Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 2719 dokumen yang sesuai dengan query
cover
NASION 6:1 (2009)
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
cover
Taman Stevia
"ABSTRAK
Dengan diberlakukannya UNCLOS 1982 sebagai hukum positif secara internasional pada tanggal 16 November 1994 maka Indonesia telah diakui sebagai negara kepulauan (Arhipelagic State), kemudian diratifikasi Indonesia dengan Undang-undang nomor 17 Tahun 1985 tentang pengesahan UNCLOS. Wilayah laut Indonesia yang demikian luas memiliki potensi kekayaan alam laut yang besar dengan tingkat keragaman hayati (Biodeversity) yang tinggi. Dalam implementasinya memerlukan pengamanan terhadap sumber daya alam dimaksud utamanya pengamanan batas maritim NKRI, termasuk di daerah Ambalat, yang sekarang juga diklaim Malaysia.

Penelitian ini menggunakan teori strategi maritime sesuai Strategi Pertahanan Laut Nusantara (SPLN), Teori Mahan dan Corbet yang mengutarakan strategi maritim atau strategi pertahanan maritim dilaut. Penelitian dimulai dengan mengkaji mengkaji teori strategi maritime Mahan dengan teori Kekuatan laut terdiri dari armada niaga, angkatan laut, dan pangkalan, Perkembangan kekuatan laut dipengaruhi oleh 6 komponen Geografi, Posisi Wilayah, Luas Wilayah, Jumlah dan karakter penduduk, Watak bangsa dan Sikap pemerintah. Corbet menggunakan fleet in being, decisive battle dan blockade. Strategi pertahanan Maritim SPLN digunakan TNI AL dengan menggabungkan teori Mahan dan Corbett dilaksanakan dengan penangkalan melalui beberapa kegiatan operasi Naval Diplomacy, Naval Presence , gun boat diplomacy dan Pembangunan Kekuatan modernisasi peralatan tempur yang dapat memberi efek penangkalan (deterrence) dan pertahanan berlapis Penelitian ini bersifat aplikasi terapan yang berusaha untuk menganalisa penerapan suatu kebijakan negara untuk mengatasi suatu kasus yang spesifik , menggunakan Teknik untuk menguji hipotesis dengan metode kualitatif.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa baik strategi maritim Mahan maupun Corbett keduanya digunakan oleh TNI AL dalam kondisi saling mendukung dan belum mendekati ideal atau masih dalam tataran MEF yang di TNI AL masih pada taraf Green Water Navy terbatas yaitu mampu mengatasi 2 trouble spot termasuk di Ambalat. Realitasnya komponen Mahan tidak terlalu kuat, demikian juga komponen Corbett yang hanya dapat melakukan Fleet in Being. Implikasi dari 2 strategi ini yang sama-sama diterapkan oleh Malaysia, deterrence strategi Indonesia terhadap Malaysia tidak akan berhasil. Kekuatan lain yang mendukung strategi Mahan yaitu dengan DIME dimana dukungan masyarakat untuk melaksanakan jihad terhadap Malaysia sebagai semangat persatuan dan kesatuan untuk melaksanakan bela negara yang merupakan pusat kekuatan bangsa dapat digunakan untuk memaksa Malaysia berpikir ulang terhadap provokasinya di Ambalat. Aplikasi dalam perang modern, SPLN lebih kepada naval strategy, sebagai SPMI belum mendapt pengakuan dari Dephan atau masih sepihak TNI AL karena Dephan baru membuat strategi pertahanan negara sedangkan pemahaman SPMI yang merupakan implementasi dari strategi pertahanan negara di laut secara substansial belum dapat diaplikasikan karena secara legal formal belum terstruktur di dalam strategi pertahanan negara Penelitian ini mendukung teori Mahan tetap bisa digunakan dalam SPLN dengan penguatan komponennya. Sedangkan teori Corbett dapat digunakan untuk ops. Laut di Ambalat dengan Fleet in Being. Baik teori Mahan atau Corbett keduanya masih relevan untuk mendukung SPMI dalam hal ini SPLN. Ini menjawab pertanyaan penelitian bahwa SPMI adalah SPLN dengan menggunakan teori Mahan dan Corbett, hipotesis pertama dan kedua dapat diterima.


ABSTRACT

With the implementation of UNCLOS in 1982 as positive international law on 16 November 1994, Indonesia has been recognized as an archipelago (Archipelagic State), and then ratified by Indonesia with Law Number 17 Year 1985 on the ratification of UNCLOS. Indonesia's marine area is so vast natural wealth has the potential of large marine biodiversity level (Biodiversity) high. In its implementation requires the security of natural resources is the main maritime boundary Homeland security, including in the Ambalat area, which now also claimed by Malaysia.

This study uses the theory of maritime strategy based on the Archipelagic Sea Defense Strategy (SPLN), the theory of Mahan and Corbet who expresses the strategy of maritime or maritime defense strategy in the sea. The study begins by examining the maritime strategy of studying the theory of Mahan with the theory of sea power consists of the merchant marine, navy, and the base, the development of sea power influenced by the six components of Geography, Regional Position, Area, Number and character of the population, the nation's character and attitude of the government. Corbet using a fleet in being, decisive battle and blockade. SPLN Maritime defense strategy used by the Navy to combine the theory of Mahan and Corbett deterrence implemented through several activities Diplomacy Naval operations, Naval Presence, gun boat diplomacy and Strength Development of fighter modernization of equipment that can give effect to deterrence and layered defense is the application of this research applied which seeks to analyze the implementation of a state policy to address a specific case, using the technique to test the hypothesis by qualitative methods.

Both results showed that Mahan and Corbett's maritime strategy used by the Navy both in conditions of mutual support and yet close to the ideal or still at the level of MEF is in the Navy is still at a limited level of Green Water Navy is able to overcome the two trouble spots, including the Ambalat. The reality is not too strong Mahan components, as well as components that can only be done Corbett Fleet in Being. The implications of these two strategies which are equally applied by Malaysia, Indonesia against Malaysia's deterrence strategy will not succeed. Other forces that support our strategy are to Dime Mahan where public support to carry out jihad against Malaysia as a spirit of unity and cohesion to carry out the defending state which is the nation's power center can be used to force Malaysia to re-think of provocation in Ambalat. Applications in modern warfare, SPLN more to naval strategy, as yet SPMI recognize by the Department of Defense is still the Navy unilaterally because of the new Department of Defense made the country's defense strategy while understanding that SPMI is an implementation of the strategy of national defense at sea cannot be applied substantially as legally not formally structured within the country's defense strategy This study supports the theory of Mahan and equipment can be used in SPLN by strengthening components. While Corbett's theory can be used for operation at sea with the Fleet in Being Ambalat. Either Mahan or Corbett's theory is still relevant both to support in this regard SPLN as SPMI. It answers questions that the SPMI is SPLN research using the theory of Mahan and Corbett, the first and second hypothesis can be accepted.

"
Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2010
T27809
UI - Tesis Open  Universitas Indonesia Library
cover
Morin, Jan Piet Hein
"Dengan metode deskriptif penelitian ini mengkaji permasalahan bagaimana Klaim Sepihak Ambalat oleh Malaysia dan Implikasinya Bagi Hubungan Indonesia--Malaysia.
Persoalan perbatasan antara Indonesia dan Malaysia menghangat setelah Malaysia melalui perusahan minyaknya, Petronas, memberikan hak eksplorasi kepada perusahaan Shell untuk melakukan eksplorasi di wilayah perairan laut di sebelah timur Kalimantan Timur yang diberi nama oleh Malaysia dengan Blok ND 6, (Y) dan ND 7 (Z).
Malaysia mengklaim blok Ambalat berdasarkan peta Malaysia tahun 1979, dalam peta tersebut Malaysia melakukan penarikan batas tanpa melakukan perjanjian-perjanjian dengan negara tetangga khususnya Indonesia.
Penelitian yang didasarkan dari hasil studi kepustakaan menunjukkan bahwa blok Ambalat merupakan bagian dari wilayah Kedaulatan Negara Kesatuan Republik Indonesia. Hal ini didasarkan pada ketentuan-ketentuan yang terdapat dalam konvensi hukum Luar lnternasional tahun 1982 (UNCLOS 1982) khususnya mengenai negara kepulauan Berdasarkan pasal 47 UNCLOS 1982, dalam hal perairan garis pangkal pantai, Indonesia sebagai negara kepulauan diperbolehkan untuk menarik garis batas laut teiritorial, zona ekonomi eksklusif dan landas kontinen dari ujung terluar dari pulau-pulau terluar (air surut: terjauh).
Berbeda dengan Malaysia yang statusnya hanya negara pantai. Dengan didasarkan pada fakta sejarah, kondisi alamiah, serta aturan hukum laut internasional, klaim yang diajukan oleh pihak Malaysia terhadap blok Ambalat menjadi tidak berdasar. Terlebih lagi, salah satu hakim yang ikut menangani kasus pulau Sipadan dan Ligitan, Shigeru Oada mengatakan meskipun pulau Sipadan dan Ligitan masuk kedalam wilayah kedaulatan Malaysia, putusan tersebut tidak serta merta memiliki kekuatan hukum Iangsung bagi Malaysia untuk menentukan bahwa landas kontinen dari kedua pulau tersebut.
Permasalahan batas wilayah merupakan salah satu problematika yang akan dihadapi bagi negara-negara yang memiliki pulau-pulau kecil ataupun negara kepulauan seperti halnya Indonesia Kurang perhatian dan pengawasan pemerintah terhadap batas wilayah ataupun keberadaan pulau-pulau kecil khususnya pulau kecil yang tidak berpenghuni dan tidak bernama tetapi memiliki sumber daya alam yang sangat besar dan hal ini memudahkan negara tetangga Indonesia melakukan tindakan-tindakan di luar batas.
Dan analisa yang telah dikemukakan terbukti bahwa adanya faktor kekayaan alam Indonesia yang rnemilild perairan yang Iuas sehingga menyulitkan pemerintah Indonesia terhadap pengawasan dan perhatian terhadap perairan Indonesia dan pulau-pulau yang berada di wilayah kedaulatan Indonesia. Hal ini telah mengakibatkan terjadinya berbagai pelanggaran-pelanggan lintas negara, seperti okupasi atau pengakuan terhadap wilayah atau pulau Indonesia yang dilakukan Malaysia, hal ini telah membuat bangsa Indonesia kehilangan beberapa pulau berharganya, seringnya terjadi peristiwa perampokan yang merugikan nelayan-nelayan Indonesia ataupun kapal-kapal pengangkut lainnya. Perampokan yang semakin hari semakin meningkat yang telah merugikan berbagai pihak terutama bagi para nelayan Indonesia, penjarahan ikan secara besar-besaran oleh para neiayan asing yang mengakibatkan kerugian bagi Indonesia.
Kurangnya pengawasan aparat penengak hukum maupun pemerintah Indonesia telah mengakibatkan pula terjadinya berbagai macam penyeludupan, seperti penyeludupan manusia, barang-barang luar negeri yang dengan mudahnya terjual di Indonesia maupun ilegal logging yakni penyeludupan kayu-kayu Indonesia yang merupakan aset negara yang sangat berharga dan penyeludupan kayu secara besar-besaran dan terus menerus hal ini banyak merugikan pihak Indonesia.
Dengan belum jelasnya batas wilayah tersebut telah membuat hubungan antara Indonesia dan malaysia menjadi terganggu dan hal ini didukung pula dengan keputusan Mahkamah lntemasional yang mengeluarkan keputusan bahwa pulau Sipadan dan Ligitan menjadi bagian dari Malaysia. Maka agar kejadian tersebut tidak terulang kembali, pemerintah Indonesia berupaya berantisipasi yakni dengan mendirikan menara soar di sekitar blok Ambalat dan dengan disertai pengawasan dari armada laut Indonesia.
Belum lagi ketika Malaysia memenangkan kasus kepemilikan pulau sipadan dan Ligitan, hal ini telah membuat Indonesia kehilangan pniau yang sangat berharga karena di dalam pulau tersebut terdapat kekayaan alarn yang sangat besar dan akan memberikan keuntungan bagi negara yang mengelolanya. Oleh karena itu antara Indonesia dan Malaysia mulai rnernperdebatkan masalah batas wilayah yang jelas dan tegas. Setelah tercapainya keputusan akhir antara Indonesia dan Malaysia, diharapkan akan adanya ratifikasi yang menyangkut mengenai masalah batas-batas wilayah perairan hal ini dilakukan agar di masa yang akan datang tidak terjadi hal-hal yang demikian dan ditujukkan agar baik dari pihak pemerintah Indonesia maupun Malaysia dapat mengetahui batas wilayah kedua negara sehingga dapat diantisipasi apabila teljadi pelanggaran-pelanggaran.
Upaya-upaya diplomasi dan negosiasi dilakuian untuk menghindari dari terjadinya konflik bersenjata yang akan berakibat merugikan masing-masing negara, pertemuan-pertemuan dilakukan untuk mencari titik temu atau jalan keluar dari permasalahan tersebut, akan tetapi tujuan yang dimaksud yakni untuk mencari jalan keluar dari penyelesaian masalah batas wilayah tersebut belum mencapai kepuasan yang terbaik bagi kedua negara. Itikad baik dari kedua negara sangat dihargai karena menyangkut Indonesia dan Malaysia merupakan satu rumpun; jadi diharapkan upaya-upaya bilateral dapat menyelesaikan masalah batas wilayah tersebut."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2006
T22136
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Syafaruddin Usman
Yogyakarta : MedPress, 2009
327 SYA a
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
cover
Halia Asriyani
"Untuk mewujudkan kedaulatan pangan terlebih dahulu harus terdapat ketersediaan pangan yang cukup dan menjamin hak atas pangan bagi rakyat yang berasal dari sumber daya lokal. Karena kebutuhan akan lahan untuk pembangunan semakin besar akibat laju pertumbuhan penduduk dan industrialisasi, maka alih fungsi lahan pertanian menjadi non pertanian menjadi sesuatu yang sulit dihindari. Jika alih fungsi lahan ini tidak diantisipasi dan tidak dilakukan upaya perlindungan terhadap lahan pertanian maka akan mengancam ketersediaan pangan yang cukup dan tidak tercapainya kedaulatan pangan. Penelitian ini dilakukan dengan metode yuridis normatif.
Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa untuk mewujudkan kedaulatan pangan diperlukan ketersediaan lahan pertanian yang dapat ,menghasilkan pangan yang cukup untuk memenuhi kebutuhan pangan masyarakat. Dengan adanya pengaturan mengenai Perlindungan Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan dalam Undang-undang Nomor 41 Tahun 2009 beserta peraturan pelaksanaanya memberikan jaminan atas keberadaan lahan pertanian untuk ketersediaan pangan yang cukup agar dapat tercipta kedaulatan pangan. Dalam mewujudkan lahan pertanian pangan berkelanjutan ini pemerintah mengupayakan ekstensifikasi lahan dengan pengadaan lahan pertanian pangan berkelanjutan dan mengendalikan alih fungsi lahan pertanian menjadi non pertanian. Diperlukan pula pelaksanaan kewajiban dari Pemerintah Daerah untuk menjamin ketersediaan pangan bagi masyarakat melalui perlindungan lahan pertanian pangan berkelanjutan dengan merumuskannya dalam bentuk instrumen hukum serta perencanaan lahan pertanian yang baik di daerah yang menjadi lokasi pengadaan lahan pertanian pangan berkelanjutan.

To realize food sovereignty, there must be sufficient food availability and guarantee the right to food for the people who come from local resources. Because the need for land for development is greater due to the rate of population growth and industrialization, then the conversion of agricultural land to non-agriculture becomes something that is difficult to avoid. If the conversion of land is not anticipated and no safeguards against agricultural land are carried out, it will threaten adequate food availability and not achieve food sovereignty. This research was conducted by normative juridical method.
The results of this study indicate that to realize food sovereignty, the availability of agricultural land is needed, producing enough food to meet the food needs of the community. With the regulation regarding the Protection of Sustainable Food Agriculture in Law No. 41 of 2009 along with its implementing regulations, it guarantees the existence of agricultural land for sufficient food availability so that food sovereignty can be created. In realizing this sustainable food agriculture land, the government seeks to expand the land by procuring sustainable food agricultural land and controlling the conversion of agricultural land into non-agricultural land. Also required is the implementation of obligations from the Regional Government to ensure food availability for the community through sustainable food agriculture land protection by formulating it in the form of legal instruments as well as good agricultural land planning in the area where sustainable food agriculture is procured."
Depok: Universitas Indonesia, 2019
T51971
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Riantama Sulthana Fauzan
"Sebagai sistem pertanian kearifan lokal Bali, kedaulatan pangan Subak terancam dalam menjaga keberlanjutan pangan di wilayah Bali. Hal ini disebabkan karena para petani tidak lagi sepenuhnya menjalankan prinsip Tri Hita Karana dalam kegiatan usaha taninya dan beralih pada sistem pertanian Revolusi Hijau. Kabupaten Tabanan yang memiliki prestasi ketahanan pangan terbaik di Indonesia juga ikut terancam, karena Subak sebagai garda terdepan penjaga kedaulatan pangannya sudah tidak seberdaya dulu. Maka dari itu, penilitian ini bertujuan untuk mengetahui sejauh apa Revolusi Hijau telah mendegradasi kedaulatan pangan Subak yang menerapkan nilai-nilai Tri Hita Karana sehingga, dapat mengetahui akar permasalahan dan solusi yang dapat dilakukan untuk mempertahankan kedaulatan pangan. Tesis ini menggunakan desain penelitian kualitatif dan metode Life History untuk memahami berbagai perubahan yang terjadi di Subak secara mendalam. Pengumpulan data menggunakan observasi, literatur dan melakukan wawancara secara langsung kepada tiga Subak di kabupaten Tabanan. Hasil penelitian menunjukkan adanya pergeseran orientasi dari sistem pertanian berbasis manusia menjadi modal dan teknologi. Hasil dari pergeseran tersebut merubah beberapa aspek dalam Subak antara lain; sarana produksi yang mengandalkan input eksternal, sistem gotong royong yang tergantikan dengan upah, kesejahteraan petani yang memburuk, konsep pertanian yang menjadi tidak berkelanjutan, tradisi ritual yang mulai ditinggalkan dan perilaku petani yang individual membuat lemahnya posisi dan keberdayaan organisasi Subak. Tesis ini membuahkan temuan, bahwa Revolusi Hijau tidak secara langsung mempengaruhi kedaulatan pangan Subak, melainkan para petani yang terpengaruh oleh perubahan yang dibawa Revolusi Hijau menjadikan Subak menjadi tidak berdaulat. Kedaulatan pangan dapat tercapai dengan penerapan budaya yang kuat, salah satunya adalah menjalankan nilai-nilai Tri Hita Karana sebagai instrumen kedaulatan pangan berbasis budaya.

As a Balinese local wisdom agricultural system, Subak's food sovereignty is threatened in maintaining food sustainability in the Bali region. This is because the farmers no longer fully implement the principle Tri Hita Karana in farming activities and switch to the Green Revolution agricultural system. Tabanan Regency, which has the best food security achievements in Indonesia, is also under threat, because Subak, as the front line guard for food sovereignty, is no longer as empowered as before. Therefore, this research aims to find out to what extent the Green Revolution has degraded the food sovereignty of Subak which applies the values of Tri Hita Karana hence, can find out the root of the problem and solutions that can be done to maintain food sovereignty. This thesis uses a qualitative research design and methods Life History to understand the various changes that occurred in Subak in depth. Data collection used observation, literature and direct interviews with three subaks in Tabanan district. The results showed that there was a shift in orientation from human-based agricultural systems to capital and technology. The results of this shift changed several aspects of Subak, including; production facilities that rely on external inputs, mutual assistance systems that are replaced by wages, deteriorating farmer welfare, agricultural concepts that are becoming unsustainable, ritual traditions that are starting to be abandoned and individual farmer behavior weaken the position and organizational empowerment of Subak. This thesis led to the finding that the Green Revolution did not directly affect Subak's food sovereignty, but farmers who were affected by the changes brought about by the Green Revolution made Subak non-sovereign. Food sovereignty can be achieved through the implementation of a strong culture, one of which is by upholding the values of Tri Hita Karana as a culturally-based instrument for food sovereignty."
Jakarta: Sekolah Kajian dan Stratejik Global Universitas Indonesia, 2023
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Desty Miasari
"ABSTRAK
Skripsi ini mengkaji upaya pemerintah Republik Indonesia untuk memperoleh jalan tengah bagi kepentingan Indonesia dengan negara maritim besar, seperti Amerika dan China yang dianggap sebagai negara yang paling berpotensi mengancam kedaulatan Indonesia di laut. Di satu sisi Indonesia harus menjaga keamanan serta kedaulatan di wilayah lautnya, akan tetapi sebagai konsekuensi dari diterimanya konsep wawasan nusantara atau negara kepulauan oleh dunia internasional melalui UNCLOS/KHL 1982, maka Indonesia pun wajib mengakomodasi kepentingan dunia internasional sebagai imbalannya. Pascaditandatangani UNCLOS/KHL 1982, Indonesia mendapatkan perluasan wilayah kedaulatannya, akan tetapi tingginya kepentingan negara maritim besar di perairan Indonesia menuntut Indonesia untuk memberikan jalur lintas damai yang kemudian dinamakan Alur Laut Kepulauan Indonesia ALKI. ALKI ditetapkan sebanyak tiga alur dari utara-selatan oleh pemerintah Indonesia. Akan tetapi penetapan tersebut dianggap masih belum sempurna karena dunia internasional menginginkan alur timur-barat. Oleh karena itu pemerintah Indonesia melakukan berbagai macam upaya diplomasi untuk menemukan jalan tengah dengan negara maritim besar supaya masalah yang ada di sekitar kedaulatan laut teritorial dapat teratasi. Di samping itu terdapat kejahatan lintas negara yang tidak akan pernah tuntas terjadi di Perairan Indonesia, menjadi tugas berat pemerintah untuk melindungi segenap bangsanya sebagaimana yang tertuang pada alinea keempat UUD 1945

ABSTRACT
Alur Laut Kepulauan Indonesia ALKI A Journey to Uphold Sovereignty of Indonesia 1982 mdash 2010 This thesis examines the efforts of the Government of the Republic of Indonesia to obtain a middle ground for the interests of Indonesia with a large maritime country, such as America and China which is considered the most potential country to threaten Indonesia 39 s sovereignty at sea. On the one hand, Indonesia must maintain security and sovereignty in its sea territory, but as a consequence of the acceptance of the concept of insight of the archipelago or an archipelagic country by the international community through UNCLOS KHL 1982, Indonesia is also obliged to accommodate the international interest in return. Following the signing of UNCLOS KHL 1982, Indonesia gained expansion of its sovereign territory, but the high interest of the great maritime state in Indonesian waters demanded Indonesia to provide a peaceful crossing route later called the Indonesian Archipelagic Sea Lane ALKI . ALKI set as many as three paths from the north south by the Indonesian government. However, the determination is considered still not perfect because the international world wants the east west flow. The Indonesian government therefore undertakes various diplomatic efforts to find a middle ground with a large maritime country so that the problems surrounding the territorial sea sovereignty can be overcome. In addition, there are transnational crimes that will never be completed in the waters of Indonesia, a heavy duty of the government to protect the entire nation as set forth in the fourth paragraph of the 1945 Constitution."
2017
S69972
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
"Gagasan penggunaan kekuatan militer untuk menjaga kedaulatan negara tetap utuh secara politis tertanam pada setiap negara berdaulat. Melalui sistem internasional yang anarkis, upaya pengamanan kedaulatan negara diselenggarakan melalui peningkatan kekuatan militer ke arah yang dapat diandalkan-dikenal juga dengan realisme defentif-atau memaksimalkan kekuatan hingga menjadi hemegoni-disebut juga relaisme ofensif. Menyadari akan banyaknya tantangan aktual dan tantangan potensial terhadap kedaulatan Indonesia, pemerintah menciptakan minimum essential force (MEF) untuk memperbaiki TNI dengan cara meningkatkan dua komponen inti: Alat utama sistem persenjataan (Alutsista) dan kesejahteraan prajurit. Implementasi tahap pertama MEF terbukti efektif menaikkan kekuatan militer Indonesia sampai tahap minimum yang dapat menangkal segala ancaman terhadap kedaulatan negara. Ke depannya, diharapkan MEF dapat berkontribusi lebih lagi bagi keamanan nasional dengan terus memperbaiki beberapa kekurangan agar implementasi MEF maksimal. Di sisi lain, kritik terhadap MEF yang kerap menyinggung bahwa MEF hanya akan menyebabkan dilema keamanan terhadap negara tetangga, terutama negara anggota ASEAN-telah dibuktikan sebagai sebuah argumen yang terlalu dini dan dapat dihindarkan. "
DIPLU 7:4 (2015)
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
cover
Tampubolon, Theopita Indica
Depok: Universitas Indonesia, 2008
S26154
UI - Skripsi Open  Universitas Indonesia Library
cover
Gita Nadya Herdiani
"ABSTRAK
Fokus dari penelitian ini adalah untuk melihat dan mengetahui peningkatan
kapabilitas militer Indonesia dimulai dari periode tahun 2006 hingga tahun 2010
sehubungan dengan adanya konflik Ambalat pada tahun tersebut. Hal ini dilakukan
dengan terlebih dahulu menjelaskan faktor-faktor yang membuat Indonesia meningkatkan
kapabilitas militer nya, pemahaman dan penjabaran yang terjadi seputar konflik Ambalat
yang menjadi tolak ukur penulis dalam menganalisa peningkatan kapabilitas militer
Indonesia. Lalu berlanjut pada melihat dan mengukur sejauh mana kapabilitas militer
antara Indonesia dan Malaysia, dan melihat seberapa besar pengaruh dari kapabilitas
militer Malaysia dapat mempengaruhi peningkatan militer Indonesia serta menganalisa
sejauh mana dinamika persenjataan diantara kedua negara tersebut.Melihat kapabilitas
militer dari segi alutsista (alat utama sistem senjata), anggaran pertahanan, dan
manpower.
Penelitian ini dilakukan secara kualitatif dengan studi dokumen yang berkaitan
dinamika persenjataan Indonesia-Malaysia 2006 hingga 2008. Penelitian ini telah
membuktikan bahwa strategi deterrence yang dilakukan Indonesia merupakan upaya
untuk mengimbangi kekuatan militer Malaysia dengan melakukan peningkatan
kapabilitas militernya. Dinamika Persenjataan dari kedua negara dapat dianalisis melalui
Action-Reaction model yang merupakan salah satu model dari "The Arms Dynamic"
dimana dalam penelitian ini akan dibuktikan ke arah mana kecenderungan dari dinamika
persenjataan diantara kedua negara dan implikasi nya bagi Indonesia dengan
menggunakan tiga indikator yaitu Timing, Magnitude, dan Awarness. Dampak positif
konflik Ambalat bagi Indoneisa adalah langkah awal Indonesia menjalankan modernisasi
militernya agar bisa mencapai kekuatan militer minimum yang bisa menjaga setiap
wialayah Indonesia.

Abstract
The main focus of this research is to observe the improvement of Indonesian's
military capabilities starting from the period 2006 through 2010 in connection with
Ambalat's conflict. At first, this research is explaining the factors that make Indonesia
improves their military capabilities, understanding and elaboration that occur around
the conflict that because of Ambalat's conflict, authors analyze the increasing military
capabilities in Indonesia. Then continue to observe and measure the arms build-up
between Indonesia and Malaysia, and observe the influences factors of military
capabilities may affect the arms build-up between Malaysia- Indonesia and analyze the
extent the arms dynamic between the two countries military capabilities analyzed in
accordance defense equipment, major equipment systems weapons, the defense budget,
and manpower.
This research is descriptively conducted by studying documents related to the
arms dynamic of Indonesia-Malaysia between the period of 2006 to 2010. This research
revealed that the strategy of deterrence made Indonesia an attempt to counte rbalance
the military power of Malaysia by arms build-up on their military capabilities. The arms
dynamics of the two countries can be analyzed through the Action-Reaction model which
in this research will reveal which way in the arms dynamic between the two countries
and observe the implications for Indonesia using three indicators, Timing , Magnitude,
and Awarness. The positive impact of the Ambalat conflict for Indonesia is making their
first step to run their arms build-up and military modernization in order to achieve the
minimum force that can stabilized of every teritory in Indonesia."
2012
T31119
UI - Tesis Open  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>