Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 161470 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Sisca Kosasih
"Schopenhauer mengemukakan kesadaran hanya kulit permukaan dari sesuatu yang lebih dalam dan luas yakni dari kehendak yang buta, irasional, dan tidak sadar. Jacques Lacan, sang psikoanalis juga kurang lebih mendukung pernyataan tersebut. Adapun terbersit dalam pikiran penulis, hal ini identik dengan ajaran Buddha, maka penulis mencoba menganalisis film yang sarat Buddhisme, yaitu Shaolin (2011). Yang menjadi fokus perhatian penulis bukanlah simbol-simbol agama melainkan kaitan makna nasib para tokohnya, terutama tokoh antagonis yang kemudian menjadi protagonis—Hou Jie yang diperankan Andy Lau—serta tokoh yang menjadi antagonis sepanjang cerita—Cao Man, diperankan Nicholas Tse. Apa yang memungkinkan jalan kehidupan mereka berubah (ubah) adalah tepat kiranya ditelaah dengan konsep Lacan mengenai tiga fase perkembangan manusia.

Schopenhauer argued consciousness only skin surface of something deeper and broader than the will of a blind, irrational, and unconscious. Jacques Lacan, the psychoanalyst is also about supporting the statement. As occurred in the mind of the writer, it is quite synonymous with Buddhism, so the author tries to analyze the film that loaded Buddhism, Shaolin (2011). Which became the focus of attention of the author are not religious symbols but the fate of the characters meaning of terms, especially the antagonist who later became the protagonist--Hou Jie, played by Andy Lau--as well as the antagonist character throughout the story--Cao Man, starring Nicholas Tse. What allows them to change their way of life is precisely would be reviewed with Lacan's concept of the three phases of human development.
"
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2013
MK-Pdf
UI - Makalah dan Kertas Kerja  Universitas Indonesia Library
cover
Bracher, Mark
Yogyakarta: Jalasutra, 2009
303.4 BRA j
Buku Teks SO  Universitas Indonesia Library
cover
London: Macmillan, 1982
155.3 FEM
Buku Teks SO  Universitas Indonesia Library
cover
Melissa Berlina
"Penulisan ini bertujuan untuk menganalisis pelanggaran terhadap Tatanan Simbolik dan konflik yang timbul sebagai akibatnya dalam Film Normal. Keinginan tokoh Roy untuk mengubah identitas gendernya melanggar Tatanan Simbolik sehingga menimbulkan sejumlah konflik. Konflik yang muncul antara lain adalah konflik di dalam ruang publik, ruang privat, dan di dalam diri Roy sendiri. Konflik pada ruang publik terbagi menjadi konflik di dalam tempat kerja Roy dan gereja, dan konflik pada ruang privat merupakan konflik di dalam keluarga Roy yang terbagi menjadi konflik di antara Roy dengan istrinya, ayahnya, dan anaknya. Konflik-konflik yang muncul sebagai akibat pelanggaran Tatanan Simbolik yang dilakukan Roy dengan mengganti identitas gendernya inilah yang akan menjadi akan menjadi fokus pada penelitian ini. Teori psikoanalisa Jacques Lacan akan digunakan untuk menganalisis fokus permasalahan tersebut.

This writing intends to analyze the transgression of the Symbolic order and the conflicts that appear in the movie Normal. The character Roy’s wish to change his gender identity breaks The Symbolic Order, and thus creates conflicts. The conflicts that appear are those in the public room, in the private room, and inside Roy himself. The conflict in the public room consists of the conflicts in Roy’s workplace and the church, while the conflict in the private room consists of those between Roy and his wife, Roy and his father, and Roy and his son. The conflicts that arise as the cause of the transgression of the Symbolic Order by changing his gender identity will be the focus of this research. Jacques Lacan’s psychoanalytic theory will be used to analyze this focus."
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia, 2013
S52926
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Irawan
"Aku yang ambigu, Sintesa Amara Pemikiran Maurice Merleau-Ponty dengan Jean Jacques Lacan. Konsep Aku yang ambigu merupakan upaya pengkajian ulang atas pertanyaan, apa artinya menjadi manusia? Secara teknis pertanyaan ini berusaha dijawab dengan suatu usaha sintesa di antara pemikiran Maurice Merleau-Ponty dengan Jean Jacques Lacan tentang manusia. Merleau-Ponty mengatakan bahwa manusia adalah makhluk yang babas, otonom dan utuh secara individual. Sebaliknya menurut Jacques Lacan manusia adalah makhluk yang "calf' dan terkungkung dalam berbagai bentuk simbolis bahasa dan penanda Perbedaan ini merupakan konsekuensi logis dari kelanjutan perdebatan dan atau proses transisional humanitas manusia dari zaman modern ke zaman post-modern. Manusia dalam zaman modern dipandang sebagai makhluk yang rasionalobjektif-universal sedangkan pada zaman post-modem manusia adalah irrasionalsubjektif-partikular, tergeser dari pusat kesadarannya dan tercecer ke sudut-sudut ketidaksadaran naluriah yang asli dan purba.
Konsep Aku yang ambigu lebih jauh merupakan refleksi kritis atas perkembangan penyelidikan manusia dari zaman ke zaman di mana pada dasamya dalam keseluruhan dan kesatuan hidupnya bermakna ganda bahkan multi dimensional. Maksudnya manusia sejak dilahirkan memiliki potensi untuk ambigu dalam arti sebagai makhluk yang ambivalen, paradoks bahkan kontradiksi dalam dirinya sendiri maupun ketika berada di dalam dunianya.
Identitas Aku yang ambigu menjadi tidak terbantahkan ketika sudah dieksplisitkan dalam perilaku dan wujud kehidupan sehari-hari. Hal ini yang membuat penyelidikan tentang manusia sampai detik ini tidak pernah berhenti dan mengenal kata akhir.
Dalam penelitian ini kenyataan dan realitas seperti yang terungkap di atas dirumuskan ulang dan disistematisasikan dalam kerangka tematis filsafat manusia bahwa manusia adalah makhluk yang ambigu. Ada tiga hal penting untuk dikatakan sehubungan dengan rumusan tersebut. Pertama aspek ketidaksaran atau irrasionalitas dalam konsep Aku yang ambigu yang menandakan bahwa keambiguitasannya bertempat dalam wilayah naluriah atau dunia bawah sadar manusia sehingga memang sudah merupakan fitrah dan asli. Aspek yang kedua adalah aspek ketubuhan dan aspek yang ketiga adalah aspek kebahasaan. Aspek yang kedua dan ketiga ini satu sama lain tidak bisa dipisahkan. Keduanya berperan membentuk individu yang berperilaku arnbigu antara yang bertubuh dan berbahasa. Kenyataan atas ambiguitas antara aspek yang kedua dengan aspek yang ketiga membangun rumusan baru bahwa Aku kini menjadi ambigu antara Aku yang penuh atau Aku yang cair.
Jalan ambiguitas bukan jalan tengah atau jalan dengan mengambil satu pengertian saja dari dua pengertian yang ada dan pada saat yang sama menghilangkan pengertian yang lain. Jalan ambiguitas juga bukan berarti bahwa kedua pengertian (potensi) dilebur ke dalam suatu definisi baru tentang sesuatu (Aku) tetapi lebih dimaknai sebagai sebuah pendekatan yang mendasarkan diri pada temporalitas. Maksudnya kedua pengertian tersebut sama-sama berpotensi mengaktualisasikan diri dalam ruang dan waktu yang melingkupinya."
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia, 2005
T15121
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Cahyo Arswandaru
"Subjek merupakan salah satu objek kajian yang memiliki andil besar dalam pergerakan pemikiran filsafat. Diskursus mengenai subjek hadir dalam setiap periodisasi filsafat, sejak jaman Yunani Kuno hingga filsafat Kontemporer. Pemetaan tentang subjek ini salah satunya diungkapkan oleh seorang pemikir psikoanalisa, yaitu Jean Jacques Lacan, melalui pembacaannya atas subjek Cartesian dan subjek Freudian yang dipadukan dengan gagasan dialektika Hegel, serta strukuralisme dari Saussure. Subjek Lacanian mengemban tiga wilayah utama, yaitu The Imaginary, The Symbolic, dan The Real, dimana ketiga wilayah tersebut saling berintegrasi membentuk kerangka subjek, serta digerakan oleh hasrat dan kekurangan yang menjadi poros dalam roda triadik tersebut. Komplemen lain yang turut membentuk kerangka subjek ialah kehadiran Phallus, Maternal Phallus, the other, the Other, rangkaian penanda hingga Jouissance sebagai jawaban atas konflik yang senantiasa diemban oleh subjek dalam usahanya untuk mencapai keutuhan diri. Subjek Lacanian dijelaskan sejak masa kelahiran hingga mencapai puncak konflik di wilayah Simbolik. Selaras dengan hal tersebut, sinopsis yang disajikan dalam teks album The Wall melalui narasi lirik lagu sejak lagu pertama hingga terakhir, menyajikan cerita mengenai perjalanan pencarian jati diri subjek sejak kelahiran hingga puncak konflik hidup yang dialaminya. Jalan cerita yang disajikan dalam teks album The Wall relevan dengan alur pemetaan subjek Lacanian. Analisis atas teks The Wall merupakan sebuah usaha menemukan kebaruan yang tersembunyi dibaliknya.

Subject is an object of study that have a significan impact in philosophical discourse. This discourse about subject present in every periodization of philosophy, from the Ancient Greek to the Contemporary philosophy. One of the Psychoanalitic thinker that revealed about this mapping of subject is Jean Jacques Lacan, through his reading of Cartesian subject and Freudian subject combined with the concept of Hegelian dialectic, and also structuralism from Saussure. Lacanian subject contains three main areas, there are The Imaginary, The Symbolic, and The Real, where this three regions are integrated to form the structure of subject, and its also powered by desire and lack. Another complements that form the subject are the presents of Phallus, Maternal Phallus, the other, the Other, chain of signifiers, and Jouissance as the solution of subject’s conflict in order to attain the self completeness. Lacanian subject is explained since the birth of subject until the climax of conflicts in Symbolic area. In tune with this mapping of subject, The Wall present a narration in its text, about the journey of a subject, since the birth until the climax conflicts of life. The narration is formed by every lyrics of the song, from first to last in the album. The storyline of The Wall’s text is relevant with the mapping line of Lacanian subject. Analysis of The Wall is an effort to find novelty beyond its text."
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia, 2012
S45091
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Ismi Halida
"Skripsi ini membahas peran perempuan dalam politik nasional Jepang kontemporer yang dianalisa menurut 'tatanan simbolik' Jacques Lacan. Menurut Lacan, masyarakat diatur oleh rangkaian tanda, peran dan ritual, yang disebut sebagai 'tatanan simbolik'. 'Tatanan simbolik' menciptakan aturan sosial dalam ranah ketidaksadaran manusia ---dalam alam pikiran manusia--- Dalam kebudayaan patriarki ---khususnya di Jepang---, 'tatanan simbolik' memperkuat dominasi laki-laki dalam masyarakat, sehingga peran perempuan semakin tersisih ke wilayah domestik. Politik, menjadi bidang yang diidentikkan dengan kekuasaan laki-laki, dan perempuan dianggap tidak pantas untuk turut berkontribusi di dalamnya. 'Tatanan simbolik' mengkonstruksi pola pikir masyarakat Jepang, sehingga mempengaruhi peran serta perempuan dalam kegiatan politik nasional Jepang.

This paper will deeply discuss the role of women in contemporary Japanese national politics using Lacan's 'symbolic order' as an analytical tool. According to Lacan, society is govern by a disconnected series of signs, roles, and rituals, which called the 'symbolic order'. This 'symbolic order' creates social construction in the human's unconscious state of mind. In patriarchal culture ---especially Japan---, 'symbolic order' strengthen the rule of man in society. Therefore, women's rule are gradually pushed into domestic side. Politics, is highly associated with men's authority, and women is considered not fit to contribute in politics. The 'symbolic order' reconstruct the Japanese society state of mind. Thus, it's greatly influence the role of women in contemporary Japanese national politics."
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia, 2009
S13655
UI - Skripsi Open  Universitas Indonesia Library
cover
Nining Juliantis
"Skripsi ini membahas novel Мёртвые Души/Myortvie Dusi/Jiwa-Jiwa Mati karya Nikolai Vasilievich Gogol. Di dalam skripsi ini, pembahasan difokuskan pada hasrat menjadi (narsisistik) dan hasrat memiliki (anaklitik) dari Gogol selaku pengarang yang termanifestasikan dalam novel ini. Kedua bentuk hasrat tersebut dianalisis dengan menggunakan teori tokoh-penokohan, sosiologi sastra, dan Psikoanalisis Jacques Lacan. Adapun metode yang digunakan yaitu deskriptif analitis dengan mekanisme penanda utama dan rangkaian penanda untuk menelusuri hasrat Gogol dalam novel Мёртвые Души/Myortvie Dusi/Jiwa-Jiwa Mati. Analisis dari novel ini menemukan bahwa hasrat menjadi juru tulis dan moralis agama seolah membuat Gogol dapat diakui eksistensinya oleh otoritas simbolik dan dapat terhindar dari ketakutannya. Adapun hasrat memiliki pasangan hidup dan mendapatkan kesejahteraan melalui materi merupakan pemenuhan kepuasan internal Gogol dan mendapat kemakmuran atas tuntutan sosial yang mengagungkan materi sebagai indikator kesejahteraan.

This thesis dicusses the novel Мёртвые Души/Myortvie Dusi/Dead Souls, written by Nikolai Vasilievich Gogol. Within this thesis, the discussion focused on Gogol's being desire (narcissistic) and having desire (Anaclitic) which manifested in this novel. Those two form of desires was analyzed by using theory of characters, sociology of literature, and Psychoanalysis Jacques Lacan. The method used is known as the 'descriptive analytical method' and using the mechanism of master signifiers and also signifying chains to unravel Gogol's desire in the novel Мёртвые Души/Myortvie Dusi/Dead Souls. The analysis of this novel reveals that being desire as a clerk and religious moralist would make Gogol's existence avowed by the authority of symbolic and could stay away from his anxiety. Having desire for a soulmate and gaining materialistic properous life was a fulfillment of Gogol's internal satisfaction together with gaining prosperity from social demand which glorify materialistic thing as a indicator of prosperous life."
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia, 2016
S66644
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Polimpung, Hizkia Yosias
"Ontoteologi adalah musuh tradisional dari filsafat modern. Setiap filsafat muncul sebagai respon atasnya. Dalam disertasi ini, pemikiran Quentin Meillassoux yang adalah pelopor aliran realisme spekulatif menjadi obyek studi untuk direfleksikan kapasitasnya dalam menghalau metafisika ontoteologis. Ditunjukkan bahwa dalam seluruh prosedur pemikirannya mdash;postulasi problem, perumusan prinsip ontologis dan formulasi prosedur filsafat mdash;Meillassoux justru melakukan pengulangan ontoteologi ini dalam bentuknya yang disebut di sini sebagai ontoantropologi. Manusia anthropos , dalam filsafat Meillassoux, menjadi jangkar bagi ontologi itu sendiri. Dengan menggunakan psikoanalisis Jacques Lacan, disertasi ini memberikan kritik terhadap ontoantropologi Meillassoux. Pembahasan terbagi dalam tiga bagian besar. Pertama adalah pemaparan kondisi-kondisi institusional, sosial dan historis yang mana filsafat Meillassoux mengambil tempat. Bagian kedua merefleksikan postulasi ranah realitas obyektif, yang keberadaannya absolut dari pikiran manusia. Bagian ketiga mengevaluasi prinsip ontologis yang diformulasikan Meillassoux untuk memikirkan tentang realitas obyektif dan absolut ini. Selain refleksi kritis, penulis juga menawarkan sketsa kemungkinan solusi terhadap setiap manifestasi problem ontoantropologis Meillassoux. Akhirnya, disertasi ini berargumen bahwa problem ontoantropologis hanya bisa dipecahkan saat manusia-filsafat mengafirmasi kemungkinan bahwa kemanusiaannya berpotensi membatasi kapasitas filsafat dalam mengakses yang absolut, ketimbang mengabaikannya begitu saja sebagaimana yang dilakukan Meillassoux.

Ontotheology is a traditional adversary of modern philosophy. Every brand new philosophy rises up as a response against it. In this dissertation, the thought of Quentin Meillassoux, a pioneer of recent new speculative realist, becomes the object of study to be reflected upon its capacity in overcoming ontotheological metaphysics. It is shown that in every of his thought procedure mdash postulation of problem, formulation of ontological principle, designation of philosophical procedure mdash Meillassoux is precisely repeating ontotheology in the guise of what to be called as ontoanthropology. Human anthropos , in Meillassoux philosophy, becomes the anchor for the ontology itself. By employing Jacques Lacan rsquo s psychoanaysis, this dissertation offers a critique of Meillassoux rsquo s ontoanthropology. The discussion is divided into three. The first describes institutional, social, and historical conditions under which Meillassoux rsquo s philosophy is taking place. The second part reflects on the postulation of the realm of objective reality, whose presence is absolute to human rsquo s mind. The third part evaluates the ontological principle formulated by Meillassoux to think about the objective and absolute reality. Besides a critical reflection, the author also offer a sketch of possibility of solution for every manifestation of Meillassoux rsquo s ontoanthropological problem. Finally, the dissertation argues that the problem of ontoanthropology can only be solved when the man of philosophy affirm the possibility that his humanity has the potential to limit philosophy rsquo s capacity in accessing the absolute, instead of just foreclosing it as Meillassoux does."
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia, 2016
D2243
UI - Disertasi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Sri Saraswati
"Lars von Trier mengangkat demokrasi Amerika melalui film Dogville dan Manderlay. Keduanya menggunakan latar yang menverupai panggung Water yang berfungsi sebagai mikrokosmos untuk Amerika. Hipotesis penulis, kedua tiIm itu memperlihatkan konflik yang muncul aid hat ketegangan antara komunitas dan individu dalam demokrasi. Penelitian dengan hegitu akan membahas citraan mengenai demokrasi Amerika dalam kedua film dan problematika di dalamnya.
Penelitian menggunakan teori Jacques Lacan mengenai Real, Imaginar dan Symbolic Order serta konsep demokrasi milik Slavoj %i%ek. Penelitian menemukan bahwa kedua Iilm menawarkan tantangan untuk demokrasi Amerika. dan dalam perspektif psikoanalisis, demokrasi dapat menjadi sehuah struktur yang memberikan ruing untuk kekerasan dan libido.

The films Dogville and Manderlay by Lars von Trier depict the issue of American democracy through a stage-like setting that acts as microcosm for America. My hyphothesis is that the films show tension between community and the sell' that come into surface when practicing democracy. The thesis therefore analyzes the image of democracy as represented in both films, along with problems offered by von Trier.
Applying Jacques Lacan's concepts of Real, Imaginary, and Symbolic Order along with Slavoj Zikk's concepts of democracy, the thesis finds that both films offer challenge to American democracy., and from the perspective of psychoanalysis, democracy may turn into a structure for violence and libido."
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia, 2009
T37552
UI - Tesis Open  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>