Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 226090 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Yuliana
"Latar belakang: Distres pada pilot dapat mengurangi tingkat kewaspadaan dan mengganggu proses pengambilan keputusan. Tujuan penelitian ini mengidentifikasi pengaruh jam terbang total dan faktor dominan lainnya terhadap risiko distres di antara pilot sipil di Indonesia.
Metode: Studi potong lintang dengan sampling purposif pada tanggal 1-14 Mei 2013 terhadap pilot yang sedang melakukan pemeriksaan medik (medEx) di Balai Kesehatan Penerbangan, Jakarta. Pilot mengisi langsung dan tanpa nama data demografi dan pekerjaan, kuesioner strategi koping dan stresor di rumah. Pengukuran distres menggunakan Self Reporting Questionnaire-20 (SRQ-20) dengan titik potong 5/6, self rating dan anonymous. Risiko distres dianalisis menggunakan risiko relatif (RR) dengan regresi Cox dengan waktu konstan.
Hasil: Dari 209 pilot yang berlisensi Private Pilot (PPL), Commercial Pilot (CPL) dan Air Transport Pilot (ATPL) didapatkan 13,4% berisiko distres. Pilot dengan jam terbang total 6000-12999 jam dibandingkan dengan 59-5999 jam berisiko distres 6 kali lipat [risiko relatif suaian (RRa) = 5,83; P = 0,000], sedangkan pada jam terbang total 13000-29000 berisiko distres 8 kali lipat (RRa = 8,42; P = 0,000). Pertengkaran di keluarga 2 kali lipat mempertinggi risiko distres (RRa = 2,47; P = 0,006), sedangkan penggunaan koping beragama 51% mengurangi distres (RRa = 0,49; CI = 0,97-1,06; P = 0,051).
Kesimpulan: Jam terbang total 6000 jam atau lebih dan pertengkaran di keluarga mempertinggi risiko distres, sedangkan penggunaan koping beragama menurunkan distres pada pilot sipil di Indonesia.

Background: Distress can reduce awareness and interfere of decision making. The aimed of this study to identify the effect of total flight hours to distress risk among civilian pilots in Indonesia.
Methods: Methode was used a cross sectional study with purposive sampling conducted on May 1-14, 2013 on working hours among pilots who did medical check up (MedEx) at Aviation Medical Center, Jakarta. This study use SRQ-20 with cut off point 5/6 to measure of distress, coping strategy and home stressor check list questionnaire which is a self-rating and anonymous. Data were analyzed with Cox regression with constant time.
Result: Of 209 pilots which has Private Pilot License (PPL), Commercial Pilot License (CPL), and Air Transport Pilot License (ATPL) there were 13.4% pilots had distress. Those who had total flight of 6000-12999 hours compared to 59- 5999 hours had 6-fold increased distress risk [adjusted relative risk (RRa) = 5.83; P =0.000]. Meanwhile, those who had total flight of 13000-29000 hours had 8- fold increased distress risk. Those who had family tension had 2-fold increased distress risk (RRa = 2.47; P=0.006). Meanwhile the using of religion coping could 51% decreased distres risk (RRa = 0.49; 95% CI = 0.97-1.06; P = 0.051).
Conclusion: Total flight hours on 6000 hour or more and tension in family have increased distress risk, on the other hand the using of religion coping decreased distress risk in civilian pilots.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2013
SP-Pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Adi Prathama
"Latar belakang: Mata merupakan indera yang sangat penting dalam penerbangan. Salah satu fungsi untuk menentukan perkiraan jarak, sehingga diperlukan fungsi kedua mata yang baik. Tujuan penelitian ini adalah diketahuinya identifikasi pengaruh jam terbang total terhadap risiko miopia ringan pada pilot sipil di Indonesia.
Metode: Studi potong lintang dengan purposif sampel pada pilot sipil yang melakukan pemeriksaan kesehatan berkala di Balai Kesehatan Penerbangan dengan rentang waktu 27 April sampai dengan 13 Mei 2015. Definisi miopia ringan jika mata memerlukan koreksi penglihatan jauh dengan lensa < -3 dioptri. Data karakteristik demografi, pekerjaan, kebiasaan diperoleh dari kuesioner. Data tajam penglihatan dan kadar gula darah puasa didapatkan dari rekam medis Balai Kesehatan Penerbangan. Analisis menggunakan regresi Cox dengan waktu konstan.
Hasil: 690 pilot sipil yang melakukan pemeriksaan kesehatan di Balai Kesehatan Penerbangan, 428 subjek bersedia menjadi responden. Subjek terpilih untuk dianalisis berjumlah 413 pilot dan 15 pilot lainnya menderita miopia berat. Dari 413 pilot, 141(34,1%) miopia ringan dan 272 (65,8%) normal. Faktor-faktor yang mempengaruhi miopia ringan adalah ras, status perkawinan dan jam terbang total secara signifikan. Subjek dengan ras selain Asia dibandingkan dengan ras Asia berisiko 2,1 kali lipat lebih besar menderita miopia ringan [risiko relatif suaian (RRa)=2,19; p=0,030]. Dibandingkan dengan subjek tidak menikah, subjek yang menikah berisiko 3,8 kali lipat menderita miopia ringan (RRa=3,80; p=0,000). Selanjutnya, dibandingkan subjek dengan jam terbang total 16-194 jam, subjek dengan jam terbang total 195-30285 jam mempunyai risiko 4,5 kali lipat menderita miopia ringan (RRa=4,56; p=0,000).
Kesimpulan: Subjek yang menikah, ras non Asia dan yang memiliki 195 atau lebih jam terbang total mempunyai risiko lebih tinggi menderita miopia ringan di Indonesia.

Background: Eye is very important organ in aviation?s operation. One of the functions is to estimate distance where both healthy eyes are needed. The purpose of this study was to identify the influence of total flight hours on the risk of mild myopia among civilian pilots in Indonesia.
Methods: Study design was cross-sectional with purposive sampling among pilots those who got medical examinations at Civil Aviation Medical Center on April 27th - May13th, 2015. Mild myopia is condition the eyes need negatif lens corection for distance visual acuity less than -3 diopters. Demographic characteristic, occupational characteristic, ranking characteristics, and habits were obtained from questionnaire. Visual acuity and fasting blood sugar levels data were obtained from medical records in Aviation Medical Board. Data were analysed with Cox regression.
Resulted: 690 civilian Indonesia?s pilots who conducted medical examination, 428 subjects were willing to participate. Total subjects to be analyzed were 413 pilots and 15 pilots were not involved since severe myopia. Amongst of 413 pilots, 141 (34,1%) mild myopia and 272 (65,8%) normal. Factors influencing mild myopia were race, marital status and total flight hours. Non-Asian subject had 2.1-fold risk of mild myopia compared to Asian race subject [adjusted relative risk (RRa)=2.19; p=0.030]. Subjects who were married had 3.8-fold risk of mild myopia compared with subjects who were not married (RRa=3.80; p=0.000). Subjects who had total flight hours 195-30285 hours had 4.5-fold risk to be mild myopia compared with subjects 194 or less total flight hours (RRa=4.56; p=0.000).
Conclusion: Married subject, non-Asian race and those who have 195 or more total flight hours constitute a higher risk of suffering mild myopia.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2015
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Darma Syahputra
"Latar belakang : Diabetes Mellitus (DM) dapat terjadi pada pilot sipil akan menyebabkan struk dan gangguan kardiovaskular sehingga membahayakan keselamatan penerbangan. Tujuan penelitian ini adalah identifikasi kaitan total jam terbang dan faktor lainnya terhadap DM pada pilot sipil di Indonesia.
Metode : Penelitian menggunakan metode potong lintang dengan sampel purposif pada pilot sipil di Indonesia yang melakukan pemeriksaan kesehatan berkala di Balai Kesehatan Penerbangan pada tanggal 26 Mei ? 6 Juni 2015. Pengumpulan data menggunakan formulir kuesioner, pemeriksaan fisik dan laboratorium. Data yang dikumpulkan adalah karakteristik demografi dan pekerjaan, kebiasaan makan, indeks massa tubuh (IMT) dan kebiasaan olah raga. Kategori Diabetes Mellitus berdasarkan PERKENI.
Hasil: Diantara 690 pilot yang melakukan pemeriksaan medis, 428 subjek bersedia mengikuti penelitian. Subjek yang diikutsertakan dalam analisis sebanyak 292, 10,3% memiliki kadar gula puasa tinggi dan 89,7% memiliki kadar gula puasa normal. Jika dibandingkan subjek dengan jam terbang 16-4999 jam subjek dengan jam terbang 5000-27500 jam mempunyai risiko lebih besar menyandang DM risiko relatif suaian (RRa)=2,86; 95% interval kepercayaan (CI)=1,38-5,94; p=0,005]. Selanjutnya dibandingkan pilot dengan IMT normal, pilot dengan obesitas memiliki risiko lebih besar menyandang DM (RRa=3,29; 95% CI=0,76-14,29; p=0,111).

Background : Diabetes Mellitus (DM) can occur in civilian pilots will lead to a stroke and cardiovascular disorders, endangering flight safety. The purpose of this study was the identification of linkages total flying hours and other factors against the DM at civilian pilot in Indonesia.
Methods: A cross-sectional study using the method with a purposive sample in civilian pilots in Indonesia, which performs periodic health checks on Flight Health Center on May 26 to June 6, 2015. The data were collected using a questionnaire form, physical examination and laboratory findings. The data collected were the demographic characteristics and work, eating habits, body mass index (BMI) and exercise habits. DM classification based on standard PERKENI.
Results : Among the 690 pilots who conduct medical examination, 428 subjects were willing to follow the study. Subjects were included in the analysis as much as 292, 10.3% had high fasting glucose levels and 89.7% had normal fasting glucose levels. Compare to the pilots with total flight hours 16-4999 hours, pilots total flight hours 5000-27500 had 2.86 higher risk DM [RRa = 2.86; 95% CI = 1.38 to 5.94; p = 0.005]. Furthermore, compared to the pilot with normal BMI, the pilot with obesity had 3.3 higher risk DM (RRa = 3.29; 95% CI = 0.76- 14.29; p = 0.111).
Conclusions: The pilots who had total flight hours 5000 hours or more and obese had higher risk to be DM."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2015
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Retno Wibawanti
"Latar belakang: Pilot dapat mengalami obes yang berkaitan dengan jam terbang total atau faktor risiko lainnya. Oleh karena itu, perlu diidentifikasi kaitan jam terbang total dan faktor lainnya terhadap risiko obes pada pilot sipil di Indonesia.
Metode: Studi ini memakai metode potong lintang dengan sampel purposif pada pilot yang melakukan pemeriksaan kesehatan berkala di Balai Kesehatan Penerbangan tanggal 14-24 Mei 2013. Data yang dikumpulkan yaitu karakteristik demografi, pekerjaan, kebiasaan makan dan olahraga, tinggi dan berat badan serta lingkar pinggang. Pengambilan data dilakukan dengan wawancara dan pemeriksaan fisik. Analisis menggunakan regresi Cox dengan waktu yang konstan. Subjek dikategorikan menjadi obes (indeks massa tubuh (IMT) 25 atau lebih untuk ras Asia, dan 30 atau lebih untuk ras Kaukasia), dan normal (IMT 18.5-22.9)
Hasil: Di antara 612 pilot yang berusia 18-61 tahun, diperoleh 133 subjek obes dan 41 subjek normal. Faktor-faktor dominan yang berkaitan dengan obes adalah jam terbang total dan lingkar pinggang. Faktor kebiasaan makan makanan berlemak dan cepat saji tidak terbukti mempertinggi risiko obes. Dibandingkan subjek dengan lingkar pinggang normal, subjek dengan lingkar pinggang besar memiliki kemungkinan 77% lebih tinggi untuk obes [risiko relatif suaian (RRa) = 1,77; 95% interval kepercayaan (CI) =1,41-2,14]. Dibandingkan subjek dengan jam terbang kurang dari sama dengan 1000 jam, subjek dengan jam terbang total lebih dari 1000 jam memiliki risiko obes 33% lebih tinggi (RRa = 1,77; 95% CI = 1,11-1,59)
Kesimpulan: Jam terbang total 1001-29831 dan lingkar pinggang besar mempertinggi risiko obes di antara pilot sipil di Indonesia.

Background: Pilot may obese which is related to total flight hours and other risk factors. This study aimed to identify the relationship between total flight hours and other factors related to obese in civil pilots in Indonesia.
Methods: A cross-sectional study with purposive sampling among pilot undergoing periodic medical check up in 14-24 Mei at Aviation Medical Center (Balai Kesehatan Penerbangan). Data collected were demographic and work characteristics, eating habit, exercise habit, height, weight and waist circumference, high fat diet and fast food consumption were not found to increase the risk of obese. Subject were classified into obese (Body Mass Index = BMI) was 25 or more for Asians and 30 or more for Caucasian) and normal (BMI 18.5-22.9).
Results: A number of 612 pilots, aged 18-61 years old, 133 available for this study which consisted of 133 obese pilots and 41 normal body weight. Subjects with large waist circumference than normal waist circumference had 77% increased risk of obese [relative risk adjusted (RRa) = 1.77; 95% confidence interval (CI) = 1.41-2.14]. Total flight hours 1001 or more, than less 1000 hours had 33% increased risk to be obese (RRa = 1.33; 95% CI =1.11-1.59).
Conclusions: Total flight hours of 1001-29831 hours and large waist circumference increased the risk of obese in civil pilots in Indonesia.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2013
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Kurniawan Pratama
"Latar belakang: Kelebihan berat badan pada penerbang dapat berkaitan dengan jam terbang total dan faktor risiko lainnya. Oleh karena itu perlu diidentifikasi kaitan jam terbang total dan faktor lainnya terhadap risiko tersebut.
Metode: Studi potong lintang dengan sampel purposif diantara penerbang yang melakukan pemeriksaan kesehatan berkala di Balai Kesehatan Penerbangan Jakarta dari 27 April-13 Mei 2015. Data dikumpulkan dengan cara wawancara dan pemeriksaan antropometri. Data terdiri dari karakteristik demografi, pekerjaan, kebiasaan makan dan olahraga. Klasifikasi Indeks Massa Tubuh(IMT) berdasarkan standar WHO Asia Pasifik. Analisis dengan regresi Cox dengan waktu yang konstan.
Hasil: Diantara 690 penerbang yang berusia 19-65 tahun, diperoleh 428 penerbang yang beresdia mengikuti penelitian ini. Penerbang yang sesuai dengan kriteria berjumlah 220 orang (145 kelebihan berat badan dan 75 normal). Faktor dominan berkaitan dengan kelebihan berat badan adalah jam terbang total dan kebiasaan makan makanan berlemak. Dibandingkan penerbang dengan jam terbang total 40-2000, subjek dengan jam terbang total 2001-15000 dan 15001-30000 masing-masing mempunyai 58% risiko lebih besar untuk mempunyai kelebihan berat badan.[masing-masing risiko relatif suaian (RRa)=1,58 ; p=0,000] Dibandingkan subjek yang hampir tidak pernah makan makanan berlemak, subjek dengan kebiasaan makan makanan berlemak 3-4x/minggu mempunyai 48% risiko lebih besar untuk mempunyai kelebihan berat badan (RRa=1,48; 95% CI=1,24-1,76; p=0,000).
Kesimpulan: Jam terbang total lebih dari 2000 jam dan kebiasaan makan makanan berlemak 3-4x/minggu mempertinggi risiko kelebihan berat badan di antara penerbang sipil Indonesia.

Background: Overweight at risk on pilots can be related to the total flying hours and other risk factors. This study aimed to identify the relationship between total flight hours and other factors related to overweight at risk in Indonesian civil pilot.
Methods: A cross-sectional study with a purposive sampling was conducted among pilots undergoing periodic medical check up on April 27th-May 13th 2015 at Aviation Medical Centre (Balai Kesehatan Penerbangan) The collected data were demographic and characteristics, eating and exercise habits. Data were collected through interviews and anthropometric measurements. Subjects were classified normal and overweight at risk according to WHO Asia Pacific. Analysis was using Cox regression with constant time.
Results: A number of 690 pilots who conducted medical examinations, 428 subjects agreed to join the study. A number of 220 subjects were available for this study, which consisted of 145 overweight at risk pilots and 75 normal. Pilots who had 2001-15000 and 15001-30000 total flight hours, compared to pilots who had 40?2000 total flight hours had 58% increased risk to be overweight [adjusted relative risk (RRa)= 1.58; p = 0.000]. Pilots who had eating fatty food habit 3-4 times a week had 48% increased risk to be overweight at risk (RRa = 1.48; 95% CI= 1.24 to 1.76; p = 0.000).
Conclusion: Flying hours total 2000 or more and eating fatty foods habit increase the risk of overweight at risk civilian pilot in Indonesia.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2015
SP-PDF
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Devrizal Hendry
"Latar belakang: Gangguan pendengaran sensorineural pada pilot merupakan masalah kesehatan yang dapat menyebabkan inkapasitasi pada saat pilot menjalankan tugas terbangnya dan berdampak terhadap keselamatan penerbangan. Tujuan penelitian ini mengidentifikasi jam terbang total dan faktor dominan lainnya terhadap risiko gangguan pendengaran sensorineural di antara pilot sipil di Indonesia.
Metode: Desain penelitian potong lintang dengan purposive sampling pada tanggal 4-20 Mei 2015 terhadap pilot laki-laki berusia 20-60 tahun dan pilot memiliki lisensi Commercial Pilot License (CPL) atau Air Transport Pilot License (ATPL) yang sedang melakukan pemeriksaan kesehatan berkala (medex) di Balai Kesehatan Penerbangan, Jakarta. Gangguan pendengaran yaitu subyek memiliki ambang dengar 25 dB atau lebih. Pengumpulan data dilakukan dengan wawancara memakai kuesioner. kemudian data diambil dari rekam medis pada hari pemeriksaan. Risiko gangguan pendengaran sensorineural dianalisis menggunakan risiko relatif (RR) dengan regresi Cox.
Hasil: Selama 3 minggu masa pengumpulan data terdapat 681 pilot yang melakukan medex di Balai Kesehatan Penerbangan, didapatkan 314 pilot yang memenuhi kriteria penelitian. Sebanyak 15,9% mempunyai gangguan pendengaran sensorineural. Pilot dengan jam terbang total lebih 5000 jam dibandingkan kurang 5000 jam berisiko gangguan pendengaran sensorineural 4,7 kali lipat [risiko relatif suaian (RRa)=4,73; p=0,137]. Pilot dengan usia 45-60 tahun dibandingkan usia 20-44 tahun berisiko gangguan pendengaran sensorineural 6,8 lipat (RRa=6,87; p=0,000).
Simpulan: Jam terbang total 5000 jam atau lebih serta usia 45-60 tahun meningkatkan risiko gangguan pendengaran sensorineural pada pilot sipil di Indonesia.

Background: Sensorineural hearing loss in civil pilots could interfere pilots? performance to safely operate an aircraft thus could cause incapacitation on board. This study aimed to identify risk factors of sensorineural hearing loss among civil pilots in Indonesia.
Methods: A cross-sectional study design with purposive sampling on 4-20 May 2015 was conducted on pilots of the male civilian. The inclusion criteria civilian pilots male 20-60 years old and had Commercial Pilot License (CPL) or Air Transport Pilot License (ATPL) who were taking medical examinations (medex) in Civil Aviation Medical Centre, Jakarta. Hearing impairment defined by hearing threshold of 25 dB or more. Demographic data were collected by interviewed pilots using questionnaires while audiometry and laboratory data were collected from medical records. Risk factors of sensorineural hearing loss were analyzed by Cox regression.
Results: Three weeks collecting data had 681 pilot conducted medex in Civil Aviation Medical Centre, among 314 commercial pilots were fulfilled the criteria?s. Percentage of sensorineural hearing loss from audiometry data were 15.9%. Subjects with 5000 flight hours or more had almost five times increased risk of sensorineural hearing loss compared to subjects with less than 5000 flight hours [adjusted relative risk (RRa) = 4.73; p = 0.137]. Subjects aged 45-60 year-old had almost seven times increased risk of sensorineural hearing loss compared to subjects aged 20-44 year-old (RRa= 6.87; p = 0.000).
Conclusion: Total flight hours 5000 hours or more and age of 45-60 years increased the risk of sensorineural hearing loss among civilian pilots in Indonesia.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2015
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Maria Sri Kristina
"Penyakit kardiovaskular merupakan penyumbang angka kesakitan dan inkapasitasi pada pilot. Risiko pajanan hipoksia intermiten dan radiasi kosmik dari lingkungan penerbangan tercermin dari jam terbang total dan jenis pesawat. Pajanan stresor kerja berupa jumlah sektor serta jenis penerbangan juga dapat mempengaruhi sistem kardiovaskular. Disertai perubahan kebiasaan berupa berkurangnya durasi tidur dan aktivitas fisik akhirnya dapat menyebabkan tingginya risiko penyakit kardiovaskular. Upaya deteksi dini risiko penyakit kardiovaskular dapat dengan melakukan penghitungan estimasi risiko penyakit kardiovaskular. Studi ini menggunakan desain potong lintang. Data diambil menggunakan kuesioner dari pilot yang melakukan pemeriksaan kesehatan berkala pada 12-27 Mei 2022 di Balai Kesehatan Penerbangan, Jakarta. Analisis bivariat dan multivariat dilakukan dengan SPSS versi 22. Dari 121 subjek, 66 pilot (54,5%) memiliki risiko penyakit kardiovaskular tinggi. Jam terbang total dan aktivitas fisik secara signifikan memiliki asosiasi dengan risiko penyakit kardiovaskular yang tinggi (p<0,001 dan p=0,003). Keduanya merupakan faktor dominan terhadap risiko penyakit kardiovaskular. Pilot dengan total jam terbang ≥10.850 jam memiliki risiko penyakit kardiovaskular yang tinggi 4,64 kali lebih besar dibandingkan dengan jam terbang <10.850 jam (OR= 4.64, 95% CI 2.09-10.26, p<0,001). Sedangkan pilot yang tidak aktif memiliki risiko penyakit kardiovaskular yang tinggi 2,63 kali lebih besar dibandingkan dengan pilot yang aktif (OR= 2.63 95% CI 1.18-5.86, p=0,019).

Cardiovascular disease can cause incapacitation and long-term unfit period for pilots. Hypoxia and cosmic radiation exposure from flight environment reflected in total flight hours. Pilots are also at risk of being exposed to stress that can affect the cardiovascular system, reflected in the number of sectors and the types of flights it undertakes. Together with poor sleep duration and physical activity can finally lead to high cardiovascular disease risk. Early detection can be done by estimating the risk of cardiovascular disease. This was a cross-sectional study. Data were collected from pilots who had renewal medical examination on 12 to 27 May 2022 at the Aviation Medical Center using questionnaire. Bivariate and multivariate analyses were performed using SPSS version 22. Of 121 subjects, 54.5% (n=66) had a high cardiovascular disease risk. Total flight hours and physical activity were significantly associated with high cardiovascular disease risk (p<0.001 and p=0.003, respectively). Both are dominant factors for the cardiovascular disease risk. Pilots with total flight hours ≥10.850 hours had high cardiovascular disease risk 4.64 times greater than they with <10.850 hours (OR= 4.64, 95% CI 2.09-10.26, p<0.001). Inactive pilots had a high cardiovascular disease risk 2.63 times greater (OR= 2.63, 95% CI 1.18-5.86, p=0.019)."
Depok: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2022
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Pritha Maya Savitri
"Latar belakang: Orientasi ruang (spatial orientation) merupakan masalah utama untuk penerbang yang ditentukan dengan menggunakan persepsi penglihatan, vestibuler, dan propioseptif. Miopia merupakan kelainan refraksi yang paling sering terjadi. Penelitian ini bertujuan mengidentifikasi faktor risiko yang mempengaruhi timbulnya miopia ringan pada penerbang sipil di Indonesia.
Metode: Penelitian ini menggunakan metode potong lintang dengan pengambilan sampel secara purposif. Responden mengisi kuesioner sedangkan data tajam penglihatan dan kadar gula darah didapatkan dari rekam medis. Analisis data dengan regresi cox menggunakan Stata 10. Batasan miopia ringan pada penelitian ini adalah subyek yang mengalami penurunan tajam penglihatan dan menggunakan lensa koreksi -0,25 s/d -0,30.
Hasil : Subyek penelitian adalah penerbang pria dengan usia 21-45 tahun yang sedang melaksanakan pemeriksaan kesehatan berkala di Balai Kesehatan Penerbangan Kementerian Perhubungan. Persentase miopia ringan dalam penelitian ini sebesar 36,1%. Faktor risiko dominan terhadap miopia ringan jam terbang [risiko relatif (RRa) = 1,23; 95% interval kepercayaan (CI) = 0,96-1,58; P = 0,108], riwayat orang tua miopia (RRa = 5,29; P = 0,000), gejala kelelahan visual kesulitan fokus (RRa = 1,30; 95% CI = 1,01-1,65; P = 0,039), dan gejala kelelahan visual huruf berkabut (RRa = 1,16 ; 95% CI = 0,89-1,48; P = 0,259).
Kesimpulan: Jam terbang total, riwayat orang tua miopia, adanya gejala kelelahan visual kesulitan fokus dan huruf berkabut merupakan faktor risiko yang berpengaruh terhadap miopia ringan pada penerbang sipil di Indonesia. Diperlukan koordinasi antara spesialis mata, spesialis kedokteran penerbangan dan balai kesehatan penerbangan dalam pencegahan miopia dan pengawasan kesehatan mata bagi penerbang sipil inisial dan reguler.

Background: Spatial orientation is the main problem to pilot that determined by visual, vestibuler and propioseptif. Myopia is more prevalent refraction error in civilian aviator and other populatian. This study aims to identify risk factors that affect the incidence of mild myopia in civilian pilot in Indonesia.
Method: This study using cross-sectional method with purposive sampling. Subjects answered the questionaire. The researcher using the medical record to get data about visual acuity and fasting blood glucose. Cox regression analyses using Stata 10. Mild myopia in this study is defect distant visual acuity with corrected lens power -0.25 s/d -0.30.
Result : Subject of this study are 21-45 years old male civilian aviators which performs scheduled medical check up at Civil Aviatian Medical Centre. Mild myopia percentage in this study is 36.1%. Dominant risk factor for mild myopia is total flight time (RRa 1.23; 95% CI 0.96-1.58; P 0.108), parental myopia (RRa 5.29; P 0,000), visual fatigue; difficulty in focusing (RRa 1.30; 95% CI 1.01-1.65; P 0.039), and visual fatigue foggy letters (RRa 1.16 ; CI 0.89-1.48 P 0,259).
Conclusion: Total flight time, parental myopia, visual fatigue; difficulty in focusing and foggy letters are influenced risk factors for mild myopia in civilian aviator in Indonesia. Suggested to have coordination among ophthalmologist, aviation medicine specialist, airline and Civil Aviation Medical Centre to preventing myopia and eye health surveillance for initial and reguler civilian pilot.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2014
SP-Pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Simplisius Cornelis Tisera
"Latar Belakang : Dalam dunia penerbangan, selain memberikan dampak negatif pada kesehatan pilot, hiperurisemia juga dapat membahayakan keselamatan penerbangan melalui risiko inkapasitasi baik dikaitkan dengan peningkatan risiko terhadap penyakit kardiovaskular maupun dikaitkan dengan penyakit gout. Tujuan penelitian ini adalah diketahuinya prevalensi hiperurisemia pada pilot sipil di Indonesia dan identifikasi faktor-faktor risiko hiperurisemia terhadap pilot sipil di Indonesia. Metode : Penelitian menggunakan metode potong lintang dari rekam medis pilot sipil di Balai Kesehatan Penerbangan, Jakarta yang melakukan pemeriksaan 1 November 2019–30 April 2020. Data yang dikumpulkan dari rekam medis meliputi: data laboratorium asam urat dan kreatinin, usia, jam terbang total, IMT, konsumsi alkohol, dan riwayat penggunaan obat-obatan. Hiperurisemia adalah konsentrasi urat plasma lebih dari 7.0 mg/dl. Pengolahan data menggunakan aplikasi IBM® SPSS® Statistics Version 20. Hasil : Di antara 5399 pilot yang melakukan pemeriksaan kesehatan, sebanyak 194 merupakan kriteria eksklusi, sehingga jumlah sampel penelitian menjadi 5202 pilot; 18,4% memiliki kadar asam urat tinggi (hiperurisemia) dan 81,6% memiliki kadar asam urat normal. Pilot yang memiliki jam terbang total ≥ 5000 menurunkan risiko terjadinya hiperurisemia sebesar 24% dibandingkan pilot dengan total jam terbang < 5000 (OR 0,76 (95% IK 0,62-0,93); p=0,007). Pilot yang usianya ≥ 30 tahun menurunkan risiko hiperurisemia sebanyak 25% dibandingkan dengan pilot berusia < 30 tahun (OR 0,75 (95% IK 0,62-0,91); p=0,004). Pilot yang obesitas dan overweight memiliki risiko masing-masing 2,98 kali (OR 2,98 (95% IK 2,33-3,83); p<0,001) dan 1,36 kali (OR 1,36 (95% IK 1,01-1,83); p=0,042) lebih besar mengalami hiperurisemia dibandingkan dengan pilot yang memiliki IMT normal. Selanjutnya jika dibandingkan pilot yang tidak mengkonsumsi alkohol, pilot yang mengkonsumsi alkohol memiliki risiko 14,68 kali lebih besar mengalami hiperurisemia (OR 14,68 (95% IK 9,35-23,06); p<0,001). Kesimpulan : Prevalensi hiperurisemia pada pilot sipil di Indonesia sebesar 18,4%. IMT obesitas dan overweight serta konsumsi alkohol meningkatkan risiko terjadinya kondisi hiperurisemia pada pilot sipil di Indonesia.

Background : In the aviation world, in addition to having a negative impact on pilot health, hyperuricemia can also endanger flight safety through the risk of incapacitation either associated with an increased risk of cardiovascular disease or associated with gout. The purpose of this study is to determine the prevalence of hyperuricemia in civil pilots in Indonesia and identification of risk factors for hyperuricemia in civil pilots in Indonesia. Methods : The study used a cross-sectional method from the medical records of civil pilots at Aviation Medical Center, Jakarta which conducted an examination on 1 November 2019 – 30 April 2020. Data collected from medical records included: laboratory data of uric acid and creatinine, age, total flight hours, BMI, alcohol consumption, and history of drug use. Hyperuricemia is a plasma urate concentration of more than 7.0 mg/dl. Data processing using the IBM® SPSS® Statistics Version 20 application. Results : Of the 5399 pilots conducting medical examination, 194 were exclusion criteria, bringing the total sample of the study to 5202 pilots; 18.4% had high uric acid levels (hyperuricemia) and 81.6% had normal uric acid levels. Pilots who have total flight hours ≥ 5000 reduce the risk of hyperuricemia by 24% compared to pilots with total flight hours < 5000 (OR 0.76 (95% CI 0.62-0.93); p=0.007). Pilots aged ≥ 30 years reduced the risk of hyperuricemia by 25% compared with pilots aged <30 years (OR 0.75 (95% CI 0.62-0.91); p =0.004). Obese and overweight pilots had a risk of 2,98 times (OR 2.98 (95% CI 2.33-3.83); p <0.001) and 1.36 times (OR 1.36 (95% IK 1.01-1.83); p=0,042) greater experience hyperuricemia compared with pilots who have a normal BMI. Furthermore, compared to pilots who did not consume alcohol, pilots who consumed alcohol had a 14.68 times greater risk of developing hyperuricemia (OR 14.68 (95% CI 9.35-23.06); p <0.001). Conclusion : The prevalence of hyperuricemia in civil pilots in Indonesia is 18.4%. BMI obesity and overweight and alcohol consumption increase the risk of hyperuricemia in civil pilots in Indonesia. "
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2020
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Rani Ayu Puspitasari
"Latar belakang: Jam terbang total dapat mempengaruhi sistem kardiovaskular antara lain terhadap tekanan darah diastolik (TDD) pada pilot. Tujuan penelitian ini ialah mengidentifikasi pengaruh jam terbang total dan faktor lainnya terhadap risiko TDD tinggi pada pilot sipil pesawat sayap tetap di Indonesia.
Metode: Penelitian menggunakan metode potong lintang dengan sampel purposif pada pilot sipil di Balai Kesehatan Penerbangan tanggal 1-13 Mei 2013. Karakteristik demografi, pekerjaan, kebiasaan dan fisik, diperoleh melalui wawancara dengan kuisioner untuk penelitian ini serta pemeriksaan fisik oleh peneliti. Data laboratorium diperoleh dari hasil pemeriksaan laboratorium. Spigmomanometer digunakan untuk mengukur TDD. Kategori TDD dibagi dua yaitu tinggi (≥80 mmHg) dan normal (<80 mmHg). Analisis menggunakan risiko relatif yaitu regresi Cox dengan waktu konstan.
Hasil: Di antara 512 pilot yang melakukan pemeriksaan medik, 236 subjek bersedia mengikuti penelitian. Subjek yang diikutsertakan dalam analisis sebanyak 225 orang, 61,4% memiliki TDD tinggi dan 38,6% memiliki TDD normal. Subjek dengan jam terbang total 4000-29831 dibandingkan dengan 4-3999 jam berisiko 34% lebih besar TDD tinggi [rasio relatif suaian (RRa) = 1,34; 95% interval kepercayaan (CI) = 1,03-1,73]. Subjek dengan denyut nadi istirahat 80-98 kali/menit dibandingkan dengan 60-79 kali/menit berisiko 29% lebih besar TDD tinggi (RRa = 1,29; 95% CI = 1,02-1,63). Selain itu subjek berusia 50-61 tahun dibandingkan dengan 18-39 tahun berisiko 26% lebih besar TDD tinggi (RRa = 1,26; 95% CI = 1,00-1,59; P = 0,048).
Kesimpulan: Jam terbang total dan denyut nadi istirahat yang tinggi serta usia yang lebih tua meningkatkan risiko tekanan darah diastolik.

Background: Total flight hour may affect the cardiovascular system including diastolic blood pressure (DBP) in pilot. This study aimed to identify whether total flight hours and other factors increase the risk of high DBP of the fixed wing civilian pilots in Indonesia.
Methods: A cross sectional study with purposive sampling was conducted in civilian pilots at Aviation Medical Center (Balai Kesehatan Penerbangan) in May 1-13, 2013. Demographic characteristics, employment, habit and physical was obtained through interviews and physical examination by researchers. While laboratory data was obtained from laboratory tests. Sphygmomanometer was used to measure DBP. Category of DBP was classified into high (≥80 mmHg) and normal (<80 mmHg). Analysis used risk relative by Cox regression with constant time.
Results: Among the 512 pilots who conducted medical examinations, 236 subjects agreed to joint the study. This analysis included 225 subjects which 61.4% had high DBP and 38.6% normal DBP. The subjects with total flight hours of 4000-29831 compared to 4-3999, had 34% increased risk to have high DBP [adjusted relative risk (RRa) = 1.34; 95% confidence interval (CI) =1.03-1.73]. The subjects with resting pulse rate of 80-98/minute compared to 60-79/minute, had 29% increased risk to have high DBP (RRa = 1,29; 95% CI = 1,02-1,63). Furthermore, subjects aged 50-61years compared to 18-39 years, had 26% increased risk to have high DBP (RRa = 1,26; 95%CI=1,00-1,59; P = 0,048).
Conclusion: High total flight hours, resting pulse rate and older age may increase the risk of high diastolic blood pressure.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2013
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>