Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 150764 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Werlinson
"Tujuan: Studi ini bertujuan untuk mengetahui efek stimulasi dengan metode kartu baca cepat Glenn Doman terhadap tajam penglihatan.
Metode: Penelitian ini adalah uji klinis acak, tersamar tunggal. Sebanyak 36 anak usia 12-15 bulan yang memenuhi kriteria inklusi dibagi menjadi dua kelompok yang masing-masing terdiri dari 18 anak. Kelompok pertama mendapatkan stimulasi dengan kartu baca cepat Glenn Doman selama tiga bulan sedangkan kelompok kedua tidak mendapatkan stimulasi. Setiap bulan dilakukan pemeriksaan tajam penglihatan monokular dan binokular. Keluaran sekunder menilai hubungan antara perubahan tajam penglihatan terhadap peningkatan nilai kognitif.
Hasil: Sebanyak 36 anak mengikuti penelitian selama 3 bulan. Rerata tajam penglihatan akhir mata kanan pada kelompok uji dan kelompok kontrol meningkat namun tidak berbeda bermakna (log MAR 0,31 vs 0,33; p=0,55). Peningkatan rerata tajam penglihatan akhir juga terdapat pada mata kiri (log MAR 0,31 vs 0,32; p=0,55). Rerata tajam penglihatan binokular mengalami peningkatan namun tidak berbeda bermakna (log MAR 0,31 vs 0,33; p 0,31). Peningkatan tajam penglihatan terbesar terdapat di bulan pertama pada kedua kelompok ( OD log MAR 0,38 vs 0,42; OS log MAR 0,44 vs 0,44; OU 0,27 vs 0,36) namun peningkatan tersebut tidak berbeda bermakna (p>0,05). Hubungan antara perubahan tajam penglihatan dan perubahan nilai kognitif tidak berbeda bermakna antara kelompok uji dengan kelompok kontrol (p>0,05).
Kesimpulan: Tidak terdapat perbedaan tajam penglihatan yang bermakna antara kelompok dengan stimulasi menggunakan metode Glenn Doman dengan kelompok tanpa stimulasi.

Aim: The aim of this study was to evaluate the effect of stimulation with Glenn Doman flash cards method in visual acuity.
Method: This was randomized single-blind controlled trial study. Thirty-six children age 12-15 months were participated in the study and were divided into two group consisted of eighteen children in each group. The intervention group had stimulation using Glenn Doman flash cards methods while control group had not given stimulation. Stimulation was continuosly held for three consecutive months. The visual acuity between two groups were compared. Secondary outcome was correlation between visual acuity changes and changes in cognitive score of Bayley Score Infant Development (BSID) in both groups.
Result: Thirty six children were participating in the study for three months. There was improvement in mean visual acuity of the right eye in both groups (log MAR 0,31 vs. 0,32; p=0,55) as well as the left eye on both groups but not statistically significant (log MAR 0,31 vs. 0,32; p=0,55). Mean binocular visual acuity in both groups was improved but not statistically significant (log MAR 0,31 vs. 0,33; p=0,31). Largest increase of visual acuity in both groups were in the first month (OD log MAR 0,38 vs. 0,42; OS log MAR 0,44 vs. 0,44; binocular log MAR 0,27 vs. 0,36) but not statistically significant (p>0,05). There was no statistically significant correlation between visual acuity changes and BSID cognitive score changes.
Conclusion: There was no statistically significant difference in visual acuity between intervention group and control group.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2014
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Otty Mitha Sevianti
"ABSTRAK
Perkembangan anak merupakan sesuatu yang bersifat multi
dimensi dan terdiri atas area kognitif, bahasa, fungsi gerak, sosial emosional dan
perilaku adaptif, masing-masing memiliki nilai tersendiri namun saling
berintegrasi. Dua metode stimulasi (Glenn Doman (GD) dan Kemenkes (K))
dinilai kualitasnya dalam penelitian ini.
Tujuan.Mengetahui pengaruh perbedaan stimulasi metode GD dan K terhadap
skor perkembangan bayi usia 6-12 bulan.
Metode.Penelitian kohort prospektif pada bayi normal.Skrining perkembangan
awal dilakukan menggunakan alat ukur Denver.Pasca 3 bulan intervensi,
perkembangan bayi dinilai menggunakan BSID edisi-III yang terlebih dahulu
dilakukan uji validitas dan reliabilitas.Kualitas stimulasi rumah di nilai
menggunakan alat ukur HOME.
Hasil.Skor validitas dari BSID edisi-III adalah 0,964 (kognitif), 0,934 (bahasa),
0,822 (gerak) dengan Cronbach Alpha sebesar 0,918 serta reliabilitas test-retest
0,846. Subjek yang memenuhi kriteria sebanyak 88 orang, dengan jenis kelamin
laki-laki (61,4%), usia 9-12 bulan (68,2%), status gizi baik (75%). Perbedaan
bermakna terdapat pada skor HOME dan semua aspek penilaian perkembangan
BSID di kedua grup setelah masa intervensi 3 bulan (p<0,001). Skor grup GD
lebih unggul 1 angka dibandingkan K pada skor HOME (p=0,024) and 32 angka
lebih unggul pada skor BSID (p=0,002). Faktor jumlah anak bermakna secara
statistik memengaruhi perkembangan dengan risiko relative 3.13 (IK 95% 1.18-
8.33, p=0,022).
Simpulan.Instrumen BSID edisi-III versi Bahasa Indonesia merupakan alat ukur
yang sahih dan andal untuk digunakan pada penelitian ini. Secara umum tidak
terdapat perbedaan skor perkembangan bayi usia 6-12 bulan yang mendapat
stimulasi metode GD dan K kecuali perkembangan perilaku adaptif.

ABSTRACT
Child development is multi-dimensional and encompasses cognitive, language, sensory-motor, social-emotional, adaptive behavior domains, all of
which are interdependent. Two stimulation interventions (Glenn Doman (GD) and
Kemenkes (K) methods) were conducted in this study.
Aims.To investigate the difference in developmental aspects after intervention
with GD and K methods in infants age 6-12 months.
Methods. This was a prospective cohort study in normal developmental infants.
Developmental screening at enrollment used Denver instrument. Three months
post intervention, the development was assessed with BSID III, in which
validation and reliability test were undertaken as first step. A modified version of
HOME inventory was used as edition to assess home environment.
Results.The validity score of BSID-III was 0.964 (cognitive), 0.934 (language),
0.822 (motor) with Cronbach alpha of 0.918 and a reliability test-retest of 0.846.
There were 88 subjects fulfilled the criteria. Subject mostly were male (61.4%) 9-
12 months old (68.2%), normal anthropometric status (75%). The results revealed
significant differences in HOME score and all aspects of Bayley score in GD and
K group after 3 months intervention period (p<0.001). The GD benefited 1 point
compared with K group in HOME score (p=0.024) and 32 points in Bayley score
(p=0.002). Number of children was the most influential factor in infants’
development with a relative risk of 3.13 (CI95% 1.18-8.33, p=0.022).
Conclusions.The Bahasa Indonesia version of BSID-III was a reliable and valid
tool for the assessment of this study. There was no difference in developmental
score at age 6-12 months who had GD and K stimulation methods except for
adaptive behavior scale."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2014
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Nadhira Auliya Shabrina
"Penggunaan gawai saat ini sudah bertumbuh secara pesat bahkan anak-anak sudah mulai terbiasa menggunakan perangkat gawai sejak usia sangat dini. Penggunaan gawai yang berlebihan bisa berdampak buruk bagi mata anak. Penelitian ini bertujuan untuk melihat hubungan antara interaksi gawai dengan ketajaman penglihatan pada anak usia sekolah. Penelitian ini menggunakan desain cross sectional. Sejumlah 101 responden yang memenuhi kriteria inklusi dipilih dengan teknik pengambilan sampel purposive sampling. Kemudian responden mengisi kuesioner Smartphone Addiction Scale-Short Version (SAS-SV) dan diperiksa ketajaman matanya menggunakan kartu Snellen. Hasil penelitian menunjukan adanya hubungan yang signifikan antara interaksi gawai dengan ketajaman penglihatan (P value<0,000). Dari hasil analisis didapatkan nilai OR=3,057 yang artinya anak dengan interaksi gawai yang berlebihan berisiko mengalami ketajaman penglihatan yang kurang 3,057 kali dibandingkan anak yang berinteraksi dengan gawai secara baik. Penelitian ini merekomendasikan agar orangtua dan/atau institusi sekolah memperhatikan dan menerapkan pengaturan durasi dalam berinteraksi dengan gawai yang aman untuk anak sehingga bisa mempertahankan ketajaman penglihatan anak.

Nowadays the development of gadget increasing so fast moreover children are habitual to use it since early age. The overuse of gadget will give bad impact for children eyes. The purpose of this research is to see the relationship between gadget interaction and visual acuity at school age-children. This research uses cross-sectional design. The number of respondence is 101, they are corresponding with inclusion criteria get choose by purposive sampling technic. The respondence fill smartphone addiction scale-short version and get visual acuity screening with Snellen chart. The result of the research is there are significant relationship between gadget interaction and visual acuity (P value< 0,001). From the analysis obtained the OR score: 3,057 that is means children with overuse gadget interaction are riskier have bad visual acuity 3,057 times than children that having good interaction with gadget. This study recommends for parents and/or schools to pay attention and apply regulation in gadget duration interaction on children which is safe for children visual acuity."
Depok: Fakultas Ilmu Keperawatan Universitas Indonesia, 2021
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Jessica
"Pemberian rekomendasi fit to fly setelah dilakukan tindakan bedah refraktif fakoemulsifikasi pada pilot yang mengalami katarak berdasarkan protocol Civil Aviation Safety Regulations CASR 67 KP 303 tahun 2012 diberikan setelah 2 bulan pascabedah. Saat ini dengan kemajuan teknologi dan modifikasi teknik, kestabilan tajam penglihatan pascabedah dapat lebih cepat dicapai. Penelitian ini bertujuan untuk memberikan masukkan dalam hal perubahan kebijakan lama masa unfit penerbang dengan katarak yang dilakukan tindakan bedah refraktif fakoemulsifikasi. Agar penerbang yang tajam penglihatannya sudah stabil dan sudah memenuhi kriteria fit to fly dapat secepatnya kembali bertugas guna mengurangi loss of work. Penelitian ini adalah penelitian kuantitatif dengan desain kohort retrospektif. Data diambil dari rekam medis, dilakukan perbandingan best corrected visual acuity BCVA dalam satuan desimal praoperasi, hari pertama, serta minggu pertama, kedua, keempat, dan kedelapan. Pengambilan sampel dilakukan dengan metode total sampling, didapatkan 16 rekam medis yang sesuai dengan kriteria inklusi dan eksklusi. Seluruh sampel berjenis kelamin laki-laki 100 berusia 59 ndash; 61 tahun. BCVA didapatkan berbeda bermakna pada hari pertama pascabedah yang dibandingkan dengan prabedah p
According to Civil Aviation Safety Regulations CASR protocol 67 KP 303 in 2012, fit to fly recommendation after refractive phacoemulsification surgery performed on pilots with cataractswas given 2 months postoperatively. Nowadays with technological advances and technique modifications, the visual acuity stability postoperative can be more quickly achieved. This study aims to provide insight in terms to change the old policy of unfit period for pilots with cataracts performed phacoemulsification refractive surgery. It aims to reduce the loss of work so the aviators who visual acuity has been stable and already meet the criteria fit to fly can quickly return to serve. This study is a quantitative study with a retrospective cohort design. Data were taken from medical records, then we compared best corrected visual acuity BCVA in decimal preoperative, first day, and first, second, fourth and eighth week. Sampling was done by total sampling method, we got 16 medical records that match inclusion and exclusion criteria. All samples of male sex 100 aged 59 - 61 years. BCVA was found to differ significantly on the first postoperative day compared with preoperative p "
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2018
T57645
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
M. Dio Syaputra
"Latar belakang: Presbiopia pasca operasi katarak masih menjadi masalah meskipun teknik operasi dan teknologi lensa intra-okular terus berkembang. Teknik mini-monovision dan lensa extended depth of focus (EDoF) murni menjadi alternatif untuk mengkoreksi penglihatan jauh dan menengah dengan biaya relatif ringan.
Tujuan: Penelitian ini bertujuan membandingkan luaran klinis pasca operasi katarak dengan teknik mini-monovision secara binokular dan operasi katarak menggunakan lensa EDoF murni monokular.
Metode: Subjek penelitian dirandomisasi menjadi kelompok mini-monovision (lensa monofokal standar dengan anisometropia -1,25 D) dan kelompok EDoF Murni. Blinding dilakukan pada pemeriksa luaran klinis.
Hasil: Interim analysis dari total 16 pasien didapatkan luaran tajam penglihatan jauh dengan dan tanpa koreksi(TPJTK dan TPJDK) tidak berbeda bermakna antar kelompok. Median tajam penglihatan menegah tanpa koreksi (TPMTK) dan rerata tajam penglihatan dekat tanpa koreksi (TPDTK) mini-monovision binokular didapatkan 0,10 (0-0,10) LogMar dan 0,26 + 0,12 LogMar. Median TPMTK & rerata TPDTK EDoF monokular didapatkan 0,19 (0,14-0,50) LogMar dan 0,54 + 0,11 LogMar. Uji Mann-Whitney U pada luaran TPMTK didapatkan nilai p=0,001 dan uji T tidak berpasangan terhadap luaran TPDTK didapatkan nilai p=0,000. Kurva defokus lensa -2,50 D kelompok mini-monovision binokular 0,31 LogMar dan EDoF monokular 0,51 LogMar (p=0,019).
Kesimpulan: TPMTK, TPDTK dan kurva defokus lensa -2,50 D kelompok mini-monovision lebih baik dibandingkan kelompok EDoF

Background: Presbyopia after cataract surgery is still a problem despite recent surgical techniques and intraocular lens technology development. Mini-monovision techniques and pure extended depth of focus (EDoF) lenses are alternatives to achieve good distance and intermediate visual acuity at relatively inexpensive.
Purpose: This study aims to compare the clinical outcome after cataract surgery with binocular mini-monovision and cataract surgery using a pure monocular EDoF lens.
Methods: Subjects were randomized into the mini-monovision group (standard monofocal lenses with -1.25 D of anisometropia) and the pure EDoF group. Blinding was performed on the clinical outcome examiners.
Results: Interim analysis of a total of 16 patients revealed the outcome of distance visual acuity with and without correction (UCDVA and BCDVA) was not significantly different between groups. Median of uncorrected intermediate visual acuity (UIVA) and mean of uncorrected near visual acuity (UNVA) of binocular mini-monovision were 0.10 (0-0.10) LogMar and 0.26 + 0.12 LogMar. Median UIVA & mean UNVA monocular EDoF were 0.19 (0.14-0.50) LogMar and 0.54 + 0.11 LogMar respectively. The Mann-Whitney U test of UIVA between groups revealed p=0.001 and the unpaired T-test of UNVA revealed p=0.000. Mean defocus curve of -2.50 D lens were 0.31 LogMar in binocular mini-monovision group and 0.51 LogMar monocular in EDoF group (p=0.019).
Conclusion: UIVA, UNVA and defocus curve of -2.50 D lens in the mini-monovision group were better than EDoF group.
"
Depok: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2022
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Simanjuntak, Gilbert W.S.
"Terdapat banyak laporan mengenai biaya-efektifitas di bidang ilmu penyakit mata, tetapi laporan biaya-efektifitas vitrektomi antara bius lokal dibandingkan bius umum belum ditemukan di literatur nasional/internasional. Penelitian ini bermanfaat untuk pengambil kebijakan, penyedia jasa kesehatan dan asuransi. Untuk menjawab hal ini, peneliti melakukan penelitian kohort retrospektif di dua rumah sakit dengan jumlah 100 sampel yang memenuhi kriteria inklusi dan eksklusi. Efektifitas dihitung sebagai perbaikan tajam 2 skala logMAR atau lebih, dan biaya dihitung berdasarkan data yang diperoleh dari wawancara dan dikonfirmasi dengan surat keterangan yang berwenang. Hasil yang diperoleh adalah dibutuhkan biaya sebesar Rp. 23.959.000,- untuk mencapai efektifitas operasi (Perbaikan) sebesar 32% dengan bius umum. Sebesar Rp. 15.950.200,- diperlukan untuk mencapai efektifitas operasi (Perbaikan) sebesar 80 % dengan bius lokal. Interpretasi data ini butuh kehatian-hatian, juga untuk diterapkan secara umum (extrapolation). Penghematan biaya yang terjadi adalah sebesar 50,21% dengan bius lokal dibandingkan bius umum. Faktor yang berpengaruh secara multivariat terhadap perbaikan setelah operasi dan biaya adalah lamanya retina lepas (RR 1.85) bila lepas < 4 minggu, dan bius lokal (RR 2.58). Waktu tunggu (antara pertama kali berobat hingga dioperasi) lebih singkat di bius lokal (p 0.00) dan tindakan membrane peeling lebih banyak di bius lokal (p 0.00) merupakan dua hal yang berbeda bermakna. Dapat disimpulkan bahwa operasi vitrektomi untuk retina lepas dapat dilakukan dengan bius lokal dengan efektifitas lebih baik dan biaya lebih sedikit.

There were reports on cost-effectiveness in ophthalmology, but so far none of report on cost-effectiveness of vitrectomy between local and general anesthesia for rhegmatogenous retinal detachment, either in national or international journal. Meanwhile, this report is beneficial for health policy decision maker, health provider and insurance. To answer this limitation, we conduct retrospective cohort study in two hospitals with 100 subjects that fulfill inclusion and exclusion criteria. Effectiveness was visual acuity improvement in two or more logMAR scale after vitrectomy, and units cost data were given by both hospitals. The amount of Rp. 23.959.000,- was needed to achieve effectiveness 32% in general anesthesia. The amount of Rp. 15.950.200,- was needed to achieve effectiveness 80% in local anesthesia. These data interpretation and extrapolation should be done cautiously. There is cost-minimization 50,12% when doing vitrectomy under local versus general anesthesia. Multivariate analysis of effectiveness and cost showed that variables of detachment duration if less than 4 weeks (RR 1.85) and of local anesthesia (RR 2.58) were contributing for better surgical outcome. Shorter waiting time (time needed for surgery after diagnosed), and more membrane peeling done in local anesthesia group were different variabels (p 0.00) between two groups significantly. As conclusion, vitrectomy for rhegmatogenous retinal detachment can be done under local anesthesia with higher effectiveness and lower cost."
Jakarta: Universitas Indonesia, 2013
D1412
UI - Disertasi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Kirana A Sampurna
"ABSTRAK
Tujuan untuk menilai hubungan antara respons elektrofisiologis makula menggunakan multifocal electroretinogram (MfERG), ketebalan makula sentral (KMS) menggunakan Spectral Domain Optical Coherence Tomography (SD-OCT) dan tajam penglihatan pasca-injeksi anti-VEGF intravitreal pada pasien edema makula diabetik (EMD). Desain penelitian studi prospektif, intervensi tanpa randomisasi. Total 33 mata dari 16 pasien non-proliferative diabetic retinopathy dan 17 pasien non-high-risk proliferative diabetic retinopathy yang memenuhi kriteria inklusi mendapatkan injeksi bevacizumab 1,25mg intravitreal, setelah melalui pemeriksaan tajam penglihatan dengan koreksi (TPDK) menggunakan ETDRS chart, pemindaian SD-OCT dan pemeriksaan 61-heksagon MfERG pada baseline, 1 minggu dan 1 bulan pasca-injeksi. Parameter MfERG yang dinilai adalah first-order MfERG (N1,N2 dan P1) pada daerah dua-derajat sentral makula. Hasil Terdapat perbaikan tajam penglihatan sebesar 2LogMar disertai 19% penurunan KMS pada satu bulan pasca-injeksi (p<0.05). Terjadi penurunan amplitudo P1 satu minggu pasca-injeksi (p<0.01) diikuti perbaikan amplitudo P1 satu bulan pasca injeksi (p>0.05). Tampak pemendekan waktu implisit P1 namun secara statistik tidak bermakna. Tidak didapatkan korelasi antara peningkatan TPDK, penurunan KMS, perbaikan amplitudo serta pemendekan waktu implisit gelombang P1 MfERG. Tidak ditemukan efek samping okular maupun sistemik yang berbahaya pasca-injeksi.. Simpulan Dalam jangka pendek, injeksi bevacizumab intravitreal dapat meningkatkan tajam penglihatan, mengurangi ketebalan makula sentral/KMS dan memperbaiki respons MfERG pasien DME namun tidak bermakna secara statistik. Perbaikan TPDK tidak memiliki korelasi dengan penurunan KMS dan respons MfERG secara statistik namun kombinasi penggunaan SD-OCT dan MfERG dapat digunakan untuk mengevaluasi fungsi makula pasien EMD yang mengalami perburukan tajam penglihatan.

ABSTRACT
Purpose To evaluate and investigate any possible correlation between changes of visual acuity (VA), central macular thickness/CMT using Spectral Domain Optical Coherence Tomography (SD-OCT) and electrophysiological responses using multifocal electroretinography (MfERG) in diabetic macular edema (DME) following intravitreal injection of bevacizumab Methods Prospective, non-randomized, interventional case study. Thirty-three eyes of 33 DME patients, consists of 16 non-proliferative diabetic retinopathy patients and 17 non-high-risk proliferative diabetic retinopathy patients, receives intravitreal bevacizumab 1,25mg. All patients underwent complete ophthalmic examination including ETDRS VA testing, Sixty-one scaled hexagon MfERG and SD-OCT scan at baseline, 1-week, and 1-month post-injection. Components of the first order kernel (N1, N2 and P1) in central 2o were measured. Results MfERG showed reduced P1 amplitude (P<0.05) at 1-week after injection followed by increased P1 amplitude (P>0.05) at 1-month after treatment as compared to the baseline in all subjects. Improvement were seen in the implicit time P1 but without statistical significance. There was 19% improvement in CMT and 0.2Logmar VA improvement 1-month post-injection compared to the baseline (P<005). This study showed no serious ocular adverse effects. Conclusion In this study intravitreal injection bevacizumab resulting in improved visual acuity, reduction in CMT and mild improvement in the MfERG amplitude and implicit time. Although VA changes did not correlate with reduced CMT nor with improved responses of MfERG, the combined use of SD-OCT and MfERG may be used to evaluate macular function in DME patient with worsened visual acuity post anti-VEGF injection."
2016
SP-Pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Novra Widayanti
"Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui peran tes dynamic visual acuity (DVA) dan tes kalori dalam menilai gangguan keseimbangan pada pasien tuberkulosis (TB) yang mendapat terapi streptomisin. Metode penelitian ini merupakan penelitian pra-eksperimental untuk mengetahui perubahan hasil pemeriksaan fungsi keseimbangan vestibuler pada satu kelompok pasien TB sebelum dan setelah 56 kali pemberian streptomisin atau bila timbul keluhan gangguan keseimbangan dengan tes DVA dan tes kalori. Digunakan rancangan uji diagnostik untuk membandingkan kedua carapengukuran setelah pengobatan. Setelah pemberian terapi didapatkan 31 (77,5%) dari 40 subyek mengeluhkan gangguan keseimbangan. Kelemahan fungsi vestibuler perifer bilateral sebanyak 6 (15%) subyek dengan pemeriksaan kalori dan 30 (75%) dengan pemeriksaan DVA. Rerata nilai kalori sebelum terapi sebesar 93,5 ± 32,07 °/detik dan setelah terapi sebesar 82.30 ± 38,43 °/detik, terjadi perubahan sebesar -11,25 ± 50,55 °/detik.Median nilai kenaikan DVA sebelum terapi adalah 0 (minimal 0 ? maksimal 2) baris dan setelah terapi adalah 3 (minimal 0 - maksimal 6) baris, terjadi perubahan sebesar 3 (minimal 0-maksimal5) baris. Sensitivitas pemeriksaan DVA 83%, spesifisitas 27%, nilai duga positif 17%, nilai duga negatif 90%, rasio kemungkinan positif 1,13 dan rasio kemungkinan negatif 0,63 dengan pemeriksaan kalori sebagai baku emas.Pemeriksaan DVA dapat digunakan sebagai skrining pemeriksaan kelemahan vestibuler perifer bilateral pada pasien tuberkulosis yang mendapat terapi streptomisin.

This study aimed to determine the role of dynamic visual acuity (DVA) and caloric test for assessing balance disorders in patients with tuberculosis (TB) which received streptomycin therapy. An pre-experimental study was used to determine changes in the vestibular function test results in a group of patients withTB before and after 56 times administration of streptomycin or when subjects complaint of balance disorders with DVA test and caloric test. We used diagnostic test designed to compare the two methods of measurement after treatment. After therapy there was 31 (77.5%) of 40 subjects who complained of balance disorder. The weakness of bilateral peripheral vestibular function was found in 6 (15%) subjects with caloric examination and in 30 (75%) with DVA examination. The mean value of caloric examination before therapy was 93.5 ± 32.07 °/sec and after therapy was 82.30 ± 38.43 °/sec, the change was -11.25 ± 50.55 °/sec. The median value of increased DVA line before therapy was 0 (minimum 0 - maximum 2) line and after therapy was 3 (minimum 0 - maximum 6) line, there is a change of 3 (minimum 0 - maximum 5) line. DVA examination has sensitivity 83%, specificity 27%, positive predictive value 17%, negative predictive value90%, positive likelihood ratio1.13 and a negative likelihood ratio0.63 with caloric examination as the gold standard. DVA testing can be used as a screening tool in bilateral peripheral vestibular weakness in tuberculosis patients which received streptomycin therapy."
Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2015
SP-PDF
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Suci Istiqa Mustafa
"Penelitian ini merupakan uji eksperimental dengan tiga populasi berbeda dengan proses intervensi yang sama yaitu penetesan tropikamid 1% yang bertujuan untuk menilai fungsi dan struktur jaringan mata setelah penetesan tropikamid 1%. Sebanyak 90 subjek dibagi menjadi tiga kelompok berdasarkan usia dan diabetes melitus tipe 2. Dilakukan pemeriksaan diameter pupil, tajam penglihatan jauh dan dekat, tekanan intraokular, dan kedalaman bilik mata depan yang diukur pada menit ke-30, 60, dan 120 setelah penetesan. Hasil penelitian ini mendapatkan bahwa kelompok usia 20-40 tahun dan usia ≥ 60 tahun dengan DM kurang responsif terhadap tropikamid 1% dibanding usia ≥ 60 tahun non-DM.

This is a clinical experimental study in three different groups with one intervention. This study aimed to assess ocular functions and structures in normal and diabetic subjects. A total of 90 subjects were divided into three groups based on the description of age and present of type 2 diabetes mellitus. The evaluation of pupil diameter, visual acuity, intraocular pressure, and anterior chamber depth were assessed in 30, 60, and 120 minutes after 1% tropicamide instillation. The result is that in the 20-40 years old non-DM group and ≥ 60 years old with DM group are less responsive to 1% tropicamide than ≥ 60 years old non-DM group."
Depok: Universitas Indonesia, 2014
SP-Pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Nuraini Hakim
"ABSTRAK
Anak cerebral palsy (CP) memiliki berbagai gangguan pada sistem tubuh terutama keterbatasan pergerakan ekstremitas atas. Penelitian ini bertujuan mengidentifikasi pengaruh stimulasi bermain balok kayu terhadap perkembangan ekstremitas atas anak dengan CP usia 2-12 tahun. Desain penelitian menggunakan quasi experimental tipe nonequivalent group dengan pretest dan posttest pada kelompok intervensi dan kontrol. Sampel penelitian ini berjumlah 30 anak.
Hasil penelitian menjelaskan adanya pengaruh stimulasi bermain balok kayu oleh pengasuh terhadap perkembangan ekstremitas atas (pvalue 0,012). Faktor predisposisi yang berhubungan dengan perkembangan ekstremitas atas adalah frekuensi stimulasi bermain dan level Manual Ability of Classification System (MACS). Perawat perlu mengembangkan program stimulasi bermain pada anak dengan CP.

ABSTRACT
Cerebral palsy children have wide range of disorder and developmental disabilities especially in movement of upper extremities. This research explained the effect of play stimulation with the box and block test toward the development of upper extremities in children with cerebral palsy. This research used quasi experimental design with intervention and control group. The chosen samples were 30 respondents.
The research showed that there is an effect of play stimulation using the box and block test toward the development of upper extremities in children with cerebral palsy (pvalue 0,012). In advance, nurse are expected to improve a play stimulation program to children with cerebral palsy.
"
Depok: Fakultas Ilmu Keperawatan Universitas Indonesia, 2014
T42593
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>