Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 142089 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Fibya Indah Sari
"Bedah merupakan salah satu prosedur medis yang dilakukan secara manual dan menyebabkan banyak perlukaan dan berisiko tinggi menyebabkan infeksi Adanya infeksi harus ditangani dengan antibiotika empiris yang tepat dan rasional. Penelitian ini dilakukan untuk memperoleh data penggunaan antibiotika empiris pada pasien pascabedah di Ruang ICU RSAL Dr Mintohardjo selama periode 2012 2013 dan melakukan evaluasi kerasionalannya dilihat dari ketepatan pasien ketepatan indikasi ketepatan obat ketepatan dosis dan interaksi obat. Penelitian dilakukan dengan pengambilan data penggunaan antibiotik empiris dari rekam medis pasien pascabedah dengan metode retrospektif dengan desain cross sectional. Pengambilan sampel penelitian dilakukan dengan tekniktotal sampling. Populasi penelitian berjumlah 299 pasien dan 35 pasien diterima sebagai sampel penelitian. Pada penilaian terhadap jumlah pasien pascabedah terdapat 100 pasien mendapatkan terapi antibiotik tepat dengan kondisi pasien 11 43 pasien mendapatkan antibiotik sesuai indikasi 0 pasien mendapatkan antibiotik tepat obat 85 71 pasien sudah mendapatkan dosis yang tepat dan 51 43 pasien tidak mengalami interaksi obat. Sehingga dapat disimpulkan pengobatan antibiotik empiris pada pasien pascabedah di RSAL Dr Mintohardjo tidak rasional.

Surgery is a manual medical procedure which causes many wounds and has a high infection risk Patient who has infection must be given antibiotic immediatelyand rationally. The aim of this study was to collect empiric antibiotics usage data in Intensive Care Unit of Naval Hospital Dr Mintohardjo 2012 2013 and to evaluate rationality of the administration through the appropriate patient appropriate indication appropriate drug appropriate dose and drugs interaction. This retrospective cross sectional study was done by collecting empiric antibiotics usage data from medical record of postoperative patients on 2012 2013 using total sampling. Population of study included 299 patients and 35 patients were accepted as samples of study. Appropriate assessment based on number of postoperative patients showed 100 appropriate patient 11 43 appropriate indication 0 appropriate drug 85 71 appropriate dose and 31 43 no drugs interaction. It was concluded that empirical antibiotic treatment in postoperative patients in Naval Hospital Dr Mintohardjo were irrational."
Depok: Fakultas Farmasi Universitas Indonesia, 2014
S54986
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Azizah Nurrakhmani
"Penggunaan antibiotik yang tidak rasional dapat menyebabkan sulitnya penanganan penyakit infeksi karena dengan meningkatnya penggunaan antibiotik yang tidak rasional, tingkat resistensi kuman terhadap antibiotik akan terus meningkat. Salah satu penyakit infeksi yang mempunyai prevalensi tinggi di Indonesia adalah SIRS, yang mencakup sepertiga dari pasien yang dirawat di ICU. SIRS (Systemic Inflammatory Response Syndrome) merupakan respons klinis terhadap rangsangan spesifik dan nonspesifik, yang disebabkan oleh faktor infeksi maupun non-infeksi. SIRS yang terjadi akibat infeksi perlu diberikan terapi antibiotik yang rasional. Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui pola penggunaan antibiotik pada pasien SIRS di Ruang ICU RSAL Dr. Mintohardjo dan melakukan evaluasi kerasionalannya dilihat dari ketepatan pasien, ketepatan indikasi, ketepatan obat, ketepatan dosis, dan tanpa interaksi obat.
Penelitian ini merupakan studi survey yang dilakukan dengan cara pengambilan data penggunaan antibiotik dari rekam medis pada periode 2012-2013 secara retrospektif dengan desain cross-sectional dan pengambilan sampel dengan teknik total sampling. Populasi penelitian bejumlah 148 pasien dan 35 pasien diterima sebagai sampel penelitian dengan total administrasi antibiotik sebanyak 91 kali dengan rincian sebagai berikut, antibiotik tunggal sebanyak 8 kali dan kombinasi 62 kali. Antibiotik yang paling sering digunakan adalah meropenem, sedangkan antibiotik yang paling sering dikombinasi adalah meropenem+metronidazol. Penggunaan antibiotik yang memenuhi kriteria tepat pasien sebanyak 100,00%, tepat indikasi 22.86%, tepat obat 2.86%, tepat dosis 74.29% dan tanpa interaksi obat 31.43%. Hasil secara keseluruhan pemberian antibiotik empiris pada pasien penderita SIRS dinilai tidak ada yang memenuhi kriteria rasional.

The irrationality of antibiotics usage can lead to difficulty in handling infectious diseases. This occurs due to the increased of antibiotics usage that are not rational will rising the level of resistance of germs to antibiotics. One of the diseases that have a high prevalence of infection in Indonesia is SIRS, which covers one-third of the patients treated in the ICU. SIRS (Systemic Inflammatory Response Syndrome) is a clinical response to specific and nonspecific insult, which are caused by infectious or non-infectious. SIRS caused by infection should be given a rational empirical antibiotic therapy. This study was conducted to determine the pattern of antibiotic usage in patients with SIRS in ICU Naval Hospital Dr. Mintohardjo and evaluation of the accuracy of precision patient, an indication of accuracy, precision medicine, precision dosing, and no drug interactions.
The study is a survey study done by collecting data from medical records of antibiotic usage in 2012-2013 with a retrospective methods, cross-sectional design and sampling with a total sampling technique. Population of study included 148 patients and 35 patients were accepted as samples of study. The study showed that the administration of antibiotics were given 91 times with the following details, a single antibiotic were given 8 times and the combination of antibiotic were given 62 times. The antibiotics most commonly used are meropenem, while most antibiotics are often combined meropenem + metronidazole. Patientd that giben empirical antibitocs with following criteria like right patients as much as 100.00%, 22.86% precise indications, 2.86% right drug, the right dose 74.29% and 31.43% with no drug interactions. There is no rationality in empirical antibiotics usage for patient with SIRS in Naval Hospital Dr. Mintohardjo.
"
Depok: Fakultas Farmasi Universitas Indonesia, 2014
S54925
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Maria Septia Bintang Kinanti
"Apendisitis adalah peradangan dari apendiks vermiformis yang biasa terjadi karena disebabkan oleh infeksi atau obstruksi. Pemberian antibiotik dapat menurunkan resiko infeksi pada luka operasi.
Penelitian ini dilakukan untuk memperoleh data penggunaan antibiotika empiris pada pasien apendisitis di Ruang Perawatan RSAL Dr. Mintohardjo selama tahun 2014 dan melakukan evaluasi kerasionalannya dilihat dari ketepatan pasien, ketepatan indikasi, ketepatan obat, ketepatan dosis dan interaksi obat.
Penelitian dilakukan dengan pengambilan data penggunaan antibiotik empiris dari rekam medis pasien apendisitis dengan metode retrospektif dengan desain penelitian cross- sectional. Pengambilan sampel penelitian dilakukan dengan teknik total sampling.
Populasi penelitian berjumlah 130 pasien, dan 111 pasien diterima sebagai sampel penelitian. Pada penilaian terhadap jumlah pasien apendisitis, terdapat 100% pasien mendapatkan terapi antibiotik tepat dengan kondisi pasien; 83,78% pasien mendapatkan antibiotik sesuai indikasi; 100% pasien mendapatkan antibiotik tepat obat; 97,30% pasien sudah mendapatkan dosis yang tepat, dan 100% pasien tidak mengalami interaksi obat. Sehingga dapat disimpulkan pengobatan antibiotik empiris pada pasien apendisitis di RSAL Dr. Mintohardjo hampir semua rasional.

Appendicitis is an inflammation of the appendix vermiformis commonly happened because it is caused by an infection or obstruction. Antibiotics can reduce the risk of infection in the surgical wound.
This study aimed to obtain empirical data on the use of antibiotics in patients with appendicitis at Inpatient Unit Hospital Dr. Mintohardjo. This research was conducted to obtain data on the use of empiric antibiotics in appendicitis patients at Inpatient Unit Hospital Dr. Mintohardjo during 2014 and evaluate rationality of the administration through the appropriate patient, appropriate indication, appropriate drug, appropriate dose, and drugs interaction. This retrospective cross-sectional study was done by collecting empiric antibiotics usage data from medical record of appendicitis patients on 2014 using total sampling.
Population of study included 130 patients, and 111 patients were accepted as samples of study. Appropriate assessment based on number of appendicitis patients, showed 100% appropriate patient, 83,78% appropriate indication, 100% appropriate drug, 97,30% appropriate dose, and 100% drugs interaction. It can be concluded that empirical antibiotic treatment in patients with appendicitis at RSAL Dr. Mintohardjo most of all is rational.
"
Depok: Fakultas Farmasi Universitas Indonesia, 2015
S60761
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Rafika Fathni
"Laparotomi merupakan salah satu prosedur medis yang dilakukan secara manual dan menyebabkan banyak perlukaan, yang berisiko tinggi mengalami infeksi, yang dicegah dengan antibiotik profilaksis. Pemberian antibiotik profilaksis yang dilakukan secara empiris dapat menyebabkan banyak dampak negatif jika dilakukan tanpa pengkajian kerasionalan penggunaannya.
Penelitian ini bertujuan untuk memperoleh data penggunaan antibiotik profilaksis dan melakukan evaluasi kerasionalannya dilihat dari ketepatan indikasi, ketepatan obat, dan ketepatan dosis. Penelitian dilakukan dengan pengambilan data penggunaan antibiotik profilaksis laparotomi dari rekam medis pasien yang menerima prosedur laparotomi pada bulan Januari - Desember 2012 secara retrospektif dengan desain cross-sectional. Pengambilan sampel penelitian dilakukan dengan teknik total sampling. Populasi penelitian berjumlah 486 pasien, dan 161 pasien diterima sebagai sampel penelitian, dengan total administrasi antibiotik profilaksis laparotomi sebanyak 230 kali.
Hasil penelitian menunjukkan pola penggunaan antibiotik profilaksis yang kebanyakan diberikan adalah antibiotik profilaksis tunggal (57,14%), dan antibiotik yang paling banyak digunakan adalah seftriakson dan sefotaksim (34,78%). Penggunaan antibiotik profilaksis yang memenuhi kriteria tepat indikasi adalah 54,78%, tepat obat 3,48%, dan tepat dosis 88,70%. Namun demikian, dari seluruh sampel penelitian tidak ada yang dapat dikategorikan rasional dilihat dari ketepatan indikasi, obat, dan dosis.

Laparotomy is a manual medical procedure which causes many wounds, and has a high infection risk. Surgical site infection is usually prevented by administration of prophylaxis antibiotics. Empirical administration of prophylaxis antibiotics without rationality study can cause many negative impacts.
The aim of this study was to collect prophylaxis antibiotics usage data and to evaluate rationality of the administration, observed from the accuracy of indication, medication, and dose. This retrospective cross-sectional study was done by collecting laparotomy prophylaxis antibiotics usage data from medical record of patients who had received laparotomy procedure on January - December 2012 using total sampling. Population of study included 486 patients, and 161 patients were accepted as samples of study, with total 230 times administration of laparotomy prophylaxis antibiotics.
The results showed that most of prophylaxis antibiotics were given as single type antibiotic (57.14%), and the most antibiotics used were ceftriaxone and cefotaxime (34.78%). Patients given prophylaxis antibiotics with rational indication were 54.78%, only 3.48% were given the appropriate medication, and 88.70% were given antibiotics with the right dose. However, among all samples, none was considered rational in terms of indication, medication, and dose accuracy.
"
Depok: Fakultas Farmasi Universitas Indonesia, 2013
S45912
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Armen Muchtar, Author
Jakarta: UI-Press, 2006
PGB 0173
UI - Pidato  Universitas Indonesia Library
cover
Corry Shirleyana Putri
"Gangren kaki diabetik ialah salah satu bentuk komplikasi yang dialami oleh banyak pasien penderita diabetes melitus. Pemberian terapi antibiotik sudah menjadi hal yang umum untuk mengatasi infeksi gangren kaki diabetik. Terapi antibiotik yang rasional sangat diperlukan bagi penderita infeksi gangren kaki diabetik kerena diharapkan dapat mengurangi terjadinya resistensi bakteri dan mencegah dilakukannya tindakan amputasi, mengurangi biaya dan waktu lama perawatan pasien.
Penelitian ini bertujuan untuk mendapatkan gambaran kerasionalan penggunaan antibiotika pada pasien penderita gangren kaki diabetik yang di RSAL Dr. Mintohardjo pada tahun 2012, melalui penilaian ketepatan indikasi, ketepatan obat, ketepatan dosis ketepatan pasien, dan tidak adanya interaksi obat. Peneliti melakukan pengambilan data melalui data sekunder berupa rekam medis pasien periode Januari–Desember 2012 dengan desain cross-sectional. Dengan menggunakan teknik total sampling, didapatkan 18 sampel yang sesuai dengan kriteria inklusi penelitian.
Pada hasil penyajian data secara deskriptif, penilaian ketepatan berdasarkan pemberian antibiotik pada pasien terdapat tepat dosis sebesar 27,78%, tepat indikasi 38,89%, tidak adanya interaksi obat 72,22%, tepat pasien 8,33%, dan tepat obat 13,89%. Pada penilaian terhadap jumlah pasien gangren kaki diabetik, terdapat 16,67% pasien sudah mendapatkan dosis yang tepat, 16,67% pasien mendapatkan antibiotik sesuai indikasi, 55,56% pasien tidak mengalami interaksi obat, 11,11% pasien mendapatkan terapi antibiotik tepat dengan kondisi pasien, dan 0% pasien mendapatkan antibiotik tepat obat. Berdasarkan hasil penelitian, disimpulkan bahwa tidak ada pasien gangren kaki diabetik yang mendapatkan pengobatan antibiotik secara rasional.

Diabetic foot gangrene is one of complications happened in many patients with diabetes mellitus. Antibiotic therapy has become a common thing to overcome diabetic foot infection. Rational antibiotic therapy is necessary for patients with diabetic foot gangrene infection because it is expected to reduce the occurrence of bacterial resistance, prevent the amputation, reduce cost, and patient's length of stay time.
The purpose of this study was to obtain an overview rational usage of antibiotics in patients with diabetic foot gangrene in Naval Hospital Dr. Mintohardjo during 2012, through the appropriate indication, appropriate drug, appropiate dose, appropiate patient, no drugs interaction. Researcher collected secondary data from medical record during January-December 2012 and used cross-sectional design. By total sampling technique, there were 18 samples were obtained in accordance with inclusion criteria of study.
Appropriate assessment based on number of antibiotics given, showed 27,78% appropriate dose, 38,89% appropriate indication, 72,22% no drugs interaction, 8,33% appropriate patient, and 13,80% appropriate drug. Based on the number diabetic foot gangrene patients, there were 16,67% patients received appropriate dose, 16,67% received appropriate indication of antibiotics, 55,56% patients had no drugs interaction 11,11% patients received appropriate antibiotics as their own condition, and 0% patients received appropriate drug. Based on the result of, it was concluded that, there were no diabetic foot gangrene patients who received rational antibiotic treatment.
"
Depok: Fakultas Farmasi Universitas Indonesia, 2013
S47008
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Syarifuddin Anshari
"ABSTRAK
Pendahuluan Intussusepsi merupakan kegawatdaruratan yang sering terjadi pada anak di bawah dua tahun dengan salah satu plihan tata laksananya adalah operasi Dalam terapi operatif dapat dilakukan dengan dua jenis operasi yaitu reseksi anastomosis langsung atau pembuatan stoma sementara Studi ini dilakukan untuk mengevaluasi keluaran kedua jenis operasi tersebut berupa lama rawat masa awal asupan oral infeksi daerah operasi dan re operasi Metode Studi retrospektif dengan desain potong lintang berdasarkan kelompok jenis operasi reseksi anastomosis langsung atau pembuatan stoma sementara dilakukan di RSCM melalui penelusuran rekam medis Pengambilan sampel secara consecutive sampling dengan kriteria inklusi usia 0 18 th menjalani operasi reseksi anastomosis langsung ditunda di RSCM sedangkan kriteria ekslusi adalah data tidak lengkap atau tidak dilakukan reseksi Data diolah secara statistik dengan analisis komparatif numerik dengan uji Chi square atau uji T tidak berpasangan bila sebaran data normal bila tidak normal dengan uji Mann Whitney Hasil Terdapat 106 subjek dilakukan operasi dengan 40 subjek menjalani operasi reseksi anastomosis langsung dan 46 subjek dengan pembuatan stoma sementara serta 20 subjek dieklusi karena tidak dilakukan reseksi Lama rawat inap dengan median 11 hari 4 36 hari dengan masa awal asupan oral dengan median tiga hari 1 7 hari durasi gejala dengan median tiga hari
ABSTRACT
Introduction Intussusception is an emergency that found mostly under two years old which one of the therapy is operative management There are two kinds of operation mostly done which are resection anastomosis and temporary stoma followed by stoma closure This study aims to explain outcome of each techniques operation including length of stay duration to start oral intake surgical site infection and re operation Methods Retrospective study using cross sectional design grouping as resection anastomosis group and temporary stoma group was done at RSCM by reviewing patients rsquo medical records Sample achieved by methods of consecutive sampling with inclusion criterias are ages 0 18 years old underwent surgical resection and anastomosis delayed anastomosis at RSCM hospital while the exclusion criterias are incomplete data or not have surgical resection The data were processed statistically Chi square test or unpaired T test used to analyze comparative numerical variables if data distribution is normal While it rsquo s not normal Mann Whitney test was used Results There were 106 subjects consisted of 40 patients belonged to resection anastomosis group and 46 subjects were temporary stoma group while 20 subjects were exluded Median of overall length of stay was 11 days 4 36 days the median of duration to the first oral intake was 3 days 1 7 days and median of clinical onset was three days"
Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2016
SP-PDF
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Ziad Alaztha
"Pendahuluan: Infeksi luka operasi superfisial merupakan komplikasi yang sering muncul pada tatalaksana operatif fraktur tulang panjang. Untuk mencegah terjadinya infeksi tersebut, diberikan antibiotik profilaksis sebelum operasi, yang kemudian dilanjutkan dengan antibiotik terapeutik. Penelitian ini bertujuan untuk membandingkan angka kejadian infeksi luka operasi superfisial antara pemberian antibiotik profilaksis intravena saja dan yang diteruskan dengan pemberian antibiotik oral selama 7 hari pasca operasi.
Metode: Penelitian ini menggunakan desain studi klinis non-inferioritas terkontrol tersamar ganda. Sampel penelitian adalah pasien dewasa yang menjalani operasi elektif reposisi terbuka fiksasi interna untuk kasus fraktur tertutup tulang panjang di RSUPN Dr. Cipto Mangunkusumo Jakarta dan RSU Siaga Medika Banyumas pada bulan Juli 2022 hingga Maret 2023. Subjek penelitian dibagi secara acak menjadi dua kelompok, yakni kelompok tanpa pemberian antibiotik oral selama 7 hari pasca operasi (perlakuan) dan kelompok dengan pemberian antibiotik oral selama 7 hari pasca operasi (kontrol). Hasil: Penelitian ini melibatkan 80 subjek yang memenuhi kriteria inklusi dan eksklusi, yang terdiri dari 47 (58,75%) subjek laki-laki dan 33 (41,25%) subjek perempuan. Angka kejadian infeksi luka operasi superfisial baik pada kelompok perlakuan dan kontrol adalah 2,5%. Pada hari ke-30 pasca operasi, terdapat 1 (2,5%) kejadian infeksi baik di kelompok perlakuan maupun kontrol. Hasil tersebut secara statistik tidak berbeda bermakna (p = 1.000).
Kesimpulan: Tidak terdapat perbedaan yang bermakna dalam kejadian infeksi luka operasi superfisial antara kelompok dengan maupun tanpa pemberian antibiotik oral selama 7 hari pasca operasi.

Introduction: Superficial surgical site infection is a common complication in the operative management of long bone fractures. To prevent the infection, prophylactic antibiotics are given prior to surgery, followed by therapeutic antibiotics. This study aimed to compare the superficial surgical site infection rate between subjects who was given intravenous prophylactic antibiotic only and those with continued oral antibiotic for 7 days postoperatively.
Method: This study was a double-blind, controlled, non-inferiority clinical study. The sample was adult patients who underwent open reduction internal fixation surgery for closed long bone fractures at Dr Cipto Mangunkusumo Central Hospital Jakarta and Siaga Medika Hospital Banyumas from July 2022 to March 2023. The subjects of the study were randomized into two groups, namely the group without oral antibiotics for 7 days postoperatively (treatment) and the group with oral antibiotics for 7 days postoperatively (control).
Result: This study involved 80 subjects who met the inclusion and exclusion criteria, consisting of 47 (58.75%) male and 33 (41.25%) female subjects. The superficial surgical site infection rate in both treatment and control groups were 2,5%. At day 30 post- operation, there was one case of infection both on the treatment and control groups. The results showed no statistically significant difference (p = 1.000).
Conclusion: There was no significant difference in the superficial surgical site infection rate between the groups with and without oral antibiotics for 7 days postoperatively.
"
2023
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Jade Nugrahaningtyas Liswono
"Kejadian infeksi pasca pembedahan dan pasca kemoterapi pada pasien kanker payudara dapat memperpanjang lama rawat inap sehingga meningkatkan biaya kesehatan. Meningkatnya biaya pengeluaran kesehatan mendorong adanya evaluasi ekonomi. Analisis efektivitas-biaya (AEB) sebagai salah metode farmakoekonomi penting dilakukan untuk membandingkan antibiotik yang digunakan. Penelitian ini bertujuan untuk membandingkan total biaya penggunaan, efektivitas seftriakson generik A dan B, dan menentukan seftriakson yang lebih cost-effective untuk pasien kanker payudara di RS Kanker Dharmais tahun 2012.
Desain penelitian ini adalah non eksperimental dengan studi perbandingan dan pengambilan data secara retrospektif menggunakan data sekunder dari rekam medis dan Sistem Informasi Rumah Sakit RS Kanker Dharmais. Pengambilan sampel dilakukan secara total sampling. Jumlah sampel sebanyak 16 pasien untuk seftriakson generik A dan 8 pasien untuk generik B.Efektivitas seftriakson pada indikasi pasca pembedahan untuk generik A sebesar 2,5 hari dan untuk generik B sebesar 1,0 hari, sedangkan pada indikasi pasca kemoterapi untuk generik sebesar 4,0 hari dan untuk generik B sebesar 9,5 hari.
Total biaya penggunaan seftriakson pada indikasi pasca pembedahan untuk generik A sebesar Rp 4.384.448,00 dan untuk generik B sebesar Rp 3.397.952,00,sedangkan pada indikasi pasca kemoterapi untuk generik A sebesar Rp2.284.655,00 dan untuk generik B sebesar Rp 11.195.270,00. Berdasarkan AEB,pada indikasi pasca pembedahan diperoleh hasil seftriakson generik B lebih costeffective daripada generik A, sedangkan pada indikasi pasca kemoterapi diperoleh hasil seftriakson generik A lebih cost-effective daripada generik B.

The incidence of post-surgery and post-chemotherapy infections in breast cancer patients prolonged the hospitalization days leading to the increase of health costs.The increasing health expenditure demanded the use of economic evaluation.Cost-effectiveness analysis (CEA) as one of pharmacoeconomics methods was important to compare the usage of antibiotics. The purposes of this research were to compare total cost and effectiveness of using generic ceftriaxone A and B, and to decide which ceftriaxone that was more cost-effective in breast cancer patients in Dharmais Cancer Hospital during 2012. Effectiveness was measured as ceftriaxone-using days, meanwhile cost was measured as total direct medical cost.
The research design was non experimental with comparative study and retrospective data were collected from medical records and hospital information systems of Dharmais Cancer Hospital. Samples were taken by using total sampling method. There were 6 patients using generic ceftriaxone A and 8 generic ceftriaxone B. Effectiveness of ceftriaxone for post-surgery indication in generic ceftriaxone A was 2,5 days and in generic B was 1,0 days, meanwhile for postchemotherapy indication in generic A was used 4,0 days and in generic B was 9,5 days.
Total direct medical cost of ceftriaxone for post-surgery indication in generic A and B, respectively Rp 4.384.448,00 and Rp 3.397.952,00, meanwhile for post-chemotherapy indication in generic A and B, respectively Rp 2.284.655,00 and Rp 11.195.270,00. According to CEA result, it could be concluded that generic ceftriaxone B was more cost-effective than A for postsurgery indication, meanwhile generic ceftriaxone A was more cost-effective than B for post-chemotherapy indication.
"
Depok: Fakultas Farmasi Universitas Indonesia, 2013
S46690
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Putri Umi Sa Adah
"ABSTRACT
Infeksi luka operasi merupakan infeksi yang terjadi 30 hari pasca operasi. Angka kejadian ILO di RSUP Fatmawati dari tahun 2014-2016 mengalami peningkatan dari 0,74 menjadi 1,24. Tahun 2016 0,3 dari total angka kejadian ILO berasal dari pasien kebidanan dan kandungan. Tujuan dari penelitian ini adalah merumuskan upaya perbaikan pencegahan kejadian infeksi luka operasi sehingga diharapkan dapat mengurangi kejadian infeksi luka operasi di RSUP Fatmawati. Penelitian ini merupakan jenis penelitian operasional yang bersifat kuantitatif dan kualitatif. Metode yang digunakan adalah telaah data sekunder, wawancara mendalam, observasi dan telaah dokumen. Hasil penelitian menunjukkan bahwa ILO masih terjadi di RSUP Fatmawati walaupun rumah sakit sudah mempunyai SOP terkait ILO untuk melakukan pencegahan dan pengendalian ILO, karena ILO bisa terjadi dari sisi kondisi pasien dan sistem pelayanan rumah sakit. Maka dari itu diperlukan kerjasama dan komitmen antar seluruh pihak yang berkaitan dengan pencegahan dan pengendalian ILO, yakni Instalasi Rawat Inap Teratai, Instalasi Bedah Sentral, KPPI dan Komite Mutu serta diperlukan penelitian lanjutan untuk membahas faktor lain yang tidak terdapat dalam penelitian ini.

ABSTRACT
Surgical site infections is infection that occurs within 30 days after the operation. The incidence rate of SSI at RSUP Fatmawati has increased from 0.74 to 1.24 in 2014 2016. In 2016, there is 0.3 of total incidence SSI that came obstetric and gynaecological patients. The aim of this study is formulate improved preventive incidence of SSIs so that can reduce incidence of SSIs at RSUP Fatmawati. This research is an operational research, which use quantitative and qualitative approach. The method are secondary data review, observation, interviews, and documents review. The results showed that there is still incidence of SSIs at RSUP Fatmawati despite having Standard Operating Procedure SOP for prevention and controlling of SSIs, because SSIs caused of patients condition and hospital service system. Therefore it is necessary to do cooperation and commitment among people concerned in prevention and controlling of SSIs, i.e., Central Surgical Installation and Teratai rsquo s Inpatient Installation, IPCN, and Quality Committe, and further research is needed to discuss other factors not used in this study."
2018
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>