Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 175736 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Arief Dimas Dwiputro
"Skabies adalah penyakit kulit ketiga paling sering di Indonesia. Obat pilihan untuk skabies adalah permetrin. Akan tetapi, pengolesan permetrin yang harus ke seluruh tubuh tidak nyaman untuk dilakukan di negara tropis dan lembab seperti Indonesia. Muncullah ide untuk mengoleskan permetrin hanya di lesi saja diikuti dengan pemakaian sabun antiseptik dua kali sehari. Tujuan penelitian ini adalah untuk membandingkan efektivitas permetrin yang dioleskan pada lesi saja dengan yang ke seluruh tubuh. Penelitian eksperimental ini dilaksanakan di Pesantren X, Jakarta Timur. Pada awal penelitian, semua santri dianamnesis dan diperiksa kulitnya untuk mendiagnosis santri mana yang skabies. Santri positif dibagi dua berdasarkan kamar. Kelompok satu diberi metode standar, kelompok dua diberikan metode modifikasi. Pengambilan data dilakukan pada bulan Mei-Juli 2012, diolah memakai SPSS 20.0 for windows dan dianalisis dengan uji chi square. Dari 188 santri, 50% positif skabies, tetapi yang ikut dalam penelitian hanya 46 orang. Di minggu pertama, santri yang sembuh dengan metode standar dan modifikasi adalah 1/23 dan 1/23 (p=0,580); minggu kedua 18/23 dan 8/23 (p=0,011); minggu ketiga 22/23 dan 18/23 (p=0,187). Disimpulkan pada akhir pengobatan metode modifikasi sama efektifnya dengan metode standar, tetapi metode standar memiliki tingkat kesembuhan yang lebih cepat.

Scabies is the third most common skin disease in Indonesia. Drug of choice for scabies is permethrin. However, whole-body application of permethrin is uncomfortable in a tropical country like Indonesia. Thus, a modified way was proposed to use permethrin only in lesion followed by the usage of antiseptic soap twice a day. The objective of this research is to compare the effectiveness between lesion-only against whole body application of permethrin. This experimental research was conducted in Pesantren X, East Jakarta. The research started with anamnesis and skin examination on the students to diagnose them of scabies. Students with positive results were then divided into two groups based on their living quarters. First group had standard method while the second group had a modified method. Data was collected on May-July 2012 and analyzed using chi square test in SPSS 20.0. From 188 students, 50% are scabies positive, and 46 of them were randomly picked for analysis. On the first week, students that recovered through standard method and the modified method were 1/23 and 1/23 (P=0.580); second week 18/23 and 8/23 (p=0.011); third week 22/23 and 18/23 (p=0.187). To conclude, both methods have similar effectiveness, but the standard method had faster recovery rate."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2013
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Hansen Angkasa
"Skabies menempati peringkat ke-3 dari 12 penyakit kulit tersering di Indonesia. Permetrin merupakan obat pilihan skabies, namun memberikan efek samping eritema, rasa panas, gatal, nyeri;pengolesan permetrin ke seluruh tumbuh menambah ketidaknyaman. Karena itu timbul pemikiran mengobati skabies di lesi saja diikuti mandi dua kali sehari dengan sabun. Tujuan penelitian ini untuk mengetahui efektivitas permetrin yang dioleskan ke seluruh tubuh dibandingkan dengan lesi saja. Penelitian eksperimental ini dilakukan di Pesantren, Jakarta Timur. Semua santri dilakukan anamnesis dan pemeriksaan kulit untuk mendiagnosis skabies.Santri positif skabies dibagi tiga kelompok berdasarkan kamar tidur. Kelompok satu diobati permetrin metode standar, kelompok dua dan tiga hanya diberikan permetrin di lesi saja. Ketiga kelompok diharuskan mandi dua kali menggunakan sabun namun kelompok tiga menggunakan sabun antiseptik. Data diambil pada bulan Mei-Juli 2012, diolah dengan SPSS 11.5 dan dianalisis dengan uji Kruskal-Wallis. Hasilnya menunjukkan dari 188 santri, 94 orang positif skabies, namun yang diikutkan dalam penelitian 69 santri. Pada minggu pertama jumlah santri yang sembuh dengan permetrin standar, lesi+sabun dan lesi+sabun antiseptik adalah 1/23, 4/23 dan 1/23 (p=0,198); minggu kedua 18/23, 12/23 dan 8/23 (p=0.012); minggu ketiga 22/23, 21/23 dan 18/23(p=0,163). Disimpulkan pengobatan skabies menggunakan permetrin standar sama efektifnya dengan pengobatan hanya di lesi saja.

Ranked 3rd out of the 12 most common skin diseases in Indonesia. Permethrin remains the drug of choice for scabies but has side effects: erythema, tingling, pain, itch and prickling sensation. Topical whole-body application causes discomfort for the patient. Thus, we proposed modified usage of permethrin by confining topical application to the lesion enforced with baths twice daily. The objective of the study is to know the effectiveness of whole body against lesiononly application of permethrin. The experimental study was done at Pesantren X, located at East Jakarta. All students were diagnosed for scabies via anamnesis and physical examination. Infested students were divided into three groups based on bedroom allocation. First group was treated with whole-body application while the rest were given lesion-only application. All groups were instructed to take baths twice daily with soap except the third group, which used antiseptic soap. Data collection was done from May-July 2012, processed using SPSS 11.5, tested with Kruskal-Wallis Test. Result showed 94 out of 188 scabies positive, but 69 were randomly picked for analysis. In week one, cure rates in the first, second and third group were 1/23, 4/23 and 1/23 respectively (p=0.198); Week two: 18/23, 12/23, 8/23 (p=0.012); Week three: 22/23, 21/23 and 18/23 (p=0.163). Thus, the three methods yield similar results that are statistically insignificant."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2013
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Muhamad Shafiq Advani
"ABSTRAK
Skabies adalah penyakit kulit menular yang disebabkan oleh parasit mikroskopis, Sarcoptes scabiei. Hunian yang padat dan kebiasaan buruk mengenai kebersihan adalah faktor predisposisi penyakit skabies. Saat ini, pengobatan metode standar adalah aplikasi permethrin 5% krim ke seluruh tubuh. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui efektivitas permethrin 5% terapi standar terhadap murid pesantren yang memiliki kebiasaan berwudhu lima kali sehari serta padat hunian dengan menghitung angka kesembuhan. Penelitian ini dilakukan di sebuah pesantren yang terletak di Jakarta Selatan dari bulan Juli 2013 sampai September 2013 dengan metode desain eksperimen. Subyek yang positif scabies diobati dengan krim permetrin 5% yang dioleskan ke seluruh tubuh lalu dibersihkan (mandi memakai sabun) setelah 10 jam. Pengobatan dinilai efektif jika angka kesembuhan pada minggu ke-4 lebih dari 90%. Evaluasi pengobatan dilakukan pada minggu ke-4 dan ke-5. Dari 98 murid yang diperiksa, 67 (68,4%) orang mengidap scabies dengan lokasi lesi paling sering di bokong (75,6%). Evaluasi pada mingguke-4 menunjukkan, angka kesembuhan 90% dan minggu ke-5 adalah93,3%. Tidak terdapat perbedaan signifikan pada angka kesembuhan minggu ke-4 dan ke-5 (McNemar, p=0,025). Disimpulkan bahwa krim permetrin 5% yang dioleskan dengan metode standar efektif untuk mengobati skabies.

ABSTRACT
Scabies is a contagious skin disease that caused by microscopic mite, known as Sarcoptes scabiei. Overpopulated places followed by unhygienic behavior are predisposing factors to develop scabies infestation. The current standard treatment is topical permethrin 5% cream that applied over the body despite the area of the lesion. In this study, the aim is to assess the effectiveness of permethrin 5% standard treatment in Islamic boarding school students who have habit of ablution five times a day and living in a crowd by calculating the cure rate. It was conducted in an Islamic boarding school in South Jakarta from July 2013 until September 2013. Experimental design was used. Subjects with scabies were given the standard treatment and should be washed (shower and soap was used) after 10 hours. Treatment is considered effective if the cure rate on week IV is equal to or >90%. Evaluation was done on week IV and week IV. Out of 98 examined students, 67 (68.4%) of them were scabies positive with bottom as the most frequent affected area (75.6%). On week IV and week V, most of them were cured with cure rate of 90.0% and 93.3% respectively. However, there is no significant difference (McNemar, p=0.625) between the cure rate on week IV or week V. In conclusion, permethrin 5% cream standard treatment is effective in curing scabies."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2014
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Andre Eltapama Landika
"Skabies adalah penyakit kulit yang sering terjadi di pesantren. Untuk mencegah skabies, santri perlu diberikan pengetahuan mengenai penularan dan pencegahannya. Tujuan penelitian ini adalah mengetahui efektivitas penyuluhan untuk meningkatkan pengetahuan santri mengenai penularan dan pencegahan skabies. Desain penelitian adalah pre-post study. Data diambil tanggal 10 Juni 2012 menggunakan kuesioner berisi 10 pertanyaan tentang penularan dan pencegahan skabies. Data diolah menggunakan SPSS versi 20 dan dianalisis dengan uji chi-square dan marginal homogeneity. Hasilnya menunjukkan jumlah responden 181 orang; terbanyak pada usia ≤ 15 tahun (64,6%), laki-laki (60,8%) dan pendidikan tsanawiyah (60,8%), informasi skabies dari 3 sumber informasi (43,1%) dengan sumber informasi paling berkesan adalah dokter (76,8%). Sebelum penyuluhan tentang penularan 30,9% responden memiliki tingkat pengetahuan baik, 47,5% sedang, dan 21,6% berpengetahuan kurang. Setelah penyuluhan 56,3% berpengetahuan baik, 39,8% sedang, dan 3,9% berpengetahuan kurang. Sebelum penyuluhan tentang pencegahan 32,6% responden berpengetahuan baik, 48,6% dan 18,8% berpengetahuan kurang. Setelah penyuluhan 60,8% memiliki pengetahuan baik, 32,6% sedang, dan 6,6% berpengetahuan kurang. Sebelum penyuluhan, tingkat pengetahuan berhubungan dengan umur, tingkat pendidikan, dan jumlah sumber informasi (p<0,05). Uji marginal homogeneity terdapat perbedaan bermakna pada tingkat pengetahuan sebelum dan sesudah penyuluhan (p<0,05). Disimpulkan penyuluhan efektif meningkatkan pengetahuan responden mengenai penularan dan pencegahan skabies.

Scabies is skin disease that often occurs in Pesantren. To prevent scabies, students should be given the health promotion about the transmission and prevention of scabies. This study was needed to determine the effectiveness of health promotion in improving students? knowledge about the transmission and prevention of scabies. This study?s design was a pre-post study. Data was taken on June 10th, 2012 using a questionnaire containing 10 questions about scabies. The data processed using SPSS version 20 and analyzed using chi-square and marginal-homogeneity test. The results from 181 people show; highest at age ≤15 years (64.6%), male (60.8%) from tsanawiyah (60.8%), and from 3 sources of information (43.1%) with doctor as the most memorable source (76.8%). Before health promotion about transmission, 30.9% had good knowledge, 47.5% moderate, and 21.6% was poor. After health promotion 56.3% had good knowledge, 39.8% and 3.9% was poor. Before health promotion about prevention, 32.6% of respondents had good knowledge, 48.6% and 18.8% was poor. After health promotion 60.8% had good knowledge, 32.6% and 6.6% was poor. Before health promotion was held, knowledge level is related to age, education level, and number of sources (p<0.05). Marginal-homogeneity test found significant differences in knowledge level before and after health promotion (p<0.05)."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2013
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Victor Santawi
"Skabies terjadi terutama di masyarakat ramai. Setelah pengobatan telah diberikan, terulangnya skabies tetap menjadi ancaman bagi masyarakat. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mempelajari tingkat kekambuhan skabies satu bulan setelah perawatan. Penelitian eksperimental ini dilakukan di antara siswa di sekolah asrama, Jakarta Timur. Data diambil mingguan dari 10 Juni 2012 sampai 1 Juli 2012 dan pada tanggal 29 Juli 2012. Para siswa dibagi menjadi tiga kelompok, yaitu pengobatan standar, lesi-satunya perawatan diikuti oleh sabun, dan lesi-satunya perawatan diikuti oleh sabun antiseptik. Terulangnya kudis kemudian diperiksa satu bulan setelah. Data diolah dengan menggunakan SPSS 11.5 dan dianalisis dengan Kruskal-Wallis.
Hasil penelitian menunjukkan, di antara 69 siswa, 11 siswa (15,9%) mengalami kekambuhan kudis. Tingkat kekambuhan pengobatan standar diikuti dengan penggunaan sabun adalah 8,7%, lesi-satunya scabies perawatan diikuti oleh penggunaan sabun adalah 13,0%, dan lesi-satunya scabies perawatan diikuti oleh penggunaan sabun antiseptik adalah 26,1%. Tidak ada perbedaan yang signifikan dalam terulangnya scabies antara tiga kelompok perlakuan. Disimpulkan bahwa kekambuhan tidak dipengaruhi oleh metode pengobatan.

Scabies occurs mostly in crowded community. After the treatment has been given, the recurrence of scabies remains a threat to the community. The objective of the research is to study the recurrence rate of scabies one month after treatment. The experimental study was conducted among students in a boarding school, East Jakarta. The data was taken weekly from 10th of June 2012 to 1st of July 2012 and on the 29th of July 2012. The students were divided into three groups, namely standard treatment, lesion-only treatment followed by soap, and lesion-only treatment followed by antiseptic soap. The recurrence of scabies is then checked one month after. The data was processed using SPSS 11.5 and analyzed with Kruskal-Wallis test.
The results show, among 69 students, 11 students (15.9%) experience recurrence of scabies. The recurrence rate of standard treatment followed by the use of soap is 8.7%, lesion-only scabies treatment followed by the use of soap is 13.0%, and lesion-only scabies treatment followed by the use of antiseptic soap is 26.1%. There is no significant difference in the recurrence of scabies between the three groups of treatments. It was concluded that the recurrence is not influenced by the treatment methods.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2013
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Amajida Fadia Ratnasari
"Skabies merupakan penyakit kulit yang banyak ditemukan di lingkungan padat hunian seperti pondok pesantren. Karakteristik santri diduga berperan terhadap kejadian skabies. Penelitian ini bertujuan mengetahui prevalensi skabies dan hubungannya dengan jenis kelamin dan tingkat pendidikan santri Pesantren X, Jakarta Timur. Penelitian menggunakan desain cross-sectional dan data diambil pada tanggal 10 Juni 2012 dengan melakukan anamnesis dan pemeriksaan dermatologi terhadap semua santri (192 orang). Data diolah menggunakan program SPSS versi 20.0 dan dianalisis dengan uji chi square.
Hasil penelitian menunjukkan prevalensi skabies 51,6% (laki-laki 57,4% dan perempuan 42,9%; tsanawiyah 58,1% dan aliyah 41,3%) dengan lokasi lesi skabies terbanyak di bokong (33,8%) dan di sela-sela jari tangan (29,2%). Uji chi square menunjukkan perbedaan bermakna pada prevalensi skabies berdasarkan jenis kelamin (p=0,048) dan tingkat pendidikan (p=0,023). Disimpulkan prevalensi skabies di Pesantren X, Jakarta Timur adalah 51,3% dan berhubungan dengan jenis kelamin dan tingkat pendidikan.

Scabies is a common skin disease, especially in crowded places, like pesantren. Characteristics of the students there are believed to be associated with scabies. The purpose of this study was to determine the prevalence of scabies and its association with gender and education level of students Pesantren X, East Jakarta. This cross sectional study was conducted on June 10, 2012 by performing anamnesis and dermatology examination to all students (192 students). Data are managed with SPSS version 20.0 and analyzed with chi square test.
The results showed that the prevalence of scabies was 51,3% (male 57,4% and female 42,9%; education level tsanawiyah 58,1% and aliyah 41,3%). Most lesions are found in buttocks (33,8%) and interdigital space of the hand (29,2%). Chi square test have shown significant difference between the prevalence of scabies with gender (p=0,048) and educational level (p=0,023) of the students. In conclusion, the prevalence of scabies in Pesantren X, East Jakarta is 51,3% and there is association between the prevalence of scabies with gender and educational level of the students.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2013
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Anry Umar
"Studi ini bertujuan untuk mengetahui distribusi dan perbandingan tingkat usia, pendidikan, jumlah sumber informasi, serta sumber informasi paling berkesan dengan tingkat pengetahuan santri tentang pencegahan penyebaran parasit Sarcoptes scabiei sebelum dan sesudah penyuluhan. Para santri pesantren X di Jakarta Selatan dikumpulkan untuk kuesioner pretest, selanjutnya diberi penyuluhan tentang pencegahan scabies, dan kemudian diberi kuesioner posttest setelah penyuluhan. Data yang diperoleh dimasukkan ke dalam komputer kemudian diuji dan dianalisa dengan program SPSS 21. Subjek penelitian ini didominasi oleh siswa SD/Imtihan dan SMP/tsanawiyah (89%), berusia ≥17 tahun (81%), mendapat informasi dari ≤3 Sumber (90%), dan informasi berasal dari petugas kesehatan/dokter (68%). Dari variabel-variabel yang dinilai dalam penelitian ini (usia, tingkat pendidikan, jumlah sumber informasi, serta sumber informasi paling berkesan), terdapat perbedaan tingkat pengetahuan pretest mengenai pencegahan skabies yang bermakna antara sampel dengan sumber informasi paling berkesan berasal dari petugas kesehatan dengan non petugas kesehatan (p=0,004), serta terdapat perbedaan tingkat pengetahuan posttest mengenai pencegahan skabies yang bermakna antara sampel dengan jumlah sumber informasi >3 dan ≤3 (p=0,032). Terdapat perbedaan pengetahuan yang bermakna antara sebelum penyuluhan dengan setelah penyuluhan (p=0,000). Dapat disimpulkan bahwa penyuluhan tentang pencegahan Sarcoptes scabiei pada para santri di pondok pesantren X di Jakarta Selatan dinilai cukup efektif.

This study was conducted to determine the distribution and comparison of age, education, number of information resources, and the most impressive information resources about the prevention of scabies before and after counseling in the student of pesantren X at South Jakarta. The students were collected to be given pretest questionnaire, then counseling of scabies prevention, and posttest questionnaire after counseling. The data obtained were entered into a computer and then tested and analyzed with SPSS 21. The subjects of this study were dominated by elementary school/Imtihan and junior high school/Tsanawiyah students (89%), aged ≥17 years (81%), being informed from ≤3 sources (90%), and information derived from the health officer (68%). Of the variables assessed in this study, there are level of knowledge differences about the prevention of scabies in pretest among a sample with the most memorable information from health officers and non-health officers (p=0.004), and there were level of knowledge differences about the prevention of scabies in posttest between samples with a amount of information resources >3 and ≤3 (p=0.032). There were significant knowledge differences between pretest and posttest (p=0.000). Education about prevention awareness against Sarcoptes scabiei to the student of pesantren X in South Jakarta was quite effective."
Depok: Universitas Indonesia, 2013
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Luminta, Ferdinand Inno
"Skabies adalah infestasi parasit yang berkaitan erat dengan perilaku kebersihan seorang individu dan daerah dengan populasi padat seperti pondok pesantren. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan antara infestasi skabies dengan tingkat pendidikan, tingkat pengetahuan tentang pencegahan skabies, dan apakah siswa pesantren tersebut pernah mendapatkan informasi tentang skabies sebelum mereka masuk ke dalam pesantren.
Penelitian cross-sectional ini dilakukan di sebuah pesantren di Jakarta Timur. Data diambil pada tanggal 8 Maret 2014. Siswa pesantren tersebut dibagikan kuesioner yang memuat informasi tentang tingkat pendidikan, apakah mereka pernah menerima informasi tentang skabies, dan lima buah pertanyaan tentang pencegahan skabies. Nilai dari pertanyaan tersebut akan dikelompokkan menjadi tiga kategori yaitu baik, sedang, dan buruk. Data diolah menggunakan SPSS versi 20 dan dianalisa menggunakan uji chi-square.
Kemudian didapatkan bahwa dari 117 siswa, 43 (36.8%) didiagnosa dengan skabies. Dari 43 siswa yang didiagnosa scabies tersebut didapatkan bahwa 74.4% dari mereka merupakan siswa madrasah tsanawiyah. Selain itu, 37.2% merupakan siswa yang memiliki pengetahuan tentang pencegahan skabies buruk dan 62.8% dari mereka tidak pernah menerima informasi sebelumnya tentang skabies. Tidak ada perbedaan yang signifikan antara skabies dan tingkat pendidikan siswa; namun didapatkan bahwa ada hubungan antara skabies dengan tingkat pengetahuan siswa dan jika siswa telah pernah mendapatkan informasi mengenai skabies sebelum masuk pesantren.

Scabies is a parasitic infestation that is associated with poor personal hygiene and over-crowding area such as boarding school. This study aims to look into the association between students’ level of knowledge on scabies prevention, education, and if they ever had any information on scabies prior to entering boarding school.
This cross sectional study was conducted in an Islamic boarding school (pesantren) located in East Jakarta. Data was collected in March 8th, 2014. Students were given a questionnaire that consisted of their education level, whether they have had any information on scabies before entering pesantren, and five questions on scabies prevention that will be scored and grouped into three categories (good, moderate, poor). Data was processed using SPSS version 20 and analyzed using chi-square test.
It was revealed that out of 117 students, 43 students (36.8%) were diagnosed of having scabies. Among the 43 scabies students, 74.4% were from madrasah tsanawiyah. Furthermore, 37.2% of the scabies students have poor level of knowledge and 62.8% of them have never received any information about scabies prior to them entering pesantren. There is no significant difference between scabies infestation and students’ level of education; however, it was revealed that there is an association between scabies infestation and students’ level of knowledge and if students have ever getting information regarding scabies before entering pesantren.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2014
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Yuniar Sarah Ningtiyas
"Skabies merupakan penyakit kulit yang disebabkan oleh infestasi dan sensitisasi terhadap Sarcoptes scabiei.Prevalensi skabies di pesantren padat penghuni di Jakarta tergolong tinggi (78,7%). Di Jakarta Timur, terdapat pesantren dengan kepadatan santri yang tinggi dan fasilitas sanitasi terbatas sehingga perlu diberikan penyuluhan mengenai skabies sebagai upaya preventif. Agar penyuluhan memberikan hasil yang baik, penyuluhan harus sesuai tingkat pengetahuan dan karakteristik demografi santri. Oleh karena itu, penelitian ini bertujuan mengetahui tingkat pengetahuan santri mengenai pengobatan skabies dan hubungannya dengan karakteristik santri.
Penelitian dilakukan di Pesantren X, Jakarta Timur dengan desain cross-sectional. Data diambil tanggal 22 Januari 2011 dengan memberikan kuesioner berisi pertanyaan mengenai pengobatan skabies kepada semua santri. Data diolah dengan program SPSS versi 11,5 dan dianalisis dengan uji chi-square dan Kolmogorov-Smirnov. Hasilnya menunjukkan santri yang memiliki tingkat pengetahuan baik 8 orang (5,7%), cukup 33 orang (23,6%), dan pengetahuan rendah 99 orang (70,7%).
Tidak terdapat perbedaan bermakna antara tingkat pengetahuan dengan usia, jenis kelamin, tingkat pendidikan, informasi yang paling berkesan (Kolmogorov-Smirnov, p>0,05), dan jumlah informasi (chi square= 0,895) Disimpulkan tingkat pengetahuan mengenai pengobatan skabies umumnya tergolong rendah dan tidak berhubungan dengan usia, jenis kelamin, tingkat pendidikan, jumlah informasi, dan informasi yang paling berkesan.

Scabies is a skin disease caused by infestation and sensititation of parasite named Sarcoptes scabiei. The prevalence of scabies is high in crowded areas like pesantren in Jakarta (78.7%). In an effort to prevent scabies, health promotion and screening the level of knowledge about treatment of scabies are needed. The purpose of study was to determine whether there is an association between level of knowledge about treatment of scabies with the demographic characteristic of students.
This cross-sectional study was held in Pesantren X, East Jakarta on January 22, 2011, using questionnaires which given out to all the students. Data were processed using SPSS version 11.5 and analyzed using chi-square test and Kolmogorov-Smirnov test. The results showed that students with good level of knowledge were 8 students (5.7%), fair 33 students (23.6%), and poor 99 students (70.7%).
There was no significant difference (Kolmogorov-Smirnovp> 0.05) between levels of knowledge about treatment of scabies with students’ age, sex, grades, the most impressive information, and there was also no significant difference (chi-square = 0.895) with the number of information. It was concluded that the level of knowledge was not associated with students’ age, sex, grades, the most impressive information, and the number of information.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2012
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Aga Krisnanda
"Skabies adalah penyakit kulit akibat parasit yang banyak terdapat di pesantren dan sangat menurunkan produktivitas santri. Oleh karena itu, pengetahuan santri terhadap skabies harus ditingkatkan agar waspada terhadap skabies. Tujuan penelitian ini adalah mengidentifikasi efek penyuluhan terhadap tingkat pengetahuan santri pesantren X, Jakarta Timur mengenai pencegahan skabies. Penelitian ini menggunakan desain pre-post study. Data diambil pada tanggal 22 Januari 2011 dengan membagikan kuesioner yang berisi pertanyaan mengenai pencegahan skabies kepada 140 santri pesantren X, Jakarta timur. Hasilnya menunjukkan, responden terbanyak berusia ≤ 15 tahun (56,4%), laki-laki (57,9%), madrasah tsanawiyah (51,4%), informasi skabies dari tiga sumber informasi (36,4%), paling berkesan dari dokter (62,8%). Didapatkan, 82,1% santri memiliki tingkat pengetahuan kurang dan 9,3% santri memiliki tingkat pengetahuan baik sebelum penyuluhan dan tingkat pengetahuan tersebut tidak berbeda bermakna dengan karakteristik responden (chi square/Kolmogorov-Smirnov, p>0,05). Sesudah penyuluhan, jumlah santri yang tingkat pengetahuannya kurang 33,6% sedangkan yang berpengetahuan baik 45,7%. Tingkat pengetahuan tersebut tidak berhubungan dengan karakteristik responden (chi square, p>0,05) tetapi berhubungan dengan sumber informasi paling berkesan (chi square, p<0,05). Uji marginal homogeneity menunjukkan bahwa terdapat perbedaan bermakna pada tingkat pengetahuan santri mengenai pencegahan skabies antara sebelum dan sesudah penyuluhan (p<0,001). Disimpulkan tingkat pengetahuan santri mengenai pencegahan skabies tidak berhubungan dengan karakteristik responden tetapi dipengaruhi penyuluhan.

Scabies is skin disease prevalent among pesantren students, thus lowering productivity of infested students. Therefore, students’ knowledge against scabies should be improved to increase their awareness of the disease. This study was conducted to know the influence of scabies health promotion on scabies prevention knowledge level of pesantren X, East Jakarta students. Data of this pre-post study was taken on January 22, 2011 through questionnaire about scabies prevention from 140 pesantren X students. Results showed most students were ≤15 years old (56,4%), male (57,9%), tsanawiyah (51,4%), having three information sources on scabies (36,4%), choosing doctor as the best information source (62,8%). Before health promotion, there were 82.1% students who had poor knowledge, 9.3% good and the knowledge level wasn’t significantly related to their characteristic (chi square/Kolmogorov-Smirnov, p>0,05). After health promotion, students who had poor knowledge 33.6% while the good ones 45.7%. The knowledge wasn’t significantly related to their characteristic (chi square, p>0,05) but their best information source was (chi square, p<0,05). Marginal homogeneity test showed significant difference of students’ knowledge level on scabies prevention before and after health promotion (p<0.001). In conclusion, scabies prevention knowledge level of the students wasn’t related to their characteristic but was influenced by health promotion."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2014
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>