Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 187477 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Eva Permata Sari
"Latar belakang: Belum banyak studi yang menyatakan pengaruh latihan penguatan terhadap peningkatan kapasitas aerobik pada pasien dengan Sindroma Koroner Akut (SKA) risiko ringan dan sedang pasca intervensi koroner perkutan serta apa pengaruhnya terhadap tekanan darah dan laju jantung.
Tujuan: Mengetahui manfaat kombinasi latihan aerobik dan latihan penguatan pada pasien SKA risiko ringan dan sedang pasca intervensi koroner perkutan.
Metode : Penelitian ini menggunakan desain studi eksperimental dengan membandingkan kapasitas aerobik dan hemodinamik pasien SKA pasca intervensi koroner perkutan yang diberikan latihan aerobik saja dan kombinasi latihan aerobik dan penguatan selama 8 minggu.
Hasil: Dari April 2012 - Januari 2013 terdapat 20 subjek yang mengikuti penelitian ini sampai dengan selesai. Terdapat peningkatan kapasitas aerobik setelah perlakuan pada kelompok yang mendapat latihan aerobik saja maupun kelompok yang mendapatkan latihan aerobik ditambah dengan penguatan dengan selisih yang lebih besar pada kelompok latihan aerobik dan penguatan (0,75 + 1,09 vs 2,35 + 0,99) namun perbedaan yang bermakna hanya terdapat pada kelompok yang mendapatkan latihan aerobik dan penguatan (p<001). Terdapat perbedaan kapasitas aerobik yang bermakna antara kedua kelompok sesudah perlakuan (7,3 (5,27 - 9,33) vs 9,75 (4,43 - 11,43), p<001). Untuk variabel hemodinamik (tekanan darah sistolik dan diastolik istirahat, laju jantung istirahat, laju jantung tercapai, dan laju jantung pemulihan) tidak ada perbedaan yang bermakna antara kedua kelompok (p>0,05). Analisa multivariat menunjukkan faktor yang mempengaruhi peningkatan kapasitas aerobik adalah umur, dengan batasan umur ≤ 55 tahun.
Kesimpulan: Terdapat perbedaan kapasitas aerobik yang bermakna pada kelompok yang mendapatkan latihan aerobik dan penguatan setelah perlakuan.;Background: Aerobic exercise has been use for years in patients with Acute coronary syndrome after a percutaneus coronary intervention but only a few study explain how strengthening exercise combined with aerobic exercise could influence aerobic capacity and hemodynamic parameters in patients with coronary heart disease who had underwent percutaneus coronary intervention (PCI).

Aim od study: to know influence of combined aerobic and strengthening exercise in patients underwent PCI to aerobic capacity and hemodynamics.
Method: This research use experimental study design to compare aerobic capacity in patients post PCI given only aerobic exercise and combine aerobic and strengthening exercises for 8 weeks.
Results: From April 2012 - January 2013 there were 20 subjects volunteered to follow the study. There is an increasing aerobic capacity in aerobics only training group and combined exercise group with the larger difference in aerobic and strengthening exercise group (0.75 + 1.09 vs. 2.35 + 0.99). but the difference only significant in combined exercise group (p <001). There is a significant difference in aerobic capacity between the two groups after treatment (7.3 (5.27 to 9.33) vs. 9.75 (4.43 to 11.43), with p <001). There is no difference in hemodynamic variables in both groups. Multivariate analysis showed that factors influencing the increase aerobic capacity is age, with ≤ 55 years of age limitations.
Conclusion: There is a significant difference in aerobic capacity in the cluster get aerobic and strengthening exercises after treatment.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2013
SP-Pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Vanda Mustika
"Tujuan: Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui gambaran peningkatan fraksi ejeksi ventrikel kiri dan peningkatan kapasitas aerobik pasien pasca sindrom koroner akut setelah intervensi koroner perkutan sebelum dan sesudah terapi latihan jalan.
Metode: Penelitian ini adalah studi intervensi dengan desain pre dan post satu kelompok pada 22 subjek pasca sindroma koroner akut setelah intervensi koroner perkutan yang mengikuti program rehabilitasi jantung fase II. Subjek diberikan latihan jalan dengan intensitas submaksimal 3 kali seminggu, selama 8 minggu dengan jarak yang ditingkatkan setiap latihan. Sebelum memulai dan setelah selesai program latihan jalan dilakukan pemeriksaan kapasitas aerobik dengan uji jalan 6 menit dan pemeriksaan echokardiografi untuk menentukan fraksi ejeksi ventrikel kiri.
Hasil: Didapatkan peningkatan fraksi ejeksi ventrikel kiri yang signifikan (p<0,001), dengan rerata sebelum diberikan latihan jalan 61,49 + 11,94 % dan setelah diberikan latihan jalan mengalami kenaikan menjadi sebesar 65,85 + 8,68 %. Kapasitas aerobik yang dinilai dengan uji jalan 6 menit juga memberikan hasil yang bermakna secara statistik, sebelum diberikan latihan jalan memiliki rerata 16,05 + 3,01 mL/kgBB/menit dan setelah diberikan latihan rerata kapasitas aerobik mengalami kenaikan menjadi sebesar 19,71 + 2,83 mL/kgBB/menit.
Kesimpulan: Pemberian latihan jalan dalam program rehabilitasi jantung fase II pada pasien pasca sindroma koroner akut setelah intervensi koroner perkutan dapat meningkatkan fraksi ejeksi ventrikel kiri dan kapasitas aerobik.

Objectives: To examine the effect of walking exercise on left ventricular ejection fraction (LVEF) and aerobic capacity in post acute coronary syndrome patient after percutaneus coronary intervention.
Methods: This study is an interventional study with one group pre and post design on 22 subjects post acute coronary syndrome patient after percutaneus coronary intervention in phase II cardiac rehabilitation program. Subjects were given walking exercise programme with submaximal intensity 3 times a week, for 8 weeks with increased distance every attendance. Aerobic capacity were measured with 6 Minute Walking Test, Ejection Fraction were measured with Echocardiography, both were done before and after the walking exercise program.
Results: There were significant improvement in left ventricular ejection fraction (p<0,001), mean LVEF before exercise was 61,49 + 11,94 % and after exercise was 65,85 + 8,68 %. Aerobic capacity also show a significant improvement (p<0,001), with mean aerobic capacity before exercise was 16,05 + 3,01 mL/kgbodyweight/minutes and mean after exercise was 19,71 + 2,83 mL/ kgbodyweight/minutes.
Conclusion: Walking exercise in phase II cardiac rehabilitation program in in post acute coronary syndrome patient after percutaneus coronary intervention can improve the left ventricular ejection fraction and aerobic capacity.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2013
SP-Pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Danaparamita Hapsari
"Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui efektivitas latihan aerobik rehabilitasi jantung fase dua berbasis rumah dibandingkan berbasis rumah sakit pada pasien penyakit jantung koroner pascaintervensi koroner perkutan. Jumlah subjek penelitian sebesar 32 subjek, dengan masing-masing 15 subjek pada tiap kelompok yang dapat dianalisis. Subjek rata-rata berusia 57,97±11,59 tahun dan didominasi oleh laki-laki (80%). Kedua kelompok menunjukkan peningkatan bermakna uji jalan enam menit setelah 6 minggu intervensi dibandingkan sebelum (berbasis rumah sakit 397±78-450±73 m; berbasis rumah 350±106-454±67 m) nilai p<0,05. Peningkatan uji jalan enam menit tidak berbeda bermakna secara statistik pada kelompok berbasis rumah sakit (62 m) dibandingkan kelompok berbasis rumah (61 m) nilai p>0,05. Kesimpulan penelitian ini adalah latihan aerobik rehabilitasi jantung fase dua selama 6 minggu secara signifikan meningkatkan jarak tempuh uji jalan enam menit dan peningkatan tidak berbeda bermakna berbasis rumah sakit dibandingkan berbasis rumah pada pasien pasien penyakit jantung koroner pascaintervensi koroner perkutan.

This study aims to determine the effectiveness of home-based phase II cardiac rehabilitation aerobic exercise compared to hospital-based in patients with coronary heart disease after percutaneous coronary intervention. Total subjects were 32 subjects, with 15 subjects in each group that could be analyzed. The average subject’s age was 57.97±11.59 years old and dominated by men (80%). Both groups showed a significant increase in the six-minute walk test after 6 weeks of intervention compared to baseline (hospital-based 397±78-450±73 m; home-based 350±106-454±67 m) with p value<0.05. The increase in the six-minute walk test was not statistically significantly different in the hospital-based group (62 m) compared to the home-based group (61 m) with p value>0.05. The conclusion of this study is Cardiac rehabilitation aerobic exercise in phase two for 6 weeks significantly increased the distance traveled on the six-minute walk test and the increase was not significantly different from hospital-based compared to home-based in patients with coronary heart disease after percutaneous coronary intervention."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2023
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Astuti Giantini
"Sindrom koroner akut (SKA) merupakan masalah kesehatan nasional karena tingginya angka morbiditas dan mortalitas serta beban biaya yang dibutuhkan. Intervensi koroner perkutan (IKP) dan terapi antiplatelet seperti klopidogrel merupakan tata laksana yang direkomendasikan oleh organisasi kardiologi internasional. Meskipun demikian, pasien SKA masih dapat mengalami kejadian kardiovaskular mayor (KKM). Kemungkinan, resistensi klopidogrel berperan pada KKM sedangkan resistensi klopidogrel mungkin dipengaruhi oleh faktor genetik dan epigenetik. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan faktor genetik yaitu polimorfisme gen CYP2C19 dan P2Y12, serta epigenetik yaitu metilasi DNA gen CYP2C19 dan P2Y12 serta ekspresi miRNA-26a dengan resistensi klopidogrel dan pengaruhnya terhadap KKM pada pasien SKA pasca IKP.
Untuk menganalisis hubungan faktor genetik dan epigenetik dengan resistensi klopidogrel, penelitian dilakukan dengan desain potong lintang, sedangkan untuk analisis hubungan faktor genetik dan epigenetik dengan KKM dilakukan dengan desain kohort prospektif. Subjek penelitian meliputi 201 pasien SKA pasca IKP dan mendapat terapi klopidogrel di Rumah Sakit Jantung dan Pembuluh Darah Harapan Kita dari bulan September 2018 sampai dengan Juni 2020. Resistensi klopidogrel ditentukan dengan pemeriksaan light transmission aggregometry (LTA) apabila hasilnya lebih besar dari 59% dengan agonis ADP 20 mM. Deteksi polimorfisme gen CYP2C19 dan P2Y12 serta ekspresi miRNA-26a dilakukan dengan metode qRT-PCR, sedangkan metilasi DNA gen CYP2C19 dan P2Y12 dikerjakan dengan metode konversi bisulfit. Pasien diobservasi selama satu tahun dan jika ada angina pektoris, infark miokard akut (IMA) rekuren, stroke, atau kematian, dicatat sebagai KKM.
Dari 201 subjek, terdapat 45,8% carrier mutant polimorfisme *2 dan *3 gen CYP2C19, 36,8% carrier mutant polimorfisme rs3679479 gen P2Y12, 10% hipometilasi DNA gen P2Y12, 80,1% hipometilasi DNA gen CYP2C19, dan 66,2% ekspresi miRNA-26a up regulated. Proporsi resisten klopidogrel adalah 49,8% dan proporsi KKM adalah 14,9% (kematian 7,5%). Terdapat hubungan antara merokok (p = 0,001; OR 0,37 [IK 95%; 0,20–0,68]), hipometilasi DNA gen CYP2C19 (p = 0,037; OR 2,13 [IK 95%; 1,04–4,37]), dan ekspresi miRNA-26a up regulated (p = 0,020; OR 2,03 [IK 95%; 1,12–3,68]) dengan resistensi klopidogrel. Terdapat hubungan antara jenis kelamin perempuan (p = 0,040; HR 2,73 [IK 95%; 1,05–7,14]), usia ≥ 60 tahun (p = 0,035; HR 2,17 [IK 95%; 1,06–4,48]), eGFR rendah (p = 0,001; HR 3,29 [IK 95%; 1,59–6,84]), dan polimorfisme *2 dan *3 gen CYP2C19 (p = 0,047; HR 2,12 [IK 95%; 1,01–4,46]) dengan KKM dalam satu tahun.
Hanya faktor epigenetik berupa metilasi DNA gen CYP2C19 dan ekspresi miRNA-26a yang berhubungan dengan resistensi klopidogrel. Walaupun resistensi klopidogrel tidak berhubungan dengan KKM, terdapat hubungan antara faktor genetik polimorfisme *2 dan *3 gen CYP2C19 dengan KKM.

Acute coronary syndrome (ACS) is a national health problem due to high morbidity and mortality, and cost burden as well. Percutaneous coronary intervention (PCI) and antiplatelet therapy such as clopidogrel are recommended. However, ACS patients could still experience major adverse cardiovascular events (MACE). Clopidogrel resistance possibly plays a role in MACE whereas it may be affected by genetic and epigenetic factors. Therefore, the objective of this study was to determine the relationship between genetic factors which are CYP2C19 and P2Y12 polymorphisms, as well as epigenetic factors which are DNA methylation of CYP2C19 and P2Y12, and miRNA-26a expression and their effects on MACE in post-PCI patients.
To analyze the association between genetic and epigenetic factors and clopidogrel resistance, the study design was cross-sectional, while the study design of relationship between genetic and epigenetic factors and MACE was prospective cohort. The subjects were 201 post-PCI ACS patients who received clopidogrel therapy at Harapan Kita Hospital from September 2018 to June 2020. Clopidogrel resistance was determined by light transmission aggregometry (LTA) if the result was greater than 59% with agonist ADP 20 µM. The detection of CYP2C19 and P2Y12 gene polymorphisms and miRNA-26a expression were carried out by qRT-PCR method, while the DNA methylation of the CYP2C19 and P2Y12 genes were carried out by bisulfite conversion method. Patients were observed for one year and angina pectoris, recurrent acute myocardial infarction (AMI), stroke, or death, were recorded as MACE.
From 201 subjects, 45.8% were CYP2C19*2 and CYP2C19*3 polymorphism mutant carrier, 36.8% were rs3679479 P2Y12 polymorphism mutant carrier, 10% were hypomethylated of P2Y12, 80.1% were hypomethylated of CYP2C19, and 66.2% were up regulated in miRNA-26a expression. 49.8% of subjects were clopidogrel resistant and 14.9% of subjects experienced MACE (death was 7.5%). Smoking (p = 0.001; OR 0.37 [CI 95%; 0.20–0.68]), hypomethylated of CYP2C19 (p = 0.037; OR 2.13 [CI 95%; 1.04–4.37]), and up regulated miRNA-26a expression (p = 0.020; OR 2.03 [CI 95%; 1.12–3.68]) were associated with clopidogrel resistance. Female gender (p = 0.040; HR 2.73 [CI 95%; 1.05–7.14]), age over 60 years old (p = 0.035; HR 2.17 [CI 95%; 1.06–4.48]), low eGFR (p = 0.001; HR 3.29 [CI 95%; 1.59–6.84]), and CYP2C19*2 and CYP2C19*3 polymorphisms (p = 0.047; HR 2.12 [CI 95%; 1.01–4.46]) were associated with MACE in one year.
Only DNA methylation of CYP2C19 and miRNA-26a expression were associated with clopidogrel resistance. Although clopidogrel resistance was not associated with MACE, there was association between CYP2C19*2 and CYP2C19*3 polymorphisms and MACE.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2021
D-Pdf
UI - Disertasi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Indra Gilang Pamungkas
"Pendahuluan: Pasien pasca Bedah Pintas Arteri Koroner (BPAK) dapat mengalami penurunan kapasitas fungsional dan produktivitas. Hal ini dikarenakan adanya penurunan curah jantung dan penghancuran protein otot (aktin dan miosin). Latihan berjalan dilakukan untuk meningkatkan pompa jantung dan keseimbangan metabolisme. Penelitian ini bertujuan untuk menilai pengaruh latihan berjalan terhadap kapasitas fungsional dan produktivitas ada pasien pasca BPAK.
Metode: Penelitian ini menggunakan Randomized Controlled Trial (RCT) dengan single blind pada outcome assessor. Jumlah responden pada penelitian ini berjumlah 42 orang yang dibagi menjadi 21 orang di kelompok intervensi maupun kontrol.
Hasil: Penelitian ini menunjukkan hasil adanya pengaruh yang bermakna antara latihan berjalan terhadap kapasitas fungsional (0,008<0,05), gangguan dalam bekerja (0,011<0,05), dan gangguan aktivitas(0,044<0,05). Hasil juga menunjukkan tidak adanya perbedaan yang bermakna antara latihan berjalan terhadap kehilangan waktu kerja (0,967>0,05) dan gangguan pekerjaan keseluruhan (0,696).
Diskusi: Latihan berjalan meningkatkan pompa jantung dan metabolisme. hal tersebut meningkatkan pengeluaran Adenosine Triphospat (ATP) sehingga meningkatkan kapasitas fungsional dan produktivitas pada pasien.
Kesimpulan: Latihan berjalan meningkatkan kapasitas fungsional dan produktivitas pada pasien pasca BPAK.

Introduction: Patients after coronary artery bypass graft (CABG) may experience reduced functional capacity and productivity. This is due to decreased cardiac output and destruction of muscle proteins (actin and myosin). Walking exercise is performed to improve cardiac pump and metabolic balance. This study aims to assess the effect of walking training on functional capacity and productivity in patients after BPAK.
Methods: This study used a Randomized Controlled Trial (RCT) with a single blind on the outcome assessor. The number of respondents in this study amounted to 42 people who were divided into 21 people in the intervention and control groups.
Results: This study showed a significant effect of walking training on functional capacity(0,008<0,05), work interference(0,011<0,05), and activity interference(0,044<0,05). The results also showed no significant difference between walking training on lost work time (0,967>0,05)and overall work interference(0,696>0,05).
Discussion: Walking exercise improves cardiac pump and metabolism, which increases Adenosine Triphosphate (ATP) expenditure, thereby improving functional capacity and productivity in patients.
Conclusion: Walking exercise improves functional capacity and productivity in patients after BPAK.
"
Depok: Fakultas Ilmu Keperawatan Universitas Indonesia, 2022
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Irman Firmansyah
"Latar Belakang: Penyakit kardio-serebrovaskular dengan kematian tertinggi sebagian besar diakibatkan Sindroma Koroner Akut (SKA). Dalam perjalanan penyakit tersebut dapat timbul gangguan psikis berupa depresi. Dilaporkan bahwa depresi sering terjadi dan menetap, dengan prevalensi sekitar 20% pada pasien dengan penyakit jantung. Gangguan psikis memiliki hubungan yang erat dengan pengaruh hormonal seperti kortisol dan serotonin. Pada pasien SKA dapat terjadi disfungsi otonom dan disregulasi aksis HPA yang menyebabkan peningkatan kortisol yang dapat memperburuk prognosispasien SKA. Sehingga penting untuk mengetahui pengaruh hormonal yaitu kadar kortisoldan serotonin dalam mengurangi gejala depresi yang akan ditelaah pada penelitian ini. Metode: Penelitian ini merupakan penelitian cross sectional untuk mengetahui peran kortisol dan serotonin terhadap kejadian depresi pada pasien SKA pasca perawatan. Penelitian dilakukan di ICCU RSUPN dr. Cipto Mangunkusumo Jakarta Pusat, Divisi Kardiologi Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUI/RSCM dan Divisi Psikosomatik danPaliatif Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUI/RSCM pada 73 orang responden yang memenuhi kriteria inklusi dengan menggunakan wawancara, pengisian kuesioner HADS,pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan laboratorium. Hasil: Sebanyak 15,1% pasien SKA mengalami depresi pasca perawatan. Hasil uji statistik antara serotonin plasma terhadapdepresi tidak bermakna secara statistik dengan p value 0,482, demikian pula dengan kortisol saliva dengan p value 0,275. Namun ditemukan bahwa, kadar rerata hormon serotonin pada pasien SKA dalam penelitian ini adalah 189 ng/ml dan kadar rerata kortisol pada pasien SKA pada penelitian ini adalah 2,19 ng/mL. Kesimpulan: Secara statistik, tidak ditemukan perbedaan signifikan antara kadar kortisol terhadap gejala depresi pada pasien paska sindrom koroner akut dengan nilai p-value 0,275. Namun, penelitian ini bermakna secara klinis dilihat dari kadar serotonin plasma yang lebih rendah pada pasien dengan depresi dan lebih tinggi pada pasien yang tidak depresi. Begitu pula dengan kadar kortisol saliva lebih tinggi pada pasien dengan depresi dan lebih rendah pada pasien yang tidak depresi.

Background: Cardio-cerebrovascular disease with the highest mortality is mostly due toAcute Coronary Syndrome (ACS). During the course of the disease, psychological disorders such as depression may happen. It has been reported that depression is commonand persistent, with a prevalence of approximately 20% in patients with heart disease. Psychological disorders have a close relationship with hormones such as cortisol and serotonin. In ACS patients, autonomic dysfunction and dysregulation ofthe HPA axis canoccur and cause an increase in cortisol which can worsen the prognosis of ACS patients. So it is important to know the how hormones, namely cortisol and serotonin in reducing depressive symptoms which will be examined in this study. Methods: This study is a cross-sectional study to determine the impact of cortisol and serotonin in the incidence ofdepression in post-treatment ACS patients. The research was conducted at the ICCU RSUPN dr. Cipto Mangunkusumo Central Jakarta, Division of Cardiology Department ofInternal Medicine FKUI/RSCM and Division of Psychosomatics and Palliative Department of Internal Medicine FKUI/RSCM in 73 respondents who met the inclusion criteria by using interviews, filling out HADS questionnaires, physical examinations andlaboratory tests. Results: A total of 15.1% of ACS patients experienced post-treatment depression. The statistical test results between plasma serotonin and depression were notstatistically significant with a p value of0.482, as well as salivary cortisol with a p valueof 0.275. However, it was found that the average serotonin level in ACS patients in this study was 189 ng/ml and the average cortisol level in ACS patients in this study was 2.19 ng/mL. Conclusion: Statistically, there was no significant relationship between cortisol levels and depressive symptoms in post-acute coronary syndrome patients with a p-valueof 0.275. However, this study is clinically significant in view of the lower plasma serotonin levels in patients with depression and higher in patients who are not depressed.Likewise, salivary cortisol levels were higher in patients with depression and lower in patients who were not depressed."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2023
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Budi Santoso
"Sindroma Koroner Akut SKA merupakan kondisi kegawatan kardiovaskuler yang memerlukan penanganan segera. Tatalaksana reperfusi koroner harus segera dilaksanakan untuk mengatasi gangguan sirkulasi koroner yang terjadi. Keputusan yang cepat dan tepat dari keluarga dan pasien akan meningkatkan kualitas hidup, menurunkan angka kesakitan dan kematian pada pasien dengan SKA. Penelitian ini merupakan studi Crossectional, metode pengambilan sampel dengan non probability sampling dan menggunakan teknik consecutive sampling. Jumlah sampel 85 responden. Hasil uji chi-square didapatkan ada kontribusi usia, penanggung biaya, tingkat pengetahuan, nyeri dada, dukungan keluarga dan pemahaman persetujuan tindakan p.

Acut Coronary Syndrome is cardiovasuler emergency conditions that requires immediate reliefs. Management of coronary reperfusion should be implemented immediately to overcome the coronary circulation disorder. Rapid and precise decisions from families dan patient will improve the quality of life, reduce morbidity and mortality in patients with ACS. This study was cross sectional study, sampling method with non probability sampling and used consecutive sampling technique with 85 respondens. The Chi squre test result obtained there is contribution of age, the cost bearer, level of knowledge, chest pain, family support and understanding of actions approval p value."
Depok: Fakultas Ilmu Keperawatan Universitas Indonesia, 2018
T50975
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Silalahi, Todung Donald Aposan
"Intervensi koroner perkutan (IKP) terbukti mengurangi morbiditas dan mortalitas penyakit jantung koroner (PJK). Cedera pembuluh darah akibat IKP dapat menyebabkan timbulnya inflamasi dan stress oksidatif. Studi ini menunjukkan bahwa kurkumin memiliki efek menekan inflamasi dan antioksidan pada penderita PJK stabil pasca-IKP. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui efektivitas suplementasi kurkumin per oral dalam menurunkan kadar inflamasi dan stres oksidatif pasca-IKP pasien PJK stabil.
Pasien dewasa PJK stabil dilakukan IKP, dirandomisasi secara acak tersamar ganda ke dalam kelompok kurkumin atau plasebo. Kurkumin (45 mg/hari) atau plasebo diberikan selama 7 hari sebelum IKP hingga 2 hari setelah IKP. Kadar marker inflamasi (hsCRP dan sCD40L) dan marker oksidatif (MDA dan GSH) dalam serum dinilai dalam 3 fase, 7 hari pra-IKP, 24 jam pasca-IKP, dan 48 jam pasca-IKP.
Selama periode April–Juni 2015, terdapat 50 pasien yang direkrut (25 kurkumin dan 25 plasebo) di RSUP Cipto Mangunkusumo dan RS Jantung Jakarta. Konsentrasi hsCRP dan sCD40L pada kelompok kurkumin dalam 3 fase cendrung menurun (p < 0,05) dibanding kelompok plasebo, tetapi konsentrasi hsCRP dan sCD40L pada tiap fase tidak berbedaan bermakna, sedang kadar MDA dan GSH tidak berbeda bermakna setiap fase, namun menunjukkan kecenderungan penurunan kadar MDA (p = 0,6) dan GSH (p = 0,3).
Pemberian kurkumin mempunyai kecenderungan menurunkan respons inflamasi pasca-IKP dan cenderung menghambat pembentukan stress oksidatif yaitu MDA serum melalui mekanisme peningkatan penggunaan antioksidan internal yaitu GSH serum.

Background: Percutaneous coronary intervention (PCI) has been proven to improve morbidities and mortalities in stable coronary heart disease (CHD). However, ischemia-reperfusion injury resulted from PCI might induce inflammation and oxidative stress. Several studies suggested that curcumin exerts anti-inflammatory and antioxidant properties that may be beneficial in post-PCI stable CHD patients.
Objectives: To determine the efficacy of orally administered curcumin in reducing inflammatory response and oxidative stress in post-PCI of stable CHD patients.
Methods: A double-blind randomized controlled trial consisting of 50 adult patients of both sexes with stable CHD who underwent PCI were treated with curcumin or placebo. Either curcumin (45 mg/day) or placebo was given 7 days prior to PCI until 2 days after PCI. Inflammatory markers (hsCRP and sCD40L) and oxidative stress assessment (MDA and GSH) were measured in 3 phases (7 days pre-PCI, 24 hours post-PCI, and 48 hours post-PCI).
Results: During April–June 2015, 50 patients were recruited (25 curcumin and 25 placebo) from Cipto Mangunkusumo General Hospital and Jakarta Heart Center. The serum concentrations of hsCRP and sCD40L in curcumin group (p < 0.05) in all observation phases were significantly lower compared with placebo group; however, there were no significant differences between groups. No significant difference was observed among phases in MDA and GSH, but there was a trend of decreasing MDA and GSH levels (p = 0.6 and p = 0.3, respectively) in curcumin group.
Conclusion: Curcumin tends to reduce inflammatory response following PCI by decreasing oxidative stress (MDA) through the increase of internal antioxidant utilization (GSH).
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2023
D-pdf
UI - Disertasi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Diana Rumenta
"Klopidogrel merupakan salah satu terapi standar pada pasien SKA dan/atau pasien post IKP. Penggunaan klopidogrel di Indonesia sangat tinggi, namun diduga berbagai faktor dapat menyebabkan variasi hambatan agregasi trombosit yang mengakibatkan resistensi klopidogrel. Sebanyak 100 pasien SKA dan/atau post IKP diperiksa agregasi trombosit dengan metode LTA menggunakan ADP 20. dan diambil data demografi, klinis, terapi, serta data polimorfisme genetik CYP2C19. dan 3. Resisten klopidogrel ditetapkan sebagai persen agregasi trombosit >59. Proporsi resistensi klopidogrel sebanyak 36 36. Faktor yang berperan terhadap resistensi klopidogrel adalah tidak merokok, DM, CYP2C19. dan. dengan prediktor paling dominan adalah polimorfisme CYP2C19 2.

Clopidogrel has become the standard therapy in patients with ACS and or post PCI. The use of clopidogrel in Indonesia is very high, but expected many factors can cause variability inhibition of platelet aggregation resulting clopidogrel resistance. Total of 100 patients with ACS and or post PCI were measured with platelet aggregation by LTA method using 20. ADP and retrieved data of demographic, clinical, therapeutic, and the data on genetic polymorphism CYP2C19. and 3. Clopidogrel resistance was defined as percent platelet aggregation 59. The proportion of clopidogrel resistant were 36 36. Factors that contribute to clopidogrel resistance are non smoking status, diabetes, CYP2C19. and. with the most dominant predictor is polymorphism CYP2C19 2.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2016
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Yayang Bayu Tria Arisandi
"Angiografi Koroner dan Intervensi Koroner Perkutan Transradial adalah salah satunya pengobatan penyakit jantung koroner. Penggunaan akses transradial ini bisa menimbulkan beberapa komplikasi. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui gambarannya komplikasi akses radial pada angiografi pasca koroner dan/atau pasien Intervensi Koroner Perkutan di salah satu rumah sakit rujukan nasional. Penelitian dilakukan secara retrospektif menggunakan desain penampang berurutan pengambilan sampel melibatkan 111 responden. Hasil penelitian menunjukkan kejadian itu Komplikasi akses radial terjadi pada 33 (29,7%) responden dengan jenis komplikasi ini bervariasi yaitu obstruksi arteri radial (5,4%), spasme arteri radial (8,1%), perdarahan
area insersi (8,1%), hematoma area insersi (10,8%) dan ekimosis (23,4%). Studi ini merekomendasikan perlunya peran perawat, terutama dalam asesmen dan pemantauan pasien untuk mendeteksi komplikasi setelah angiografi Intervensi Koroner dan/atau Perkutan.

Coronary Angiography and Transradial Percutaneous Coronary Intervention is one of the treatments for coronary heart disease. The use of transradial access can cause several complications. This study aims to describe the complications of radial access in post-coronary angiography and/or Percutaneous Coronary Intervention patients at one of the national referral hospitals. The study was conducted retrospectively using a sequential cross-sectional design. Sampling involved 111 respondents. The results showed that the incidence of radial access complications occurred in 33 (29.7%) respondents with varied types of complications, namely radial artery obstruction (5.4%), radial artery spasm (8.1%), bleeding. insertion area (8.1%), insertion area hematoma (10.8%) and ecchymosis (23.4%). This study recommends the need for a nurse role, especially in the assessment and monitoring of patients to detect complications after coronary and/or percutaneous interventional angiography."
Depok: Fakultas Ilmu Keperawatan Universitas Indonesia, 2019
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>