Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 166291 dokumen yang sesuai dengan query
cover
cover
Nurhadi Raharjo
"Penyakit tuberkulosis (TBC) masih merupakan masalah kesehatan dan pembangunan dimana Indonesia merupakan negara dengan jumlah kasus terbesar ke tiga di dunia. Cakupan program penanggulangan TBC di Kabupaten Cianjur masih rendah, sehingga Balai Pengobatan Penyakit Paru-Paru (BP4) Cianjur sebagai unit pelaksana di bidang kesehatan pare hares mampu bekerja sama dengan Dinas Kesehatan Kabupaten Cianjur dalam menanggulangi masalah TBC paru di Kabupaten Cianjur. Agar penerapan DOTS di masa yang akan datang dapat berlangsung baik, perlu diketahui penerapan strategi DOTS di BP4 Cianjur saat ini. Penelitian bertujuan mengetahui penerapan strategi DOTS di BP4 Cianjur.
Penelitian menggunakan pendekatan kualitatif yang dibantu dengan analisis data sekunder. Penelitian ini memiliki keterbatasan yaitu hasilnya tergantung pada sejauh mana informan memiliki pemahaman dan keterlibatan terhadap pelaksanaan penerapan strategi DOTS di BP4 Cianjur.
Dari basil penelitian diketahui penerapan dengan strategi DOTS di BP4 Cianjur belum optimal dan masih banyak permasalahan yang harus diperbaiki. Apabila dengan segera diperbaiki, BP4 Cianjur dapat menjadi unit pelayanan kesehatan paru yang baik di Kabupaten Cianjur karena BP4 Cianjur mempunyai peluang yang besar dalam penanganan TBC paru.
Dalam rangka perbaikan penerapan program di masa yang akan datang, peneliti menyarankan sebaiknya diagnosis disesuaikan dengan Pedoman Nasional Penanggulangan Tuberkulosis yaitu dengan pemeriksaan dahak SPS. Dilakukan penambahan tenaga pelaksana yang jumlah dan jenisnya memerlukan kajian lebih lanjut. Dilakukan upaya peningkatan kemampuan manajemen BP4 Cianjur melalui pelatihan maupun pelimpahan wewenang yang lebih besar disertai dengan pembinaan teknis dan pengawasan yang memadai.. Penyuluhan sebaiknya dikelola dengan baik, perlu disiapkan tenaga khusus yang bertanggung jawab melaksanakan penyuluhan. Apabila memi-ingkinkan segera dibentuk Komite DOTS Kabupaten Cianjur sehingga diharapkan program penanggulangan TBC dapat terkoordinasi dengan baik dalam satu sistem yang terintegrasi.

Analysis on Implementation of Introduction DOTS Strategy in Cianjur Lung Clinic (BP4 Cianjur) to Fight Against Lung Tuberculosis in Cianjur District, 2003-2004 Tuberculosis still remains a major problem of health and development in Indonesia, which placed Indonesia in the third rank of lung tuberculosis cases in the world. Tuberculosis reduction program coverage in Cianjur district is still low, so the Cianjur Lung Clinic (BP4 Cianjur) should be able to collaborate with the Cianjur District Health Office to cope with the lung tuberculosis problem. To ensure the DOTS implementation could be working well, it needs to know how the DOTS implementation in BP4 Cianjur is carried out.
This is a qualitative approach study and supported by secondary data. This study has limitation on how the informan has the understanding and involvement on the execution of the DOTS strategy in BP4 Cianjur.
The result of this study show that implementation of the lung tuberculosis following the DOTS strategy is not optimal yet and still has a lot of problems that should be taken care. BP4 Cianjur could become the best lung clinic in Cianjur district because BP4 Cianjur has great potential in handling lung tuberculosis.
In order to enhance program implementation in the future based on this study, it recommend that the diagnostic of tuberculosis cases should be in compliance with the National Tuberculosis Handbook which uses sputum smear microscopy.. Recruiting more human resources with the numbers and types needs should be studied further. Any effort to improve the management ability of BP4 Cianjur through training and delegation of authority, including technical assistance and appropriate monitoring. Quality training for patients is therefore critical to success, it is important to assign a person who has the responsibility to train people. When it is possible, directly establish DOTS Committee in the Cianjur District, so the lung tuberculosis reduction program could be well organized and coordinated in one integrated system.
"
Depok: Universitas Indonesia, 2004
T13112
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Naipospos, Nila
"Penyakit Tuberculosis (TB Paru), masih menjadi masalah kesehatan masyarakat. Tuberculosis merupakan penyebab kematian nomor 2 setelah penyakit cardiovasculer dan nomor satu dari golongan penyakit infeksi. Di Kota Bogor telah dilaksanakan upaya-upaya untuk menunjang tercapainya Kebijakan operasional baru Pelita VI yang dimulai tahun 1995, tetapi masih ditemukan permasalahan-permasalahan dalam pencapaian target program pemberantasan TB Paru.
Tujuan penelitian adalah untuk mengetahui faktor-faktor apa saja yang berhubungan dengan kinerja Puskesmas dalam program pemberantasan TB Paru di Kota Bogor tahun 2000. Penelitian ini dilakukan dengan rancangan Cross- Sectional dengan pendekatan kuantitatif. Sampel penelitian ini adalah 23 Puskesmas untuk mengukur faktor masukan, sedangkan untuk mengamati faktor proses dilakukan dengan Diskusi Kelompok Terarah pada 6 Puskesmas yang mempunyai kinerja baik.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa adanya fasilitas laboratorium dan dukungan dana amat diperlukan untuk menunjang keberhasilan Puskesmas dalam melaksanakan program pemberantasan TB Paru. Juga ditemukan bahwa proses pelaksanaan yang baik sesuai dengan protap program dapat diamati pada Puskesmas yang mempunyai kinerja baik mempunyai kegiatan yang innovatif dan pengendalian yang kuat pada setiap penderita TB Paru.
Melihat hasil penelitian maka disarankan untuk meningkatkan keberhasilan cakupan program, setiap Puskesmas dapat dilengkapi fasilitas laboratorium yang memadai, alokasi dan pemanfaatan dana yang optimal untuk program TB Paru serta pelaksanaan proses diharapkan sesuai dengan protap program.

Factors Related With Community Health Center Performance In National Lung TB Control In Bogor City 2001Tuberculosis disease (lung TB), still becomes public health problem. Tuberculosis stands as the second death cause after cardiovascular disease and as the first death cause in the group of infectious disease. In the city of Bogor there had some efforts to support the new operational policy of Pelita VI that had been applied since 1995. However, there are still some problems to achieve target of National lung TB control.
The goal of this research is to analyze the influence of factors that are related to the performance of community Heath Centre in National lung TB control in the city of Bogor. This research is a cross-sectional study design, which applies a Quantitative approach. To measure the incoming factors, twenty-three Community Health Centers has been taken as the samples of this research: and to analyze the process factors, Focus Group Discussion have been applied in six Community Health Centers which have good performance.
The result of this research shows that the existence of adequate laboratories facilities and provision financial support are needed to realize the success of National lung TB control. Furthermore, it could be analyzed that the good operational process happens in the Community Health Centers which have good performance; in those centers, they have innovative program and strong control towards every lung patient.
Analyzing the result of the research, it is suggested that to improve the scope of the successful program, every Community Health Centre need to be supported by adequate laboratory facilities, adequate financial budget allocation, optimum budget operation and appropriate performance of personal in applying the process of national lung TB control.
"
Depok: Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia, 2001
T5222
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Hafleziani
"Penyakit tuberkulosis paru (TB paru) sampai saat ini masih menjadi masalah kesehatan masyarakat di dunia diperkirakan terdapat 8 juta penduduk dunia terserang TB paru dengan kematian 3 juta pertahun (WHO,1993). D negara-negara berkembang, 25% dari kematian merupakan kematian yang dspat dicegah. Diperkirakan 95% penderita TB paru berada di negara-negara berkembang WHO mencanangkan kedaruratan global untuk penyakit TB paru pada tahun 1993, karena diperkirakan sepertiga penduduk dunia telah terinfeksi Pitman TB.(Profil Departemen Kesehatan, 1999). Ditahun 1990 yang lalu, dikawasan Asia Tenggara telah muncul 3,1 juta penderita baru TB paru dan terjadi lebih dari 1 juta kematian akibat penyakit ini. Ditahun 2000 diseluruh dunia muncul lebih dari 10,2 juta penderita TB paru serta 3,5 juta kematian (Aditama 1999).
Di Indonesia hasil Survei Kesehatan Rumah Tangga (SKRT) tahuu 1995 menunjukkan bahwa TB paru menrpakan penyebab kematian nomor 3 (10,9%) setelah penyakit kardiovaskuler (14,3%) dan penyakit saluran pernapasan (16%) pada semua golongan usia dan nomor satu dari golongan penyakit infeksi. Secara nasional saat ini diperkirakan setiap tahun terjadi penularan 500.000 kasus TB paru dan 175.000 kasus diantaranya meninggal dunia. Hampir 70% penderita TB paru adalah penduduk yang berusia produktif (kelompok umur 15 - 54 tahun), terutama mereka yang berasal dari kalangan sosial ekonomi lemah. (Abednego, 1996).
Angka kesakitan penderita TB paru hasil Tahan Asam Positif (BTA+) yang berumur besar dari 15 tahun di Indonesia per 100.000 penduduk dari tahun 1993 sampai dengan 1997 cenderumg normal, yaitu 90 per 100.000 penduduk pada tahun. 1993 menjadi 34,3 per 100.000 penduduk pada tahun 1996, tetapi meningkat kembali menjadi 53,1 per 100.000 penduduk pada tahun 1997. (Departemen Kesehatan., 1999). Pada Propinsi Sumatera Barat, angka kesakitan penderita TB pare BTA+ tahun 1999/2000 adalah 33,2 per 100.000 penduduk, sedangkan pada Kabupaten Pesisir Selatan 33,7 per 100.000 penduduk.
Pola kematian meenurut penyebab kematian rawat inap di RSU M.Zein Painan (Kota Kabupaten), merupakan urutan pertama (16,2%) dari penyakit yang ada untuk semua umur. Sampai saat ini program penanggulangan TB paru dengan strategi Directly Observed Treatment .Shortcourse (DOTS) artinya pengawasan langsung menelan obat jangka pendek setiap hari, belum menjangkau seluruh puskesmas . Pelaksanaan di Rumah Sakit Pemerintah dan Swasta, DOTS baru 36% dengan angka kesembuhan 87%. Sebelum strategi DOTS (1969-1994) cakupan penemuan TB paru sebesar 56% dengan angka kesembuhan masih rendah yaitu 40-46%. (Departemen Kesehatan, 1998).
Di Propinsi Sumatera Barat dari tahun 1999/2000 didapatkan penemuan tersangka TB paru deugan manisfetasi klinik yang diperiksa dahaknya sebanyak 0,6% dari jumlah penduduk yang berumur diatas 15 tahun. Sedangkan di Kabupaten Pesisir Selatan didapat angka penemuan tersangka yang diperiksa dahaknya 0,2 %, dibandingkan dengan Kabupaten Padang Pariamam 0,8% dan Kabupaten Agam 1,6%, penemuan tersangka TB paru di Kabupaten Pesisir Selatan masih rendah. Target untuk penemuan tersangka TB paru adalah 10% dari jumlah penduduk yang berumur diatas 15 tahun, realisasi di. Pesisir Selatan 0,2 %. Kemudian dibandingkan dengam tahun 1998/1999 terdapat penurunan penemuan tersangka TB paru sebanyak 50% dibandingkan dengan realisasi tahun 1999/2000. Penemuan tersangka TB paru yang diperiksa dahaknya di puskesmas merupakan salah satu rujukan dari paramedis pustu dan unit kesehatan lainnya dalam hal ini yang lebih berperan dalam rujukan penemuan tersangka TB paru ini adalah paramedis pustu?"
Depok: Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia, 2001
T2756
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Natasya Apriliana
"Tuberkulosis merupakan penyakit yang masih menjadi tantangan global. Dalam rangka menanggulangi penyakit Tuberkulosis, terbentuklah kerangka kerja oleh WHO untuk mengendalikan tuberkulosis, yang kemudian menjadi strategi global yaitu DOTS atau Directly Observed Treatment Short-Course. Salah satu yang menghambat kemajuan dari penanggulangan tuberkulosis adalah adanya kasus Multidrug Resistant Tuberculosis atau MDR-TB. Kasus MDR TB terjadi salah satunya disebabkan oleh belum maksimalnya implementasi dari strategi DOTS. Di Kota Depok, Puskesmas Pancoran Mas dan Puskesmas Rangkapan Jaya Baru adalah puskesmas dengan angka MDR-TB tertinggi. Dari dua puskesmas tersebut, gambaran akan manajemen atau pengelolaan dari pelaksanaan strategi DOTS pada program Penanggulangan TB khususnya dalam merespon MDR-TB  sangatlah menarik untuk dianalisis lebih jauh. Dengan metode kualitatif dan dengan pendekatan Logic Model, peneliti menelaah bagaimana keberlangsungan program di kedua puskesmas dari sudut pandang input, activity, dan output nya. Peneliti mengumpulkan data baik primer maupun sekunder, dengan melakukan telaah dokumen dan juga wawancara mendalam ke tiga belas informas.
Dari penelitian ini ditemukan hasil bahwa kedua Puskesmas sebenarnya telah mengimplementasikan strategi DOTS dengan baik yaitu salah satunya dengan melakukan pengobatan sesuai dengan standar, namun terdapat beberapa  kendala dalam pelaksananaan program tersebut yang dapat menjadi faktor pengahambat dari berjalannya program, baik masalah dari segi sumber daya seperti tidak adanya laboratorium disalah satu puskesmas, hingga dari segi pelaksanaan kegiatan, yang menyebabkan kedua puskesmas pada akhirnya tidak dapat mencapai target Penilaian Kinerja Puskesmas. Adanya berbagai macam kendala yang  berasal dari berbagai aspek menjadi faktor masih belum sempurnanya pelaksanaan program penanggulangan Tuberkulosis di Puskesmas Pancoran Mas dan Rangkapan Jaya Baru. 

Tuberculosis is a disease that is still become a global challenge. In order to overcome tuberculosis, a framework was established by WHO to control tuberculosis, which later became a global strategy, called DOTS or Directly Observed Treatment Short-Course. One that inhibits the progress of tuberculosis control is the case of Multidrug Resistant Tuberculosis or MDR-TB. MDR-TB cases occur due to the lack of proper implementation of the DOTS strategy. In Depok City, Pancoran Mas Health Center and Rangkapan Jaya Baru Health Center are the health centers with highest MDR-TB cases. Of the two Public Health Centers, an overview of management or management of the implementation of the DOTS strategy in the TB control program, especially in response to MDR-TB, is very interesting to analyze further. With qualitative methods and with the Logic Model approach, the researcher examines how the program's sustainability in the two health centers is from the point of view of input, activity, and output. The researcher collected both primary and secondary data, by reviewing documents and also in-depth interviews with thirteen informants.
From this study, it was found that the two public health centers had actually implemented the DOTS strategy properly, one of which was to carry out treatment in accordance with the standards, but there were several obstacles in implementing the program which could be a limiting factor from the running of the program, both in terms of resources and in terms of the implementation of program activities, which resulted in the two public health centers being unable to reach the target of the Performance Assessment. The various kinds of obstacles that come from various aspects become a factor of the incomplete implementation of the tuberculosis program at the Pancoran Mas Health Center and Rangkapan Jaya Baru. 
"
Depok: Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia, 2019
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Aila Karyus
"Penyakit Tuberkulosis masih merupakan niasalah kesehatan masyarakat, dimana 75% penderita adalah kelompok usia produktif, ekonomi lemah dan berpendidikan rendah.
Di Kota Bandar Lampung telah dilakukan upaya-upaya untuk menanggulangi penyakit TB dengan mengadopsi strategi DOTS (Directly Observed Treatment Shortcourse) dan pengembangan Kelompok Puskesmas Pelaksana (KPP) Program P2TB. Sehingga 22 Puskesmas yang ada telah melaksanakan program TB. Tetapi hasil pencapaian program sampai tahun 2002 belum efektif, hanya 3 Puskesmas yang mencapai target yaitu Puskesmas Kedaton, Satelit dan Kampung Sawah.
Tujuan penelitian ini adalah untuk mendapatkan gambaran tentang fungsi manajemen dalam program TB Paru yang dibhat dari masukan, proses dan keluaran di 3 Puskesmas yang telah mencapai target program.
Rancangan penelitian adalah kualitatif, berupa wawancara mendalam, observasi dan pemanfaatan data sekunder. Informan adalah Kepala Puskesmas, petugas TB, petugas laboratorium, Wasor TB, Pengawas Menelan Obat (PMO) dan penderita.
Penelitian ini menemukan bahwa tiga Puskesmas ini memiliki kecukupan input untuk pelaksanaan program TB, kekurangan biaya diatasi dengan dana JPSBK Puskesmas. Proses manajemen Puskesmas yang terdiri dari P1 (Perencanaan), P2 (Penggerakan, Pelaksanaan), P3 (Pengawasan, Pengendalian dan Penilaian) dengan menggunakan instrumen Perencanaan Tingkat Puskesmas, Lokakarya mini Puskesmas dan Evaluasi Kinerja Puskesmas telah berjalan, sehingga pengelolaan program TB di 3 Puskesmas ini dapat mencapai hasil yang diharapkan. Bahkan Puskesmas Kedaton melakukan pencarian aktif penderita baru TB di Kampung Bayur yang merupakan kantong TB. Puskesmas Satelit menyelenggarakan Penyuluhan Kesehatan Terpadu dengan melibatkan Camat, Lurah, PKK dan tokoh masyarakat sebagai panitia penyelenggara. Sedangkan Puskesmas Kampung Sawah menetapkan jadwaI pengambilan obat bagi penderita TB untuk memudahkan pemantauannya.
Lokakarya mini tribulanan sebagai forum yang membahas pelaksanaan dan monitoring kegiatan Puskesmas yang melibatkan lintas sektor, organisasi masyarakat dan tokoh masyarakat belum ditaksanakan dengan optimal karena kurangnya koordinasi Puskesmas dan kecamatan.
Dari hasil penelitian ini disarankan perlu dipertimbangkan peningkatan status Puskesmas menjadi Puskesmas Unit Swadana, agar Puskesmas melakukan koordinasi dengan Camat tentang pelaksanaan lokakarya mini tribulanan, penemuan penderita secara aktif dapat dilakukan sesuai situasi dan kondisi, Dinas Kesehatan Kota perlu melakukan sosialisasi dan advokasi ke berbagai pihak untuk mendapatkan dukungan dalam penanggulangan TB.

Tuberculosis (TB) disease has been a public health problem in which there are 75% of the patients are productive age group, short of economy, and having low education.
In the City of Bandar Lampung had been conducted the efforts to alleviate TB disease using DOTS (Directly Observed Treatment Short course) Strategy and the development of Worker Health Center Group for P2TB Program. There were 22 health centers that had conducted TB program. However, the result of program until 2002 was not effective yet. There were only three Health Centers that had reached the target namely Kedaton Health Center, Satelite Health Center, and Kampung Sawah Health Center.
The objective of the study was to obtain the description of management function of Lung TB Program that assessed from input, process, and output in three Health Centers that had reached the program target.
The study used qualitative research design that conducted through in-depth interview and observation. In this study, collecting secondary data was also done. The informants of the study were the head of health center, TB program staff, laboratory staff, vice supervisor, taking TB medicine controller, and TB patients.
The study resulted that three health centers had the adequacy input to conduct the TB program; and the lack of fund was covered by Social Safety Net in Health Division for health center. The process of health center management that consisted of P1 (planning), P2 (actuating, implementing), P3 (monitoring, controlling, and evaluating) using the instrument for health center level planning, health center mini workshop, and health center performance evaluation. Even the Kedaton Health Center actively conducted the search for new TB patients in Kampung Bayur where the TB patients were more exist. Satelit Health Center carried into integrated health education that involved the sub district head, village head, and community leaders as steering committee, while Kampung Sawah Health Center set the schedule of getting drugs for TB patients to monitor them easier.
Three-monthly mini workshop was used as forum to discuss the implementation and monitor of health center activities that involved inter sector, community organization, and community leader, had not been applied optimally due to lack of coordination between health center and sub district office.
From the result of the study, it is recommended to maintain health center status as self-funding unit health center. In order to health center could carry out the coordination with sub district office about implementing three-monthly mini workshop and finding the patients that conducted appropriate with situation and condition, the City Health Office should socialize and advocate toward many important sides to obtain the encouragement on alleviating TB.
"
Depok: Universitas Indonesia, 2003
T12757
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Alma Luspa
"Secara Nasional Penyakit TB paru sampai saat ini masih menjadi beban kerja yang berat, karena hampir 70% penderita TB paru adalah penduduk yang berusia produktif terutama mereka yang yang berasal dari ekonomi lemah, RS RK Charitas Kota Palembang merupakan salah satu jalan keluar (outlet) untuk peningkatan cakupan Program Penanggulangan Penyakit TB paru dengan strategi DOTS, sehingga dapat direplikasikan kepada RS swasta lainnya, haI ini terlihat tingginya angka sembuh dari hasil pelaksanaan pengobatan Penyakit TB paru dengan strategi DOTS. Penelitian ini bertujuan untuk memperoleh informasi mendalam tentang proses efektifitas Penanggulangan Penyakit TB paru dengan strategi DOTS di RS RK Charitas Kota Palembang, dengan melihat dari pendekatan sistem, yang terdiri dari komponen masukan (input) terdiri dari tenaga pelaksana yang dilihat dari pengetahun, lama kerja, beban kerja dan sikap, serta dana, obat, sarana dan metoda. Komponen proses dilihat dari perencanaan, pelaksanaan dan monitoring. Penelitian ini dilakukan dengan metoda Kualitatif, di mana pengumpulan data dilakukan dengan melaksanakan wawancara mendalam (WM) dengan Direktur RS, Ketua tim Penanggulangan Penyakit TB paru serta Perawat kesehatan dan tenaga Farmasi yang bertugas di Poliklinik DOTS. Dari hasil penelitian menunjukkan bahwa proses Penanggulangan Penyakit TB paru dengan strategi DOTS di RS RK Charitas Palembang secara keseluruhan telah herhasil dengan baik, sesuai dengan Pedoman Nasional Penanggulangan Penyakit TB paru Departemen Kesehatan RI yaitu angka kesembuhan >85%, Drop out <10% dan angka kambuh 4,5%, Namun walau demikian masih terdapat kendala baik di komponen masukan (Input) maupun di pelaksanaan kegiatan. Untuk mereplikasikan keberhasilan Penanggulangan Penyakit TB paru dengan strategi DOTS ke RS swasta lainnya, maka perlu Political Komitmen dari Pimpinan RS, dan pemberian makanan tambahan, bebas biaya retribusi setiap kunjungan serta PMO dari kalangan keluarga sendiri. Dan pihak penanggung jawab Program Penanggulangan Penyakit TB paru yaitu Dinas Kesehatan Kota Palembang diharapkan untuk memberikan umpan balik dan saran dari hasil kerja RS RK Charitas serta benclunarking RS swasta Iainnya ke RS RK Charitas kota Palembang.

Tuberculosis disease currently is still a major problem, because almost 70% of lung tuberculosis sufferers are people in productive age, especially those from lower income. RK Charitas Hospital of Palembang City as one of outlets for improving the coverage of lung tuberculosis disease overcoming program by DOTS. It seems that this strategy can be applied to the other private hospitals, as it can be seen from the high of recovery rate of result implementation treatment of lung tuberculosis disease by DOTS strategy. The objective of this study is to obtain further information on the process of the effectiveness overcoming of lung tuberculosis disease by DOTS strategy at RK Charitas Hospital of Palembang City. We used system approach that covers of input components that consist of knowledge, working duration, attitude and workload of staff, fund, medicine, means and method. The process component included was planning, implementation and monitoring. This study conducted using qualitative method, where data collected by in-depth interview to the director of the hospital, the chief of the team on lung tuberculosis disease overcoming, nurses, chemistry officer who work at DOTS polyclinic. Based on the result of this study showed that the process of lung tuberculosis disease overcoming by DOTS strategy at RK Charitas hospital of Palembang. It wholly has been success with good result. And it met with the Lung Tuberculosis Disease Overcoming National Guidelines, MOH RI, i.e. recovery rate > 85%, drop-out < 10% and recurrence rate 4,5%, even though is still having obstacle in input component and the implementation activity.
To reapply the success of lung tuberculosis disease overcoming by DOTS strategy to other private hospitals, so it needs Political Commitment of the Hospital?s leader, and giving additional food, free from retribution each visiting also the PMO from nuclear family. For one who?s responsible to the program on lung tuberculosis overcoming, the Local Health Service of Palembang City, it is hoped to give a feedback and suggestion to the work achievement of RK Charitas Hospital also the benchmark from other private hospitals to RK Charitas Hospital of Palembang City.
"
Depok: Universitas Indonesia, 2002
T4036
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Kartika
"Default adalah salah satu masalah penting dalam pengendalian TB paru. Default menyebabkan penderita berpotensi untuk mengalami resistensi terhadap OAT sehingga sulit disembuhkan. Penelitian ini menilai proporsi default TB paru dan faktor yang berhubungan di RSUD Budhi Asih Jakarta tahun 2008, dan desain studi penelitian adalah Cross Sectional. Jumlah sampel yang dianalisis adalah 188 dari 407 penderita. Penelitian ini menemukan proporsi kasus default TB paru di RSUD Budhi Asih Jakarta tahun 2008 sebesar 8,0% (15 kasus). Faktor- faktor yang berhubungan bermakna secara statistik dengan default penderita TB paru di RSUD Budhi Asih Jakarta tahun 2008 adalah umur (nilai p=0,002) dan efek samping obat (nilai p=0,05) sedangkan jenis kelamin, status pekerjaan, tipe penderita, riwayat pengobatan, jenis ESO, keberadaan PMO dan jenis PMO berhubungan tidak bermakna secara statistik dengan default penderita TB paru. Pengelola TB harus meningkatkan penyuluhan kepada pasien TB bahwa OAT memiliki efek samping, lebih menekankan pentingnya keteraturan berobat dan pengawasan minum obat pada penderita yang tergolong umur tidak produktif.

Default is one of the most important things in controlling lung TB. Default causes patients having treatment resistance and it makes them more difficult to be cured. This research determines default proportion among lung TB patient and factors related to it in RSUD Budhi Asih Jakarta 2008 and Cross Sectional is the study design. This research analyses 188 samples from 407 populations. Statistically, factors that significantly related to default among lung TB patient in RSUD Budhi Asih Jakarta 2008 are treatment side effect and age, while sex, work status, patient type, patients? treatment history, type of treatment side effect, treatment supervisor and it?s type are not related to default. TB administrator must reminding all TB patients that TB treatment has side effects and also must reminding those patients about treatment adherence especially to non productive age ones."
Depok: Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia, 2009
S-Pdf
UI - Skripsi Open  Universitas Indonesia Library
cover
Siti Puji Lestari
"Perencanaan kebutuhan tenaga dokter umum dan dokter gigi Puskesmas di Kota Bekasi belum menggunakan metode perhitungan kuantitatif karena belum ada pelatihan mengenai metode perencanaan tersebut. Dinas Kesehatan Kota Bekasi sendiri hanya sebagai penyeleksi pengajuan usulan tenaga dokter dari puskesmas karena harus disesuaikan dengan anggaran yang disediakan oleh Pemerintah Daerah. Namun demikian, tetap perlu dilakukan perencanaan kebutuhan tenaga dokter umum dan dokter gigi puskesmas di Kota Bekasi yang disesuaikan dengan kebutuhan sebenarnya di lapangan. Oleh karena itu, penulis ingin menghitung kebutuhan tenaga dokter umum dan dokter gigi puskesmas di Kota Bekasi dengan menggunakan metode perhitungan kuantitatif berdasarkan beban kerja yang mudah dioperasikan, mudah digunakan, secara teknis mudah diterapkan, komprehensif dan realistis. Salah satu metode tersebut adalah metode Workload Indicator Staff Need (WISN) yaitu perhitungan kebutuhan SDM kesehatan berdasarkan beban kerja yang didapat dari Keputusan Menteri Kesehatan RI No. 81/Menkes/SK/I/2004 tentang Pedoman Penyusunan Perencanaan SDM Kesehatan di Tingkat Propinsi, Kabupaten/Kota serta Rumah Sakit.
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui gambaran perencanaan kebutuhan tenaga dokter umum dan dokter gigi puskesmas di Kota Bekasi tahun 2008 yang dilakukan oleh tim perencana dari Dinas Kesehatan Kota Bekasi serta menganalisis perhitungan kebutuhan tenaga dokter umum dan dokter gigi dengan menggunakan metode WISN pada tiga puskesmas di Kota Bekasi tahun 2008. Tiga puskesmas dipilih yang jumlah kunjungan pasiennya pada tahun 2007 terendah, sedang dan tertinggi. Puskesmas-puskesmas yang dimaksud adalah Puskesmas Pengasinan, Duren Jaya dan Bantar Gebang I. Jenis penelitian ini merupakan kualitatif karena sangat kaya dan sarat dengan deskripsi serta analisis. Pendekatan deskriptif dilakukan untuk adalah memberikan gambaran perencanaan kebutuhan tenaga dokter umum dan dokter gigi puskesmas di Kota Bekasi yang selama ini dilakukan oleh tim perencana Dinas Kesehatan Kota Bekasi. Adapun analisis yang dilakukan penulis untuk menghitung kebutuhan tenaga dokter umum dan dokter gigi dengan metode WISN pada tiga puskesmas di Kota Bekasi tahun 2008 yang dilakukan oleh penulis.
Kerangka konsep pada penelitian ini menggunakan pendekatan sistem yang terdiri dari komponen input, proses dan output. Komponen input terdiri dari tim perencana, anggaran, alat dan bahan, metode serta mesin. Metode dalam input ini ada dua, yakni metode Dinas Kesehatan Kota Bekasi dan metode WISN. Komponen proses berisi langkah-langkah untuk mengubah input menjadi output, yaitu perencanaan, penganggaran, pelaksanaan, pengendalian, pengkoordinasian dan evaluasi. Output yang sekaligus merupakan hasil penelitian ini adalah gambaran perencanaan kebutuhan tenaga dokter umum dan dokter gigi puskesmas di Kota Bekasi yang dilakukan oleh Dinas Kota Bekasi serta analisis perhitungan kebutuhan tenaga dokter umum dan dokter gigi dengan menggunakan metode WISN pada tiga puskesmas di Kota Bekasi tahun 2008. Output perencanaan yang dilakukan oleh tim perencana dari Dinas Kesehatan Kota Bekasi disimpan dalam bentuk Format Ketenagaan Puskesmas dan Dinas Kesehatan Kota Bekasi. Berdasarkan format tersebut, jumlah dokter umum yang dibutuhkan adalah 95 orang dan dokter gigi sebanyak 61 orang.
Hasil perhitungan jumlah tenaga dokter umum dan dokter gigi pada tiga puskesmas di Kota Bekasi tahun 2008 adalah: 2 orang dokter umum dan 1 orang dokter gigi yang dibutuhkan di Puskesmas Pengasinan, 2 orang dokter umum dan 1 orang dokter gigi yang dibutuhkan di Puskesmas Duren Jaya, 6 orang dokter umum dan 2 orang dokter gigi yang dibutuhkan di Puskesmas Bantar Gebang I. Setelah hasil perhitungan kebutuhan tenaga dokter umum dan dokter gigi dengan menggunakan metode WISN pada tiga puskesmas di Kota Bekasi tahun 2008 direkomendasikan kepada tim perencana, tim perencana berpendapat metode WISN bisa digunakan sebagai metode perencanaan kebutuhan tenaga dokter dan dokter gigi puskesmas di Kota Bekasi selanjutnya.
Saran yang diajukan penulis adalah sebaiknya dioperasikan on-line system di setiap puskesmas di Kota Bekasi dan Dinas Kesehatan Kota Bekasi agar database setiap pegawai dan kunjungan dari puskesmas dapat langsung diakses oleh Dinas Kesehatan Kota Bekasi sehingga perencanaan kepegawaian, khususnya dokter umum dan dokter gigi, dapat dilakukan lebih mudah dan cepat. Untuk pengenalan metode atau prosedur kerja baru, sebaiknya diadakan pelatihan bagi tim perencana SDM kesehatan di Kota Bekasi untuk meningkatkan kemampuan dan keterampilan khusus tentang perencanaan SDM di Kota Bekasi. Sebaiknya dilakukan aspek kualitatif terhadap setiap puskesmas di Kota Bekasi untuk melihat apakah jumlah tenaga dokter umum dan dokter gigi yang didistribusikan berdasarkan hasil perencanaan sesuai dengan kebutuhan pada setiap puskesmas tersebut."
Depok: Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia, 2008
S-Pdf
UI - Skripsi Open  Universitas Indonesia Library
cover
Telly Kamelia
"Latar belakang. Tuberkulosis (TB) ekstra paru merupakan penyakit yang banyak ditemukan di Indonesia, disamping TB paru. Belum banyak penelitian mengenai TB ekstra paru di Indonesia, khususnya keberhasilan terapi TB ekstra paru dengan menggunakan strategi DOTS. Belum didapatkan laporan penelitian mengenai faktor prediktor yang mempengaruhi keberhasilan terapi TB ekstra paru dengan menggunakan strategi DOTS di Indonesia.
Tujuan. Mengetahui faktor prediktor keberhasilan terapi tuberkulosis ekstra paru seperti usia, jenis kelamin, diabetes mellitus, HIV dan riwayat antituberkulosis. Mengetahui tingkat keberhasilan terapi TB ekstra paru dengan menggunakan strategi DOTS, bila diberikan selama minimum 9 bulan.
Hasil. Penelitian kohort retrospektif dengan data register DOTS TB dan data rekam medis dari 1 Januari 2008 sampai 31 Desember 2012. Didapat 542 pasien TB ekstra paru, 279 pasien TB kombinasi ekstra paru dan TB paru, 70 pasien data tidak lengkap, dan hanya 193 pasien TB ekstra paru murni. Mayoritas pasien berjenis kelamin perempuan (52,3%). Umumnya usia muda (18-60 tahun (95.9%)), rerata 31,34 + 11,64 tahun. TB ekstra paru yang paling banyak didapat adalah limfadenitis TB. Keberhasilan terapi TB ekstra paru pada usia 18-60 tahun terjadi pada 49,7% pasien (OR 2,968, 95% CI 0,584-15,087, p 0,313). Keberhasilan terapi TB ekstra paru untuk jenis kelamin perempuan didapat 55,4% pasien (OR 1,768, 95% CI 0,999-3,131, p0,05). Keberhasilan terapi TB ekstra paru pada pasien diabetes mellitus 33,3% (OR 1.957, 95% CI 0.475-8.062, p 0,546) dan pada riwayat TB sebelumnya sekitar 55,6% (OR 0.738, 95% CI 0.278-1.959, p 0,717). Keberhasilan terapi TB ekstra paru pada pasien HIV 32,1% (OR 2.588, 95% CI 1.330-5.038, p 0,007). Pada analisis multivariate, keberhasilan terapi TB ekstra paru dengan faktor koinfeksi HIV, OR 2.588, CI 95% 1.330-5.038, p 0,005. TB ekstra paru pada pasien HIV mempunyai keberhasilan terapi rendah dengan menggunakan strategi DOTS dan berhubungan dengan kegagalan terapi, serta prognosis buruk. Angka keberhasilan TB ekstra paru yang diterapi dengan menggunakan strategi DOTS selama < 9 bulan adalah 20,2%. Sebanyak 94,6% pasien TB ekstra paru berhasil diterapi dengan menggunakan strategi DOTS selama > 9 bulan.
Kesimpulan. HIV merupakan faktor prediktor yang dapat menurunkan keberhasilan terapi TB ekstra paru dengan menggunakan strategi DOTS. Tingkat keberhasilan terapi TB ekstra paru yang menggunakan strategi DOTS selama minimum 9 bulan baik (94,6%).

Background. Extrapulmonary tuberculosis (EPTB) is common presentation found in Indonesia, besides Tuberculosis (TB). We found that no more research about EPTB in Indonesia, especially EPTB success treatment using the DOTS strategy and its predictor factors.
Aims. To determine predictors of TB treatment success factors such as age, sex, diabetes mellitus, HIV and anti-tuberculosis records. To acknowledge the success rate of EPTB treatment using DOTS strategy, when administered for a minimum of 9 months.
Result. A retrospective cohort study was conducted from 1 January 2008 through 31 December 2012. A total of 542 patients of EPTB were identified, 193 patients were pure EPTB while 279 were mixed ones and 70 were incomplete data. The majority of patients were female (52.3%). Generally young age (18-60 years old (95.9%), mean 31,34 + 11,64 years old. The most common type of EPTB were lymph node. Success treatment rate of EPTB among age of 18-60 years was 49.7% (OR 2.968, 95% CI 0.584 to 15.087, p 0.313). Success treatment rate of EPTB among female sex was 55.4% (OR 1.768, 95% CI 0.999 to 3.131, p0,05). Success treatment rate using DOTS strategy among diabetes mellitus was 33,3% (OR 1.957, 95% CI 0.475-8.062, p 0.546) and the one that had tuberculosis record previously was 55,6% (OR 0.738, 95% CI 0.278-1.959, p 0.717) Success treatment rate in extrapulmonary patient among HIV-seropositive was 32,1% (OR 2.588, 95% CI 1.330-5.038, p 0.007). In multivariate analysis, the success rate for EPTB with HIV co-infection factor, had OR 2.588, CI 95% 1.330-5.038, p 0.005. EPTB among HIV-seropositive patients had lower therapy success rate using DOTS strategy and were associated with unsuccessful therapy and poor prognosis. The success rate of EPTB treatment using DOTS strategy for < 9 months was 20.2%. There were 94.6% EPTB patients successfully treated with the DOTS strategy for > 9 months.
Conclusion. HIV was a predictor factor that may decrease therapy success rate of EPTB using DOTS strategy. Success rate of extrapulmonary TB treatment using DOTS strategy for minimum 9 months was good (94,6%).
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2014
SP-Pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>