan lebih banyak pada rumah tangga yang lebih miskin. Tingkat FSM yang lebih aman pada lingkungan di Sumatera Barat tidak berbeda pada gender kepala rumah tangga sedang di Lampung lebih banyak pada yang dikepalai laki-laki. Uji hipotesis menunjukkan tingkat keamanan FSM pada lingkungan 1,2 kali lebih aman pada anggota rumah tangga tidak lebih dari 4 orang dan yang memiliki rumah sendiri 1,4 kali lebih aman dibanding dengan yang tidak memiliki rumah sendiri.

ABSTRACT
Lack of household Faecal Sludge Management (FSM) is a global problem and an inhibitor to sustainable development. Faecal sludge is often allowed to accumulate in the environment, a growing challenge, generating significant risks to the environment and public health. The research analyzes environmentally safe level of FSM in Sumatera Barat and Lampung using a quantitative approach, mix method and flow chart tools via socio economic segmentation. The study showed environmentally safe levels of FSM in majority households is unsafe with higher level in poorer households. Safe FSM levels in West Sumatra segmented by gender head of household do not vary. In Lampung, the safer FSM levels were found in those headed by men. Hypothesis showed the environmentally safe level of FSM to be 1.2 times safer for households with no more than 4 members and 1.4 times safer for those that own their own homes over those that do not.
"
Depok: Universitas Indonesia. Sekolah Ilmu Lingkungan, 2019
T52299
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Lilly Indrawati
"Angka kematian bayi di Indonesia masih tergolong cukup tinggi bila di bandingkan dengan negara-negara Asean. Sekitar 40 % kematian bayi terjadi pada saat neonatal (bulan pertama kehidupan bayi). Tetanus nennatorum masih merupakan salah satu penyebab tersering kematian neonatal di Indonesia. Dari 126.000 kematian neonatal, sekitar 50.000 diantaranya meninggal karena tetanus neonatorum. Bangsa Indonesia telah bertekad untuk mengeliminasi tetanus neonatorum di pilau Jawa dan Bali pada akhir tahun 1995 dan di seluruh Indonesia pada tahun 2000.
Di Kotamadya DT. II Tangerang pada tahun 1994 - 1996 terdapat 20 kasus tetanus neonatorum ( laporan dari rurnah sakit ) sehingga masih dirasakan cukup sulit untuk mencapai eliminasi tetanus neonatonirn ( kejadian tetanus neonatorum setinggi-tingginya 1 per 10.000 kelahiran hidup ).
Desain penelitian ini adalah kasus kontrol. Kasus adalah pendataan tetanus neonatorum yang di dapat dari rumah sakit pada tahun 1994 - 1995 sebanyak 20 kasus, sedangkan kontrol adalah bayi yang tidak menderita tetanus neonatorum yang lahir pada tahun 1994 - 1995 yang bertempat tinggal yang sama dengan kasus sebanyak 40 kasus. Untuk mengetahui besarnya hubungan faktor-faktor yang berperan dengan kejadian tetanus neonatorum di lakukan perhitungan Odd Ratio.
Hasil penelitian menunjukan adanya hubungan yang bermakna antara status imunisasi tetanus toksoid ibu hamil, tenaga penolong persalinan, sterilitas alat pemotong tali pusat, obat/bahan perwatan tali pusat dengan kejadian tetanus neonatarum.
Dari hasil penelitian ini penulis menyarankan untuk dilakukan peningkatan kualitas imunisasi mulai dari perencanaan, pcngawasan mutu vaksin, cold chain, bimbingan dan supenisi ke tenaga pelaksana dii puskesmas serta meningkatkan kerjasama lintas program, lintas sektoral dengan rnembina peran serta masyarakat dan sektor swasta. Selain itu ditingkatkan cakupan persalinan oleh tenaga kesehatan/ persalinan di dampingi oleh tenaga kesehatan, bekerjasama dengan bidan praktek swasta, komitmen dan dukungan politis perlu ditingkatkan dalam upaya akselerasi penuntnan tetanus neonatorum.

Among Asean countries, infant mortality rate in Indonesia is substantially high . Approximately 40 % of infant mortality occurred in the neonatal phase ( the first month of infant life ). Tetanus neonatorum still is one of the major causes of neonatal mortality in Indonesia. From 126,000 neonatal immortality 50,000 is approximately caused by tetanus neonatorum. The Government of Indonesia have targeted to eliminate tetanus noenatorum in Java and Bali at the end of 1995 and all over Indonesia in 2000.
During 1994 - 1996 there were 20 cases of neonatal tetanus observed in Tangerang district hospital ( based or: report from hospital ). Assuring near nor all cases with treated in the hospital phase may be more cases in the whole district.
Case control design was use in this research. A number of 20 eases of neonatal tetanus were identified base on tetanus neonatorum data from hospital in 1994 - 1996. The control were 40 infants with no tetanus neoantorum which were born in 1994 - 1996 and lived in the same area with the cases. To find facie rs suspected as related to tetanus neonatorum, odd ratio was calculated.
The result of the research demonstrated treat neonatal tetanus is related to ( 1 ) TT immunization of pregnant mother, (2) the help of midwives, (3 ) sterilization of equipment utilised in cutting the umbilical cord and ( 4 ) wormed care of the umbilical cord.
From this research writer recommended to improve the immunization quality starting from planning, control of vaccine quality, cold chain management, provision of guidance and supervision to staffs in puskesmas qually important is to improve cooperation among programs, among sectors, by building participation of the communities and private sector. The role of medical personnel to help delivery, also steamed be increased. This can be done by establishing cooperation with private midwives and enclosing political commitment and support.
"
Depok: Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia, 1998
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
R. Adhi Teguh Perma Iskandar
"ABSTRAK
Sesak napas bayi baru lahir merupakan morbiditas tersering pada bayi prematur < 35 minggu. Sesak napas harus ditangani secepatnya dengan pemberian tekanan jalan napas positif. Sampai saat ini, nCPAP merupakan pilihan pertama terapi ventilasi non-invasive untuk bayi prematur. Walaupun efektif, nCPAP sering memberikan efek samping berupa trauma hidung. Heated humidified high flow nasal cannulae merupakan metode terapi oksigen beraliran tinggi yang tanpa sengaja mampu memberikan tekanan jalan napas positif, namun keamanan dan efektifitasanya masih belum banyak diteliti. Mengetahui efektifitas dan keamanaan HHHFN dibanding nCPAP pada bayi prematur usia > 28 minggu dan < 35 minggu yang mengalami sesak napas derajat sedang. Penelitian ini merupakan uji klinis non-inferioritas, acak, tidak tersamar yang membandingkan HHHFN dan nCPAP pada bayi prematur usia yang mengalami sesak napas sejak dari kamar bersalin Tidak ada perbedaan insiden intubasi endotrakeal pada pemakaian < 72 jam HHHFN 20 dibanding nCPAP 18 p = 0,799 . Terdapat perbedaan proporsi trauma hidung derajat 2 pada penggunaan nCPAP 14 dibanding HHHFN 0 . Tidak terdapat perbedaan pH, pCO2, pO2 darah arteri, lama capaian minum enteral penuh, lama penggunaan alat, lama perawatan metode kanguru, dan insiden komplikasi BPD, IVH, PDA, NEC dan SNAL antara pengguna nCPAP dan HHHFN. HHHFN tidak lebih inferior ditinjau dari efektivitas dan keamanan dibanding nCPAP sebagai terapi non-invasif pada bayi pada bayi prematur usia > 28 minggu dan < 35 minggu dengan berat lahir > 1000 gram yang mengalami sesak napas derajat sedang jika diberikan sedini mungkinABSTRACT
Respiratory distress in new borns are the most common morbidity in premature babies 35 weeks. It should be treated immediately with positive airway pressure. Nasal CPAP is still the first choice of treatment for these cases. Despite its effectivity, nCPAP is proved causing nasal trauma as side effect. Meanwhile Heated Humidified high flow nasal cannula is an alternative oxygen therapy which also could generate inadvertent positive pressure airway, but the effectivity and safety has not been widely studied. The goal of this study is s identifying the effectivity and safety of HHHFN and nCPAP in premature babies ages 28 weeks and 35 weeks with moderate respiratory distress. This research is a random, non inferiority, clinical trial which compares safety and effectivity between HHHFN and nCPAP in treating babies with moderate respiratory distress since in the delivery room. There is no difference in incidence of endotracheal intubation in 72 hours of HHHFN 20 compared to nCPAP 18 p 0,799 . There is a significant difference of moderate nasal trauma in nCPAP 14 compared to HHHFN 0 . There are no statistically differences of pH, pCO2, pO2 time to full enteral feeding, length of Kangaroo Mother care, length of using the devices, and rate of in complication BPD, IVH, PDA, NEC and SNAL between nCPAP dan HHHFN user. HHHFN is not inferior than nCPAP in terms of safety and effectivity as primary noninvasive therapy in premature babies age 28 weeks and 35 weeks with moderate respiratory distress if given as early as possible."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2018
SP-PDF
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Roy Amardiyanto
"Latar Belakang : Asfiksia neonatorum menyebabkan gangguan multiorgan, salah satunya adalah gangguan ginjal. Belum adanya kesepakatan dalam menentukan gangguan ginjal akut (acute kidney injury, AKI) pada neonatus menyebabkan kesulitan dalam mendiagnosis dan selanjutnya menghambat tata laksana AKI. Acute Kidney Injury Network (AKIN) merekomendasikan kriteria AKI berdasarkan peningkatan kadar kreatinin serum dan penurunan luaran urin.
Tujuan : Mengetahui prevalens AKI dengan menggunakan kriteria AKIN pada asfiksia neonatorum, dan mengetahui perbedaan stadium AKI antara asfiksia sedang dan berat.
Metode : Studi ini merupakan potong lintang analitik yang berlangsung selama Juli 2012 hingga Januari 2013. Subjek penelitian adalah semua bayi baru lahir usia gestasi >35 minggu dengan asfiksia yang lahir dan dirawat di Divisi Neonatologi RS Cipto Mangunkusumo dan RSUD Koja. Analisis menggunakan uji hipotesis Chi-square dengan SPSS versi 20.
Hasil : Penelitian dilakukan pada 94 subjek yang terdiri atas 70 neonatus asfiksia sedang dan 24 neonatus asfiksia berat. Prevalens AKI berdasarkan kriteria AKIN pada asfiksia neonatorum adalah 63%. Prevalens bayi dengan asfiksia berat dan sedang yang mengalami AKI berturut-turut adalah 21 dari 24 subjek (88%) dan 38 subjek (54%). Prevalens bayi dengan asfiksia berat mengalami AKI stadium 3 yang terbanyak yaitu 14 dari 21 subjek (67%). Stadium AKI yang lebih berat lebih banyak dijumpai pada bayi dengan asfiksia berat dibandingkan asfiksia sedang (P<0,001).
Simpulan : Prevalens AKI pada asfiksia neonatorum cukup tinggi. Makin berat derajat asfiksia neonatorum, makin berat stadium AKI.

Background: Asphyxia neonatorum may result in multiorgan disfunction including renal disfunction. There is no consensus on the determination of acute kidney injury (AKI) in neonates making establishment of the diagnosis and its management difficult. The Acute Kidney Injury Network (AKIN) recommends AKI criteria based on increased serum creatinine level and reduced urine output.
Objective: To identify the prevalence of AKI in asphyxiated neonates using the AKIN criteria and to recognize the difference of AKI stadium between moderate and severe asphyxia.
Methods: The study was a cross-sectional analytical study, which was conducted between July 2012 and January 2013. The study subjects were all asphyxiated neonates with gestational age of >35 weeks who were delivered and hospitalized in Cipto Mangunkusumo Hospital and Koja District Hospital. Analysis was performed by hypothesis Chi-square test using SPSS version 20.
Results: Of 94 subjects participated in the study, there were 70 and 24 neonates with moderate and severe asphyxia, respectively. The prevalence of AKI was 63%. The prevalence of neonates with severe and moderate asphyxia who experienced AKI was 21 out of 24 subjects (88%) and 38 subjects (54%), respectively. The prevalence of AKI in neonates with severe asphyxia who had stage 3 AKI was 14 out of 21 subjects (67%). More severe AKI stage was found more common in neonates with severe asphyxia (P<0.001)
Conclusions: The prevalence of AKI in neonatal asphyxia is high. The more severe stage of neonatal asphyxia, the more severe the AKI stage
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2013
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Yulia Nur Izati
"Setiap tahunnya terdapat 1 juta bayi yang meninggal pada hari pertama dikarenakan asfiksia. Risiko kematian karena asfiksia adalah 8 kali lebih tinggi di negara dengan angka kematian neonatal tinggi (Lawn dkk, 2005). Di Indonesia, sekitar 27.0()0 bayi baru lahir meninggal pada hari pertama karena asfiksia (Save the Children, 2005). Selain itu, asfiksia menempati urutan kedua penyebab utama ematian neonatal di Indonesia, setelah berat bayi lahir re dah (29%) ya itu sebesar 27% (SKRT:, 2001).
Kejadian astiksia pada bayi baru lahir di RS, menggambarkan kualitas pelayanan kesehatan yang diterima oleh ibu dan bayi baik sebelum masuk RS maupun sesudah masuk RS. Kualitas pelaya nan yang diterima ibu dan bayi dapat dipengaruhi oleh beberapa aktor, diantaranya adalah akses terhadap pelayanan kesehatan. Akses terhadap pelayanan kesehatan yang bagus akan dapat mencegah keterlambatan dalam enerima pela):anan kesehatan yang berkwalitas dan mencegah terjadinya asfiksia. Sebaliknya akses yang tidak bagus terhadap pelayanan kesehatan akan menggamoarkan adanya permasalalian sebelum mencapai fasilitas kesehatan dan hal ini dapat terlihat dengan adan ya tanda dan gejala asfiksia pada bayi baru lahir.
Faktor tempat tinggal ibu merupakan salah satu proksi yang dapat setelah mempertimbangkan faktor ibu dan anak dan pelayanan kesehatan. Pola kejadian asfiksia di RS berdasarkan wilayah tempat tinggal menunjukkan bahwa ibu­ ibu yang berasal dari wilayah rural memiliki risiko 1,57 kali untuk bayinya mengalami asfiksia jika dibandingkan dengan ibu yang berasal dari wilayah urban (OR I ,57 95% Cl I,17 - 2, I 0) setelah dikontrol dengan variabel terkait lainnya.

Every year I million babies died on the first day born due to asphyxia. The risk of asphyxia i8 times higher in the country with high neonatal Heath (Law n et al,:2005). In Indonesia, about 27.0. 0 newborn babies d ied in he fi rst day of their life d ue to asphyxia (Save the childre , 2005). Asphyxia is the second cause of death in neonatal periooe in Indonesia (27%), after lew birth weight in th first place (29%) (SKR1\ 2001).
Asphyxia of newborn by, ill ustrate health service qualiry hat mother and baby accept before and afte care in tHe hospi tal The quality of services received by mother and Baby can be infl uence by sev ra J factors; one f those is access to the hea lth service. Good access to t h hea lth service can prevent delayed i n the acceptance for quality of hea lth service an prevent baby to get asphyxia. On the other side, poor access to the health service ean ill ustrate a prob le before reaching the healtH facilities and thi can be seen i n he sign and symptom of birth asphyxia of the newborn baby.
Mother's residence is one of the p oxies that can illustrate access to the health facilities in one area. The proxy of health service facilities can used to evaluate improveme to prevent asphyx ia. Identify the delay before reaching hospital can also be illustrated poor access t0 the healt}l service. And t his can be used to identify poor access through mother-'s residence rela. ed to birth a hyxia.
"
Depok: Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia, 2008
T20951
UI - Tesis Open  Universitas Indonesia Library
cover
Darmadi
"ABSTRAK
Latar Belakang : Diagnosis Inflammatory Bowel Disease (IBD) masih didasarkan pada pemeriksaan invasif (endoskopi dan histopatologi). Fecal calprotectin merupakan petanda inflamasi intestinal non invasif yang dapat digunakan untuk membedakan IBD dengan penyakit intestinal non inflamasi, namun studi-studi yang ada masih memberikan perbedaan nilai diagnostik dan hubungannya dengan derajat IBD.
Tujuan : Membuktikan bahwa pemeriksaan fecal calprotectin memiliki nilai diagnostik yang tinggi untuk mendiagnosis IBD serta berhubungan dengan derajat IBD. Metode : Penelitian ini adalah studi potong lintang untuk melakukan uji diagnostik. Penelitian dilakukan di beberapa rumah sakit di Jakarta mulai bulan September 2014 sampai Februari 2015. Kurva ROC dibuat untuk mendapatkan nilai diagnostik fecal calprotectin dan uji Krusskal Wallis untuk menilai perbedaan kadar fecal calprotectin menurut derajat IBD.
Hasil : Terdapat 71 pasien IBD berdasarkan pemeriksaan kolonoskopi diikutkan dalam penelitian. Dari pasien tersebut didapatkan sebanyak 57 pasien ditetapkan definite IBD berdasarkan pemeriksaan histopatologi. Kadar fecal calprotectin lebih tinggi bermakna pada pasien IBD dibanding yang bukan IBD (553,8 μg/g vs 76,95 μg/g, p < 0,001). Didapatkan nilai titik potong 179,3 μg/g dengan sensitivitas 96% (IK 95% 0,88-0,99), spesifisitas 93% (IK 95% 0,69-0,99) dan Area Under Curve (AUC) 99,5% (IK 95% 0,98-1,00). Didapatkan perbedaan bermakna kadar fecal calprotectin pada masing-masing derajat IBD (p < 0,001).
Kesimpulan : Pemeriksaan fecal calprotectin memiliki nilai diagnostik yang tinggi untuk mendiagnosis IBD serta berhubungan dengan derajat IBD.

ABSTRACT
Background : Diagnosis of inflammatory bowel disease (IBD) is still based on invasive examination such as endoscopy and biopsy. Fecal calprotectin as a intestinal inflammation marker can used for diagnosis, but studies still had different diagnostic value and it?s correlation with grading of IBD.
Objective : Proving that fecal calprotectin have a high diagnostic value for IBD and correlation with grading of IBD. Methods : A cross sectional study for diagnostic of IBD. This study was conducted at several Hospitals in Jakarta from September 2014 until February 2015. A curve of ROC to determined diagnostic value of fecal calprotectin and Krusskal Wallis analysis to assessed of different value of fecal calprotectin according grade of IBD were made.
Results : Based on colonoscopy, 71 patient IBD were participated in this study. There were 57 patient diagnosis as definite IBD based on histopathology examination. Value of fecal calprotectin for IBD patient was higher than non IBD (553.8 μg/g vs 76.95 μg/g, p < 0,001). Value of fecal calprotectin was 179.3 μg/g as a new cutoff value with sensitivity 96% (CI 95% 0.88-0.99), specificity 93% (CI 95% 0.69-0.99) and Area Under Curve (AUC) 99.5% (CI 95% 0.98- 1.00) for diagnostic IBD. There was significant differences value of fecal calprotectin according every grade of IBD ( p < 0.001 ).
Conclusion : Fecal calprotectin has a high diagnostic value for IBD and correlated with grading of IBD.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2015
T58824
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Rita Mey Rina
" ABSTRAK
Latar belakang. Sepsis masih menjadi masalah di bidang neonatalogi sampai saat ini karena
dapat meningkatkan mortalitas dan morbiditas. Kolestasis merupakan salah satu morbiditas
yang terjadi selama sepsis. Angka kematian dan lama perawatan di rumah sakit akan
meningkat pada sepsis neonatorum yang disertai kolestasis. Asam ursodeoksikolat (AUDK)
dilaporkan dapat memperbaiki luaran kolestasis pada dewasa dan anak. Penelitian mengenai
manfaat AUDK pada neonatus masih terbatas, sampai saat ini belum ada penelitian tentang
manfaat AUDK pada kolestasis terkait sepsis (KTS).
Tujuan. Mengetahui pengaruh AUDK terhadap penurunan parameter fungsi hati (bilirubin
total/direk/indirek, AST, ALT, GGT), angka kematian, dan lama rawat neonatus dengan
KTS.
Metode. Penelitian ini merupakan uji klinis acak tersamar ganda yang dilakukan di Divisi
Neonatologi Departemen IKA FKUI-RSCM dari Januari - Oktober 2012. Neonatus yang
memenuhi kriteria inklusi dibagi secara random menjadi 2 kelompok (AUDK atau plasebo).
Asam ursodeoksikolat diberikan 30 mg/kgBB/hari dibagi 3 dosis selama 7 hari. Parameter
fungsi hati di evaluasi setelah 7 hari pengobatan. Luaran utama adalah penurunan nilai
bilirubin total/direk/indirek, AST, ALT, dan GGT. Luaran tambahan adalah angka kematian
dan lama rawat. Analisis statistik untuk luaran utama dan lama rawat dilakukan dengan uji
t/uji Mann-Whitney. Perbedaan kematian di analisis dengan uji x2 dan perbedaan survival
dengan metode Kaplan Meier.
Hasil : Penelitian dilakukan pada 37 subjek, 19 subjek pada kelompok AUDK dan 18 subjek
pada kelompok plasebo. Perbedaan perubahan parameter fungsi hati antara kelompok AUDK
dan kelompok plasebo tidak bermakna [bilirubin total (2,2 ± 2,9 vs 1,7 ± 4,6; p= 0,080),
bilirubin direk (1,1 ± 2,3 vs 0,6 ± 3,6; p= 0,080), bilirubin indirek [0,4 (0,1-5,6) vs 0,9 (0,1-
4,1); p= 0,358], ALT (0,5 [(-80,0) – (21,0)] vs -2,0 [(-167,0) – (85,0)]; p= 0,730), AST (43,0
(14,0-297,0) vs 150,0 (24,0-840,0); p= 0,081), and GGT (125,0 (48,0-481,0) vs 235,0 (56,0-
456,0); p= 0,108)], tetapi perubahan nilai bilirubin total, bilirubin direk, dan AST cenderung
lebih baik pada kelompok AUDK. Penurunan nilai bilirubin total terjadi pada 85,7% subjek
kelompok AUDK dan 64,3% pada kelompok plasebo. Nilai bilirubin direk menurun pada
78,6% subjek kelompok AUDK dan 64,3% subjek kelompok plasebo. Penurunan nilai AST
terdapat pada 57% subjek kelompok AUDK dengan penurunan terbesar 72 U/L, sedangkan
pada kelompok plasebo 57% subjek mengalami peningkatan nilai AST dengan peningkatan
tertinggi 473 U/L. Kematian terjadi pada 10,5% subjek di kelompok AUDK dan 27,7% di
kelompok plasebo (p=0,232). Dari analisis kesintasan tidak terdapat perbedaan survival
antara kedua kelompok. Tidak terdapat perbedaan rentang waktu lama rawat antara
kelompok AUDK (15-70) hari dan kelompok plasebo (10-88) hari (p=0,148).
Simpulan : Pemberian AUDK 30 mg/kg/hari selama 7 hari cenderung menurunkan nilai
bilirubin total, bilirubin direk, AST, serta angka kematian meskipun secara statistik tidak
terbukti bermakna. Hal ini masih mungkin disebabkan oleh power yang kurang pada
penelitian ini. Penelitian ulang perlu dilakukan dengan jumlah sampel yang lebih besar dan
durasi pemberian AUDK yang lebih panjang.

<ABSTRACT
Background. Sepsis is still an important issue in Neonatology field since it is related with
high mortality and morbidity. Cholestasis is one of the morbidities that related with sepsis.
Mortality and length of hospital stay will be increased in neonatal sepsis that associated with
cholestasis. Efficacy of ursodeoxycholic acid (UDCA) in cholestasis has been reported from
adult and pediatric population, however there is no publication regarding the efficacy of this
drug in neonates with sepsis associated cholestasis.
Objectives. To investigate the role of UDCA in liver function parameter (total, direct,
indirect bilirubin, AST, ALT, GGT), mortality, and length of hospital stay in neonates with
sepsis associated cholestasis.
Methods. A randomized controlled trial were done in Neonatology Division, Pediatric
Department, Cipto Mangunkusumo Hospital from January to October 2012. Neonates that
fulfilled the inclusion criteria, randomized into UDCA group and placebo group. We gave
ursodeoxycholic acid 30 mg/kg BW/day which divided into 3 doses for 7 days. Liver
function test were done after 7 days treatment. Primary outcome are an improvement of liver
function parameter and the secondary outcome are mortality rate and length of hospital stay.
Statistical analysis with t test/ Mann-Whitney test was done for primary outcome and length
of hospital stay, x2 test for differences of mortality, and Kaplan Meier method for survival
analysis.
Result. There were 37 subject, 19 subject in UDCA group and 18 in placebo group. There
were no significant differences of liver function parameter between UDCA group and
placebo [total bilirubin (2.2 ± 2.9 vs 1.7 ± 4.6; p= 0.080), direct bilirubin (1.1 ± 2.3 vs 0.6 ±
.6; p= 0.080), indirect bilirubin [0.4 (0.1-5.6) vs 0.9 (0.1-4.1); p= 0.358], ALT (0.5 [(-80.0) –
(21.0)] vs -2.0 [(-167.0) – (85.0)]; p= 0.730), AST (43.0 (14.0-297.0) vs 150.0 (24.0-840.0);
p= 0.081), and GGT (125.0 (48.0-481.0) vs 235,0 (56.0-456.0); p= 0.108)]. Although that,
there were a better improvement of total bilirubin, direct bilirubin, and AST in UDCA group.
Decrease of total bilirubin and direct bilirubin level occurred in 85.7% and 78.6% in UDCA
group vs 64.3% and 64.3% in placebo group. For the AST level, there was an improvement
in 57% subject UDCA with the profound declining 72 U/L; conversely, deterioration
occurred in 57% subject placebo, with the maximal increment 473 U/L. Mortality occurred
in 10.5% subject in UDCA group and 27.7% placebo group (p=0.232). There were no
differences of survival from both groups. Length of hospital stay in UDCA and placebo
group were 15-70 days and 10-88 days (p=0.148).
Conclusion: UDCA treatment 30 mg/kgBW/day for 7 days tends to decrease the total
bilirubin, direct bilirubin, AST level, and mortality, although not statistically significant.
This could be happened due to the limitation of power in this study. Future studies with
larger subject and longer duration of UDCA treatment will be needed."
2013
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Nur Hayati
"Latar Belakang: Air susu ibu merupakan nutrisi ideal untuk bayi yang direkomendasikan untuk diberikan secara eksklusif hingga usia 4-6 bulan. Air susu ibu mengandung zat bioaktif yang dapat mempercepat proses maturasi dan menjaga integritas mukosa usus. Pemeriksaan yang bersifat mudah, cepat, non-invasif dan terpercaya untuk menilai integritas mukosa usus yaitu alfa-1 antitripsin (AAT), calprotectin, dan IgA sekretorik (sIgA) feses.
Tujuan: Mengetahui perbedaan integritas mukosa usus dengan mengukur kadar AAT, calprotectin dan sIgA feses pada subjek bayi ASI dan susu formula eksklusif (SF) dan mengetahui hubungan antara jenis asupan nutrisi dengan integritas mukosa usus bayi pada usia 4-6 bulan.
Metode: Penelitian dilakukan pada bulan Juni-Oktober 2013. Subjek penelitian adalah bayi sehat berusia 4-6 bulan yang datang ke poliklinik anak RS St Carolus Jakarta dan yang bertempat tinggal di Kecamatan Pasar Minggu dan Cempaka Putih Jakarta. Kadar AAT, calprotectin, dan sIgA feses diukur menggunakan metode enzyme-linked immunosorbent assay (ELISA). Analisis statistik dilakukan untuk mencari hubungan pemberian ASI eksklusif dengan integritas mukosa usus dengan uji Kai kuadrat atau Fisher (analisis bivariat).
Hasil: Penelitian dilakukan pada 80 subjek (ASI n=40, SF n=40). Tidak didapatkan perbedaan karakteristik yang bermakna pada kedua kelompok. Kelompok ASI memiliki nilai rerata kadar AAT feses yang lebih tinggi secara bermakna (p=0,02). Kelompok SF memiliki kadar calprotectin yang lebih tinggi namun tidak berbeda bermakna (p=0,443) dibanding dengan bayi ASI. Kelompok ASI memiliki median kadar sIgA yang lebih tinggi secara tidak signifikan (p=0,104) dibandingkan dengan bayi SF. Pada penelitian ini didapatkan hubungan yang bermakna antara pemberian nutrisi dengan peningkatan kadar AAT feses bayi ASI. Tidak didapatkan hubungan yang bermakna antara jenis asupan nutrisi dengan penurunan kadar calprotectin (p=0,65) dan peningkatan kadar sIgA feses (p=0,26).
Simpulan: Bayi ASI eksklusif menunjukkan integritas mukosa usus yang lebih baik dari bayi SF eksklusif. Kadar AAT lebih tinggi secara signifikan pada bayi ASI eksklusif diduga berkaitan dengan AAT yang diperoleh dari ASI.

Background: Breastmilk is recognised for its ideal nutritional benefits for babies and has been recommended to be given exclusively for 6 months of life. Breastmilk also known to have bioactive substances that could modulates the gastrointestinal maturation and maintain its mucosal integrity. Markers that are easy, non-invasive and reliable like fecal alpha-1 antitrypsin (AAT), calprotectin, and secretoric imunoglobulin A (sIgA) have been known as marker to asses gut wall integrity.
Objective: To determine the difference of gut wall integrity based on fecal AAT, calprotectin, and sIg A level of exclusive breastmilk (BF) and formula feeding (FF) infant at 4-6 month of age. To determine the correlation between feeding type with gut wall integrity.
Methods: The study was conducted from June to Oktober 2013. Subjects were babies of 4-6 months old who came to pediatric policlinic at St Carolus hospital, and live in Kecamatan Pasar Minggu and Kecamatan Cempaka Putih, Jakarta. The fecal markers analized with enzyme-linked immunosorbent assay (ELISA) methode. Chi square and Fischer test were used to analyze the correlation between feeding type and gut wall integrity (bivariate analysis).
Results: There were 80 babies recruited (BF=40, FF=40). There were no statisticaly difference between the characteristics of two groups. The BF group showed higher fecal AAT level compared to FF group (p=0,02). The FF group showed a higher fecal calprotectin and the BF group had a higher level of fecal sIgA compared to BF group but not statisticaly different (p=0,443, p=0,104). There was significant correlation between fecal AAT level of babies with breastmilk feeding (p=0,02). There were no significant correlation between fecal calprotectin (p=0,65) and sIgA level with the feeding type (p=0,26).
Conclusion: The BF babies had better mucosal integrity compared to FF babies. The fecal AAT level were significantly higher in breastmilk feeding babies and related with AAT from breastmilk.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2013
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>