Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 184345 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Dipdo Petrus Widjaya
"Latar Belakang : Pneumotoraks merupakan kasus kegawat daruratan yang harus ditatalaksana segera. Penilaian berbagai penyakit paru dan faktor-faktor penyebab secara tepat sangat penting diketahui sebagai panduan dalam kerjasama antardisiplin ilmu dan untuk meningkatkan penatalaksanaan pneumotoraks secara menyeluruh. Faktor risiko yang mempengaruhi kesintasan pasien pneumotoraks adalah usia dan infeksi HIV, namun data di Indonesia masih belum ada.
Tujuan : Untuk mengetahui karakteristik pasien pneumotoraks dan faktor-faktor yang mempengaruhi kesintasannya selama perawatan di RSCM.
Metode : Penelitian desain kohort retrospektif, dilakukan terhadap pasien pneumotoraks yang dirawat inap di RSCM pada kurun waktu Januari 2000 sampai Desember 2011. Kesintasan kumulatif selama 8 hari perawatan dan faktor yang mempengaruhi dianalisis secara bivariat dengan metode Kaplan Meier dan uji Log-rank serta analisis multivariat dengan Cox proportional hazard regression model untuk menghitung hazard ratio (HR) dan interval kepercayaan 95%.
Hasil : Seratus empat pasien pneumotoraks yang memenuhi kriteria penelitian ditemukan lebih banyak pada laki-laki 78(73,1%) dengan rerata usia 39,7(simpang baku[SB],16,2) tahun. Keluhan respirasi terbanyak berupa sesak napas 103(99%) dan kelainan pada pemeriksaan fisik hipersonor 101(97,1%). Foto polos toraks menunjukkan hiperlusen avaskular 95(91,4%). Faktor penyebab kejadian yang didapatkan adalah merokok 43(41,3%), pneumonia 42(40,3%), tuberkulosis 37(35,5%), trauma dada 13(12,5%), kejadian iatrogenik 6(5,7%), keganasan paru 6(5,7%), PPOK 5(4,8%), asma bronkiale 5(4,8%) dan artritis reumatoid 1(1%). Jenis pneumotoraks terbanyak adalah pneumotoraks spontan sekunder 49(47,1%). Tatalaksana sebagian besar dengan pemasangan WSD 98(94,2%). Keluaran pasien pneumotoraks hidup 69(66,3%), meninggal 35(33,7%). Penyebab kematian terbanyak pada pasien pneumotoraks saat perawatan adalah gagal napas 16(45,8%). Faktor-faktor yang memperburuk kesintasan pasien pneumotoraks adalah trauma dada (HR=3,49 (IK 95% 1,52;8,04)) dan tuberkulosis paru (HR=3,33 (IK 95% 1,39;7,99)).
Kesimpulan : Adanya tuberkulosis paru dan trauma dada memperburuk kesintasan pasien pneumotoraks selama perawatan di RSCM.

Background : Pneumothorax is an emergency case should be managed immediately. Assessment of lung diseases and the factors that cause pneumothorax is very important to know the proper guidelines in cooperation an interdisciplinary medical science and to improve the overall management of pneumothorax. Risk factors affecting the survival rate of pneumothorax patients are age and HIV infection, but there is no data in Indonesia.
Objective : The purpose of this study was to determine the characteristics of pneumothorax patients and factors affecting survival during hospitalization in RSCM.
Methods : Retrospective cohort study design conducted on pneumothorax patients who were admitted in RSCM in the period January 2000 to December 2011. Cumulative survival rate for 8 days of hospitalization and the factors affecting analyzed by bivariate with Kaplan Meier method and log-rank test and multivariate analysis by cox proportional hazard regression model to calculate hazard ratio (HR) and 95% confidence intervals.
Results : A total of 104 pneumothorax patients were reviewed. Their mean age was 39.7 years (SD ± 16.2 years) with a male to female ratio of 3:1. Commonest symtoms was shortness of breath 103(99%) and abnormalities on physical examination was hypersonor 101(97.1%). Plain chest X-ray showed hyperlucent avascular 95(91.4%).
Etiologic factors for the incidence of secondary pneumothorax were smoking 43(41.3%), pneumonia 42(40.3%), tuberculosis 37(35.5%), chest trauma 13(12.5%), iatrogenic 6(5.7%), lung malignancy 6(5.7%), COPD 5(4.8%), asthma 5(4.8%) and rheumatoid arthritis 1(1%). Commonest type of pneumothorax was secondary spontaneous pneumothorax 49(47.1%). Most of pneumothorax patients were successfully managed by chest thoracoscopy 98(94.2%). Outcome of pneumothorax patients were live 69(66.3%), died 35(33.7%). Causes of death in pneumothorax patients was respiratory failure 16(45.8%). Factors that worsen the survival rate of pneumothorax patients were chest trauma (HR = 3.49 (95% CI 1.52 to 8.04)) and pulmonary tuberculosis (HR = 3.33 (95% CI 1.39 to 7.99 )).
Conclusions : Factors that worsen the survival rate of pneumothorax patients were pulmonary tuberculosis and chest trauma that hospitalized in RSCM.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2013
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Rahardi Mokhtar
"Latar belakang: Pneumotoraks merupakan kondisi terjadinya akumulasi udara di pleura yang dapat menyebabkan kolaps pada paru, dan paling lebih sering terjadi pada periode neonatus dibandingkan dengan periode kehidupan lainnya. Angka insidens pneumotoraks meningkat menjadi 6-7% pada kelahiran bayi berat lahir rendah (BBLR). Saat ini sudah banyak kemajuan dalam perawatan intensif neonatus, tetapi pneumotoraks tetap menjadi komplikasi pernapasan utama yang menyebabkan kematian. Identifikasi faktor risiko yang berhubungan dengan pneumotoraks pada neonatus penting agar dapat dilakukan tatalaksana yang tepat dan sebagai evaluasi pencegahan dan tata laksana yang saat ini sudah diterapkan.
Metode: Penelitian kasus kontrol ini melibatkan neonatus usia <28 hari yang lahir cukup bulan di RSCM yang diambil retrospektif secara consecutive sampling mulai perawatan 1 Januari 2021 hingga 31 Desember 2022. Subjek dibagi menjadi kelompok kasus (dengan pneumotoraks) dan kontrol (tanpa pneumotoraks) berdasarkan klinis dan radiologis selama perawatan. Faktor risiko yang ada pada masing-masing kelompok diidentifikasi dari rekam medis. Data kemudian dianalisis menggunakan program SPSS.
Hasil: Total 116 subjek yang diteliti terdiri atas 58 subjek pada kelompok kasus dan 58 subjek pada kelompok kontrol. Angka kejadian pneumotoraks pada bayi di RSCM yaitu 2%. Faktor yang terbukti menjadi risiko terhadap insidens pneumotoraks adalah ventilasi mekanik invasif (OR 3,19; IK 1,01-10,11; p=0,048). Faktor yang tidak terbukti berhubungan dengan pneumotoraks adalah ventilasi tekanan positif saat resusitasi, sindrom distres napas, dan sepsis neonatorum. Angka kematian bayi dengan pneumotoraks adalah 72,4%.
Kesimpulan: Faktor risiko yang mempunyai hubungan bermakna dengan pneumotoraks pada bayi usia <28 hari yang lahir cukup bulan adalah penggunaan ventilasi mekanik invasif.

Background: Pneumothorax is a condition where air accumulation in the pleura can lead to lung collapse, and is more common in the neonatal period compared to other periods of life. The incidence of pneumothorax increases to 6-7% in low birth weight (LBW) neonates. There have been many advances in the intensive care of neonates, but pneumothorax remains a major respiratory complication leading to death. Identification of risk factors associated with pneumothorax in neonates is important for appropriate management and to evaluate current prevention and management.
Method: This case-control study involved neonates aged <28 days who were born at full term at RSCM who were taken retrospectively by consecutive sampling from January 1st 2021 to December 31st 2022. Subjects were divided into case groups (with pneumothorax) and controls (without pneumothorax) based on the clinical and radiology during treatment. The risk factors in each group were identified from medical records. The data were then analysed using the SPSS program.
Result: A total of 116 subjects were studied, consisting of 58 subjects in the case group and 58 subjects in the control group. The incidence rate of pneumothorax in neonates at RSCM was 2%. The factor that proved to be a risk factor for the incidence of pneumothorax in neonates was invasive mechanical ventilation (OR 3.19; IK 1.01-10.11; p=0.048). Factors not associated with pneumothorax were positive pressure ventilation during resuscitation, respiratory distress syndrome, and neonatal sepsis. The mortality rate of neonates with pneumothorax was 72.4%.
Conclusion: Risk factor that significantly associated with pneumothorax in neonates aged <28 days who were born at full term is invasive mechanical ventilation.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2023
SP-Pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
"Pneumotoraks spontan sekunder dari karsinoma paru terjadi sangat jarang (0,05% dari seluruh pneumotoraks). Kami melaporkan sebuah kasus dari pria berusia 66 tahun dengan pneumotoraks spontan persisten sebelah kanan, yang pada mulanya dicurigai sekunder dari emfisema bulosa. Penemuan intraoperasi berupa bula di bagian apeks dengan karnifikasi non-spesifik pada bagian dasar dan sebuah bula pada lobus inferior. Secara mengejutkan, pemeriksaan histologi
menampakkan karsinoma bukan sel kecil yang tidak terdefinisi. Meskipun pneumotoraks spontan yang berhubungan dengan karsinoma paru jarang terjadi, kecurigaan keganasan perlu ditingkatkan pada pasien di atas 40 tahun dengan pneumotoraks spontan, khususnya pasien risiko tinggi seperti perokok atau pasien dengan bronkitis kronik atau emfisema.

Abstract
Spontaneous pneumothorax secondary to lung carcinoma is very rare (0.05% of all pneumothoraces). We report a case of a 66-year-old male with persistent right-sided spontaneous pneumothorax, initially suspected as secondary to bullous emphysema. Intraoperative findings consisted of an apical bulla with a nonspecific carnification at its base and a bulla at the lower lobe. Surprisingly, histological examination revealed an undefined non-small cell carcinoma. Although spontaneous pneumothorax associated with lung carcinoma is rare, suspicion for malignancy should be raised in patients over 40 presenting with spontaneous pneumothorax, especially in high risk patients such as smokers or patients with chronic bronchitis or emphysema."
[Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, Vascular and Thoracic Surgery Department, Ernst von Bergmann Clinic, Potsdam, Germany], 2013
pdf
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
cover
Yulia Prihartini
"Makin bertambahnya dan meningkatnya pertambahan penduduk dan diikuti dengan kemajuan dibidang teknologi dan industri, secara tidak langsung polusi lingkunganpun meningkat. Gas dari asap kendaraan, polusi pabrik-pabrik industri dan terutama pola hidup yang tidak sehat, merokok di sembarang tempat semakin menambah tingkat polusi yang mengancam kesehatan, terutama penyakit-penyakit saluran napas, baik saluran npas atas ataupun saluran napas bawah, seperti TBC, pharingitis, pneumothorax, empisema, asma, bronchitis dan penyakil paru lainnya.
Penyakit paru sangat herbahaya dan mengancam kehidupan apabila tidak segera ditangani. Salah satu penyakil paru yang sering terjadi adalah pneumothorax , yaitu bila udara masuk ke area pleural antara pleural viseral dan parietal, bila terjadi tegangan pneumothorax, sobekan pada bronkhus paru alau dinding dada bekerja sebagai katup yang memungkinkan udara masuk ke area pleural pada inspirasi. Bila ini tidak diketahui dengan cepat dan diterapi, atelektasis dapat terjadi juga dapat menyebabkan kematian.
Pengaturan posisi pada pasien yang terpasang selang dada, membantu meningkatkan drainase dan juga mencegah deformitas dan komraktur.
Ketepatan posisi membantu pemapassan dan meningkatkan sirkulasi napas. Penanganan nyeri diperlukan untuk kenyamanan dan menarik napas dalam (Brunner & Suddart’s, 1996 hal.570). Posisi ideal untuk pasien yang terpasang selang dada (WSD) adalah posisi semi Fowler (Hudak’s & Gallo, 1997). Dari hasil penelitan ini memperlihatkan adanya hubungan yang signifikan antara pengaturan posisi semi fowler terhadap penunman rasa nyeri pada klien yang terpasang selang dada (WSD). Hal ini sesuai dengan teori dari Brunner dan Suddarth yang mengatakan bahwa ketepatan pengaturan posisi diperlukan untuk kenyamanan, pengurangan rasa nyeri dan menarik napas dalam."
Depok: Fakultas Ilmu Keperawatan Universitas Indonesia, 2002
TA5275
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Syechan Ari Rinaldo
"Pneumotoraks spontan sekunder adalah kondisi ketika udara atau gas lain memasuki rongga pleura yang dapat disebabkan oleh tuberkulosis paru. Pasien dengan pneumotoraks memiliki beberapa manifestasi klinis seperti nyeri dada pleuritik, meningkatknya frekuensi pernapasan, dan sesak napas. Diagnosa keperawatan yang dirumuskan pada pasien adalah pola napas tidak efektif, ketidakstabilan kada glukosa darah, risiko cedera, risiko perluasan infeksi, dan risiko jatuh. Salah satu intervensi keperawatan harus segera dilakukan untuk meningkatkan status pernapasan pada pasien dengan pneumotoraks adalah penerapan posisi Fowler dan latihan pernapasan. Beberapa penelitian sebelumnya menunjukkan bahwa posisi Fowler dan latihan pernapasan dapat meningkatkan status pernapasan. Hasil dari penerapan intervensi tersebut menunjukkan adanya peningkatan status pernapasan dengan indikator keluhan sesak, laju pernapasan, dan oksimetri.

Secondary spontaneous pneumothorax is a condition when air or other gases enter the pleural space that can be caused by pulmonary tuberculosis. Patients with pneumothorax have several clinical manifestations such as pleuritic chest pain, increased respiratory rate and shortness of breath. Nursing diagnosis occured in patient included an ineffective breathing pattern, unstable blood glucose level, risk for suffocation, risk for infection spreading, and risk for fall. Nursing interventions must be carried out immediately mainly to improve respiratory status. There are several interventions that can be performed to improve respiratory status in patients with pneumothorax, including the application of Fowler's position and breathing exercises. Previous studies have shown that Fowler's position and breathing exercises can improve respiratory status. The results of implementing these interventions showed an increase in respiratory status indicated by shortness of breath, respiratory rate, and pulse oximetry.
"
Jakarta: Fakultas Ilmu Keperawatan Universitas Indonesia, 2023
PR-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Nila Fitri
"Residensi spesialis keperawatan medikal bedah kekhususan respirasi melakukan proses pembelajaran dan manajemen asuhan keperawatan dilakukan dengan pendekatan proses keperawatan berdasarkan bukti-bukti ilmiah pada masalah kesehatan yang lazim terjadi pada usia dewasa baik yang bersifat akut dan kronik dengan penanganan konservatif maupun tindakan pembedahan dengan tetap berorientasi kepada upaya preventif, kuratif, dan rehabilitatif melalui tindakan keperawatan mandiri maupun kolaboratif. pemberi asuhan keperawatan dengan mengelola kasus pasien medikal bedah dan khususnya kasus pasien respirasi. Penerapan asuhan keperawatan menggunakan pendekatan teori model keperawatan model konseptual adaptasi yang dikembangkan oleh sister kalista roy. Calista roy mengembangkan konsep adapatasi dengam menggambarkan tingkat adapatasi sebagai kondisi proses kehidupan yang dapat berubah secara terus menerus dibangun dari stimulus fokal, kontekstual dan residual. Kasus bekas tuberkulosis mengalami berbagai gejala sisa dan komplikasi dapat terjadi pada paru dan bagian ekstrapulmonal dari thorax pada pasien yang dirawat atau tidak diobati. Diperkirakan 58 juta orang selamat dari tuberkulosis sejak tahun 2000, namun banyak dari mereka akan menderita post tuberculosis lung disease (PTLD). Latihan napas yang diberikan kepada pasien salah satunya dengan mindful breating, Latihan napas ini dilakukan pasien dengan bimbingan perawat dan focus terhadap pernapasannya sehingga menimbulkan perasaan tenang dan dampak dapat mengriangi sesak napas yang dirasakan. Inovasi keperawatan dengan mengembangkan video edukasi monitoring dan perawatan di rumah pasien terpasang WSD sebagai media self-management bagi perawat ruang rawat dan pasien yang terpasang WSD.

Medical surgical nursing specialist residency specializing in respiration conducts a learning process and nursing care management is carried out with a nursing process approach based on scientific evidence on health problems that commonly occur in adults both acute and chronic in nature with conservative management and surgical procedures while remaining oriented towards efforts preventive, curative, and rehabilitative through independent and collaborative nursing actions. nursing care providers by managing medical surgical patient cases and especially respiratory patient cases. The application of nursing care uses a theoretical approach to the nursing model conceptual adaptation model developed by sister Kalista Roy. Calista Roy developed the concept of adaptation by describing the level of adaptation as a condition of a life process that can change continuously and is built from focal, contextual and residual stimuli. Cases of former tuberculosis have a variety of sequelae and complications can occur in the lungs and extrapulmonary parts of the thorax in treated or untreated patients. An estimated 58 million people have survived tuberculosis since 2000, but many of them will develop post- tuberculous lung disease (PTLD). One of the breathing exercises given to patients is mindful breathing. This breathing exercise is carried out by the patient under the guidance of a nurse and focuses on his breathing so that it creates a feeling of calm and the impact can relieve the shortness of breath that is felt. Nursing innovation by developing educational videos for monitoring and caring for patients with WSD installed as a self-management medium for ward nurses and patients with WSD installed."
Depok: Fakultas Ilmu Keperawatan Universitas Indonesia, 2023
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Asnidar
"Pneumothorax iatrogenic merupakan suatu kondisi dimana terdapat udara pada rongga pleura yang disebabkan oleh tertusuknya paru saat prosedur medis dilakukan. Pneumothorax menyebabkan masalah ketidakefetifan pola napas. Salah satu penatalaksanaan untuk pasien dengan pneumothorax adalah pemasangan WSD. Karya ilmiah ini bertujuan untuk menganalisis intervensi pemberian posisi dan monitoring WSD pada pasien dengan pneumothorax yang dilakukan selama lima hari. Berdasarkan hasil evaluasi didapatkan berkurangnya keluhan sesak dan menurunnya frekuensi pernapasan pasien dari dari 36 x/menit hingga 24 x/menit, serta nyeri dapat terpantau. Positioning dan monitoring WSD dapat direkomendasikan sebagai tindakan untuk pasien pneumothorax dengan WSD.

Iatrogenic pneumothorax is a condition where there is air in the pleural cavity caused by puncturing the lungs when a medical procedure is being carried out. Pneumothorax causes ineffective breathing patterns problems. One of treatment for pneumothorax is the using of WSD. This paper aimed to analyze positioning and WSD monitoring interventions in pneumothorax patients that was done for five days. Based on the evaluation results showed that shortness of breath decreased subjectively, respiratory rate decreased from 36 bpm till 24 bpm, and pain level monitored. Positioning and WSD monitoring intervention can be recommended as a nursing intervention to pneumothorax patients.  "
Depok: Fakultas Ilmu Keperawatan Universitas Indonesia, 2019
PR-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Rahma Prastasari
"ABSTRAK
Tujuan: Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui kesintasan hidup pasien kanker serviks dan faktor-faktor yang mempengaruhinya.
Metode: Penelitian ini menggunakan desain kohort retrospektif dengan analisis kesintasan. Pasien kanker serviks yang didiagnosis di Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo pada 1 Januari 2005 sampai 31 Desember 2006 dimasukkan dalam penelitian ini. Dilakukan pendataan tanggal dan umur saat diagnosis, tingkat pendidikan, stadium, jenis histopatologi, diferensiasi tumor, invasi limfovaskuler, jenis terapi, dan lengkapnya terapi. Jika pasien menjalani operasi, dinilai pula adanya tumor pada kelenjar getah bening(KGB) atau batas sayatan. Selanjutnya pasien diamati sampai minimal 5 tahun apakah pasien masih hidup. Kemudian dilakukan analisis kesintasan dengan metode Kaplan Meier. Faktor-faktor yang mempengaruhi kesintasan dinilai dengan analisis Cox regression.
Hasil: Diperoleh 447 pasien kanker serviks dalam kajian ini. Didapatkan median survival keseluruhan pasien kanker serviks 1916 hari (63 bulan) dengan kesintasan hidup 5 tahun 52%. Faktor umur, pendidikan, jenis pembiayaan, ukuran tumor, dan adanya invasi limfovaskuler tidak menunjukkan adanya perbedaan kesintasan. Stadium III dan IV memiliki kesintasan hidup yang lebih rendah dengan Hazard Ratio 3.27 dan 6.44. Diferensiasi buruk dan terapi tidak lengkap memiliki kesintasan yang lebih rendah dengan HR 2.26 dan 2.22. Jenis histopatologi lain-lain memiliki kesintasan yang lebih rendah dengan HR 2.85, namun tidak menunjukkan perbedaan bermakna pada uji multivariat. Pada pasien yang menjalani operasi disertai adanya tumor pada KGB menunjukkan kesintasan yang lebih rendah dengan HR 12.01, sedangkan adanya tumor pada batas sayatan tidak menunjukkan perbedaan kesintasan yang bermakna. Jenis terapi pada stadium awal ataupun sradium lanjut tidak menunjukkan perbedaan pada uji multivariat.
Kesimpulan: Median survival pasien kanker serviks adalah 63 bulan. Faktor-faktor yang berpengaruh secara independen terhadap kesintasan pasien kanker serviks adalah stadium, diferensiasi tumor, kelengkapan terapi, dan adanya tumor pada kelenjar getah bening.

ABSTRACT
Objective: To find out of the probability of 5 years survival rate on cervical cancer patients and to identify the influencing factors.
Methods: This is a retrospective cohort study. Cervical cancer patients treated at Cipto Mangunkusumo Hospital in 2005-2006 were selected. Demographic and clinical data were collected. Demographic data collected were diagnosis time, age, and education level. Clinical data collected were stage, histopathology, differentiation, lymphovascular invasion, and therapy. The appearance of the tumor on the specimen margin and lymphnodes was also noted in the patient underwent surgery. All the patients were followed up for minimal 5 years to know whether the patient was alive. Kaplan Meier methods was used to determine the survival rate probability and Cox regression analysis was used to assessed the factors influencing the cervical cancer survival
Result: A total of 447 cervical cancer patients was enrolled to this study. Median survival of these patients was 63 months and the overall 5-years survival probability was 52%. Age, education level, funding source, tumor size, and lymph-vascular invasion showed no significant differences on cervical cancer survival. Stage III and IV had lower survival probability (Hazard Ratio 3.27 and 6.44). Poor differentiated tumor and uncompleted therapy also had lower survival probability (HR 2.26 and 2.22). Histopathology of others had lower survival probability(HR 2.85), but wasn't significant on multivariate analysis. The presence of tumor on the cervical cancer specimen during operation showed worse survival probability (HR 12.01), otherwise the presence of tumor on specimen margin didn't show difference survival. Therapy types didn't showed any differences, either on early and advanced stage.
Conclusion: Cervical cancer median survival was 63 months. Independent influencing factors in this study were cancer’s stage, tumor differentiation, therapy completeness, and the presence of the tumor on the pelvic lymph nodes specimen during operation."
Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2012
T33184
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Diah Asih Lestari
"Latar belakang dan tujuan: Karsinoma sel hati merupakan keganasan primer hati yang paling sering dan menempati urutan kelima sebagai kanker tersering di seluruh dunia. Meskipun faktor risiko karsinoma sel hati sudah diketahui, namun insidensnya tetap tinggi dengan angka kesintasan yang tetap rendah. Bedah merupakan terapi definitif untuk pasien karsinoma sel hati. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui angka kesintasan pascareseksi dan faktor-faktor yang memengaruhi.
Metodologi: Penelitian ini merupakan suatu penelitian kohort dengan analisis kesintasan di Departemen Klinik Ilmu Bedah Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia RSCM. Data diperoleh dari rekam medis pasien karsinoma sel hati di RSCM selama periode Januari 2010 hingga Desember 2020. Variabel bebas yang diteliti adalah jenis kelamin, jumlah lesi, ukuran tumor, invasi vaskular, kadar AFP, sirosis hati, skor Child-Pugh, derajat histopatologi. Uji chi-square dilakukan untuk mengetahui hubungan antara variabel bebas dan terikat.
Analisis multivariat dilakukan dengan Cox Proportional Hazard Regeresion test. Metode Kaplan Meier digunakan untuk menentukan tingkat kesintasan.
Hasil: Sebanyak 86 subjek dikumpulkan pada penelitian ini. Terdapat 17 subjek dieksklusi karena data penelitian yang tidak lengkap. Median usia keseluruhan subjek adalah 54 tahun (33-76). Tingkat kematian subjek secara keseluruhan adalah 62,3%. Kesintasan subjek 6 bulan, 1 tahun, dan 3 tahun masing-masing adalah 66,6%; 56,5%; dan 37,6%. Pada penelitian ini tidak didapatkan satupun faktor risiko yang berhubungan dengan kesintasan.
Kesimpulan: Dari hasil penelitian ini belum didapatkan faktor-faktor risiko yang signifikan memengaruhi kesintasan pasien karsinoma sel hati pascareseksi,.Perlu dilakukan penelitian dengan jumlah subjek lebih besar agar dapat diketahui faktor-faktor apa saja yang memengaruhi kesintasan pada pasien karsinoma sel hati pascareseksi.

carcinoma is the most common primary liver cancer and the fifth most common cancer in the world. Despite the risk factors of hepatocellular carcinoma have been identified, its incidence is still high and survival rate is still low. Surgery is thought to be a definitive treatment for hepatocellular carcinoma patients. This research focuses on postresection survival rate and its associated factors.
Method: This cohort retrospective data study was conducted at DR Cipto Mangunkusumo National General Hospital between January 2010 and December 2020. Information about sex, number of tumor, tumor size, vascular invasion, Alpha fetoprotein level, hepatic cirrhosis, Child-Pugh Score, and histopathologic stage were collected from medical record. Chi square analysis was done to investigate relationship between independent variables and dependent variable. Multivariate analysis was performed by using Cox Proportional Hazard Regression test. Kaplan Meier method was used to calculate survival rate.
Result: A total of 86 subjects were recruited in this study, 17 subjects were excluded due to incomplete medical record. The median age of subjects in this study was 54 years old (33-76). The overall mortality in this study was 62.3%. Six months, 1 year, and 3 years survival rate were 66.6%; 56;5%; and 37.6% respectively. Our study showed that none of the factors analyzed associated with survival rate.
Conclusion: We had not found any risk factors which associated with survival of patients with hepatocellular carcinoma. We suggest future research with larger number of subjects to identify any factors associated with survival of hepatocellular carcinoma subjects following resection.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2021
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Fenny D`Silva
"Latar belakang. Transplantasi hati merupakan terapi definitif untuk penyakit hati tahap akhir baik pada dewasa maupun anak. Beberapa dekade terakhir, kemajuan dalam teknik bedah, perservasi, terapi imunosupresif, pemantauan dan pengobatan infeksi telah meningkatkan keberhasilan transplantasi hati. Penelitian ini bertujuan untuk mengidentifikasi faktor-faktor yang memengaruhi kesintasan satu tahun pasien dan graft pasca-transplantasi di Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo.
Metode. Penelitian ini merupakan studi kohort retrospektif yang mengkarakterisasi pasien <18 tahun yang menjalani transplantasi hati selama periode tahun 2010 dan 2022. Sumber data melalui penelusuran rekam medis. Kurva Kaplan-Meier digunakan untuk menggambarkan kesintasan pasien dan graft. Analisis statistik bivariat dan multivariat dilakukan dengan menggunakan uji log-rank dan Cox’s proportional hazards. Nilai p <0,05 dianggap signifikan pada analisis multivariat.
Hasil. Sebanyak 55 pasien anak yang menjalani transplantasi hati; 50,9% adalah lelaki dengan rerata usia 16 bulan. Atresia bilier merupakan penyebab terbanyak dari penyakit hati kronis tahap akhir yang menjalani transplantasi hati. Kesintasan satu tahun secara keseluruhan adalah 85,5%. Berdasarkan hasil analisis multivariat, skor pediatric end-stage liver disease (PELD) ≥20 (p = 0,011) dan durasi operasi ≥16 jam (p = 0,002) merupakan faktor yang berhubungan dengan kesintasan pasien dan graft yang lebih rendah.
Kesimpulan. Pemantauan khusus direkomendasikan pada pasien anak dengan skor PELD tinggi yang menjalani transplantasi hati dan durasi operasi yang lebih lama untuk meningkatkan kesintasan pasien dan graft. Diperlukan penelitian lebih lanjut dengan ukuran sampel yang lebih besar untuk mendapatkan hasil yang signifikan terhadap kesintasan pasien dan graft.

Background. Liver transplantation is the treatment of choice for end-stage liver in both adults and children. The last few decades, progress in terms of surgical techniques, preservation, immunosuppressive therapy, monitoring and treatment of infection have improved survival of liver transplantation. This study aims to identify factors that influence one-year post-transplant patient and graft survival at Cipto Mangunkusumo General Hospital.
Methods. This is a retrospective cohort analysis characterizing patients transplanted between 2010 and 2022 included all recipients <18 years of age undergoing pediatric liver transplantation. Data sources included hospital medical records. Outcomes measures were overall patient and graft survival. Kaplan-Meier Curve is used to describe patient and graft survival. Bivariate and multivariate statistical analysis was undertaken using log-rank test and Cox’s proportional hazards model. A p value <0.05 was considered significant at the multivariate level.
Results. A total of 55 pediatric patients underwent liver transplantation; 50,9% were boys and median age was 16 months. Biliary atresia were the most common causes of liver disease. Overall 1-year survival rates were 85.5%. According to multivariate analysis, pediatric end-stage liver disease (PELD) score ≥20 (p = 0.011) and operative duration ≥16 hours (p = 0,002) were factors associated with worse patient and graft survival.
Conclusion. Greater caution is recommended in pediatric patients with high PELD score undergoing liver transplantation and longer operative duration to improve patient and graft survival. Further research is needed with larger sample size to obtain a significant impact on patient and graft survival.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2022
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>