Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 189059 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Hesti Armiwulan S.
"Negara Republik Indonesia sejak awal kemerdekaan sesungguhnya telah memiliki komitmen untuk menghormati dan menjunjung tinggi hak asasi manusia. Hal ini dapat dipahami dari UUD Tahun 1945 yang menegaskan bahwa Indonesia adalah negara yang berdasar pada paham kedaulatan rakyat, negara yang berdasar pada hukum serta sistem Konstitusi. Artinya berdasarkan ketiga pilar tersebut maka adanya jaminan pengakuan dan perlindungan hak asasi manusia adalah salah satu prinsip dari Demokrasi, Negara Hukum dan Sistem Konstitusi yang harus diwujudkan dalam sistem ketatanegaraan Indonesia. Konsekuensinya Negara mempunyai kewajiban untuk menjamin kebebasan, kesetaraan dan prinsip non diskriminasi bagi semua orang yang harus tercermin dalam penyelenggaraan pemerintahan. Mengenai hal ini telah ditentukan dalam Pasal 28 I Ayat (4) dan Ayat (5) UUD Negara RI Tahun 1945. Namun sepanjang perjalanan kehidupan ketatanegaraan Indonesia ternyata masih ada praktik-praktik penyelenggaraan negara yang tidak mencerminkan adanya jaminan terhadap kebebasan, kesetaraan dan prinsip non diskriminasi yang merupakan esensi dari perlindungan hak asasi manusia. Salah satu contoh adalah praktik diskriminasi rasial yang tetap menjadi current issue di semua rezim pemerintahan di Indonesia, bahkan di era Reformasi yang menyatakan sebagai pemerintahan yang lebih demokratis dan menjunjung tinggi hak asasi manusia justru praktik diskriminasi rasial yang berujung pada konflik horisontal terjadi di berbagai wilayah di Indonesia. Persoalan diskriminasi rasial sangat potensial terjadi di Indonesia, mengingat jumlah penduduknya yang sangat banyak dengan berbagai suku bangsa, ras dan etnis (multi etnis) serta tingkat pendidikan yang relatif masih rendah. Sementara harus diakui bahwa sampai saat ini upaya yang dilakukan belum dapat menghentikan praktik-praktik diskriminasi rasial. Semboyan Bhineka Tunggal Ika dan berbagai peraturan perundang-undangan tidak cukup menjawab persoalan mengenai diskriminasi ras dan etnis. Studi tentang etnis Tionghoa yang dilakukan secara komprehensif diharapkan mampu untuk memetakan problematika diskriminasi ras dan etnis di Indonesia sekaligus membangun kesadaran bagaimanakah wujud perlindungan hukum yang tepat untuk menghentikan praktik diskriminasi rasial di Indonesia. Etnis Tionghoa adalah salah satu etnis yang secara terus menerus menyuarakan perlawanan terhadap praktik diskriminasi rasial yang dialami oleh etnis Tionghoa, namun di sisi yang lain dominasi ekonomi oleh etnis Tionghoa juga disebut sebagai sebab praktik diskriminasi rasial yang dilakukan oleh etnis Tionghoa terhadap etnis yang lain. Model pendekatan hukum hak asasi manusia dapat digunakan sebagai pisau analisis untuk menghentikan praktik diskriminasi rasial di Indonesia. Hukum hak asasi manusia menjamin kebebasan setiap orang namun disisi yang lain juga diperlukan adanya pembatasan kebebasan dengan tujuan untuk menghormati kebebasan tersebut. Hukum hak asasi manusia memuat larangan diskriminasi atas dasar apapun termasuk larangan diskriminasi rasial, namun untuk mewujudkan prinsip kesetaraan diperlukan juga langkah-langkah khusus (tindakan affirmatif) yang ditujukan untuk kelompok masyarakat tertentu. Tindakan affirmatif adalah pembedaan yang tidak boleh dinilai sebagai perbuatan diskriminatif. Selain itu untuk sampai pada penyelesaian akar masalah diskriminasi rasial maka memaknai keadilan yang diwujudkan dalam sistem hukum yang intergratif dan tersedianya mekanisme penegakan yang komprehensif adalah sebuah keharusan dalam paham konstitusionalisme.

Since the beginning the Republic of Indonesia in fact, already had commitment to respect and uphold human rights. This could be understood from Constitution of Republic Indonesia 1945 which stated that Indonesia is a country based on the understanding of sovereignty, which is based on Rule of Law and Constitution system. That is based on three pillars guarantees the recognition and protection of human rights is one of the principles of Democracy, Rule of Law and Constitution System should be realized in Constitutional law system. This brought a consequence for the State, which has obligation to guarantee freedom, equality and the principle of non-discrimination for all people that should be reflected in governance. This matter has been specified in Paragraph I of Article 28 (4) and (5) the Constitution of Republic Indonesia 1945. However, throughout as long as the experiences of Indonesia, the lack of state enforcement practices that do not reflect a guarantee of liberty, equality and non-discrimination principles which is the essence of the protection of human rights. One example is the practice of racial discrimination that remains as current issue in all regimes of governance in Indonesia, even in reformation era that states as a more democratic government and respect for human rights is precisely the practice of racial discrimination that leads to horizontal conflicts occur in various areas Indonesia. The issue of potential racial discrimination occurred in Indonesia, considered the vast amount of people from different ethnic, racial and ethnic groups (multi-ethnic) and educational level is still relatively low. While it must be admitted that so far, the efforts have not been able to end the practice of racial discrimination. The motto Unity in Diversity and the various laws and regulations do not adequately addressed the question of racial and ethnic discrimination. The study of ethnic Chinese that has been done, hopefully will be able to comprehensively map the problem of racial and ethnic discrimination in Indonesia as well as build awareness on how to form the legal protection to end the practice of racial discrimination in Indonesia. Ethnic Chinese is one of the ethnic that continually active engaged in opposition to practice of racial discrimination faced by ethnic Chinese, but on the other hand by the Chinese economic dominance also mentioned as the reason for the practice of racial discrimination committed by the Chinese against other ethnic groups. Model approach to human rights law can be used as an analytical knife to stop the practice of racial discrimination in Indonesia. Human rights law guarantees freedom of every person, but on the other also required the restriction of freedom in order to respect these freedoms. Human rights law includes the prohibition of discrimination on any ground, including the prohibition of racial discrimination, but to embody the principle of equality is also required special measures (affirmative action) aimed at specific communities. Affirmative action is a distinction that should not be considered as discriminatory acts. In addition to the completion of the root of the problem of racial discrimination, therefore to make sense of justice embodied in the legal system integrative and the availability of a comprehensive enforcement mechanism is a necessity in understanding of constitutionalism.
"
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2013
D-Pdf
UI - Disertasi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Widya Rini
"Sebagai sebuah negara besar, Indonesia harus menerima perbedaan dan keragaman sebagai sebuah berkah. Perbedaan fisik dan budaya adalah asset. Keragaman tidak boleh digunakan sebagai alasan untuk saling menjatuhkan dan melanggar hak asasi manusia. Dalam kurun waktu puluhan tahun, warga etnis Tionghoa selalu menjadi sorotan tajam di negeri ini. Mereka sering dipersulit saat mengurus berbagai dokumen kewarganegaraan, disudutkan, dan dijadikan kambing hitam ketika masalah-masalah berbau rasialis muncul di negeri ini. Melalui Undang-Undang Nomor 62 tahun 1958 lah pertama kalinya SBKRI diatur dan ternyata menjadi kewajiban bagi warga etnis Tionghoa untuk mendapatkan pelayanan publik. Hal ini menjadi suatu perlakuan yang diskriminatif bagi mereka. Ratifikasi Undang-Undang Nomor 12 tahun 2006 tentang kewarganegaraan pada 11 Juli 2006 oleh DPR dianggap bersejarah karena undang-undang ini menggantikan undang-undang kewarganegaraan yang sudah berumur 48 tahun. Undang-undang kewarganegaraan yang baru dianggap lebih manusiawi dan memuat aspirasi warga etnis Tionghoa untuk diperlakukan sama dengan warga negara yang lain. Memang, Undang-Undang Nomor 12 tahun 2006 tentang Kewarganegaraan Republik Indonesia tidak mengatur mengenai SBKRI sebagai bukti kewarganegaraan secara khusus, akan tetapi bila ditafsirkan dari norma yang terkandung di dalamnya, pemaknaan ?orang-orang bangsa Indonesia asli‟, maka secara jelas undang-undang ini mengandung konsep natural born citizenship. Dengan demikian, warga keturunan Tionghoa merupakan warga Indonesia asli yang tidak memerlukan bukti kewarganegaraan, sebagaimana WNA yang melakukan naturalisasi. Dalam penelitian ini, penulis mengumpulkan data dengan menggunakan metode wawancara dan studi dokumen. Studi dokumen tersebut diperoleh dari sejumlah fakta atau keterangan yang terdapat di dalam dokumen, buku-buku, artikel-artikel, dan perundang-undangan yang terkait dengan topik penelitian. Penulis dapat mengambil kesimpulan bahwa SBKRI tidak lagi valid setelah Undang-Undang Nomor 12 tahun 2006 terbit hanya saja dalam prakteknya masih ada warga etnis Tionghoa yang harus menyertakan SBKRI ketika mengurus dokumen kewarganegaraan dengan berbagai alasan.

As a large country, Indonesia should accept difference and diversity as a blessing. Physical and cultural differences are assets. Diversity should not be used as an excuse to bring down each and violate human rights. In a period of decades, ethnic Chinese have always been under the spotlight in this country. They are often compounded when arranging various documents of citizenship, cornered, and scapegoats when problems arise smelling racist in this country. Through Law No. 62 of 1958, SBKRI for the first time set and turned out to be an obligation for citizens of ethnic Chinese to public service. This becomes a discriminatory treatment to them. Ratification Law No. 12 of 2006 concerning citizenship on July 11, 2006 by the House of Representatives is considered historic because this law replaces legislation citizenship 48 years old. Citizenship legislation recently considered more humane and load aspirations of ethnic Chinese to be treated equally with other citizens. Indeed, Law No. 12 of 2006 on Citizenship of the Republic of Indonesia does not regulate SBKRI as proof of citizenship in particular, but when interpreted from the norms contained in them, meaning 'people of Indonesia native', then clearly the law this contains the concept of natural born citizenship. Thus, an ethnic Chinese Indonesian citizens who do not require the original proof of citizenship, as well as foreigners who commit naturalization. In this study, the writers collected data using interviews and document research. The study documents obtained from a number of facts or information contained in the documents, books, articles, and legislation related to the research topic. The writer can conclude that SBKRI is no longer valid after Law No. 12 of 2006 published, but the reality is there are people who still need SBKRI when issuing citizenship documents with a variety of reasons."
Jakarta: Program Pascasarjana Universitas Indonesia, 2014
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2003
S6928
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Arezka Ari Hantyanto
"ABSTRAK
Perlakuan diskriminatif merupakan suatu pelanggaran terhadap
hak asasi manusia untuk diperlakukan secara sederajat. Tindak
diskriminasi adalah suatu masalah utama di dunia ini yang
telah terjadi sejak lama, dari jaman perbudakan pada abad ke -
18 sampai dengan apartheid, dan diskriminasi terhadap imigran
asing di Perancis di awal abad ini. Di Indonesia, persoalan
diskriminatif yang terjadi antara lain didasarkan pada jenis
kelamin, latar belakang etnis, agama, ras, usia, keadaan
ekonomi-sosial, dan keberpihakan politik. Banyaknya provokasiprovokasi
dan pernyataan kebencian (incitement to hate) di
depan umum yang mendorong terjadinya tindakan diskriminatif
bahkan menuju timbulnya kekacauan dalam masyarakat seringkali
terlewatkan dari jerat hukum. Kita tentu masih sering melihat
banyak spanduk-spanduk yang berada di jalan umum yang isinya
memojokkan kelompok berideologi tertentu.Langkanyakasus
penebaran kebencian di muka umum terhadap golongan masyarakat
tertentu yang dibawa ke pengadilan, walaupun secara faktual
sering terdengar dan terlihat di masyarakat menjadi suatu
bukti bahwa negara enggan untuk menyentuh masalah sensitif
ini. Diskriminasi yang lekat dengan golongan minoritas,
membuat pemerintah -karena alasan politis- kerap kali
mengambil sisi yang sama dengan golongan yang mayoritas
dikarenakan dukungan yang lebih besar yang bisa didapatkan
oleh pemerintah. Dengan latar belakang tersebut maka
permasalahan yang coba diamati oleh penelitian ini adalah
bagaimanakah keadaan penegakan dan perlindungan hukum terhadap
diskriminasi ras dan etnis di Indonesia saat ini.
Metode pengolahan data yang digunakan adalah pengolahan data
secara kualitatif, sehingga menghasilkan penelitian dalam
bentuk deskriptif analitis.

ABSTRACT
Discrimination is a human rights violation. Discrimination,
since long time ago, has been a critical problem in the world.
Discrimination had happened since the slavery era in 18th
century to apartheid policy and to discrimination against
immigrants in France on the beginning of this century. In
Indonesia, discrimination usually based n religious
background, ethnical differences, and political sides. Many
provocations and incitement of hate in public were untouched
by the law. Such things could leads to a discriminative act
even towards violence based on discrimination. We could still
see several banners and flyers which shown hatred towards
particular group or ideology. Lack of such cases being brought
to justice is creating questions whether our country has
guarantee human rights or they have reluctance towards this
sensitive case based on some political reasons. The government
could take side with the majority on pressing the minority
since it needs a bigger support to maintain its power. Based
on such facts, this research was done to analyze whether
Indonesia has uphold the human rights and implement it in her
legal system, enforcing it thus guaranteeing the rights of her
citizen in term of protection against discriminating act. Data
analyses method in use for this research is qualitative
methods, thus the result of this research will be in the form
of analytic-descriptive report."
2007
T36844
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Levina Xaveria
"Kejadian sejarah “Kerusuhan 1998” di Jakarta, memberikan dampak kepada kehidupan etnis minoritas Tionghoa-Indonesia. Akibat dari kerusuhan ini, sebagian dari etnis ini mengalami trauma, dan menghindari kontak dengan etnis mayoritas; yang menyebabkan rendahnya tingkat toleransi etnis ini terhadap etnis mayoritas. Karena itu, sangat penting untuk mengetahui faktor apa saja yang berkontribusi terhadap toleransi etnis minoritas ini, yang ke depannya dapat mendukung untuk membangun interaksi etnis yang lebih baik dengan etnis mayoritas. Penelitian terdahulu telah menemukan faktor personal (empati, kepribadian, dan usia dewasa muda) yang paling kuat memengaruhi perkembangan toleransi. Namun, toleransi juga diduga dapat dipengaruhi oleh faktor eksternal; karena dapat dipelajari, terutama jika individu didukung oleh situasi tertentu, seperti sosialisasi dari orang tua. Karena itu, tesis ini ingin melihat bagaimana pengaruh ethnocultural empathy (empati khusus untuk orang yang berbeda etnis), kepribadian, dan ethnic-racial socialization (transmisi informasi, nilai, dan perspektif mengenai ras dan etnis dari orang tua kepada anak) terhadap perkembangan toleransi, khususnya pada dewasa muda Tionghoa-Indonesia (N = 208). Uji hipotesis menggunakan structural equation model (SEM) menemukan hubungan yang signifikan antara ethnocultural empathy dan toleransi. Namun demikian, tidak ditemukan hubungan signifikan antara kepribadian dan toleransi. Selain itu, ditemukan juga hubungan yang signifikan tetapi negatif antara ethnic-racial socialization dengan toleransi. Dua penemuan ini tidak sesuai dengan hipotesis, menimbulkan kemungkinan adanya faktor lain yang memengaruhi perkembangan toleransi pada dewasa muda etnis Tionghoa-Indonesia. Penelitian lanjutan dibutuhkan untuk memahami lebih jauh bagaimana toleransi terhadap keberagaman pada etnis minoritas ini terbentuk.

Historical event of “Kerusuhan 1998” (1998’s riot) in Jakarta gave a massive effects to the life of ethnic minority Chinese-Indonesians. Because of this riot, most of the Chinese-Indonesians experienced trauma, and avoid any encounter with the ethnic majority; causing lower tolerance level of Chinese-Indonesians against the ethnic majority. Therefore, it is important to know about what factors contribute to tolerance of ethnic minority, in order to build a better ethnic interaction with the ethnic majority. Previous research had found some personal factors that influence development of tolerance (i.e. empathy, personality, and the young adults age). Nevertheless, it is also suspected that tolerance can be also predicted by external factors; because it can be learnt, especially if someone is supported by certain circumstances, such as socialization from parents. Therefore, this study is expanding another possibility on how ethnocultural empathy (empathy to people with different ethnicities), personality, and ethnic-racial socialization (transmission of information, values, and perspectives of race and ethnicity from parents to children) might also contribute to the development of tolerance to diversity in Chinese-Indonesians young adults (N = 208). The hypothesis testing using structural equation model (SEM), found a significant relationship between tolerance and ethnocultural empathy. However, no significant relationship found between personality and tolerance. Meanwhile, ethnic-racial socialization has a significant relationship with tolerance, but in a negative way. These last two findings are not as hypothesized, suggests another possibilities of other factors that influence of tolerance development in Chinese-Indonesian young adults. Future studies are needed to find deeper understanding on how this ethnic minority develops their tolerance to diversity."
Depok: Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, 2019
T52045
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Musfiratun
"Tesis ini membahas tentang konsep diri pelaku konversi agama etnis Tionghoa yang merupakan anggota Persatuan Islam Tionghoa Indonesia (PITI) Jakarta. Identitas orang Tionghoa Indonesia mengalami pasang surut dari era kolonial hingga Orde Baru, karena asal etnis mereka, orang Tionghoa tidak dianggap sebagai penduduk asli Indonesia meskipun keberadaan mereka di negara ini sudah lama. Persepsi ini membuat orang Tionghoa mendapatkan status sebagai orang asing yang seringkali menerima diskriminasi. Hal paling dilematik yang terjadi adalah identitas diri dari mualaf Tionghoa yang berada di persimpangan di antara identitas Tionghoa dan identitas Pribumi.
Penelitian ini menggunakan teori Looking Glass Self yang dikemukakan oleh Charles H. Cooley untuk membahas mengenai identitas dan konsep diri dari pelaku konversi agama. Sedangkan jenis penelitian yang digunakan adalah pendekatan kualitatif, fenomena konversi agama dianalisis melalui prespektif fenomenologi subjek sehingga diharapkan mampu merekonstruksi kehidupan yang dialami oleh setiap subjek penelitian. Keempat subjek penelitian dipilih dengan cara sampling purposive dengan kriteria 1) Merupakan pelaku konversi agama Islam yang berasal dari etnis Tionghoa, 2) Merupakan anggota aktif dari organisasi PITI Jakarta yang tercatat dan mengikuti berbagai kegiatan dari PITI.
Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa setiap subjek penelitian memiliki motifmotif personal yang melatarbelakangi proses konversi agama. Tahapan terakhir dari proses konversi agama adalah adanya perubahan konsep diri dan pembentukkan identitas baru dari keempat subjek penelitian. Perubahan konsep diri pada pelaku konversi agama etnis Tionghoa berlangsung secara bertahap seiring interaksinya dengan lingkungan. Berbagai peristiwa yang mengiringi subjek dalam proses konversi agama turut andil dalam pembentukan konsep diri.

This thesis studies about self concepts of Tionghoa religion converts in Persatuan Islam Tionghoa Indonesia (PITI) Jakarta. The identity of Tionghoa people experienced up and down from colonial times until the new order, because of their ethnic status, Tionghoa people never considered as Indonesia citizen although they have lived in this country for a long time. The perception makes Tionghoa people experienced discrimination. The most complicated that happen are the identitiy of Tionghoa converts is at the intersection between Tionghoa and Indonesia.
This research used looking glass self theory presented by Charles H Cooley to explain about identity and self concepts of religion converts. this thesis used qualitative approach, the phenomena analysed through phenomenology prespective which mean the subjects could reconstruct their life as what they have done. The number of subjects are four choosen by purposive sampling with criteria considered 1) Tionghoa converts to Islam 2) is an active member of PITI Jakarta.
The result of this research showed that mostly of the subjects have several personal motives that can be predisposed them to conversion. The last and important part of the conversion process typically canging self concept and forming new identity of the four subject. The canging self concepts of Tionghoa converts took place gradually, over its interaction with the environment. The various events that centered the subjects in the conversion process, interfering to formed the self concepts."
Depok: Universitas Indonesia, 2014
T42674
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Musfiratun
"ABSTRAK
Tesis ini membahas tentang konsep diri pelaku konversi agama etnis Tionghoa yang merupakan anggota Persatuan Islam Tionghoa Indonesia (PITI) Jakarta.
Identitas orang Tionghoa Indonesia mengalami pasang surut dari era kolonial
hingga Orde Baru, karena asal etnis mereka, orang Tionghoa tidak dianggap
sebagai penduduk asli Indonesia meskipun keberadaan mereka di negara ini sudah lama. Persepsi ini membuat orang Tionghoa mendapatkan status sebagai orang asing yang seringkali menerima diskriminasi. Hal paling dilematik yang terjadi adalah identitas diri dari mualaf Tionghoa yang berada di persimpangan di antara identitas Tionghoa dan identitas Pribumi.
Penelitian ini menggunakan teori Looking Glass Self yang dikemukakan oleh
Charles H. Cooley untuk membahas mengenai identitas dan konsep diri dari
pelaku konversi agama. Sedangkan jenis penelitian yang digunakan adalah
pendekatan kualitatif, fenomena konversi agama dianalisis melalui prespektif fenomenologi subjek sehingga diharapkan mampu merekonstruksi kehidupan yang dialami oleh setiap subjek penelitian. Keempat subjek penelitian dipilih dengan cara sampling purposive dengan kriteria 1) Merupakan pelaku konversi agama Islam yang berasal dari etnis Tionghoa, 2) Merupakan anggota aktif dari organisasi PITI Jakarta yang tercatat dan mengikuti berbagai kegiatan dari PITI.
Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa setiap subjek penelitian memiliki motifmotif personal yang melatarbelakangi proses konversi agama. Tahapan terakhir dari proses konversi agama adalah adanya perubahan konsep diri dan pembentukkan identitas baru dari keempat subjek penelitian. Perubahan konsep diri pada pelaku konversi agama etnis Tionghoa berlangsung secara bertahap seiring interaksinya dengan lingkungan. Berbagai peristiwa yang mengiringi subjek dalam proses konversi agama turut andil dalam pembentukan konsep diri

ABSTRAK
This thesis studies about self concepts of Tionghoa religion converts in Persatuan Islam Tionghoa Indonesia (PITI) Jakarta. The identity of Tionghoa people experienced up and down from colonial times until the new order, because of their ethnic status, Tionghoa people never considered as Indonesia citizen although they have lived in this country for a long time. The perception makes Tionghoa people experienced discrimination. The most complicated that happen are the identitiy of Tionghoa converts is at the intersection between Tionghoa and Indonesia.
This research used looking glass self theory presented by Charles H Cooley to explain about identity and self concepts of religion converts. this thesis used qualitative approach, the phenomena analysed through phenomenology prespective which mean the subjects could reconstruct their life as what they have done. The number of subjects are four choosen by purposive sampling with criteria considered 1) Tionghoa converts to Islam 2) is an active member of PITI Jakarta.
The result of this research showed that mostly of the subjects have several
personal motives that can be predisposed them to conversion. The last and
important part of the conversion process typically canging self concept and
forming new identity of the four subject. The canging self concepts of Tionghoa converts took place gradually, over its interaction with the environment. The various events that centered the subjects in the conversion process, interfering to formed the self concepts"
2014
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
cover
Hertz, Jana C.
"This article, based on original ethnographic research in two Indonesian non-government organizations, examines challenges faced by Indonesian activists in their work to improve inter-religious and inter-ethnic relations. The results of the research conclude that religio-political power struggles at the national level are the major obstacles for the NGO 's observed in their efforts to promote legal justice for religious and ethnic minorities. In particular, the use of religion as a political identity in Indonesia raises sensitive issues related to secularism and individual rights. The article recommends that Indonesian NGO's focus their efforts on three main areas in their work to promote religious and ethnic justice: 1) clarifying the origins of secularism, in particular the perception that human rights are not a part of Indonesian culture; 2) discussion of the history of colonialism and imperialism and the connection to human rights; and 3) expanding the discourse on religion and its relationship to racial and ethnic discrimination, Islamic law, and national law."
2003
AIIJ-XXVII-72-SeptDes2003-58
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
cover
Hutabarat, Martha Laura
Depok: Universitas Indonesia, 2003
S25673
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>