Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 56312 dokumen yang sesuai dengan query
cover
cover
Ratno Pajar Pariyuda
"Penelitian ini membahas mengenai relasi sipil-militer di Brasil pada masa pemerintahan Presiden Luiz Inacio da Silva (2002-2009) berdasarkan pada landasan argumen teori yang dikembangkan oleh Alfred Stepan yakni tentang Teori Hak Istimewa Militer. Kajian utama yang dijadikan pembahasan di dalam skripsi ini adalah mengenai Strategi Kebijakan Nasional Brasil tahun 2008, dinamika relasi Kementerian Pertahanan Brasil dengan militer, dan faksionalisasi militer Brasil pada masa Presiden Luiz Inacio da Silva. Ketiga hal tersebut merupakan refleksi dari relasi sipil-militer Brasil pada masa pemerintahan Presiden Lula (2002-2009).

The focus of this study is to explain about Brazil civil-military relations under the authority of President Luiz Inacio da Silva (2002-2009), and based on with basic theory of Alfred Stepan that is Military Privilege Right Theory. The point of this problems are to know about National Strategy of Defence 2008, dynamic relations on Brazil Ministry of Defence with military, and factionalisation of Brasil Military under the authority of Presiden Luiz Inacio da Silva’s era. They reflected from Brazil civilmilitary relations under Presiden Luiz Inacio da Silva (2002-2009)."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2013
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Koesnadi Kardi
"Reformasi militer Indonesia telah mengakibatkan perubahan budaya, doktrin, struktural, dan organisasi. Perubahan tersebut belum mencapai sifat yang fundamental terhadap hubungan sipil-militer yang demokratis dimana hal ini sangat bergantung secara bersamaan pada "subordinasi masyarakat sipil untuk nilai-nilai militer” dan “subordinasi kontrol sipil atas militer". Kasus Indonesia dari reformasi militer tampaknya menunjukkan bahwa keberhasilan demokratisasi hubungan sipil-militer tergantung begitu banyak pada setup kelembagaan militer serta pada gigihnya bimbingan dan inisiatif dari institusi sipil. Beradaptasi dari Peter D. Feaver tentang teori "principal-agent", penelitian ini menunjukkan bahwa masih ada koherensi yang kurang terpadu dari upaya antara lembaga-lembaga sipil (supra), sehingga dasar reformasi militer di Indonesia di bawah kontrol demokrasi masih bermasalah. Hal ini jelas bahwa, pertama, reformasi militer merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari demokratisasi, dan kematangan demokrasi harus membuka jalan bagi reformasi di militer. Kenyataan bahwa militer tetap merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari lingkaran supra sehingga hal ini menjadi bermasalah. Kedua, lingkaran sipil/ politik di dalam lingkaran supra tidak dapat membimbing, memberikan saran, dan memberikan orientasi kepada militer dalam kerangka tujuan nasional, termasuk alokasi sumber daya serta penggunaan kekuatan militer, sementara militer tetap menjadi otonom dalam beberapa area seperti doktrin, organisasi, disiplin internal, sifat, serta rencana operasional. Ketiga, lingkaran infra-partai politik, organisasi kemasyarakatan, organisasi non-pemerintah serta akademisi dan media-telah memainkan beberapa peran, meskipun terbatas, dalam menetapkan beberapa perubahan, tetapi mereka tetap tidak mampu menjaga momentum selama proses berlangsung. Keempat, pada tingkat implementasi, Departemen Pertahanan tampaknya memiliki kapasitas yang terbatas untuk melakukan kontrol mereka atas militer terutama di bidang anggaran militer, prioritas strategis, akuisisi senjata, pendidikan, dan doktrin. Supremasi sipil di Indonesia tampaknya telah mengandalkan "subordinasi sukarela" dari militer daripada akses sipil untuk melakukan kontrol yang efektif terhadap militer. Oleh karena itu, kebijakan instruktif dan dasar hukum keduanya diperlukan dan penting untuk menghasilkan subordinasi lengkap militer ke sipil.

Indonesia’s military reform may have resulted in noted cultural, structural, doctrinal, and organizational changes. But such change has yet to be felt in the fundamental democratic civil-military relation that relies upon both “the subordination of civil society to military values and the subordination of civilian control of the military”. In the case of Indonesia, the military reform process appears to suggest that the success of democratizing civil-military relations depends as much on the institutional setup of the military as on the persistence, guidance and initiative of the civilian institutions. Adapting Peter D. Feaver’s “principal-agent” theory, this study shows that owing to the lack of coherence and concerted effort among civilian institutions (supra), the nature of military reforms under democratic control in Indonesia remains problematic. Nonetheless, four points are clear. First, military reforms are an inseparable part of democratization, and democratic maturity should open the way for a better reforms in the military. The very fact that the military remains an integral and inseparable part of the supra is problematic. Secondly, the civil/political circle within supra is unable to fully guide, advise and orient the military in the area of national objectives, including the allocation of resources, and the use of military forces so long as the military remains autonomous in such areas as doctrine, organization, internal discipline, traits and operational planning. Thirdly, the infra -- political parties, social organizations, non-governmental organizations as well as academia and the media -- have played some roles, limited nonetheless, in setting the tone of changes, but they remain unable to keep up momentum throughout the process. Fourthly, at the implementation level, the Defense Ministry appears to have limited capacity to exercise its control over the military, especially in the area of the military budget, strategic priorities, weapons acquisition, education and doctrine. Civilian supremacy in Indonesia appears to have relied on “voluntary subordination” of the military rather than on civilian access to exercise effective control over the military. Hence, instructive policy and legal basis are both necessary and essential to yield a complete subordination of the military to the civilian democratic society."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2013
D-pdf
UI - Disertasi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Jakarta: Department of Defence and Security, 1982
355.031 IND r
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
cover
Arief Isdiman Saleh
"ABSTRAK
Aljazair adalah salah satu negara di kawasan Timur Tengah dan Afrika Utara yang memiliki sejarah panjang dominasi militer dalam politik dan pemerintahan. Dominasi militer dalam pemerintahan yang telah berlangsung sejak lama tersebut sebenarnya telah diupayakan untuk dikurangi, namun baru mencapai puncaknya pada masa pemerintahan Presiden Abdelaziz Bouteflika periode ketiga dengan kebijakan reformasi dan demokrasi di pemerintahan Aljazair. Hanya saja, dibalik upaya tersebut, dominasi militer dalam politik Aljazair masih ada dengan peran aktif Dinas Intelijen Militer atau DRS Department Du Renseigment et De La Securite dalam menentukan arah kebijakan politik sekalipun secara konstitusional partisipasi militer dalam politik dilarang. Dengan demikian, tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui hubungan sipil-militer di Aljazair pada tahun 2009-2014 mengingat revolusi Arab Spring berlangsung pada periode ini. Adapun metode penelitian yang digunakan oleh penulis dalam penelitian ini adalah metode kualitiatif dengan pendekatan studi pustaka. Metode tersebut dilaksanakan dengan melakukan telaah literatur, dokumen dan teori yang berkaitan dengan hubungan sipil-militer di Aljazair pada periode tersebut. Adapun yang dapat disimpulkan dari penelitian ini adalah hubungan sipil-militer di Aljazair yang mengarah kepada kontrol sipil secara penuh dengan pengurangan peran militer dalam politik dan penyerahan tanggungjawab penuh pertahanan negara terhadap militer. Peran Dinas Intelijen Militer juga perlahan mulai dikurangi semenjak tragedi ladang gas Amenas pada tahun 2013. Meskipun demikian, militer Aljazair masih digunakan oleh pemerintahan Presiden Abdelaziz Bouteflika sebagai alat kekuasaan.

ABSTRACT
Algeria is one among Middle East and North Africa states that has long history of military domination on its political and governmental affairs. There are a number of effort to reduce military domination on Algeria rsquo s political and governmental affairs that had been occurred since a long time ago, though it has just reached its peak during President Abdelaziz Bouteflika rsquo s third period with the policy of reformation and democratisation on governmental fields. Nevertheless, the domination of military in the Algerian political affairs are still remains with the active role of Military Intelligence Service or DRS Department Du Renseigment et De La Securite especially on state rsquo s policy direction making process though the military role in politics is prohibited constitutionally. Thus, the purpose of this research are intended to understand the civil military relations in Algeria during President Bouteflika rsquo s third periode from 2009 2014 because The Arab Spring Revolution occurred at that period. Method that used on this research is qualitative research with literature study approach. This research are conducted by reviewing and studying some literatures, documents, and theories related to civil military relations in Algeria at that period. According to this research, it may concluded that civil military relations in Algeria during President Bouteflika rsquo s third period are directing towards lsquo full civilian rsquo control with reducing military role in politics and handing over the security and defense affairs to the military. The role of the Military Intelligence Service DRS are reduced slowly after The Amenas Hostage Crisis in 2013. Despite of these situations, the military are still used by President Abdelaziz Bouteflika rsquo s administration as the tool to securing its power."
2017
T49102
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Kholidah Tamami
"ABSTRAK
Invasi Israel ke Libanon membuat Perserikatan Bangsa-bangsa membuat misi
perdamaian internasional yang diberi nama UNIFIL (United Nations Interim
Force in Lebanon. Untuk menyusun pasukan-pasukan dari negara-negara
anggotanya agar tergabung dalam UNIFIL, PBB melakukan seleksi terhadap
negara-negara anggotanya untuk berpartisipasi dengan cara memberian mandat
melalui Resolusi DK PBB 1701. Indonesia merupakan negara yang dimandatkan
oleh PBB setelah sebelumnya pasukan UNIFIL hanya diisi oleh negara-negara
anggota NATO (North Atlantic Treaty Organization).
Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif dengan menekankan metode
studi kasus dari peristiwa yang terjadi di Libanon Selatan yang melibatkan
Indonesia sebagai pasukan pemelihara perdamaian (peacekeeper). Adapun
praktek pemeliharaan perdamaian (peacekeeping) yang dilakukan Indonesia
sesuai dengan landasan Politik Luar Negeri RI (Polugri).
Penelitian ini dilakukan berdasarkan fakta historis dimana pada tahun-tahun
militer Indonesia tergabung dalam UNIFIL telah membangun citra positif
Indonesia khususnya di Libanon. Hal tersebut berdasarkan temuan-temuan
mengenai banyaknya prestasi yang diperoleh Kontingen Garuda yang dibuktikan
dengan berbagai macam penghargaan baik oleh pemerintah Indonesia, pemerintah
Libanon maupun Perserikatan Bangsa-bangsa sehingga menjadi kebangaan
tersendiri bagi Indonesia.
Namun demikian, pemerintah Indonesia sepertinya tidak lantas berpuas diri
dengan prestasi yang telah dicapai oleh tentara militernya. Dengan posisi militer
Indonesia yang masuk dalam lima belas besar peringkat dunia, Indonesia masih
menginginkan masuk dalam posisi sepuluh besar peringkat militer dunia sehingga
untuk mencapai tujuan itu pemerintah terus melakukan upaya pembenahan
didalam tubuh militer, penambahan jumlah personil yang dilengkapi dengan skill,
penambahan anggaran yang menyesuaikan serta menjalin kerja sama dengan
aktor-aktor peacekeeping lainnya.

ABSTRACT
Israeli invasion to Southern Lebanon was responsed by the United Nations (UN)
to make the international peace mission called UNIFIL (United Nations Interim
Force in Lebanon). To prepare troops from member countries that are members of
UNIFIL, the UN undertook the selection by the UN Resolution called mandate.
Indonesia is one of UN members countries which is mandated by the UN after the
previous UNIFIL troops only be filled by the member countries of NATO (North
Atlantic Treaty Organization). A pride for Indonesia because through Tentara
Nasional Indonesia (TNI) in the name of nation internationally, but it is contrast
with what Indonesia’s had with alutsista is uncomplete.
This study used a qualitative approach by emphasizing the study method of the
ectivity that occurred in South Lebanon as involving Indonesian peacekeepers.
The practice of maintaining peace (peacekeeping) are conducted in accordance
with the foundation of Indonesian Politics of Foreign Affairs (Polugri), Concept
of Military Operations Other Than War (MOOTW) and defensive military
doctrine and form of implementation of International Cooperation.
This study was conducted based on the historical facts in the years in which the
Indonesian military have joined the UNIFIL build a positive image of Indonesia,
especially in Lebanon. It is based on the findings of the many achievements in
Garuda Contingent as evidenced by the various awards by the Indonesian
government, the Lebanese government and the United Nations so that it becomes
a moment of pride for Indonesia.
However, the Indonesian government seems not necessarily satisfied with the
achievements by military troops. By entering the Indonesian military position in
the world rankings fifteen, Indonesia still wanted inside the top ten world ranking
military so as to achieve the purpose that the government continues to make
efforts to reform the military in the body, increasing the number of personnel who
are equipped with skills, adding adjust budget and collaborate with other
peacekeeping actors."
Jakarta: Program Pascasarjana Universitas Indonesia, 2014
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Abas
"Penelitian ini berangkat dari asumsi bahwa di era pemerintahan demokratis baru di bawah kepemimpinan sipil, menarik militer dari bisnis tampaknya masih merupakan masalah besar karena masih relatif kecilnya alokasi anggaran militer yang disediakan. Dengan demikian, fokus permasalahan yang dimunculkan adalah bagaimana bisnis militer beroperasi sekarang ini dan bagaimana kontrol sipil atas bisnis militer.
Studi ini menggunakan metode penelitian kualitatif dengan melihat studi kasus bisnis militer di Era Reformasi sekarang ini. Pengambilan data dilakukan melalui wawancara mendalam dengan informan kunci seperti perwira aktif di Mabes TNI, purnawirawan, Sekjen Departemen Pertahanan, pengamat militer, pengusaha, dan staf ahli Yayasan Kartika Eka Paksi. Landasan teoritik yang digunakan dalam penelitian ini adalah teori kontrol sipil atas militer. Teori ini antara lain menyatakan bahwa bila pemerintahan sipil tidak mampu memberikan anggaran yang mencukupi, menentukan prioritas dan strategi pertahanan, maka kontrol sipil atas bisnis militer menjadi lemah. Bila pemerintahan sipil gagal meningkatkan perkembangan ekonomi serta memelihara ketertiban, dan pada saat yang bersamaan institusi politik lemah serta para pemimpin politik menarik militer ke wilayah kepentingannya, maka kontrol sipil atas bisnis militer menjadi tidak efektif. Bila pemerintahan sipil menghadapi ancaman internal yang tinggi, maka kontrol sipil atas bisnis militer menjadi lemah.
Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa berjalannya bisnis militer sejak dahulu hingga kini karena tidak adanya peraturan dan undang-undang yang melarang praktek bisnis tentara. Temuan lain menunjukkan bahwa lemahnya otoritas sipil dan kukuhnya kekuatan militer menyebabkan lemahnya posisi tawar sipil di hadapan militer sehingga praktek bisnis tentara tetap beroperasi.
Keterbatasan anggaran negara untuk memberikan budget anggaran pertahanan serta keterpurukan ekonomi menambah lemahnya posisi pemerintah sipil di hadapan tentara karena tidak dapat memberi anggaran yang cukup untuk mereka sehingga membuat mereka merasa benar ketika melakukan praktek bisnis. Temuan penelitian ini sekaligus mendukung proposisi teori tersebut.
Penelitian ini antara lain berkesimpulan bahwa membangun TNI sebagai kekuatan yang profesional dalam pertahanan negara, tidak pada tempatnya membiarkan TNI mencari dan mengalokasikan anggarannya sendiri tanpa kontrol otoritas sipil. Karena itu, penelitian ini antara menyarankan bahwa supremasi sipil atas militer perlu segera ditegakkan, terutama sekali dalam hubungannya dengan bentuk kontrol atas anggaran di mana seluruh pendanaan militer mesti sepengetahuan DPR."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2005
T13782
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
"This paper discusses the mechanism of civil-military cooperation in humanitarian assistance in Indonesia with the influence factors of the process. Research is done by using qualitative method to describe the process and force field analysis as the tool. It describes the process of civil-military cooperation from planning, preparation, implementation and evaluation. It suggests to make regulation regarding TNI's task in MOOTW, regulation of civil-military cooperation, allocation of TNI's budget and the guidelines of response."
JPUPI 2:2 (2012)
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
cover
I Gde Nyoman Arsana
"Hubungan sipil-militer di setiap negara berbeda satu sama lain karena adanya perbedaan latar belakan perkembangan bangsa, bentu negara, ideologi, dan falsafah negara, dan budaya bangsa. Jenis hubungan sipil-militer bervariasi mencerminkan ideologi poitik, orientasi-orientasi, dan struktur organisasi modern. Hubungan sipil-militer di Indonesia sejak 1945-1998 mengalami pasang surut sejalan dengan sikap politik penguasa pemerintah, sikap, dan solidaritas kaum militer pada periode yang bersangkutan.
Dwifungsi ABRI merupakan salah satu doktrin dasr bagi ABRI dalam melaksanakan tugasnya khususnya yang berkaitan dengan pelaksanaan hubungan sipil-militer. Doktrin ini secara evolusi mengalami perkembangan sejak awal revolusi 1945. Dwifungsi ABRI memperoleh roh dans emangatnya pada masa gerilya antara Desember 1948 sampai Juli 1949, dimana saat itu TNI bersama PDRI di Bukittinggi mempertahankan keberadaan Republik yang masih muda. Doktrin ini kemudian secara perlahan berkembang dari era Soedirman (1945-1949), era Nasution (1958) sampai dengan era Soeharto (1966-1988).
Soeharto sebagai pendiri Orde Baru telah berperan sentral dan memberi warna dan bentuk hubungan sipil-militer yang dilaksanakan dengan doktrin Dwifungsi ABRI karena dia menduduki posisi kunci sudut pandang tersebut dalam studi ini dilakukan kajian untuk mengenali sejauh mana Soeharto (agency) mempengaruhi produk-produk peraturan-peraturan (struktur) tentang kedudukan militer dalam Negara sampai kepada saat dimana terjadi dominasi militer dalam politik di Indonesia selama lebih dari tiga dekade.
Kajian ilmu sejarah yang menggunakan metodologi strukturis sebagai sebuah kajian yang mengedepankan bagaimana kuatnya pengaruh human agency yang memberi bentuk pada perubahan struktur yang berupa peraturan-peraturan tentang kedudukan militer dalam Negara RI. kajian ini menjabarkan periodesasi hubungan sipil-militer dalam tiga periode yaitu: (1) 1966-1975, disebut periode pengendalian militer dengan patner (memupuk kekuasaan), (2) 1976-1988, disebut periode pengendaliaan militer dengan patner, dan (3) 1988-1998, disebut periode pengendalian militer tanpa patner. Studi ini penting dilakukan sebagai salah satu upaya untuk memaknai kembali kedudukan militer yang demikian dominan selama lebih dari tiga dekade, pada saat mana Republik ini sedang dalam pencarian bentuk demokrai yang cocok bagi bangsa Indonesia yang berfalsafah pancasila. Hasil kajian ini diharapkan dapat menumbuhkan inspirasi bagi generasi penerus bangsa, agar dapat menundukkan militer pada posisinya yang tepat sesuai jiwa dan semangat UUD 1945 dalam NKRI yang menjunjung tinggi hukum dan nilai-nilai demokrasi.
Dengan menggunakan teori sipil-militer Samuel P. Huntington dengan merujuk kepada model The Continuum of Military in Politics dari Claude E. Welch dan konsep kekuasaan dalam mempengaruhi proses perumusan dan implementasi Dwifungsi ABRI, sedemikian jauh, luas dan mendalam sehingga berdampak pada intensitas sifat dan corak hubungan sipil-militer di Indonesia ; kedua, hubungan sipl militer di Indonesia dalam era Soeharto, merupakan salah satu varian Subjective CIvilan Control; ketiga, terdapat tiga perbedaan prinsip pandangan antara Nasution dengan Soeharto mengenai Dwifungsi ABRI yang disebabkan adanya beberapa faktor yang berpengaruh antara lain perbedaan latar belakang budaya, pendidikan, pengalaman, dan cara pandang; keempat, Soeharto sangat dipengaruhi nilai-nilai budaya Jawa dalam pelaksanaan kekuasaan dan penerapan kepemimpinannya; dan kelima, Dwifungsi ABRI digugat karena adanya faktor-faktor dari luar dan dari dalam negeri, khususnya karena implementasinya yang demikian meluas dan mendalam, serta pemanfaatannya oleh Soeharto untuk mempertahankan kekuasaannya.

The relationships between civil and military varies in every country because of the difference of the nation's background, the shape ol the country, the ideology and philosophy, and the culture of the nation- The variation of civil-military relationships reflected the political ideology, orientations, and the modern structure of organization, The relationships of civil military in Indonesia since 1945 ~ 1998 went ups and downs in accordance to the political attitude of the ruling government, the attitude and solidity of the military community ln that period.
ABRI double-function is one of the doctrines of ABR! to lullil their duties especially in compliance with civil-military relationships. This doctrine developed evolutionary since the beginning of the 1945 revolution. ABRI double-function was motivated during the 'guerrila?s era", between December 1948 and July 1949, when TNI together with PDRI defended the existence of this new and young Republic, in Bukittinggi, West Sumatera. The doctrine then developed slowly in the era of Soedirman (1945-1949), the era of Nasution (1958), until the era of Soeharto (1966-1998).
Soeharto, as the founder of the New Order. played as the central role in shaping and colouring the civil-military relationships that acted upon the ABRI double-function doctrine, because Soeharto was in the key position as the President of Republic indonesia, as ABRI Commander-in-chief, and as a more than three period Mandatory of MPR Rl. From this point of view. this study is trying to analyze Soehands deeply influence in the products of regulations about the military position in the country until the military domination in politics in Indonesia for more than three decades.
The study of the history using structurist methodology was a study that brought up the strong influence of human agency that gave shape to the change of structure of regulations about the position of military in the Republic of Indonesia. This study explained the periodicity about the relationship between civil-military : (1) 1966-1975, as the period of military with partner { to strengthen power), (2) 1976-1988, still as the period of military with partner, (3) 1988-1998, as the period of military without partner. This important study has done as an effort to signify the military position that had been so dominant for more than three decades, while this Republic was looking for the come out best democratic system for the nation, as it has Pancasila as its philosophy. We hope this analysis will develop an inspiration to the young generation to put military in accurate position in accordance to the morale of UUD 1945 in NKRI that uphold law and democratic values.
With applying the theory of civil-military relationships of Samuel P. Huntington, and with references of The Continuum of Military Involvement in Politics model of Claude E.Wetch, the concept of power in Javanese tradition, and the concept of ABRI double- function, this analysis will uncover that : first, Soeharto was proved of having deep influence in the conception and in implementing the ABRI double-function, that influenced also the character and the pattern of civil-military relationships in Indonesia; second, civil-military retationships in Indonesia in the era of Soeharto, was a variant of Subjective Civilian Control; third, there were three principal different views between Nasution and Soeharto about ABRI double-function, because of some factor of influences e.g. different background of culture, educations, experiences, and mind set; forth, Soeharto was deeply influenced by Javanese cultural values in implementing his power and leadership; fifth, ABRI double-function was claimed because of internal and external factors, especially the wide and deep implementation to stand up for Soeharto's power.
"
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia, 2007
D747
UI - Disertasi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Muhammad Endrasta Wicaksono
"Kerja sama pengembangan bersama pesawat jet tempur KFX/IFX telah berjalan selama lebih dari satu dekade. Terdapat beberapa rencana yang akan diterapkan dalam kerja sama ini. Selama beberapa tahun kerja sama ini berjalan, beberapa rencana-rencana tersebut berhasil diterapkan. Namun, tidak semua hal yang direncanakan dalam kerja sama ini berlangsung lancar. Terlebih lagi, kerja sama ini juga mengalami berbagai penundaan yang dilakukan oleh Korea Selatan dan Indonesia, adanya pandangan negatif dari kedua negara terkait kerja sama ini, dan adanya rencana pembelian pesawat jet tempur oleh kedua negara dari negara lain meskipun kerja sama ini sedang berlanjut. Walaupun begitu, Indonesia dan Korea Selatan tetap memutuskan untuk melanjutkan kerja sama ini. Skripsi ini mempertanyakan alasan yang membuat Indonesia dan Korea Selatan memutuskan untuk melanjutkan kerja sama tersebut. Skripsi ini menggunakan kerangka analisis kerja sama industri pertahanan dan metode penelusuran causal-process tracing untuk menjelaskan alasan di balik keputusan tersebut. Penelitian ini menemukan bahwa terdapat lima alasan yang mendorong kelanjutan kerja sama KFX/IFX, yakni keinginan Indonesia dan Korea Selatan untuk mengurangi ketergantungan impor alutsista; potensi pengembangan industri pertahanan nasional kedua negara dari kerja sama KFX/IFX; keinginan Indonesia dan Korea Selatan untuk mendapatkan keuntungan diplomatik; kemungkinan kerja sama industri pertahanan Indonesia dan Korea Selatan di masa depan; dan  keinginan Indonesia dan Korea Selatan memperoleh prestise.

The joint development cooperation of KFX/IFX fighter jets has been going on for more than a decade. There are several plans that will be implemented in this cooperation. During the several years of this cooperation, several of these plans were successfully implemented. However, not everything planned in this cooperation went smoothly. Moreover, this cooperation has also experienced various delays by South Korea and Indonesia, negative views from the two countries regarding this cooperation, and there are plans to purchase fighter jets by the two countries from other countries even though this cooperation is still ongoing. Even so, Indonesia and South Korea still decided to continue this cooperation. This thesis questions the reasons that made Indonesia and South Korea decide to continue the cooperation. This thesis uses an analytical framework of defense industry cooperation and a causal-process tracing method to explain the reasons behind this decision. This study finds that there are five reasons that encourage the continuation of KFX/IFX cooperation, namely the desire of Indonesia and South Korea to reduce dependence on imported main weapon system; the potential for the development of the national defense industry of the two countries from the KFX/IFX cooperation; the desire of Indonesia and South Korea to gain diplomatic advantage; the possibility of cooperation in the defense industry of Indonesia and South Korea in the future; and the desire of Indonesia and South Korea to gain prestige."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2022
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>