Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 164927 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Simanjuntak, Gilbert W.S.
"Terdapat banyak laporan mengenai biaya-efektifitas di bidang ilmu penyakit mata, tetapi laporan biaya-efektifitas vitrektomi antara bius lokal dibandingkan bius umum belum ditemukan di literatur nasional/internasional. Penelitian ini bermanfaat untuk pengambil kebijakan, penyedia jasa kesehatan dan asuransi. Untuk menjawab hal ini, peneliti melakukan penelitian kohort retrospektif di dua rumah sakit dengan jumlah 100 sampel yang memenuhi kriteria inklusi dan eksklusi. Efektifitas dihitung sebagai perbaikan tajam 2 skala logMAR atau lebih, dan biaya dihitung berdasarkan data yang diperoleh dari wawancara dan dikonfirmasi dengan surat keterangan yang berwenang. Hasil yang diperoleh adalah dibutuhkan biaya sebesar Rp. 23.959.000,- untuk mencapai efektifitas operasi (Perbaikan) sebesar 32% dengan bius umum. Sebesar Rp. 15.950.200,- diperlukan untuk mencapai efektifitas operasi (Perbaikan) sebesar 80 % dengan bius lokal. Interpretasi data ini butuh kehatian-hatian, juga untuk diterapkan secara umum (extrapolation). Penghematan biaya yang terjadi adalah sebesar 50,21% dengan bius lokal dibandingkan bius umum. Faktor yang berpengaruh secara multivariat terhadap perbaikan setelah operasi dan biaya adalah lamanya retina lepas (RR 1.85) bila lepas < 4 minggu, dan bius lokal (RR 2.58). Waktu tunggu (antara pertama kali berobat hingga dioperasi) lebih singkat di bius lokal (p 0.00) dan tindakan membrane peeling lebih banyak di bius lokal (p 0.00) merupakan dua hal yang berbeda bermakna. Dapat disimpulkan bahwa operasi vitrektomi untuk retina lepas dapat dilakukan dengan bius lokal dengan efektifitas lebih baik dan biaya lebih sedikit.

There were reports on cost-effectiveness in ophthalmology, but so far none of report on cost-effectiveness of vitrectomy between local and general anesthesia for rhegmatogenous retinal detachment, either in national or international journal. Meanwhile, this report is beneficial for health policy decision maker, health provider and insurance. To answer this limitation, we conduct retrospective cohort study in two hospitals with 100 subjects that fulfill inclusion and exclusion criteria. Effectiveness was visual acuity improvement in two or more logMAR scale after vitrectomy, and units cost data were given by both hospitals. The amount of Rp. 23.959.000,- was needed to achieve effectiveness 32% in general anesthesia. The amount of Rp. 15.950.200,- was needed to achieve effectiveness 80% in local anesthesia. These data interpretation and extrapolation should be done cautiously. There is cost-minimization 50,12% when doing vitrectomy under local versus general anesthesia. Multivariate analysis of effectiveness and cost showed that variables of detachment duration if less than 4 weeks (RR 1.85) and of local anesthesia (RR 2.58) were contributing for better surgical outcome. Shorter waiting time (time needed for surgery after diagnosed), and more membrane peeling done in local anesthesia group were different variabels (p 0.00) between two groups significantly. As conclusion, vitrectomy for rhegmatogenous retinal detachment can be done under local anesthesia with higher effectiveness and lower cost."
Jakarta: Universitas Indonesia, 2013
D1412
UI - Disertasi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Dea Alifia Maharani
"Retinal detachment (RD), atau ablasi retina, adalah kondisi ketika retina neurosensori terlepas dari lapisan dasarnya, yaitu epitel pigmen retina (EPR), karena kehilangan kerekatan. RD bisa menjadi kondisi yang serius jika tidak segera ditangani, seperti gangguan penglihatan hingga kebutaan permanen. Di Indonesia, diperkirakan terdapat 17.500—25.000 kasus baru setiap tahunnya. Namun, dengan jumlah dokter yang terbatas, pendeteksian RD secara konvensional mungkin tidak dapat dilakukan dengan cepat. Dengan memanfaatkan metode machine learning, khususnya deep learning, yang kini berkembangan pesat, dapat dilakukan pendeteksian RD melalui citra fundus mata menggunakan Convolutional Neural Network (CNN) dengan arsitektur ResNeSt. Terdapat masalah keterbatasan jumlah data pada kelas RD sehubungan dengan perlindungan privasi pasien yang membatasi akses terhadap data medis. Untuk meningkatkan jumlah data, dilakukan augmentasi data dengan GAN untuk menghasilkan data baru berupa citra sintetis untuk kelas RD. Dilakukan pula percobaan dengan menerapkan Contrast Limited Adaptive Histogram Equalization (CLAHE) sebagai tahap preprocessing sebelum augmentasi dengan GAN dengan tujuan meningkatkan kualitas citra yang masuk sebagai input dari GAN. Lebih lanjut, penelitian ini menguji tiga skenario dengan dua rasio splitting data, yaitu 6:2:2 dan 6:1:3. Skenario 1 menjalankan model ResNeSt tanpa preprocessing CLAHE dan augmentasi GAN pada data input. Skenario 2 menjalankan model ResNeSt dengan augmentasi GAN pada data input. Sementara itu, skenario 3 menjalankan model ResNeSt dengan menerapkan preprocessing CLAHE dan augmentasi GAN pada data input. Untuk splitting data dengan rasio 6:2:2, skenario 1 menghasilkan nilai rata-rata accuracy 89,9%, sensitivity 76,3%, specificity 94,3%, dan loss 52,4%, skenario 2 menghasilkan nilai rata-rata accuracy 92,3%, sensitivity 88,2%, specificity 94,8%, dan loss 18,6%, sedangkan skenario 3 menghasilkan nilai rata-rata accuracy 95,9%, sensitivity 94,4%, specificity 96,8%, dan loss 9,8%. Sementara itu, untuk splitting data dengan rasio 6:1:3, skenario 1 menghasilkan nilai rata-rata accuracy 91,3%, sensitivity 78,6%, specificity 94,9%, dan loss 27,9%, skenario 2 menghasilkan nilai rata-rata accuracy 94%, sensitivity 90,2%, specificity 96,3%, dan loss 17,9%, sedangkan skenario 3 menghasilkan nilai rata-rata accuracy 97,9%, sensitivity 97%, specificity 98,4%, dan loss 5,4%. Didapatkan bahwa performa model terbaik adalah ketika menggunakan skenario 3 dengan rasio splitting data 6:1:3.

Retinal detachment (RD), also known as retinal ablation, is a condition where the neurosensory retina separates from its underlying layer, the retinal pigment epithelium (RPE), due to the loss of adhesion. RD can become a serious condition if not promptly treated, potentially leading to vision impairment, even permanent blindness. In Indonesia, an estimated 17,500–25,000 new cases of RD occur annually. However, with a limited number of doctors, conventional detection methods for RD may not be performed swiftly enough. Leveraging machine learning, particularly deep learning, which has rapidly advanced, RD detection can be facilitated through fundus imaging using Convolutional Neural Network (CNN) with ResNeSt architecture. A significant challenge arises due to the limited amount of data available for the RD class, as patient privacy regulations restrict access to medical data. To address this, data augmentation is applied using Generative Adversarial Networks (GAN) to generate synthetic images for the RD class. Additionally, experiments were conducted by applying Contrast Limited Adaptive Histogram Equalization (CLAHE) as a preprocessing step before GAN augmentation, aiming to enhance the quality of the images inputted into the GAN. This study further evaluates three scenarios with two data splitting ratios, 6:2:2 and 6:1:3. Scenario 1 involved training the ResNeSt model without CLAHE preprocessing or GAN augmentation. Scenario 2 involved training the ResNeSt model with GAN augmentation. Scenario 3 involved training the ResNeSt model with both CLAHE preprocessing and GAN augmentation. For the 6:2:2 data splitting ratio, Scenario 1 achieved an average accuracy of 89.9%, sensitivity of 76.3%, specificity of 94.3%, and loss of 52.4%. Scenario 2 achieved an average accuracy of 92.3%, sensitivity of 88.2%, specificity of 94.8%, and loss of 18.6%. Meanwhile, Scenario 3 achieved an average accuracy of 95.9%, sensitivity of 94.4%, specificity of 96.8%, and loss of 9.8%. For the 6:1:3 data splitting ratio, Scenario 1 achieved an average accuracy of 91.3%, sensitivity of 78.6%, specificity of 94.9%, and loss of 27.9%. Scenario 2 achieved an average accuracy of 94%, sensitivity of 90.2%, specificity of 96.3%, and loss of 17.9%. Meanwhile, Scenario 3 achieved an average accuracy of 97.9%, sensitivity of 97%, specificity of 98.4%, and loss of 5.4%. The best model performance was observed in Scenario 3 with a 6:1:3 data splitting ratio."
Depok: Fakultas Matematika Dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Indonesia, 2024
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Ghina Fedora
"Latar Belakang: Silicone oil (SO) merupakan salah satu substitusi vitreus yang digunakan pasca vitrektomi pars plana (VPP) dalam manajemen ablasio retina rhegmatogen. Beberapa komplikasi penggunaan SO meliputi katarak, peningkatan tekanan bola mata, emulsifikasi, keratopati hingga menurunnya ketebalan dan densitas vaskular makula. Tujuan: Mengetahui perubahan ketebalan makula sentral serta densitas vaskular pleksus superfisial pada pasien ablasio retina rhegmatogen pasca VPP dengan tamponade SO. Metode: 41 pasien ablasio dianalisis dalam studi ini yang menggunakan dua desain: observasional prospektif tanpa pembanding untuk membandingkan efek tamponade SO minggu-1 dengan minggu-4 dan potong lintang untuk membandingkan mata kontralateral dengan minggu-1 pasca tamponade SO. Hasil: Central subfield thickness (CST), superficial vascular density (SVD) serta superficial perfusion density (SPD) pada minggu-1 lebih rendah dibandingkan mata kontralateral (p<0,001). Pada minggu-4 pasca tamponade SO ditemukan peningkatan CST, SVD, SPD dibandingkan minggu-1 meskipun tidak signifikan secara statistik. Pada analisis tambahan, didapatkan usia diatas 50 tahun mengalami kecenderungan penurunan SVD (p 0,033) dan SPD (0,011) dibandingkan kelompok usia muda. Kesimpulan: Tidak didapatkan penurunan ketebalan makula sentral dan densitas vaskular pleksus kapiler superfisial makula di minggu-4 pasca PPV dengan SO. Didapatkan ketebalan makula sentral dan densitas vaskular pleksus kapiler superfisial makula yang lebih rendah di minggu-1 pasca tamponade SO dibandingkan mata kontralateral

Background: Silicone oil (SO) is one of the vitreous substitutes used after pars plana vitrectomy (PPV) for rhegmatogenous retinal detachment (RRD) management. Complications arising from SO include cataracts, increased ocular pressure, emulsification, keratopathy, and decreased macular thickness and vascular density. Objective: To determine changes in central macular thickness and superficial vascular density in RRD patients after PPV with SO. Method: 41 patients were included in this study, which comprises two designs: a prospective observational without comparison to compare the effect of SO tamponade week-1 with week-4 and a cross-sectional design to compare the contralateral eye with week-1 after SO tamponade. Results: Central subfield thickness (CST), superficial vascular density (SVD), and superficial perfusion density (SPD) were lower at week 1 after PPV with SO compared to the contralateral eye (p<0.001). At week 4 after PPV with SO, there was an increase in CST, SVD, and SPD compared to week 1, although not statistically significant. In additional analysis, we found that those aged over 50 had tendencies toward decreased SVD (p 0.033) and SPD (0.011) compared to the younger age group. Conclusion: There was no reduction in central macular thickness or superficial vascular density at week 4 after PPV with SO in RRD patients. Central macular thickness and superficial vascular density were lower on week 1 after SO tamponade compared to the contralateral eye."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2024
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
cover
Salmarezka Dewiputri
"ABSTRAK
Tujuan tesis ini adalah membandingkan pemberian metilprednisolon oral dengan plasebo terhadap insiden dan derajat membran epiretina pasca vitrektomi pars plana pada ablasio retina regmatogen. Desain penelitian ini adalah uji klinis acak terkontrol tersamar ganda. Empatpuluh enam mata yang memenuhi kriteria inklusi
dirandomisasi untuk mendapatkan metilprednisolon oral atau plasebo. Keluaran primer adalah insiden dan derajat membran epiretina yang dinilai pada 4 minggu dan 8 minggu pasca vitrektomi dengan menggunakan spectral domain Optical Coherence Tomography. Empat minggu pasca vitrektomi didapatkan insiden membran epiretina 47,6 % pada kelompok metilprednisolon dan 58,8 % pada kelompok plasebo. Delapan minggu pasca vitrektomi didapatkan insiden membran epiretina 47,6 % pada kelompok metilprednisolon dan 56,2 % pada kelompok plasebo. Empat minggu pasca vitrektomi pada kelompok metilprednisolon didapatkan 60 % derajat 0; 0 % derajat 1; dan 40 % derajat 2, sementara pada kelompok plasebo didapatkan 60 % derajat 0; 10 % derajat 1; dan 30 % derajat 2. Delapan minggu pasca vitrektomi pada kelompok metilprednisolon didapatkan 40 % derajat 0; 0 % derajat 1; dan 60 % derajat 2, sementara pada kelompok plasebo 55,6 % derajat 0; 11,1 % derajat 1; dan 33,3 % derajat 2. Simpulan penelitian ini adalah insiden dan derajat membran epiretina antara kedua kelompok baik pada 4 minggu ataupun 8 minggu tidak berbeda bermakna secara statistik. Insiden membran epiretina pada kelompok metilprednisolon cenderung lebih rendah daripada kelompok plasebo.

ABSTRACT
The purpose of this study was to compare oral methylprednisolone and placebo toward the incidence and severity of epiretinal membrane post pars plana vitrectomy in rhegmatogenous retinal detachment. The study design was double-blind randomized controlled clinical trial. Fourty-six subjects who met inclusion
criteria were randomized to receive oral methylprednisolone and placebo within 14 days. Primary output was incidence and severity of epiretinal membrane,
measured by spectral domain Optical Coherence Tomography at 4 and 8 weeks post vitrectomy. Four weeks after vitrectomy incidence of epiretinal membrane were 47,6 % and 58,8 % in methylprednisolone group and placebo group,
respectively. Eight weeks post vitrectomy incidence of epiretinal membrane were 47,6 % and 56,2 % in methylprednisolone group and placebo group, respectively.
At 4 weeks the grade of epiretinal membrane in methylprednisolone group were 60%, 0%, 40% in grade 0, 1, and 2 respectively. Meanwhile, in placebo group were 60%, 10%, 30% in grade 0, 1, and 2 respectively. Eight weeks postvitrectomy the grade of epiretinal membrane in methylprednisolone group were 40%, 0 %, 60% in grade 0, 1, and 2 respectively. Meanwhile, at placebo group
were 55,6 %, 11,1 %, and 33,3 % in grade 0, 1, and 2 respectively. In conclusion, there were no significant differences in incidence and severity of epiretinal
membrane at 4 and 8 weeks among 2 groups (p> 0.05). Oral methylprednisolone had a tendency to lower the incidence of epiretinal membrane compared to placebo.
"
2016
SP-Pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Dialika
"Latar belakang: Salah satu efek samping yang cukup dikenal dalam pengobatan TB adalah efek samping akibat konsumsi etambutol, yang dikenal sebagai neuropati optik etambutol (NOE). Beberapa studi baru-baru ini pada hewan coba yang diberikan etambutol mendapatkan adanya penurunan jumlah sel ganglion retina pasca konsumsi etambutol.
Tujuan: Untuk mengetahui perubahan ketebalan RNFL peripapil dengan menggunakan OCT setelah konsumsi etambutol dan mengetahui korelasi perubahan ketebalan RNFL peripapil dengan perubahan fungsi penglihatan.
Desain Penelitian prospektif dengan uji klinis tunggal.
Hasil: Terdapat 29 subjek yang berpartisipasi pada studi ini, dengan rerata dosis etambutol yang dikonsumsi 16,44 ± 2,7 mg/kgBB/hari. Ditemukan perubahan signifikan ketebalan RNFL 2 bulan setelah konsumsi etambutol pada kuadran superior (147 ; 141μm), nasal (92 ; 88μm) dan pada rerata seluruh kuadran (116,77 ; 112,65 μm). Nilai rerata tajam penglihatan, sensitivitas warna dan lapang pandangan mengalami perubahan signifikan, namun bukan perubahan yang bermakna secara klinis. Pada studi ini korelasi antara perubahan masing-masing parameter fungsi penglihatan dengan perubahan ketebalan rerata RNFL tidak bermakna secara statistik (p > 0,05).
Kesimpulan: Terdapat penurunan ketebalan RNFL peripapil setelah mengkonsumsi etambutol selama 2 bulan, namun belum mencapai penurunan yang bermakna klinis. Terdapat perubahan tajam penglihatan, sensitivitas warna, dan lapang pandangan yang bermakna setelah mengkonsumsi etambutol selama 2 bulan. Tidak terdapat korelasi antara perubahan ketebalan RNFL peripapil dengan perubahan masing-masing fungsi penglihatan.

Background: Ethambutol Optic Neuropathy (EON) is a well-known side effect within patients receiving ethambutol therapy. Recent studies performed in animals reveal decreased amount of retinal ganglion cells after they are given ethambutol.
Purpose: To evaluate peripapillary RNFL thickness changes using OCT, before and after patients receive ethambutol therapy. To know the correlation of RNFL thickness changes with the changes of visual function.
Study design: One group pretest-posttest study.
Result: There was 29 subjects enrolling the study, with the mean dose of ethambutol 16,44 ± 2,7 mg/kgBW/day. We found significant changes of peripapillary RNFL thickness 2 months after consuming ethambutol in superior (147 ; 141 μm), nasal (92 ; 88 μm) and average RNFL thickness (116,77 ; 112,65 μm). The mean visual acuity, color sensitivity and visual field also change significantly, without clinically meaningful changes. This study did not found any statistically significant correlation between RNFL thickness changes and the changes of visual function parameters (p>0,05).
Conclusion: After 2 months ethambutol consumption, there was a statistically significant peripapillary RNFL thinning, with non-clinically significant amount of reduction. There was also significant changes of visual acuity, color sensitivity and visual field. No correlation was found between RNFL thickness thinning and visual function parameters changes.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2013
T58939
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Putri Anggarani Idham
"ABSTRAK
Edema makula diabetik (EMD) merupakan salah satu penyebab utama kebutaan pada pasien diabetes. Saat ini terapi utama pada pasien edema makula diabetik adalah injeksi intravitreal anti VEGF. Pada beberapa keadaan, hal ini menjadi kendala karena 50% pasien yang menjalani rangkaian injeksi intravitreal anti VEGF memiliki edema makula yang refrakter. Vitrektomi pars plana dan internal limiting membran (ILM) peeling diharapkan dapat menjadi alternatif terapi pada EMD refrakter. Penelitian ini bertujuan menilai hasil terapi tindakan vitrektomi dan ILM peeling pada pasien non proliferative diabetic retiopathy (NPDR) dengan EMD refrakter. Penelitian ini merupakan penelitian uji klinis dengan intervensi single arm. Subjek dengan NPDR dan EMD refrakter menjalani tindakan vitrektomi dan ILM peeling. Nilai ketebalan makula sentral (CMT) dan tajam penglihatan diukur sebelum, 1 bulan, 2 bulan, dan 3 bulan sesudah tindakan. Komplikasi pasca tindakan juga dinilai pada setiap kunjungan yang direncanakan. Rentang usia 62,5 (39-72) tahun, lama menderita diabetes 10 (3-18) tahun, kadar HbA1C 6,4 (5,5 -10,8)%. Nilai CMT sebelum, 1 bulan, 2 bulan dan 3 bulan sesudah tindakan adalah [492,0 (303-895) : 277,5 (97-809) : 264 (147-608) : 264,0 (142-660) µm] (p=<0,001). Tajam penglihatan terbaik adalah [1,02 (0,60-1,30) : 1,04 (0,60-1,70) : 1,06 (0,52-2,00) : 1,04 (0,52-2,00) LogMAR] (p=0,635). Terdapat komplikasi pasca tindakan pada pengamatan bulan kedua meliputi retinal detachment dan macular hole. Pada penelitian ini, tindakan vitrektomi dan ILM peeling pada pasien NPDR dengan EMD refrakter memberikan perubahan CMT yang bermakna. Tidak terdapat perubahan yang bermakna secara statistik pada nilai tajam penglihatan namun mayoritas subjek menunjukkan stabilitas tajam penglihatan.

ABSTRACT
Diabetic macular edema (DME) is one of the leading causes of blindness in diabetic patients. The main therapy of DME, up until now is intravitreal injection of anti-vascular endothelial growth factor (VEGF). In certain situation, medical dilemma appeared as in such circumstances 50% patients that underwent series of intravitreal injection of anti VEGF experienced the refractory DME. Pars plana vitrectomy and internal limiting membrane (ILM) peeling is expected to be an alternative treatment in refractory DME. The aim of this study was to assess the result of vitrectomy and ILM peeling in patients with non-proliferative diabetic retinopathy (NPDR) with refractory DME. This study was a clinical trial with single arm intervention. The patients with NPDR with DME underwent vitrectomy and ILM peeling surgery. The assessment of the central macular thickness (CMT) and the visual acuity was conducted before the treatment and 1 month, 2 months and 3 months after. The complication after the treatment was assessed in each scheduled visit. The average age was 62.5 years old with range of 39-72 years old, the history duration of diabetes mellitus was 10 years (3-18) years, level of HbA1C was 6.4 (5.5-10.8)%. The CMT before treatment, 1 month, 2 months and 3 months after treatment were [492,0 (303-895) : 277,5 (97-809) : 264 (147-608) : 264,0 (142-660) µm] (p=<0,001). The best corrected visual acuity was [1,02 (0,60-1,30) : 1,04 (0,60-1,70) : 1,06 (0,52-2,00) : 1,04 (0,52-2,00) LogMAR] (p=0,635). The recorded complication after the treatment was retinal detachment and macular hole. These complications were found on the 2nd month. This study concluded that there was a significant CMT changes in patients with NPDR and refractory DME who underwent vitrectomy and ILM peeling. There was no statistically significant changes in the visual acuity yet majority of the subjects showed a stable visual acuity after the treatment."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2019
T58740
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Nova Diana
"ABSTRAK
Tujuan: Mengetahui efektifitas nepafenac dibandingkan dengan prednisolon asetat terhadap derajat inflamasi bilik mata depan, skala nyeri (visual analogue scale), dan ketebalan makula sentral pasca vitrektomi pada pasien rhegmatogenous retinal detachment (RRD). Metode: Penelitian ini adalah prospektif, uji klinis acak tersamar tunggal membandingkan dua kelompok, yaitu yang mendapat tetes mata prednisolon asetat 1% dan tetes mata nepafenac 0,1% selama 4 minggu pasca vitrektomi. Sebanyak 46 subyek RRD dirandomisasi menjadi dua kelompok. Dilakukan pemeriksaan tajam penglihatan dengan koreksi (TPDK), tekanan intraokuler (TIO), dan pemeriksaan status oftalmologis lainnya. Pasca vitrektomi, dilakukan pemeriksaan derajat inflamasi bilik mata depan, skala nyeri, ketebalan makula sentral, TIO dan TPDK pasca vitrektomi pada 1 hari, 1 minggu, 2 minggu, dan 4 minggu. Hasil: Inflamasi bilik mata depan pada follow up 1 minggu lebih rendah pada kelompok prednisolon asetat (sel +2) dibandingkan kelompok nepafenac (sel +3) namun perbedaan tersebut tidak bermakna secara statistik (p>0.05). Pada follow up 2 dan 4 minggu, tidak ada perbedaan bermakna inflamasi bilik mata depan antara kedua kelompok. Skala nyeri (VAS) tidak berbeda bermakna antara kedua kelompok pada setiap follow up (p>0,05). Median ketebalan makula sentral pada kelompok nepafenac yaitu 206 μm (rentang 131-299) dan pada kelompok prednisolon asetat yaitu 208 μm (rentang 129-451) pada follow up 1 hari (p>0.05). Pada follow up 4 minggu, tidak ada perbedaan bermakna antara kedua kelompok (p>0.05). Simpulan: Nepafenac 0,1% memiliki kemampuan yang sama dengan prednisolon asetat dalam mengatasi inflamasi bilik mata depan, skala nyeri, dan mempertahankan ketebalan makula sentral pasca vitrektomi.

ABSTRACT
Purpose: Comparing the efficacy of postoperative topical nepafenac 0,1% with prednisolon acetate 1% as anti-inflammatory agents in eyes undergoing pars plana
vitrectomy. Method: This is prospective, single blind, randomized single center clinical study. A total of 46 eyes from 46 subjects undergoing vitrectomy surgery. The subjects were randomized to receive either topical nepafenac 0.1% (23 eyes) or prednisolon acetate 1% (23 eyes). Eyes were evaluated for day 1 postoperative and 1-, 2-, and 4-week. Grading of anterior chamber inflammation was using the standardized classification.
Grading of ocular pain was done using Visual Analogue Scale (VAS). Central macular thickness was measured using optical coherence tomography (OCT). Result: Anterior
chamber inflammation of grade 2 (range 1-4) noted in prednisolon acetate group and grade 3 (range 0.5-4) in nepafenac group at day 1 (p>0.05). During the follow up, both group nepafenac and prednisolon acetate did not have a significant difference related to the grade of anterior chamber inflammation (p> 0.05). Pain perception was not significant different in both group (p > 0.05). The nepafenac and prednisolon acetate groups had median central macular thickness of 206 μm (range 131-299) and 208 μm (range 129-451) at 1 day (p> 0.05). At 4 week, there was no statistically significant difference in the
mean central macular thickness between the nepafenac group (174.9 ±30.7 μm) and nepafenac group (185.5 ± 50.1 μm) (p> 0.05). Conclusion: Postoperative topical
nepafenac was equal to prednisolon acetate in reducing postoperative inflammation in eyes undergoing pars plana vitrectomy.
"
2016
SP-Pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
"Since the development of 23G vitrectomy in 2004, the technique has revolutionized retinal surgery by overcoming a number of the problems associated with 20G and 25G systems and offering significant improvements in surgical capability and fluidics. This important book first discusses the instruments and equipment employed in 23G vitrectomy and then explains, step by step, the various surgical techniques with the aid of informative diagrams and many high-quality photos. In addition, videos are included that document the different procedures, from the straightforward to the demanding. "
Berlin : Springer, 2012
e20426391
eBooks  Universitas Indonesia Library
cover
Tsania Rachmah Rahayu
"Koroid memiliki peran dalam mengatur metabolisme fotoreseptor dan epitel pigmen retina (EPR) serta sumber perdarahan ke lapisan luar retina. Pada miopia terjadi elongasi aksial yang berdampak pada penipisan ketebalan koroid dan memengaruhi prognosis visual. Studi ini bertujuan mengetahui hubungan antara ketebalan koroid dengan derajat miopia dan ketebalan fotoreseptor-EPR. Studi ini merupakan studi potong lintang yang dilakukan pada 102 mata. Setiap subjek dikelompokkan menjadi empat kelompok, yaitu emetropia, miopia ringan, sedang, dan berat. Setiap subjek dilakukan pemeriksaan mata menyeluruh dan pemindaian makula menggunakan spectral domain optical coherence tomography (SD-OCT), dengan pengaturan HD-1-Line100x dan enhanced depth imaging (EDI). Gambar pemindaian dinilai secara manual dan dikelompokkan berdasarkan Early Treatment of Diabetic Retinopathy Study (ETDRS) grid. Hasil studi menunjukkan ketebalan koroid terbesar ditemukan di subfovea atau lingkar superior bergantung pada kelompok, dan ketebalan terendah ditemukan pada regio nasal setiap kelompok. Terdapat perbedaan signifikan ketebalan koroid dengan derajat miopia pada setiap kelompok. Korelasi signifikan ketebalan koroid dan ketebalan lapisan fotoreseptor-EPR hanya ditemukan pada lingkar inferior dalam (r=0,34; p<0,001). Penelitian ini menunjukkan ketebalan koroid yang beragam dan signifikan tiap derajat miopia, serta korelasi negatif lemah antara ketebalan koroid dan ketebalan lapisan fotoreseptor-EPR pada di regio inferior.

The choroid is crucial for regulating the metabolism of photoreceptors and the retinal pigment epithelium (RPE) while supplying blood to the outer retinal layer. Myopia, characterized by axial elongation, is linked to choroidal thinning, impacting visual prognosis. This study investigates the relationship between choroidal thickness (CT), different myopia degrees, and photoreceptor-RPE thickness. In a cross-sectional study of 102 eyes, categorized into emmetropia, mild, moderate, and high myopia groups, comprehensive eye exams and macular scans using spectral domain optical coherence tomography (SD-OCT) with HD-1-Line100x settings and enhanced depth imaging (EDI) were conducted. Manual evaluations of scan images based on the Early Treatment of Diabetic Retinopathy Study (ETDRS) grid revealed varied and significant CT across myopia degrees. The thickest CT found either in the subfovea or superior ring depending on the group, and the thinnest consistently in the nasal region for all groups. A significant correlation between choroidal thickness and photoreceptor-RPE layer thickness was noted in the inner inferior circle (r=0.34; p<0.001). In summary, this study unveils varying and significant CT across myopia degrees, emphasizing weak negative correlations between choroidal thickness and photoreceptor-RPE layer thickness, specifically in the inferior region."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2024
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>