Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 17 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Layton, Irving
Toronto: McClelland and Stewart, 1978
811.5 LAY t
Buku Teks SO  Universitas Indonesia Library
cover
Qiu, Xiaolong
London: Hodder & Stoughton, 2002
813.6 QIU l
Buku Teks SO  Universitas Indonesia Library
cover
Alexander, H. T.
New York: Frederick A. Praeger, 1966
966 ALE a
Buku Teks SO  Universitas Indonesia Library
cover
cover
Okita, Saburo
Tokyo: Institute for domestic and International Policy Studies, 1992
327.52 OKI et
Buku Teks SO  Universitas Indonesia Library
cover
Syifanie
"[ ABSTRAK
Sebagai sebuah medium komunikasi, film tidak terpisahkan dari konteks masyarakatnya. Sang Penari adalah salah satu film yang menyajikan konteks budaya Jawa yang kental. Sebuah film yang terinspirasi dari novel trilogi Ronggeng Dukuh Paruk tahun 1982 karya Ahmad Tohari ini tidak hanya menceritakan kisah cinta Rasus dan Srintil, Sang Penari bicara mengenai tekad untuk menjalankan dharma dalam kehidupan, sebuah nilai-nilai religius yang dipercayai masyarakat Jawa. Tulisan ini membahas mengenai bagaimana religiusitas masyarakat Jawa dalam film Sang Penari. Pembahasan difokuskan pada konsepsi religi dalam pandangan masyarakat Jawa yang direpresentasikan dalam film Sang Penari melalui Semiotik de Saussure. Dengan menganalisis tanda-tanda (baik gambar ataupun teks) di dalam film, terlihat bagaimana pandangan dan sikap hidup jawa yang dilandasi oleh kepercayaan religius. Orang Jawa selalu berusaha menjaga keselarasan diri dengan lingkungan hidup. Begitu pula masyarakat Jawa abangan yang direpresentasikan didalam film, tiap tokohnya menggambarkan sikap dan pandangan hidup jawa yang berusaha mencapai tujuan hidupnya dengan menjaga tradisi. Hal ini menunjukan bahwa film Sang Penari merepresentasikan religiusitas di dalam masyarakat Jawa.

ABSTRACT
As a communication medium, film is inseparable from society context. The Dancer is one film that presents the context of Javanese culture.. A film is inspired by the novel trilogy Ronggeng Dukuh Paruk in 1982 by Ahmad Tohari, not only tells the love story Rasus and Srintil, “The Dancer” talk about the determination of dharma in life, a religious values believed by Javanese society. This paper discussed on how Javanese society religiosity in the film The Dancer. Discussions focused on the conception of religion in the view of Javanese society that is represented in the film The Dancer through Semiotics de Saussure. By analyzing the signs (either image or text) in films, seen that how the viewpoint and attitudes of Java is based on religious beliefs. Javanese people always try to maintain harmony with the nature . Likewise, abangan of Javanese society represented in the film, each character describes the attitude and viewpoints on life Javanese, who trying to reach his purpose of life by keep the tradition. This shows that films The Dancer represent religiosity in the Javanese society., As a communication medium, film is inseparable from society context. The Dancer is one film that presents the context of Javanese culture.. A film is inspired by the novel trilogy Ronggeng Dukuh Paruk in 1982 by Ahmad Tohari, not only tells the love story Rasus and Srintil, “The Dancer” talk about the determination of dharma in life, a religious values believed by Javanese society. This paper discussed on how Javanese society religiosity in the film The Dancer. Discussions focused on the conception of religion in the view of Javanese society that is represented in the film The Dancer through Semiotics de Saussure. By analyzing the signs (either image or text) in films, seen that how the viewpoint and attitudes of Java is based on religious beliefs. Javanese people always try to maintain harmony with the nature . Likewise, abangan of Javanese society represented in the film, each character describes the attitude and viewpoints on life Javanese, who trying to reach his purpose of life by keep the tradition. This shows that films The Dancer represent religiosity in the Javanese society.]"
Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2014
MK-PDF
UI - Makalah dan Kertas Kerja  Universitas Indonesia Library
cover
Ayunda Cahyaning Nurani
"Skripsi ini bertujuan untuk mengetahui perbedaan nilai estimasi VO2max, asupan gizi (energi, protein, lemak dan karbohidrat), dan aktivitas fisik antara kelompok penari dan kelompok bukan penari. Penelitian ini menggunakan desain ecological study. Pengambilan data dilakukan pada bulan April ? Mei 2014 pada Griya Seni Ekayana, Sanggar Seni Betawi Setu Babakan, dan Mahasiswi S1 Reguler FKM UI. Hasil penelitian menunjukkan bahwa terdapat perbedaan yang bermakna pada aktivitas fisik (p = 0,035) antara kelompok penari dan bukan penari.

The purpose of this study is to prove the differences in VO2max, nutritional intakes (energy, protein, fat and carbohydrates), and physical activity between woman dancer and non-dancer. This research is an ecological study. Data were collected from April-May 2014 in Griya Seni Ekayana, Sanggar Seni Betawi Setu Babakan and colleges at FKM UI. The result of this study showed that there were significant differences in physical activity (p = 0,035) between woman dancer and non-dancer.
"
Depok: Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia, 2014
S56245
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Hendra Sudarthio
"ABSTRAK
Mao`s Last Dancer (末代舞者Mòdài Wǔ Zhě) merupakan sebuah film otobiografi yang diproduksi pada tahun 2009 oleh sutradara Australia Bruce Beresford. Film Mao?s Last Dancer ini berlatar belakang dua periode sejarah Cina, yakni Revolusi Kebudayaan dan pasca Revolusi Kebudayaan. Karya ini menceritakan tentang perjalanan hidup seseorang yang terpilih sebagai penari balet sejak usia anak-anak pada periode Revolusi Kebudayaan. Makalah ini membahas mengenai bagaimana kondisi sejarah pada Revolusi Kebudayaan dan pasca Revolusi Kebudayaan yang digambarkan dalam film.

ABSTRACT
Mao`s Last Dancer (末代舞者Mòdài Wǔ Zhě) is an autobiography film directed by Australian director, Bruce Beresford in 2009. This film has two settings, that are Cultural Revolution and Post-Cultural Revolution Period. This film tells us about a child who has been chosen as a ballet dancer in Cultural Revolution Period."
2016
MK-PDF
UI - Makalah dan Kertas Kerja  Universitas Indonesia Library
cover
Lubis, Nadia Silvarani
"ABSTRAK
Dalam budaya patriarki, posisi wanita sering diremehkan. Bahkan, mereka sulit mengungkapkan apa yang mereka inginkan dan rasakan. Pernyataan bahwa kaum wanita adalah kaum kelas dua tersebut membuat mereka dapat dikategorikan sebagai kaum yang terbungkam. Mereka tak dapat mengutarakan apa yang diri (subjek) mereka inginkan. Sering kali, cara seorang wanita untuk keluar dari keterbungkamannya adalah dengan meranjak ke ranah publik. Para wanita berharap mereka dapat meraih eksistensialisme diri seperti diraih oleh para laki-laki di ranah publik. Berkecipung di ranah domestik membuat keberadaan mereka semakin termarjinalkan dan tak jarang hanya menjadi objek dari keluarga, seperti suami atau anak mereka. Hal-hal domestik tersebut telah menyita waktu dan perhatian mereka untuk mengembangkan diri. Oleh karena itu, melalui penelitian ini, peneliti menyelidiki apakah ranah publik memang ranah yang menjanjikan eksistensialisme diri seorang wanita. Nyatanya, tidak begitu. Dalam Film Sang Penari, karakter Srintil yang memilih untuk berkecimpung ranah publik, justru tidak mendapatkan eksistensialismenya sebagai subjek. Meski semua warga desa mengelu-elukan posisinya sebagai ronggeng, Srintil merasa tidak bahagia. Melalui metode analisis semiotika (dengan analisis leksia dan paradigmatik), peneliti mencoba mengkaji setiap leksia yang terdapat dalam film Sang Penari agar subjektivisme semu yang dialami Srintil terkuak.

ABSTRACT
Within the patriarchal society, women's roles are often viewed condescendingly. Not only that, they even find it hard to express their desires or feelings. Statements that categorize women as minority and second class may very well categorize them as the repressed ones. They are unable to express their desires and wants. Often times, a woman's only means to express herself is by bringing her words to the public domain. Women are hopeful that they will be achieved existentialism just like their male counterparts in public domains. Being largely active only in domestic settings, women are thus even more marginalized and often become mere objects of their family, such as their husbands or children. Domestic matters take up much of their time and attention that they are left with almost no time for self developments. Therefore, through this research, the researchers investigated whether the public domain is truly a domain fit to develop women's existentialism. In reality, it is not so. In the movie "Sang Penari" (The Dancer), the character of Srintil who chose to participate in the public domains did not end up with existentialism as a subject. Even though Srintil attained adulation, she did not find happiness. Through semiotic analysis (with lexical and paradigmatic analysis), researchers attempted to analyzed every Lexica found in the movie "Sang Penari" so that the apparent existentialism experienced by Srintil would be revealed."
2013
T34880
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Evi Retno Cristiyan Dewi
"Dalam dunia sastra Indonesia, nama Hasnan Singodimayan tidak begitu dikenal. Dalam sejumlah esai yang ditulis Jassin, nama ini tidak pernah disebut, juga dalam buku sejarah sastra yang ditulis Ajip Rosidi dan Jakob Sumardjo. Teeuw pun tidak menyebut nama Singodimayan. Akan tetapi, dalam konteks Banyuwangi, nama Singodimayan tidak bisa dinafikan. Ia telah menghasilkan paling tidak tiga novel dan satu buku takwil. Salah satu novelnya yang terpenting adalah Kerudung Santet Gandrung. Novel ini melukiskan kehidupan penari gandrung yang sering mendapat stigma negatif dari kalangan masyarakat nonbudaya (nonbudayawan). Melalui novel ini, Singodimayan menunjukkan bahwa penari gandrung tidak seburuk yang disangkakan orang. Dalam kaitannya dengan kajian tentang budaya Banyuwangi, novel ini penting sebab di dalamnya tidak sekadar dilukiskan mengenai penari gandrung, tetapi juga persoalan lain yang bertalian dengan identitas masyarakat Banyuwangi. Hingga kini penelitian terhadap seni gandrung sudah banyak dilakukan, tetapi penelitian terhadap novel tersebut belum banyak, padahal novel ini sarat dengan masalah sosial-budaya di Banyuwangi. Penelitian ini bertujuan mengungkapkan pro-kontra terhadap penari gandrung di Banyuwangi. Dalam novel ini tersirat adanya konflik antara kalangan budayawan dan kalangan nonbudayawan. Dari konflik tersebut mengemukalah persoalan identitas masyarakat Banyuwangi. Dengan pendekatan sosiologis, persoalan tersebut akan dikaji dalam penelitian ini. Untuk menunjang analisis, dilakukan pengamatan di lapangan dan wawancara dengan Hasnan Singodimayan, tokoh santri, dan tokoh budayawan

In Indonesian's literature, the name of Hasnan Singodimayan is not popular. Neither in Jassin's essays or in the history of literature written by Ajib Rosidi and Jakob Sumardjo, the name of Hasnan Singodimayan is also not mentioned. Teeuw also does not mention the name of Hasnan Singodimayan. Nevertheless, the name of Hasnan Singodimayan cannot be ignored in the context of Banyuwangi. In Fact, Hasnan Singodimayan has already written at least three novels and one Takwil book. One of his important novels is Kerudung Santet Gandrung. This novel tells about the gandrung dancer who was often stigmatized by nonculturalist society. For that reason, through this novel, Singodimayan wanted to show that the gandrung dancer is not as bad as what people thought. In relation with Banyuwangi culture, this novel is important because it does not simply portray the gandrung dancer but it also tells other issues related to the identity of Banyuwangi's people. Until now, the research on gandrung art has been done many times, but the research about the novel is still fewly done even though the novel has important contains the socialculture issue in Banyuwangi. This research aims to unveil the truth of gandrung dancer pros-cons in Banyuwangi. This novel implies the conflict between the culturalist society and the nonculturalist society. This conflict then raises the issue of identity problem faced by the people of Banyuwangi. This issue will be analyzed using sociological approach. An observation and an interview with Hasnan Singodimayan were done to support the analysis"
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia, 2016
S65084
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2   >>