Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 216411 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Yuni Nurhayati
"ABSTRAK
Sebagai salah satu lembaga negara yang lahir di era reformasi, Mahkamah Konstitusi terus berusaha menciptakan pelayanan profesional dalam mewujudkan pelayanan yang ramah, terbuka dan modern bagi masyarakat para pencari keadilan. Seiring dengan kemajuan teknologi informasi dan komunikasi, berbagai upaya modernisasi dilakukan dengan tujuan meningkatkan efisiensi, efektifitas, transparansi dan akuntabillitas layanan Mahkamah Konstitusi. Salah satu terobosan dilakukan dengan membuat kebijakan pemeriksaan persidangan jarak jauh dengan menggunakan fasilitas video conference yaitu sebuah teknologi informasi dan komunikasi yang memberikan dukungan bagi persidangan di MK sehingga memberikan kemudahan akses kepada masyarakat untuk dapat melakukan persidangan tanpa harus hadir di ruang sidang Gedung MK. Namun sejak diresmikan penggunaannya pada tahun 2008 hingga saat ini pemanfaatannya masih relatif rendah. Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis pemanfaatan teknologi informasi dan komunikasi “Video Conference” dalam pemeriksaan persidangan, respon serta perilaku pihak-pihak yang berperkara di Mahkamah Konstitusi dan aspek eksternal apa saja yang berpotensi menghambat maupun mendorong pemanfaatannya. Dengan menggunakan pendekatan post positivis dan desain kualitatif deskriptif, penelitian ini memberikan gambaran bahwa rendahnya tingkat pemanfaatan teknologi informasi dan komunikasi “Video Conference” dalam pemeriksaan persidangan dipengaruhi oleh aspek budaya dan kepercayaan (trustworthiness) masyarakat.

ABSTRAK
As one of the state institutions that were born in the era of reform, the Constitutional Court keep trying to create a professional service that is friendly, open and modern for those whom seeking justice. In line with the developmental progress
of information and communication technology, modernization efforts are carried out with the aim of improving the efficiency, effectiveness, transparency and accountability services. One of the answer is by making a policy that allows witnesses to give evidence without the need to attend court using video conferencing facilities. Video conference is an information and communication technology which provides support for the trial to provide easy access to the public to be able to conduct the trial without the need to attend in the courtroom.
But since inaugurated in 2008 to the present utilization is still relatively low. This study aims to analyze the utilization of information and communication technology "Video Conference" in the proceedings, and the response behavior of the parties litigant in the Constitutional Court and the external aspects that could potentially inhibit or encourage it. By using a post-positivist approach and qualitative descriptive design, this research suggests that the low level of utilization of information and communication technology "Video Conference" in the proceedings is influenced by cultural aspects and beliefs (trustworthiness) community."
Jakarta: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2014
T41537
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Jakarta: Mahkamah Konstitusi, 2009
347.052 IND p (2)
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
cover
Ashilah Chalista Putri Yasya
"Telemedicine merupakan hasil dari perkembangan teknologi informasi dan komunikasi di bidang kesehatan. Salah satu bentuk telemedicine yakni konsultasi online semakin banyak ditemukan dalam praktik kedokteran, dibuktikan dengan maraknya aplikasi kesehatan online yang menyediakan layanan konsultasi jarak jauh antara dokter dengan pasien. Namun demikian, perkembangan tersebut belum dibarengi dengan regulasi yang memadai. Dalam penelitian ini penulis ingin menelaah dan menganalisis mengenai bagaimana bentuk perlindungan konsumen jasa kesehatan telemedicine, bentuk pertanggungjawaban hukum pelaku usaha telemedicine, serta upaya hukum yang dapat ditempuh konsumen telemedicine apabila mengalami sengketa dengan merujuk kepada peraturan yang ada saat ini seperti UU No. 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen, UU No. 36 Tahun 2009 Tentang Kesehatan, UU No. 29 Tahun 2004 Tentang Praktik Kedokteran, serta UU No. 11 Tahun 2008 Tentang Informasi dan Transaksi Elektronik. Penulis menggunakan metode penelitian yuridis normatif dengan tipe penelitian deskriptif analitis. Hasil penelitian menunjukkan bahwa ketentuan yang terdapat di dalam UU Perlindungan Konsumen serta peraturan sektoral di bidang kesehatan belum cukup dalam memberikan perlindungan terhadap konsumen telemedicine. Atas kerugian yang diderita, konsumen telemedicine dapat menempuh upaya hukum melalui lembaga BPSK, MKDKI, maupun pengadilan. Bentuk pertanggungjawaban pelaku usaha adalah berupa ganti kerugian.

Telemedicine is the byproduct of the recent development of information technology and communication in health. One of the forms of the development manifests as online consultation, which has become more common in health practice – proven by the growing number of health-based applications that provide a service of long-distance consultation between doctors and patients. However, this development has not been aided with sufficient regulations. In this research, the writer aims to analyze the forms of consumer protections towards practices of telemedicine, the forms of legal responsibility and accountability of telemedicine providers, and legal path consumers can pursue shall a dispute arise – in which the dispute refers to currently applicable laws such as Law Number 8, 1999, on Consumer Protections; Law Number 36, 2009, on Health; Law Number 29, 2004, on Medical Practices; and Law Number 11, 2008, on Information and Electronic Transactions. The writer used normative juridical research method with a descriptive-analytical research type. The results showed that regulations contained within the Law on Consumer Protections and other sectoral health laws have not been sufficient in providing legal protection towards telemedicine consumers. To address losses telemedicine consumers possibly suffer from, they may legally pursue the providers through Consumer Dispute Settlement Board (BPSK – Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen), Indonesia Medical Disciplinary Board (MKDKI – Majelis Kehormatan Disiplin Kedokteran Indonesia), and the Court. The provider’s responsibility is shown through compensations."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2022
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Benny A. Pribadi
"Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengembangkan model tutorial disampaikan melalui video conference. Sebuah model evaluasi formatif dari Dick, Carey, dan Carey dilaksanakan dalam penelitian perkembangan ini. Model formatif terdiri dari beberapa tahap sistematis seperti: analisis kebutuhan, merancang prototipe program, satu-ke-satu mencoba dengan individu siswa dan evaluasi kelompok kecil. Hasil penelitian menunjukkan bahwa bahan pembelajaran video conference harus dirancang dan dikembangkan berdasarkan beberapa faktor-tujuan instruksional, potensi konferensi video sebagai sistem pengiriman, tentu saja characteristics dan instruksional dukungan media."
Tangerang: Jurnal Pendidikan Terbuka dan Jarak Jauh, 2014
JPUT 15:1 (2014)
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
cover
Astrid Chaerida
"Pandemi Coronavirus Disease of 2019 (COVID-19), yang masuk ke Indonesia di tahun 2020, menyebabkan pemerintah Indonesia memberlakukan program pembatasan sosial yang menyebabkan penerapan kebijakan pelaksanaan pekerjaan perusahaan, yaitu menjadi bekerja dari rumah atau work from home (WFH). Hal ini mengharuskan perusahaan untuk menggunakan aplikasi video conference guna menjaga keberlangsungan komunikasi antar pekerjanya. Penelitian ini bertujuan untuk menjelaskan faktor-faktor yang memengaruhi niat keberlanjutan penggunaan aplikasi video conference di lingkungan pekerjaan pasca pandemi. Penelitian ini menggunakan mix-method yang terdiri dari pendekatan kualitatif dan kuantitatif. Pendekatan kualitatif dilakukan untuk merancang model dan mengeksplorasi technology affordance yang sesuai dengan aplikasi video conference. Pendekatan kuantitatif dilakukan untuk menguji hipotesis dengan menggunakan metode PLS-SEM. Data responden penelitian ini berjumlah 457 responden. Penelitian ini menggabungkan teori technology affordance, task-technology fit, dan expectation-confirmation model. Penulis menemukan technology affordance dari aplikasi video conference yaitu communication affordance, sharing resource affordance, collaborative working affordance, dan social presence affordance. Hasil dari penelitian ini adalah task characteristic dan technology affordance memiliki pengaruh positif pada perceived task-technology fit (TTF). Kemudian, TTF memiliki pengaruh positif terhadap continuance intention secara langsung dan tidak langsung melalui perceived usefulness, confirmation, dan satisfaction. Dalam penelitian ini juga ditemukan bahwa semua post acceptance variable dalam ECM terbukti. Terakhir, penelitian ini juga membuktikan bahwa expected degree of working flexibility memiliki pengaruh positif pada continuance intention. Penelitian ini diharapkan dapat menjadi acuan pengembangan fitur bagi penyedia aplikasi video conference dan menjadi acuan dalam memilih aplikasi video conference bagi perusahaan yang menggunakannya.

The Coronavirus Disease of 2019 (COVID-19) pandemic, which entered Indonesia in 2020, caused the Indonesian government to impose a social restriction program that led to the implementation of a company policy implementation of work, namely to work from home (WFH). This requires companies to use video conferencing applications to maintain continuous communication between employees. This study aims to explain the factors that influence the post-pandemic continuance intention of video conference applications in the workplace. This study uses mix-method consisting of qualitative and quantitative approaches. A qualitative approach is used to build the research model and explore technology affordances of video conference applications. A quantitative approach is used to test the hypothesis using the PLS-SEM method. This study collected data from 457 employees in Indonesia. This study combines technology affordance theory, tasktechnology fit, and expectation-confirmation model. This study found 4 technology affordances of video conference applications, namely communication affordance, sharing resource affordance, collaborative working affordance, and social presence affordance. The results of this study show that task characteristic and technology affordance improve perceived task-technology fit (TTF). Then, TTF improves continuance intention directly and indirectly through perceived usefulness, confirmation, and satisfaction. This study also found that all post-acceptance variables in ECM were proven. Finally, this study proves that the expected degree of working flexibility has a positive influence on continuance intention. This study hopefully can be a reference for video conference application providers to decide which features to develop and for companies that use them to decide which application to use."
Depok: Fakultas Ilmu Komputer Universitas Indonesia, 2022
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Hanifah Rahmajati
"Pandemi Coronavirus Disease of 2019 (COVID-19), yang masuk ke Indonesia di tahun 2020, menyebabkan pemerintah Indonesia memberlakukan program pembatasan sosial yang menyebabkan penerapan kebijakan pelaksanaan pekerjaan perusahaan, yaitu menjadi bekerja dari rumah atau work from home (WFH). Hal ini mengharuskan perusahaan untuk menggunakan aplikasi video conference guna menjaga keberlangsungan komunikasi antar pekerjanya. Penelitian ini bertujuan untuk menjelaskan faktor-faktor yang memengaruhi niat keberlanjutan penggunaan aplikasi video conference di lingkungan pekerjaan pasca pandemi. Penelitian ini menggunakan mix-method yang terdiri dari pendekatan kualitatif dan kuantitatif. Pendekatan kualitatif dilakukan untuk merancang model dan mengeksplorasi technology affordance yang sesuai dengan aplikasi video conference. Pendekatan kuantitatif dilakukan untuk menguji hipotesis dengan menggunakan metode PLS-SEM. Data responden penelitian ini berjumlah 457 responden. Penelitian ini menggabungkan teori technology affordance, task-technology fit, dan expectation-confirmation model. Penulis menemukan technology affordance dari aplikasi video conference yaitu communication affordance, sharing resource affordance, collaborative working affordance, dan social presence affordance. Hasil dari penelitian ini adalah task characteristic dan technology affordance memiliki pengaruh positif pada perceived task-technology fit (TTF). Kemudian, TTF memiliki pengaruh positif terhadap continuance intention secara langsung dan tidak langsung melalui perceived usefulness, confirmation, dan satisfaction. Dalam penelitian ini juga ditemukan bahwa semua post acceptance variable dalam ECM terbukti. Terakhir, penelitian ini juga membuktikan bahwa expected degree of working flexibility memiliki pengaruh positif pada continuance intention. Penelitian ini diharapkan dapat menjadi acuan pengembangan fitur bagi penyedia aplikasi video conference dan menjadi acuan dalam memilih aplikasi video conference bagi perusahaan yang menggunakannya.

The Coronavirus Disease of 2019 (COVID-19) pandemic, which entered Indonesia in 2020, caused the Indonesian government to impose a social restriction program that led to the implementation of a company policy implementation of work, namely to work from home (WFH). This requires companies to use video conferencing applications to maintain continuous communication between employees. This study aims to explain the factors that influence the post-pandemic continuance intention of video conference applications in the workplace. This study uses mix-method consisting of qualitative and quantitative approaches. A qualitative approach is used to build the research model and explore technology affordances of video conference applications. A quantitative approach is used to test the hypothesis using the PLS-SEM method. This study collected data from 457 employees in Indonesia. This study combines technology affordance theory, tasktechnology fit, and expectation-confirmation model. This study found 4 technology affordances of video conference applications, namely communication affordance, sharing resource affordance, collaborative working affordance, and social presence affordance. The results of this study show that task characteristic and technology affordance improve perceived task-technology fit (TTF). Then, TTF improves continuance intention directly and indirectly through perceived usefulness, confirmation, and satisfaction. This study also found that all post-acceptance variables in ECM were proven. Finally, this study proves that the expected degree of working flexibility has a positive influence on continuance intention. This study hopefully can be a reference for video conference application providers to decide which features to develop and for companies that use them to decide which application to use.

"
Depok: Fakultas Ilmu Komputer Universitas Indonesia, 2022
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Faza Ghani Irham
"Pandemi Coronavirus Disease of 2019 (COVID-19) di Indonesia menyebabkan pemerintah memberlakukan program pembatasan sosial yang menyebabkan penerapan kebijakan work from home (WFH) yang mengharuskan perusahaan untuk menggunakan aplikasi video conference guna menjaga keberlangsungan komunikasi antar pekerjanya. Penelitian ini bertujuan untuk menjelaskan faktor-faktor yang memengaruhi niat keberlanjutan penggunaan aplikasi video conference di lingkungan pekerjaan pasca pandemi. Penelitian ini terdiri dari pendekatan kualitatif dan kuantitatif. Pendekatan kualitatif dilakukan untuk merancang model dan mengeksplorasi technology affordance aplikasi video conference. Pendekatan kuantitatif dilakukan dengan menggunakan data dari 457 responden yang diolah dengan metode PLS-SEM. Penelitian ini menggabungkan teori technology affordance, task-technology fit (TTF), dan expectation-confirmation model (ECM). Penulis menemukan empat technology affordance yaitu communication, sharing resource, collaborative working, dan social presence. Hasil dari penelitian ini adalah task characteristic dan technology affordance memiliki pengaruh positif pada TTF. TTF memiliki pengaruh positif terhadap continuance intention secara langsung dan tidak langsung melalui perceived usefulness, confirmation, dan satisfaction. Kemudian, semua hipotesis dalam ECM terbukti. Terakhir, penelitian ini juga membuktikan bahwa expected degree of working flexibility memiliki pengaruh positif pada continuance intention. Penelitian ini diharapkan dapat menjadi acuan pengembangan fitur bagi penyedia aplikasi video conference dan menjadi acuan dalam memilih aplikasi video conference bagi perusahaan yang menggunakannya.

The Coronavirus Disease of 2019 (COVID-19) pandemic in Indonesia caused theIndonesian government to impose a social restriction program that led to the implementation of work from home (WFH). This requires companies to use video conferencing applications to maintain communication. This study aims to explain the factors influencing post-pandemic continuance intention of video conference applications in the workplace. This study uses qualitative and quantitative approaches. Qualitative approach is used to build the research model and explore technology affordances of video conferencing applications. Quantitative approach was carried out using data from 457 respondents processed with the PLS-SEM method. This study combines technology affordance theory, task-technology fit (TTF), and expectation-confirmation model (ECM). Four technology affordances were found, namely communication, sharing resource, collaborative working, and social presence. The results of this study show that task characteristic and technology affordance improve perceived TTF. TTF improves continuance intention directly and indirectly through perceived usefulness, confirmation, and satisfaction. This study found that all hypotheses in ECM were proven. Finally, this study proves that the expected degree of working flexibility has a positive influence on continuance intention. This study hopefully can be a reference for application providers to decide features to develop and for companies that use them to decide which application to use"
Depok: Fakultas Ilmu Komputer Universitas Indonesia, 2022
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Mas Eka Setiawan
"Komunikasi real-time merupakan komunikasi yang dilakukan tanpa adanya waktu transmisi yang signifikan. VoIP dan video telephony merupakan beberapa teknologi komunikasi real-time dimana aliran media dilewatkan dalam jaringan IP. webRTC sebagai teknologi baru, membawa teknologi seperti VoIP dan Video Telephony ke dalam web. Untuk menjamin keamanan data yang dikirimkan, webRTC mengharuskan implementasi dengan menggunakan enkripsi. Namun, RTP yang merupakan protokol komunikasi real-time, tidak menggunakan enkripsi dalam implementasinya sehingga perlu penggunaan protokol yang lebih aman yaitu SRTP. SRTP menggunakan kunci simetris untuk melakukan enkripsi data dalam komunikasi real-time. SRTP menggunakan DTLS untuk melakukan manajemen kunci, pertukaran kunci dan autentikasi. DTLS menggunakan sertifikat digital dan mekanisme tanda tangan digital dalam skema autentikasinya. Kriptografi dengan kunci asimetris diimplementasikan pada skema autentikasi DTLS. Dua algoritma yang pada umumnya digunakan untuk melakukan autentikasi tersebut adalah RSA dan ECDSA. Pendekatan perhitungan antara kedua algoritma tersebut berbeda. RSA menggunakan faktorisasi bilangan prima yang besar sedangkan ECDSA menggunakan perhitugnan pada kurva eliptis. Perbedaan tersebut menghasilkan parameter komputasi yang berbeda. Dalam tulisan ini dilakukan perbandingan algoritma RSA dan ECDSA dalam hal penggunaan sumber daya dan implikasinya dalam webRTC. Tulisan ini menggunakan dua pendekatan dalam percobaan perbandingan. Pendekatan pertama melakukan komputasi langsung dalam sebuah perangkat untuk melihat penggunaan sumber daya yang diperlukan. Perdekatan kedua dilakukan dalam sistem panggilan video sehingga perbedaan terlihat dalam implementasi webRTC. Dari hasil pengujian pada dua pendekatan tersebut, didapatkan bahwa RSA memiliki peningkatan kebutuhan sumber daya dan waktu penyelesaian autentikasi yang lebih tinggi dibandingkan dengan ECDSA. Rasio waktu CPU ECDSA terhadap RSA terus berkurang seiring peningkatan tingkat keamanan. Rasio menurun dari 0.2 menjadi 0,0002 pada pembuatan kunci, 2,6 menjadi 0,01 pada pembuatan signature, dan 62,0 menjadi 0,02 pada verifikasi signature untuk tingkat keamanan 80 dan 256. Alokasi memori RSA mendekati sepuluh kali lipat dibandingkan ECDSA pada tingkat keamanan 256 dan diprediksi meningkat seiring meningkatnya tingkat keamanan. Besar kunci yang digunakan mempengaruhi besar sertifikat dan verifikasi yang kirimkan. DTLS dengan maximum transmission unit sebesar 1500 byte memerlukan mekanisme fragmentasi untuk mengirimkan keseluruhan informasi. RSA dengan panjang kunci 15360 bit mengirimkan tiga puluh fragmen untuk sertifikat dan lima belas fragmen untuk verifikasi yang mempengaruhi waktu penyelesaian DTLS.Komunikasi real-time merupakan komunikasi yang dilakukan tanpa adanya waktu transmisi yang signifikan. VoIP dan video telephony merupakan beberapa teknologi komunikasi real-time dimana aliran media dilewatkan dalam jaringan IP. webRTC sebagai teknologi baru, membawa teknologi seperti VoIP dan Video Telephony ke dalam web. Untuk menjamin keamanan data yang dikirimkan, webRTC mengharuskan implementasi dengan menggunakan enkripsi. Namun, RTP yang merupakan protokol komunikasi real-time, tidak menggunakan enkripsi dalam implementasinya sehingga perlu penggunaan protokol yang lebih aman yaitu SRTP. SRTP menggunakan kunci simetris untuk melakukan enkripsi data dalam komunikasi real-time. SRTP menggunakan DTLS untuk melakukan manajemen kunci, pertukaran kunci dan autentikasi. DTLS menggunakan sertifikat digital dan mekanisme tanda tangan digital dalam skema autentikasinya. Kriptografi dengan kunci asimetris diimplementasikan pada skema autentikasi DTLS. Dua algoritma yang pada umumnya digunakan untuk melakukan autentikasi tersebut adalah RSA dan ECDSA. Pendekatan perhitungan antara kedua algoritma tersebut berbeda. RSA menggunakan faktorisasi bilangan prima yang besar sedangkan ECDSA menggunakan perhitugnan pada kurva eliptis. Perbedaan tersebut menghasilkan parameter komputasi yang berbeda. Dalam tulisan ini dilakukan perbandingan algoritma RSA dan ECDSA dalam hal penggunaan sumber daya dan implikasinya dalam webRTC. Tulisan ini menggunakan dua pendekatan dalam percobaan perbandingan. Pendekatan pertama melakukan komputasi langsung dalam sebuah perangkat untuk melihat penggunaan sumber daya yang diperlukan. Perdekatan kedua dilakukan dalam sistem panggilan video sehingga perbedaan terlihat dalam implementasi webRTC. Dari hasil pengujian pada dua pendekatan tersebut, didapatkan bahwa RSA memiliki peningkatan kebutuhan sumber daya dan waktu penyelesaian autentikasi yang lebih tinggi dibandingkan dengan ECDSA. Rasio waktu CPU ECDSA terhadap RSA terus berkurang seiring peningkatan tingkat keamanan. Rasio menurun dari 0.2 menjadi 0,0002 pada pembuatan kunci, 2,6 menjadi 0,01 pada pembuatan signature, dan 62,0 menjadi 0,02 pada verifikasi signature untuk tingkat keamanan 80 dan 256. Alokasi memori RSA mendekati sepuluh kali lipat dibandingkan ECDSA pada tingkat keamanan 256 dan diprediksi meningkat seiring meningkatnya tingkat keamanan. Besar kunci yang digunakan mempengaruhi besar sertifikat dan verifikasi yang kirimkan. DTLS dengan maximum transmission unit sebesar 1500 byte memerlukan mekanisme fragmentasi untuk mengirimkan keseluruhan informasi. RSA dengan panjang kunci 15360 bit mengirimkan tiga puluh fragmen untuk sertifikat dan lima belas fragmen untuk verifikasi yang mempengaruhi waktu penyelesaian DTLS.

Real time communication RTC is a communication type without any significant transmission delay. VoIP and Video Telephony is an example of RTC technology where media streams are passed on IP networks. webRTC as a new technology brings VoIP and Video Telephony technologies into the web. To ensure the security data, webRTC requires implementation with encryption. RTP which is an RTC protocol does not implement encryption, so it needs to use a more secure protocol which is SRTP. SRTP uses symmetric keys to perform data encryption in the RTC. SRTP uses DTLS to perform key management, key exchanges and authentication. DTLS uses digital certificates and digital signature mechanisms to authenticate. Cryptography with asymmetric keys is implemented in the DTLS authentication mechanism. Two commonly used algorithms for authentication are RSA and ECDSA. The calculation approach between those two algorithms is different. RSA uses prime factorization while ECDSA uses elliptical curve computation. These differences produce different computational parameters. In this paper we compare the RSA and ECDSA algorithm in terms of resources and its implication in webRTC. This paper uses two approaches for comparative experiments. The first approach is do direct computing in a device to see the use resources. The second approach is done in a video call system so that differences are seen in webRTC implementation. From the test results in both approaches, it was found that RSA has higher resource requirements and process completion times compared to ECDSA. The ratio for CPU time of ECDSA to RSA continues to decrease as security levels increase. The ratios decreases from 0.2 to 0.0002 in key generation, 2.6 to 0.01 in key generation, and 62.0 to 0.02 in key generation for security levels of 80 and 256. RSA memory allocation approximately ten times higher than ECDSA at 256 security level and predicted to increases with increasing of security level. Size of key affect the size of the certificate and the verification in DTLS. DTLS with a maximum transmission unit of 1500 bytes requires a fragmentation mechanism to send whole information. RSA with a key length of 15360 bits sends thirty fragments for certificates and fifteen fragments for verification which affect DTLS completion time."
Depok: Fakultas Teknik Universitas Indonesia, 2018
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Yudi Prasetiawan
"ABSTRAK
Kondisi ketahanan pangan Indonesia dalam beberapa tahun terakhir semakin memprihatinkan. Hal ini dapat dilihat dari peringkat ketahanan pangan Indonesia pada tahun 2015 yang hanya berada pada peringkat 74 dari 109 negara di seluruh dunia. Rendahnya ketahanan pangan tersebut disebabkan oleh rendahnya produktivitas terutama sektor nelayan, peternakan, dan perikanan. Di lain sisi, tingkat konsumsi masyarakat terhadap kebutuhan pangan terus meningkat. Pemanfaatan teknologi informasi dan komunikasi (TIK) untuk mengatasi permasalahan ketahanan nasional terutama bidang perikanan diharapkan dapat meningkatkan produktivitas dan kesejahteraan nelayan. Oleh karena itu penelitian ini bertujuan untuk mengetahui informasi yang dibutuhkan nelayan dalam meningkatkan produktivitasnya, bentuk pemanfaatan TIK selama ini, serta faktorfaktor yang mempengaruhi pemanfaatan TIK di lingkungan nelayan.
Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan kualitatif eksploratori pada beberapa lokasi di kampung nelayan. Sedangkan data yang digunakan merupakan data sekunder. Analisis hasil pengumpulan data menggunakan analisis tematik dengan Atlas TI versi 7.5 sebagai alat bantu analisis data kualitatifnya.
Berdasarkan hasil analisis didapatkan informasi bahwa bentuk penggunaan teknologi informasi dan komunikasi di kalangan nelayan yaitu: 1) Telepon seluler digunakan untuk melakukan panggilan telepon dan SMS; 2) Radio dan telepon satelit digunakan nelayan saat berada ditengah laut untuk berkomunikasi dengan nelayan yang ada di darat; 3) GPS digunakan nelayan sebagai alat penunjuk jalan pergi atau pulang dari laut. Informasi yang dibutuhkan masyarakat nelayan dalam meningkatkan produktivitasnya adalah informasi cuaca, informasi lokasi keberadaan ikan, informasi harga ikan, informasi bantuan dari pemerintah, dan informasi ketersediaan bahan bakar minyak bersubsidi. Sedangkan faktor yang mempengaruhi nelayan dalam memanfaatkan TIK adalah pendidikan masyarakat, kemampuan ekonomi, persepsi kemudahan, persepsi manfaat, dan usia masyarakat.

ABSTRACT
From 1990th until this year, the condition of Indonesia food security become apprehensively more and more. It can be observed by the World Food Security Rankings 2015, Indonesia get position on 74th from 109 countries. The low rate of Indonesia food security because of lowness of main productivity such as agriculture, livestock and fishery sectors specially. On the other side, the rate of community consumption to food necessity had increased continuously. Wishfully, Information and Communication Technology (ICT) utilization to solve national security in fishery sector can be increasing the number of fishers productivity and welfare. Therefore, this research is aimed at knowing information required by fishers to increase productivity by utilization of ICT currently and also factors influencing ICT utilization in scope of fishers.
The method used in this research is exploratory qualitative approach at some Fishers Village. While the data used in this research is secondary data.
Result analysis of data collection uses thematic analysis with 7.5 version Atlas TI as aid tool for qualitative data analysis. Acoording to analysis result it had been found information that the type of information and communication technology utilization between fishers among them: 1) Cellular phone used for SMS and calling; 2) Radio and satelite phone used when fishers over the sea to communicate with the other fishers on shore; 3) GPS used as compass for going and coming from the sea. The information that required by fishers community to increase their productivity are informations of weather, location of fishes existence, fish price, govermental aid and supply of subsidized fuel oil. Whereas, factors influencing fishers in utilizing ICT are community education, economic capability, easiness perception, benefit percepation and community age. Additionally, it had been found information that fishers expect that any increasing of human resource capacity of fishers, installment and improvement of ICT facility and means as well as information related with fishers affairs.
"
2016
TA-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Oos M. Anwas
"Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui bagaimana pemanfaatan Teknologi Informasi dan Komunikasi di Pesantren Rakyat Al-Amin Malang Jawa Timur. Penelitian menggunakan pendekatan kualitatif dengan metode deskriptif. Pengumpulan data dilakukan melalui pengamatan dan wawancara terhadap pimpinan pesantren, para santri, pemerintah setempat, dan masyarakat sekitar pesantren. Analisis data menggunakan analisis deskriptif. Hasil penelitian membuktikan bahwa walaupun secara infrastruktur dan sistem aplikasi masih relatif terbatas, pimpinan pesantren memiliki komitmen yang kuat dalam memanfaatkan Teknologi Informasi dan Komunikasi di pesantren. Keterbatasan infrasruktur diatasi dengan mengoptimalkan produk Teknologi Informasi dan Komunikasi yang dimiliki masing-masing santri dan masyarakat. Melalui Teknologi Informasi dan Komunikasi, pembelajaran agama menjadi dinamis dan menarik, media dan konten lebih beragam (teks, gambar, audio, video, animasi, dan simulasi), waktu dan tempat belajar lebih fleksibel, serta para santri dilatih membuat konten untuk berbagi melalui internet. Begitu pula pemanfaatan Teknologi Informasi dan Komunikasi dapat menggerakan kembali budaya dan kearifan lokal (Jagong Maton) serta pemberdayaan masyarakat (Posdaya) di sekitar pesantren. Studi ini disimpulkan bahwa walaupun secara infrastruktur relatif terbatas namun kebijakan dan komitmen pimpinan Pesantren Rakyat sangat kuat sehingga pemanfaatan Teknologi Informasi dan Komunikasi dapat optimal."
Depok: Badan Penelitian dan Pengembangan Depdiknas, 2015
370 JPK 21:3 (2015)
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>