Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 177774 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Stevent Sumantri
"Latar belakang: Diabetes tipe 2 ditandai dengan resistensi dan defisiensi insulin, selain itu seiring dengan penuaan kejadian resistensi insulin juga semakin meningkat. Pada studi-studi klinis, resistensi insulin dan diabetes tipe 2 terbukti meningkatkan kejadian sindrom frailty pada usila. Obat antidiabetik oral metformin telah dikaitkan dengan penghambatan proses penuaan. Namun demikian, sampai saat ini belum ada data yang menunjukkan manfaat terapi metformin terhadap kejadian sindrom frailty. Penelitian ini bertujuan untuk melihat apakah ada efek protektif metformin terhadap sindrom frailty.
Metodologi: Studi ini dilakukan secara kasus kontrol pada subyek berusia ≥60 tahun yang berobat di poliklinik Geriatri dan Diabetes FKUI-RSCM, bulan Maret-Juni 2013. Diagnosis frailty dilakukan dengan menggunakan indeks frailty-40 item (FI-40). Analisis statistik dilakukan dengan metode chi-square untuk analisis bivariat dan regresi logistik untuk analisis multivariat, semua data disertai dengan interval kepercayaan 95%.
Hasil: Sindrom frailty didapatkan pada 25% (n=59) subyek penelitian, sedangkan pre-frail pada 72% (n=170) subyek dan sisanya fit. Metformin ditemukan mempunyai hubungan dengan sindrom frailty pada usila dengan diabetes mellitus tipe 2, yang tetap bermakna setelah dilakukan analisis multivariat (adjusted OR 0,043; IK 95% 0,019 – 0,099; p<0,001).

Background: Type 2 diabetes (T2DM) was characterised with insulin resistance and deficiency, furthermore with advancing age the was also an increase in insulin resistance. Clinical studies has proven that insulin resistance and T2DM increase the incidence of frailty syndrome in the elderly. Oral antidiabetics metformin was associated with the inhibition of aging process. Eventhough, there was no data that showed the relationship of metformin therapy to frailty syndrome. This study aimed to explore the possibility of metformin protective effect on frailty syndrome.
Methodology: This was a case control study conducted in subjects ≥60 years old who visited the Geriatrics and Diabetes outpatient clinic of Cipto Mangunkusumo National Referral Hospital between March and June 2013. Diagnosis of frailty was established using the FI-40 item criteria. Statistical analysis was done with chi-square method for bivariate and logistic regression method in multivariate analysis, all data was accompanied with 95% confidence interval.
Results: Frailty syndrome was found in 25% of subjects (n=59), with median age of 72 years old (SD 6.27) and median of FI-40 item score was 0.18 (SD 0.085). Metformin was found to have a significant relationship with frailty syndrome in the elderly diabetics, which retained significant value after multivariate analysis (adjusted OR 0.043; 95% CI 0.019-0.099; p<0.001).
Conclusion: Metformin was shown to have protective effect against frailty syndrome in elderly diabetics.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2014
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Nurul Aisyah
"Beberapa studi epidemiologi maupun studi metaanalisis menunjukkan faktor seperti jenis kelamin dan usia, obesitas, dan resistensi insulin, pada diabetes mellitus tipe 2 memiliki hubungan dengan risiko terjadinya kanker. Hiperinsulinemia dapat mempengaruhi risiko kanker tidak hanya melalui efek mitogenik langsung dari insulin tetapi juga secara tidak langsung melalui peningkatan produksi IGF-1. Metformin yang merupakan terapi lini pertama untuk pasien diabetes melitus tipe 2 telah dikaitkan dengan risiko berkurangnya berbagai sel kanker. Penelitian ini merupakan penelitian cross-sectional yang bertujuan untuk membandingkan dan menganalisis hubungan antibodi anti-p53 dengan beberapa penanda metabolik HbA1c, insulin, dan IGF-1 pada pasien diabetes melitus yang menerima terapi antidiabetes metformin n=47 , non-metformin n=31 , dan subjek sehat n=16 di Puskesmas Pasar Minggu. Sampel yang digunakan adalah serum darah yang kemudian diuji menggunakan metode ELISA untuk menganalisis antibodi anti-p53, IGF-1, dan Insulin. Nilai antibodi anti-p53, yaitu 0,26 0,06 dan pada kelompok metformin tunggal/kombinasi dan 0,24 0,08 pada kelompok non-metformin. Nilai pada kedua kelompok memiliki perbedaan yang bermakna p< 0,001 jika dibandingkan dengan subjek sehat. Terdapat korelasi negatif menengah antara antibodi anti-p53 dengan HbA1c r = -0,407; p= 0,023 dan dengan IGF-1 r = - 0,571; p = 0,021 pada kelompok non-metformin. Tidak terdapat hubungan yang bermakna antara antibodi anti-p53 dengan kadar insulin pada ketiga kelompok.

Either epidemiological studies or meta analysis has shown that several factors such as gender, age, obesity, and insulin resistance are related to cancer incidents. Hyperinsulinemia affect cancer progression not only trough insulin mitogenic activities but also trough inducing IGF 1 production. Metformin as a first line therapy for patients with type 2 diabetes mellites has been associated with a reduced risk of various cancer cells. Aside from its insulin sensitizer mechanism, several studies showed other mechanism related to cancer treatment. This cross sectional study compares and analyzes the correlation between effect of antidiabetic treatment in the group of metformin combination n 47 and non metformin n 31 against anti p53 antibody and their relation to HbA1c, IGF 1, and insulin in type 2 diabetes mellitus patients in Pasar Minggu Primary Health Center. Patient rsquo s blood serum was collected then analyzed with ELISA kit to measure the value of anti p53 antibody, IGF 1, and insulin. The average of anti p53 antibody were 0.26 0.06 and 0.24 0.08 in metformin combination group and non metformin group, respectively. There was a statistically significant difference anti p53 antibody level between the two groups against age and sex match 16 apparently healthy subjects.
"
Depok: Fakultas Farmasi Universitas Indonesia, 2017
S68867
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Clarasintha Nindyatami
"Diabetes mellitus tipe 2 merupakan penyakit dengan beban biaya tinggi dan dapat memberi efek negatif terhadap kualitas hidup penderitanya. Diabetes merupakan salah satu penyakit yang banyak dijumpai pada pasien RSPAD Gatot Soebroto. RSPAD Gatot Soebroto merupakan pemberi pelayanan kesehatan tingkat tiga yang menjadi rujukan tertinggi bagi Tentara Nasional Indonesia TNI Angkatan Darat dan masyarakat. Terapi diabetes mellitus tipe 2 memiliki beragam pola terapi kombinasi. Terapi yang beragam akan memberikan efektivitas dan biaya yang berbeda pula. Penelitian ini dilakukan terhadap dua jenis terapi kombinasi, yaitu metformin-akarbose dan metformin-sulfonilurea. Penelitian ini memberikan gambaran terapi kombinasi yang memiliki efektivitas-biaya lebih baik dalam segi tingkat pencapaian target HbA1C.

Diabetes mellitus type 2 is a high cost disease and has a negative effect on patients rsquo quality of life. Diabetes mellitus type 2 is one of the main diseases found in RSPAD Gatot Soebrotos outpatients. RSPAD Gatot Soebroto is a tertiary health care provider which is the highest medical care referral for the Indonesian Army and society. Diabetes mellitus type 2 therapy has various combination therapy patterns. Different therapy will give different effectiveness and cost result. This study was done for two combination therapies, metformin acarbose and metformin sulfonylurea. This study gives an insight on which combination therapy is more cost effective based on the target HbA1C.
"
Depok: Fakultas Farmasi Universitas Indonesia, 2018
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Amir Mahmudin
"ABSTRAK
Diabetes mellitus(DM) merupakan penyakit kronis dengan prevalensinya yang terus meningkat secara global. Salah satu pengendalian DM adalah edukasi kesehatan. PT ITP yang memiliki 7.5% dari total karyawan menyandang DM tipe2 telah melakukan edukasi kesehatan, namun belum pernah ada evaluasi terhadap manajemen mandiri.
Desain penelitian deskriptif crossectional dengan mengambil sampel, 61 karyawan PT ITP. Analisis univariat menunjukan tingkat manajemen mandiri responden baik pada aspek nutrisi (80.3%) dan terapi obat (91.8%), namun tidak baik pada aspek latihan fisik (52.5%) dan monitor KGD (50.8%). KGD puasa (mean=138.84), KGD 2 jam post prandial (mean=227.11), HbA1c (mean=8.2), trigliserida (mean=188.49), low density lipoprotein (mean=132.79), dan kolesterol (median=208.00). nilai mean dan median diatas nilai normal. Kesimpulan: indikator pengontrolan DM tipe2 pada responden belum tercapai, sehingga perlunya perusahaan mengembangkan sistim informasi dan penerapan strategi community as partner.

abstract
Diabetes mellitus(DM) is a chronic illness and its prevalence is raising in global. It can be controlled by education. PT ITP conduct health education for the employees with type2 DM since there are 7.5% of the total employees having type2 DM. However, the evaluation of the education is never been done.
Research design was descriptive cross sectional recruited sample of 61 respondents, who had already got health education. Univariate analysis showed the proportion of self-management?s level was good for nutrition (80.3%) and drug therapy (91.8%), however physical exercise (52.5%) and glucose control (50.8%) were not good. The mean of fasting glucose level (mean=138.84), values were 2 hours post prandial glucose level (mean=227.11), HbA1c (mean=8.2), triglyceride (mean=188.49), low density lipoprotein (mena=132.79), and cholesterol (median=208.00). mean and median were above the normal value. Conclusion: In general, self management among respondents were good, but level indicator of DM controlling was still not achieved. Therefore, the company should develop the information?s system, and which can apply the strategies of community as partner.
"
Depok: Fakultas Ilmu Keperawatan Universitas Indonesia, 2012
S42792
UI - Skripsi Open  Universitas Indonesia Library
cover
Nadya Nur Annisaa
"ABSTRAK
Metformin dan glibenklamid adalah salah satu terapi kombinasi diabetes mellitus DM tipe 2 yang umum digunakan dalam praktik klinis. Kombinasi agen antidiabetik lain dengan mekanisme aksi yang saling menguntungkan seperti metformin dan akarbose dapat dipertimbangkan penggunaannya. Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis efektivitas kombinasi metformin-glibenklamid dan metformin-akarbose pada total 37 pasien DM tipe 2 di Puskesmas Kecamatan Kembangan. Nilai HbA1c pada kelompok pasien yang mengkonsumsi kombinasi metformin-glibenklamid n=20 dan kombinasi metformin-akarbose n=17 diukur pada minggu ke-0 dan minggu ke-12 untuk melihat rata-rata perubahan nilai HbA1c sebagai parameter efektivitas. Pengukuran HbA1c dilakukan dengan Afinion trade; AS100 Analyzer dengan prinsip kerja afinitas boronat. Uji beda rata-rata dalam kelompok menunjukkan kombinasi metformin-glibenklamid secara signifikan menurunkan nilai HbA1c dari 8,70 menjadi 7,86 p > 0,05 , sementara kombinasi metformin-akarbose secara signifikan menurunkan nilai HbA1c dari 8,45 menjadi 7,76 p < 0,05 . Hasil uji beda rata-rata menunjukkan tidak terdapat perbedaan rata-rata perubahan nilai HbA1c yang signifikan antar kelompok penelitian p > 0,05 , dengan kombinasi metformin-glibenklamid menghasilkan rata-rata penurunan HbA1c yang lebih besar dibandingkan kombinasi metformin-akarbose 0,84 vs 0,69 . Oleh karena itu, kombinasi metformin-glibenklamid memiliki efektivitas yang lebih baik daripada kombinasi metformin-akarbose dalam menurunkan nilai HbA1c pasien DM tipe 2.

ABSTRAK
Metformin and glibenclamide is one of the most used combination therapy of type 2 diabetes mellitus T2DM in clinical pratice. Combination of other antidiabetic agents with beneficial mechanisms of action such as metformin and acarbose may be considered to be used. This study aim to compare the effectiveness of metformin glibenclamide and metformin acarbose combination on total 37 patients in Kembangan rsquo s Community Health Center. HbA1c values of patients consuming metformin glibenclamide n 20 and metformin acarbose n 17 combination were measured on week 0 and week 12 to observed mean changes of HbA1c values as effectiveness 39 parameter. HbA1c values were measured by Afinion trade AS100 Analyzer with boronate affinity method. Within group differences showed that metformin glibenclamide combination unsignificantly reduced HbA1c from 8,70 to 7,86 p 0,05 , while metformin acarbose combination significantly reduced HbA1c from 8,45 to 7,76 p 0,05 . Result of mean different test between group showed an unsignificant difference p 0,05 , with metformin glibenclamide combination yield a greater mean reduction of HbA1c compare to metformin acarbose combination 0,84 vs 0,69 . In conclusion, metformin glibenclamide combination has superior effectiveness compare with metformin acarbose combination in reducing HbA1c values in T2DM patients."
2017
S69583
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Fitriani Syawalia Naisya Buri
"Obesitas dan resistensi insulin pada pasien diabetes melitus tipe 2 dapat menyebabkan hiperlipidemia dan komplikasi pada sistem kardiovaskular. Metformin digunakan sebagai lini pertama terapi diabetes melitus tipe 2 dan dapat diberikan secara tunggal maupun kombinasi dengan golongan sulfonilurea. Namun beberapa studi menyatakan adanya peningkatan risiko penyakit kardiovaskular pada penggunaan terapi kombinasi metformin-sulfonilurea sedangkan penggunaan terapi kombinasi ini cukup tinggi. Penelitian ini dilaksanakan untuk mengetahui pengaruh pengunaan terapi metformin maupun terapi kombinasi metformin-sulfonilurea terhadap profil lipid pasien DM tipe 2 yang berkaitan erat dengan penyakit kardiovaskular. Desain studi yang digunakan adalah cross sectional dengan teknik pengambilan sampel yakni consecutive sampling. Seluruh subjek yang diikutsertakan telah mengonsumsi metformin n=38 atau kombinasi metformin-sulfonilurea n=51 selama minimal 1 tahun dan berpuasa selama 8 jam sebelum pengambilan darah untuk pengujian profil lipid. Profil lipid yang terdiri dari kadar kolesterol total, kadar HDL, kadar trigliserida dan kadar LDL diukur dari sampel darah subjek. Alat pengukur profil lipid menggunakan metode enzimatik. Hasil pengujian kolesterol total, kadar HDL, kadar trigliserida dan kadar LDL menunjukkan bahwa rata-rata pada kelompok metformin lebih baik dibandingkan dengan kelompok terapi kombinasi metformin-sulfonilurea namun tidak menunjukan perbedaan yang bermakna p>0,05 untuk tiap komponen yang diukur. Maka dari itu dapat disimpulkan bahwa penggunaan metformin dapat menghasilkan profil lipid yang lebih baik dibandingkan dengan penggunaan terapi kombinasi metformin sulfonilurea, meskipun tidak berbeda secara statistik.

Obesity and insulin resistance in type 2 diabetes mellitus patients can cause hyperlipidemia and complications in the cardiovascular system. Metformin is used as a first line therapy of type 2 diabetes mellitus and can be administered only or in combination with sulfonylurea group. However, some studies suggest an increased risk of cardiovascular disease in the use of combination metformin sulfonylurea therapy while the use of combination therapy is quite high. This study conducted to determine the effect of metformin therapy and metformin sulfonylurea combination therapy on lipid profile of type 2 DM patients which relate to cardiovascular disease. The study design was cross sectional with sampling technique is consecutive sampling. All subjects who were enrolled had taken metformin n 38 or a combination of metformin sulfonylurea n 51 for at least 1 year and fasted for 8 hours prior to blood sampling for lipid profile testing. Lipid profile consisting of total cholesterol level, HDL level, triglyceride level and LDL level were measured from blood samples of the subjects. Lipid profile was analyzed by enzymatic methods. Results of total cholesterol, HDL levels, triglyceride levels and LDL levels testing showed that the average in the metformin group was better than the metformin sulfonylurea combination therapy group but did not show a significant difference p 0.05 for each measured component. Therefore it can be concluded that the use of metformin can produce a better lipid profile compared with the use of a combination of metformin and sulfonylurea, although not statistically different."
Depok: Universitas Indonesia, 2018
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Fierdania Yusvita
"Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis risiko kejadian DM Tipe 2 pada pekerja PT.X Tahun 2014. Penelitian ini menggunakan pendekatan kuantitatif dengan desain penelitian cross sectional yang dilakukan untuk mengetahui besaran kontribusi variabel independen (lokasi kerja, masa kerja, perilaku merokok, dislipidemia) terhadap variabel dependen (risiko DM tipe 2, usia, indeks masa tubuh, ukuran lingkar abdomen, aktivitas fisik, konsumsi sayur dan buah, riwayat konsumsi obat anti-hipertensi, riwayat kadar glukosa tinggi dalam darah dan riwayat keluarga dengan DM). Penelitian menggunakan total sampling dengan jumlah sampel sebanyak 373 orang. Pengumpulan data dilakukan melalui telaah dokumen Medical Check Up (MCU). Proses input data menggunakan software EpiData dan Excel dan proses analisis dengan menggunakan SPSS.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa risiko DM tipe 2 pada pekerja di PT.X dipengaruhi oleh faktor risiko di antaranya faktor individu (usia, Indeks Masa tubuh, ukuran lingkar pinggang, aktivitas fisik, konsumsi sayur dan buah setiap hari, konsumsi obat-obatan anti hipertensi dengan rutin, riwayat pernah memiliki hasil pengukuran glukosa di atas normal, riwayat keluarga dengan DM, Lokasi Kerja dan dislipidemia (p value = 0,00). Dapat disimpulkan bahwa semua pekerja permanen PT. X berisiko menderita DM Tipe 2. Disarankan untuk mengotimalkan program manajemen kesehatan kerja dan promosi kesehatan terkait diabetes melitusdi tempat kerja.

The aims of this study is to analyze the risk of diabetes mellitus type 2 incident on workers of PT.X 2014. This study uses a quantitative approach with cross sectional study design which conduted to determine the contribution of independent variables (age, BMI, waist circumference size, physical activity, consumption of vegetables and fruits, anti-drug hypertension consumption, a history of high levels of glucose in the blood and family history with DM, the location of the work, the work?s period, the behavior of smoking, hypertension) to the dependent variable (risk of DM type 2). This study uses the total sampling (373 people). The data was collected using medical check up?s document. Processing the data in this study using SPSS.
This study found that there are risk factors of diabetes mellitus on workers at PT X including individu factor such as age, body mass index, waist circumference, physical activity, daily consumption of fruits and vegetables, history of antihypertensive drug treatment, high blood glucose, family history with DM, location of work and dislipidemia ( p value = 0.00 ). It can be concluded that risk of diabetes mellitus type 2 on workers including low risk. Management advised to optimizing occupational health program and promotion of health at work.
"
Depok: Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia, 2014
T42175
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Johan Adiyasa
"Latar belakang: Penderita diabetes melitus tipe 2 memiliki risiko yang lebih tinggi untuk mengalami karies gigi. Fosfat memegang peranan utama dalam kapasitas buffer unstimulated saliva sehingga kadar fosfat berhubungan dengan faktor risiko karies individu. Kondisi ketosis dan hiperparatiroidisme yang menyertai diabetes melitus tipe 2 dapat menyebabkan penurunan buffer fosfat tubuh yang kemudian menurunkan kadar fosfat dalam unstimulated saliva.
Tujuan: Menganalisis kadar fosfat dalam unstimulated saliva pada pasien diabetes melitus tipe 2.
Metode: Unstimulated saliva 15 subjek diabetes melitus tipe 2 dan 15 subjek non diabetes melitus dikumpulkan untuk kemudian diukur kadar fosfatnya dengan metode phosphomolydate pada alat UV-Vis Spectrophotometer.
Hasil: Terdapat perbedaan kadar fosfat yang bermakna (p < 0,05) antara subjek uji dan subjek kontrol.
Kesimpulan: Kadar fosfat dalam unstimulated saliva pada pasien diabetes melitus tipe 2 (0,27 ± 0,05 mmol/L) lebih rendah jika dibandingkan dengan individu non diabetes melitus (2,16 ± 0,22 mmol/L) yang mana berdasarkan analisis statistik, hal tersebut berbeda bermakna secara signifikan.

Background: Type 2 diabetes mellitus patients have a higher risk to suffer from dental caries. Phosphate plays a primary role in buffer capacity of unstimulated saliva so that phosphate concentration is associated with individual caries risk factors. Ketosis and Hyperparathyroidism conditions that come within type 2 Diabetes Mellitus could decrease the phosphate buffer in the body which then will decrease the phosphate concentration in unstimulated saliva.
Objective: To analyze the phosphate concentration in unstimulated saliva of type 2 diabetes mellitus patients.
Method: Unstimulated saliva of 15 type 2 diabetes mellitus subjects and 15 non-diabetic subjects were collected and then the concentration of phosphate was measured by the phosphomolydate method on UV-Vis Spectrophotometer instrument.
Result: There were significant differences in the phosphate concentration (p <0.05) between test subjects and control subjects.
Conclusion: The phosphate concentration in unstimulated saliva of type 2 diabetes mellitus patients (0.27 ± 0.05 mmol / L) is lower than individuals without diabetes mellitus (2.16 ± 0.22 mmol / L), which is significantly different by statistical analysis.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Indonesia, 2016
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Euphemia Seto Anggraini W
"Latar Belakang: Pendekatan indeks frailty 40 item (FI-40) dianggap sebagai alat terbaik untuk evaluasi mortalitas dan hospitalisasi sindrom frailty, tetapi sulit diterapkan dalam praktik klinis sehari-hari. Pendekatan dengan sistem skor CHS, SOF, dan FI-CGA lebih mudah diterapkan dalam praktik klinis sehari-hari, namun hingga saat ini belum ada data validasi di Indonesia.
Tujuan: Mendapatkan rekomendasi mengenai alat ukur sindrom frailty yang mudah diterapkan dalam praktik klinis sehari-hari di Indonesia.
Metode: Penelitian ini merupakan studi potong lintang dengan pendekatan uji diagnostik yang dilakukan pada pasien di poliklinik Geriatri Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo, dengan usia ≥60 tahun, pada periode Mei-Juni 2013. Setiap subjek dinilai menggunakan sistem skor CHS, SOF, FI-CGA, dan FI-40. Dilakukan penilaian sensitivitas, spesifisitas, nilai prediksi positif (NPP), nilai prediksi negatif (NPN), rasio kemungkinan positif (RK+), dan rasio kemungkinan negatif (RK-) untuk masing-masing sistem skor CHS, SOF, dan FI-CGA dibandingkan dengan FI-40.
Hasil: Proporsi individu yang termasuk dalam kategori frail, pre-frail, dan fit berdasarkan indeks frailty 40 item berturut-turut adalah 25,3%, 71%, dan 3,7%. Untuk membedakan individu frail dengan tidak frail, skor CHS memiliki sensitivitas 41,2%, spesifisitas 95%, NPP 73,7%, NPN 82,7%, RK+ 8,41 dan RK- 0,62. Skor SOF memiliki sensitivitas 17,6%, spesifisitas 99,5%, NPP 92,3%, NPN 78,1%, RK+ 35,2 dan RK- 0,83. Sedangkan skor FI-CGA memiliki sensitivitas 8,8%, spesifisitas 100%, NPP 100%, NPN 76,4%, RK+ tak terbatas, dan RK- 0,91.
Kesimpulan: Tidak ada sistem skor yang dapat digunakan sebagai alat skrining yang baik untuk sindrom frailty, namun masing-masing sistem skor dapat digunakan sebagai alat diagnostik yang baik untuk sindrom frailty.

Background: The Frailty Index 40-item (FI-40) approach is considered the best tool for evaluating mortality and hospitalization outcomes related to frailty syndrome, although it is challenging to implement in daily clinical practice. The CHS, SOF, and FI-CGA scoring systems are easier to use in daily practice, but there is no validation data available in Indonesia.
Aim: To obtain recommendations for a frailty syndrome diagnostic tool that is easy to implement in daily clinical practice in Indonesia.
Methods: This was a cross-sectional study with a diagnostic test approach conducted on patients aged ≥60 years at the Geriatric Outpatient Clinic of Cipto Mangunkusumo Hospital from May to June 2013. Each subject was assessed using the CHS, SOF, FI-CGA, and FI-40 scoring systems. Sensitivity, specificity, positive predictive value (PPV), negative predictive value (NPV), positive likelihood ratio (LR+), and negative likelihood ratio (LR-) were calculated for each scoring system compared to FI-40.
Results: The proportions of frail, pre-frail, and robust individuals based on the 40-item frailty index were 25.3%, 71%, and 3.7%, respectively. To differentiate between frail and non-frail individuals, the CHS score showed a sensitivity of 41.2%, specificity of 95%, PPV of 73.7%, NPV of 82.7%, LR+ of 8.41, and LR- of 0.62. The SOF score showed a sensitivity of 17.6%, specificity of 99.5%, PPV of 92.3%, NPV of 78.1%, LR+ of 35.2, and LR- of 0.83. The FI-CGA score showed a sensitivity of 8.8%, specificity of 100%, PPV of 100%, NPV of 76.4%, LR+ infinite, and LR- of 0.91.
Conclusion: No scoring system was found to be suitable as a screening tool for frailty syndrome; however, all scoring systems can be used as effective diagnostic tools for frailty with good predictive ability.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2014
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Andini Wisdhanorita
"Prevalensi diabetes melitus di Indonesia meningkat sebanyak 90.9% persen dari tahun 2007. Perilaku merokok yang diduga sebagai salah satu faktor penyebab terjadinya diabetes melitus juga mengalami peningkatan sebesar 6,14% (Riskesdas, 2013). Berbagai penelitian telah menunjukan bahwa terdapat hubungan antara perilaku merokok dengan diabetes melitus tipe 2 (Cho dkk, 2014; Sairenchi dkk, 2004; Shi dkk, 2013; Papier, 2016). Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui Hubungan Antara Perilaku Merokok Dengan Kejadian Diabetes Melitus Tipe 2 Di Kecamatan Bogor Tengah. Desain penelitian menggunakan kohort retrospektif. Sampel terdiri dari 1804 responden yang berasal dari studi kohort faktor risiko PTM.  Responden diamati selama 6 tahun. Insidens rate diabetes melitus adalah 4,13%. Hasil analisis multivariat dengan cox extended setelah dikontrol dengan jenis kelamin dan IMT menunjukan bahwa perilaku merokok memiliki nilai HR 1,122 (95% CI: 0,869-1,447) dengan nilai p 0,377, p value > α, hubungan antara perilaku merokok dengan kejadian diabetes melitus tipe 2 tidak terbukti signifikan secara statistik.

The prevalence of diabetes mellitus in Indonesia increased by 90.9% percent from 2007. Smoking behavior which is thought to be one of the factors causing diabetes mellitus also increased by 6.14% (Riskesdas, 2013). Various studies have shown that there is a relationship between smoking behavior and type 2 diabetes mellitus (Cho et al., 2014; Sairenchi et al., 2004; Shi et al., 2013; Papier, 2016). This study aims to determine the relationship between smoking behavior and the incidence of type 2 diabetes mellitus in Bogor Tengah sub-district. Study design is retrospective cohort. The sample consisted of 1804 respondents from the non communicable disease cohort study. Respondents were observed for 6 years. The incidence of diabetes mellitus rate is 4.13%. The results of multivariate analysis with extended cox after being controlled by sex and BMI showed that smoking behavior had an HR 1.122 (95% CI: 0.869 - 1.447) with p value  0.377, p value> a, the relationship between smoking behavior and the incidence of type 2 diabetes mellitus not statistically significant."
Depok: Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia, 2019
T53640
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>