Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 79983 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Dekker, John
Jakarta: Gunung Agung, 1991
266 DEK tt
Buku Teks SO  Universitas Indonesia Library
cover
Mohammad Amir Sutaarga
Jakarta: Proyek Rehabilitasi dan Perluasan Museum, 1974
709.598 8 MOH s
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
cover
Daan Dimara
"Studi ini bertujuan untuk mengungkapkan faktor-faktor yang mempengaruhi dan mendorong peladang di daerah Kurulu lembah Baliem melakukan kegiatan perladangan di lereng gunung. Proses konversi hutan di daerah lereng gunung untuk perladangan sudah berlangsung dari tahun 1954 dan makin meningkat pada tahun 1970-an. Proses konversi hutan yang ditransformasikan menjadi lahan perladangan untuk menghasil-
kan bahan makanan yang dapat dikonsumsikan keluarga peladang itu sendiri mulai beralih ke perladangan ekonomi subsistens arau ekonomi pasar. Kegiatan perladangan di daerah lereng gunung berlangsung dari tahun ke tahun yang mempercepat proses penggundulan hutan.
Sejak masyarakat Dani kontak dengan masyarakat dari dunia Iuar yang lebih maju, secara tidak langsung mereka terseret ke dalam suatu era baru dengan proses akulturasi yang cepat dapat memberikan dampak positif mau pun dampak negatif terhadap kehidupan sosial dan lingkungan fisiknya.
Dampak positif terhadap kehidupan sosial akibat proses akulturasi adalah mulai mengenal alat-alat perladangan baru dan hasil ladang mereka dapat ditukarkan dengan uang. Dengan demikian secara berangsur-angsur dapat memenuhi kebutuhan hidup mereka. Dampak negatif terhadap lingkungan fisik akibat penggunaan alat-alat perladangan baru ini adalah secara berlebih-lebihan merombak hutan di daerah lereng gunung yang ditransformasikan menjadi ladang yang hasilnya di jual ke pasar. Sistem manajemen tradisional yang tadinya dipergunakan secara ketat untuk mengatur penggunaan hutan dan daerah perladangan makin mengendor dengan hadirnya petugas pemerintah dan penyebar agama Kristen sebagai pemimpin formal menggeser pemimpin tradisional di daerah ini.
Penggundulan hutan di daerah lereng gunung merupakan masalah ekologi marmsia yang perlu dicari jalan pemecahannya tanpa menimbulkan masalah baru terhadap masyarakat di daerah ini yang menggantungkan hidup mereka pada kegiatan
perladangan ubi jalar. Program-program penghijauan kembali daerah gundul di lereng gunung yang dilakukan pemerintah daerah belum berhasil karena ada faktor-faktor penghambat baik yang berasal dari pihak pemerintah, pelaksana program maupun yang berasal dari masyarakat setempat.
Untuk keberhasilan program penghijauan kembali daerah gundul di lereng gunung dapat disusun suatu program terpadu yang melibatkan semua sektor yang ada kaitannya dengan program pembangunan masyarakat pedesaan. Dengan demikian
program ini bertujuan untuk menghijaukan kembali daerah lereng gunung yang sudah gundul, tetapi di sisi lain dapat memberikan peningkatan hidup kepada masyarakat Dani di daerah mereka."
Jakarta: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 1985
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Lisidius Animung
"ABSTRAK
Konflik atas sumberdaya komunal dalam tulisan ini kami tanggapi sebagai benturan kepentingan antara dua pihak yang mempunyai akses terhadap sumberdaya alam yang dimanfaatkan bersama. Sedangkan pengelolaan kami tanggapi sebagai prosedur, strategi-strategi dan mekanisrne-mekanisme yang dikembangkan oleh para pihak untuk memenangkan pihaknya maupun untuk memulihkan keserasian hubungan sosial.
Kasus-kasus yang dikemukakan meliputi konflik atas sepuluh jenis sumberdaya alam, yaitu dusun, lahan sasi, padang perburuan, lahan kebun, rawa sagu, rawa tangkapan ikan, sungai, pohon sagu, ternak, dan hewan buruan. Analisis terhadap berbagai kasus yang ditemukan memperlihatkan adanya perbedaan yang nyata antara konflik atas suatu jenis sumberdaya alam dengan pola konflik atas jenis sumberdaya alam lainnya. Demikian pula halnya dengan pengelolaannya.
Dari kajian ini ada tiga pola konflik atas sumberdaya komunal. Pola pertama, ialah konflik atas hewan peliharaan dan lahan sasi. Konflik atas sumberdaya ini lebigh bersifat pelanggaran hak pihak lain yang secara komunal memiliki hewan peliharaan atau lahan sasi. Konflik ini hanya berkembnag sampai pada tingkat individu pelanggar melawan kelompok keluarga luas yang dirugikan. Pola kedua, ialah konflik atas padang perburuan, lahan kebun, rawa sagu, rawa tangkapan ikan, pohon sagu, dan hewan buruan. Konflik atas jenis jenis sumberdaya ini hanya terbatas pada konflik intern desa sampai pada tingkat antar marga. Pola ketiga, ialah konflik atas dusun dan sungai. Konflik atas kelompok sumberdaya alam ini dapat berkembang sampai pada tingkat konflik antar desa.
Suatu gejala umum yang tampak dalam kajian ini ialah bahwa sumber konflik atas suatu sumberdaya alam komunal pada pola pertama, pihak individu pelanggar tidak didukung atau dibela oleh orang-orang dalam kerabat maupun hubungan sosial yang lain. Sedangkan sumber konflik atas suatu sumberdaya alam komunal pada pola kedua dan ketiga adalah perbedaan interpretasi atas hale hak pemanfaatan yang mengacu pada interpretasi atas jaringan hubungan-hubungan sosial. Dalam banyak kasus masing masing pihak berusaha mengaktifkan dan/atau memanipulasi keabsahan hubungan-hubungan untuk memperoleh dukungan dan pembenaran aksesnya dan/atau membatasi akses pihak lain.
Sebagai konsekuensi dari pola konflik seperti itu, makapadapola konflik pertama, pengelolaannya menempuh prosedur sederhana, yakni hanya berlangsung secara diadik. Sedangkan poles konflik kedua dan ketiga pengelolaannya melibatkan banyak orang dalam hubungan sosial kedua pihak. Akibatnya suatu konflik yang sederhana yang terjadi antar dua individu, pada akhirnya berkembang menjadi konflik antar kelompok yang lebih luas, bahkan sampai pada konflik antar desa.
Dari perkembangan terakhir tampak bahwa komunitas desa hutan Homlikya telah menggunakan tiga lembaga pengelolaan konflik, yakni pengelolaan dengan menggunakan lembaga tradisional yang mengacu pada pimpinan warga, lembaga peradilan tingkat desa, dan lembaga peradilan tingkat kecamatan. Temuan menarik disini ialah bahwa sampai saat ini belum ada kasus konflik atas sumberdaya alam yang dibawa ke pengadilan negeri.
Kenyataan ini tidak berarti bahwa warga komunitas desa hutan Homlikya belum mengenal fungsi pengadilan negeri. Khusus menyangkut konflik atas dusun, warga komunitas desa hutan Homlikya justru tidak mau membawa persoalan sampai ke camat atau ke pengadilan, utnuk rnenghindari pembagian sumberdaya alam yang disengketakan, yang dapat berdampak pihaknya kehilangan sumberdaya alam (dusun).
Dalam kasus terakhir tersebut maupun kasus-kasus konflik lain. pada umumnya warga komunitas desa hutan Homlikya mempraktekan proses pemilihan lembaga peradilan yang dianggap paling menguntungkan pihaknya. Dalam banyak kasus, bila tidak selesai di tingkat desa, kedua pihak sepakat untuk tidak melanjutkan ke tingkat kecamatan. Untuk selanjutnya persoalan dibiarkan mengendap sendiri. Dalam masa pengendapan konflik ini biasanya tampil tokoh-tokoh atau individu tertentu yang mempercepat proses peredaan ketegangan antara kedua pihak atau mengakhiri pertikaian. Praktek yang terakhir ini berkaitan dengan proses penyelesaian konflik di luar jalur lembaga peradilan.
Perkembangan yang paling akhir terlihat bahwa kasus-kasus yang dibawa ke lembaga peradilan desa dapat diselesaikan dengan aturan-aturan baru sebagai hasil modifikasi terhadap aturan-aturan yang berasal dari lembaga tradisional dan aturan-aturan yang berasal dari lembaga peradilan (negara) tingkat desa. dengan kata lain, belakangan ini terlihat adanya suatu perubahan pada peradilan di tingkat desa, yakni adanya kasus konflik atas dusun dan sejumlah konflik alas sumberdaya komunal lainnya yang diselesaikan melalui lembaga tradisional baru."
1998
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
cover
995.1 IND i
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
cover
Rini Palupi Radikun
"Sejak turunnya harga minyak pada dasawarsa tahun 1980an, pemerintah Indonesia mulai menyadari pentingnya untuk mencari sumber-sumber penerimaan baru di luar migas. Karena itu pemerintah Indonesia mulai memberlakukan kebijaksanaan-kebijaksanaan yang mendorong peningkatan ekspor non migas dan berusaha mencari potensi-potensi yang dapat dikembangkan. Salah satu potensi yang sedang menjadi perhatian pemerintah Indonesia adalah Indonesia bagian Timur, khususnya Irian Jaya. Pengembangan ekspor di Irian Jaya akan membawa manfaat baik secara nasional maupun bagi daerah Irian Jaya itu sendiri. Secara nasional pengembangan ekspor akan memperbaiki posisi Neraca Pembayaran Indonesia dengan meningkatnya penerimaan dari ekspor. Di sisi lain pengembangan ekspor di Irian Jaya juga akan meningkatkan pendapatan daerah melalui efek multiplier dan kaitan ekspor dengan sektor-sektor lainnya, baik yang bersifat forward linkage Usaha untuk mengetahui kebijaksanaan apa yang pal~ng tepat dalam mengembangkan ekspor di Irian Jaya menggunakan 3 pendekatan, yaitu: - Uji model dengan menggunakan model Pradumna B Rana untuk melihat seberapa jauh peranan ekspor terhadap pertumbuhan ekonomi daerah. - Melihat peranan berbagai sektor terhadap ekspor dan pertumbuhan ekonomi, dan prospek pengembangan industri. peranan sektor industri terhadap ekspor. - Survey langsung terhadap beberapa perusahaan ekspor di Irian Jaya untuk mengetahui perkembangan dan permasalahan yang dihadapinya. Dari hasil pengukuran terhadap beberapa indikator "tersebut didapatkan hasil sebagai berikut: - Sektor ekspor relatif lebih efisien dibadingkan dengan sektor non ekspor. Karena itu usaha merangsang pertumbuhan ekonomi dapat diarahkan ke sektor ekspor. - Industri belum berkembang di Irian Jaya, sementara itu perkembangan di sektor industri pengolahan lebih ditentukan oleh peningkatan investasi, bukan oleh penambahan labor. Karena itu usaha pengembangan industri sebaiknya diarahkan untuk merangsang iklim investasi, yangterutama ditujukan pada pengembangan produk dari sektor primer. - Permasalahan yang dihadapi oleh perusahaan-perusahaan ekspor berkisar pada masalah transportasi dan penyediaan dana. Karena itu usaha untuk mengembangkan ekspor sebaik nya diarahkan pada penyediaan fasilitas dan prasarana, dan juga memperluas penyediaan kredit melalui pengembangan sektor perbankan dan sektor-sektor lainnya. Pengembangan industri dan ekspor dapat diarahkan pada industri primer, sekunder dan tersier, baik yang bersifar highly capital intensive, moderately capital intensive dan labor intensive. Kebijaksanaan yang diambil dapat berupa deregulasi, swatanisasi, dan liberalisasi perdagangan, dan meliputi kebijaksanaan fiskal, moneter dan perdagangan internasional. Ada 4 hal yang dapat menjadi bahan pertimbangan dalam menentukan kebijaksanaan pengembangan industri dan ekspor di Irian Jaya yaitu growth centers, sunk cost, subsidi dan distribusi pendapatan, dan desentralisasijsistem otonomi daerah."
Depok: Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia, 1992
S18504
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, 1998
306.489 PEN
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
cover
Salatiga : UPPW Fakultas Ekonomi UKSW, 1994
338.04 PEN
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
cover
Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan RI, 1992
399.99 SEN
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>