Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 64976 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Toton Rasyid
"ABSTRAK
Hubungan antara penyidik dan penuntut umum dalam penanganan perkara
dijembatani dengan prapenuntutan. Dalam prapenuntutan ini tidak ada batasan
berapa kali bisa terjadi bolak-balik hasil penyidikan antara penyidik dengan
penuntut umum. Dampaknya adalah menumpuknya perkara tindak pidana di
Kejaksaan. Sehingga terjadi ketidakpastian hukum baik bagi tersangka maupun
korban, hal inilah yang akan dilihat dalam perspektif hak asasi manusia.
Penelitian ini adalah penelitian yuridis normatif dengan desain preskriptif. Hasil
penelitian menyimpulkan prapenuntutan tidak dilakukan secara maksimal oleh
penuntut umum karena ketidaktegasan penuntut umum menyikapi suatu perkara.
Karenanya perlu ketegasan penuntut umum dalam menyatakan sikap terhadap
suatu perkara yang didukung oleh standar operasional prosedur, dengan demikian
kepastian hukum sebagai salah bentuk satu hak asasi manusia akan dapat
diperoleh oleh korban maupun tersangka.

ABSTRACT
The relation between investigators and prosecutors in case handling abridged with
pre-prosecution. In this pre-prosecution there is no limit how many times can
come back and forth between certified the results of the investigation by the
public prosecutor. The implications of this is the build up the matter of a criminal
offense in prosecutor ' s office. So happen uncertainty law good for the suspect, as
well as victims these matters would be seen in perspective human rights. This
research is research juridical normative with a design prescriptive. The results of
research concludes pre-prosecution not carried out optimally by the public
prosecutor because indecisiveness prosecutors due to a cause. Therefore need to
explicitness prosecutors in declaring attitude toward a cause that is powered by
standard operating procedures, thus legal certainty as any the form of a human
rights will be obtained by the victim, and suspect."
2013
T35992
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Ni Nengah Gina Saraswati
"ABSTRAK
Dalam mengatur pola hubungan antara Penyidik dan Penuntut umum, KUHAP
mengatur mengenai asas pemisahan fungsional (diferensiasi fungsional) yang
memisahkan secara tegas mengenai fungsi Penyidikan dan Penuntutan. Kedua
fungsi tersebutberdiri secara independenya itu bebas dari campur tangan institusi
lainnya. Menurut KUHAP hubungan fungsional antara Penyidik dan Penyidikdan
Penuntut Umum diselenggarakan melalui Prapenuntutan.Namun pada
pelaksanaannya hubungan fungsional tersebut tidak berjalan efektif dengan
adanya ego sektoral dan Prapenuntutan yang bersifat administratif. Selain itu
sering terjadi perbedaan pandangan antara penyidikdanpenuntut umum dalam
proses Prapenuntutan. Hal ini terjadi, ketikaPenuntut umum meneliti berkas
perkara ternyata Penuntut umum berpendapat bahwa Penyidik tidak tepat
mencantumkan Pasal dari suatu delik yang dipersangkakan pada berkas perkara
hasil Penyidikan. Sementara kewenanganPenuntut umum dalam meneliti dan
mengembalikan berkas perkara, hanyalah sebatas memberikan petunjuk untuk
melengkapi hasil penyidikan yang dilakukan oleh Penyidik sesuai ketentuan Pasal
14 huruf b KUHAP. Sedangkan KUHAP sendiri,t idak memberikan penjelasan
batasan definisi ?Petunjuk melengkapi berkas perkara hasil penyidikan? yang
merupakan wewenang Penuntut umum dalam proses Prapenuntutan. Dalam
prakteknya terjadi perbedaan penafsiran antara penyidik dan penuntut
umummengenaikelengkapan berkasperkara. Selain itu, KUHAP tidak mengatur
batasan sampai berapa kali petunjuk dapat diberikan Penuntut umum kepada
Penyidik. Hal ini tergambar dengan adanya ?bolak-balik berkas perkara? antara
penyidik dan penuntut umum sehingga mengakibatkan penanganan perkara yang
berlarut-larut.Oleh karena itu, maka jalan keluar yang ditempuh sebagai
penyelesaian permasalahan tersebut adalah dalam wujud diselenggarakannya
Gelar perkara, Forum Mahkumjapol, serta koordinasi dan konsultasi. Penelitian
ini merupakan penelitian yuridis normative yang data utamanya adalah data
sekunder sedangkan data primer digunakan sebagai pendukung, dengan
menggambarkan wewenang penuntut umum dalam Prapenuntutan dan melakukan
wawancara dengan narasumber yang terkai dengan kewenangan tersebut.
Penelitian bertujuan untuk mendapat bentuk-bentukperbaikan yang dapat
dilakukan dalam pengaturan pola hubungan antara Penyidik dan Penuntut umum,
yang dalam hukum acara pidana yang akan datang.

ABSTRACT
In regulating the relationship between The Investigator and The Prosecutor, The
Criminal Procedure Code regulates theprinciple of separation of functional
(functional differentiation) which explicitly separating the functions of
investigation and prosecution. Both of these functions independently standing free
from interference by other institutions. According to The Criminal Procedure
Code, the functional relationship between The Investigators and The Prosecutors
organized through Pre-prosecution. However, in practice the functional
relationship was not effective because of sectoral ego and administrative processs
of pre-prosecution. Besides frequent disagreements between The Investigators
and The Prosecutors in Pre-prosecution process.This occurs when The
Prosecutor examined the case file, The Prosecutor found that The Investigator
write down the not right article of a offence which presupposed in the out come
investigation case files.While the authority of The Prosecutor to examine and
return the case file, only limited in clues to complete the results of investigations
conducted by The Investigators in accordance with Article14 letter of the
Criminal Procedure Code. While the Criminal Code it self, does not provide an
explanation limits the definition of "Complete results of the investigation case
file" whichis the authority of the Prosecutor in Pre-prosecution process. In
practice there is a difference of interpretation between the investigator and the
public prosecutor about the completeness of the case file. In addition, the
Criminal Code does not set limits to how many times the prosecutor guidance can
be given to the investigator.This is illustrated by the "case file back and forth"
between The Investigator and The Prosecutor handling the case, resulting
handling of criminal cases that is drag on. Therefore, the solution to complete the
case file is in ?Gelar Perkara?, Mahkumjapol Forum, as well as coordination
and consultation.This research is normative juridical research that the main data
is the secondary data while the primary data used as a support, by describing
theauthority ofThe Prosecutor in Pre-prosecution process and conducting
interviews with sources associated with such authority. The objective was to get
the pattern to dorepairs in the regulation ofthe relationship between The
Investigator and The Prosecutor in the future."
2013
T35106
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
R. Subekti, 1914-
Jakarta: Pradnya Paramita, 1994
323.42 SUB p
Buku Teks SO  Universitas Indonesia Library
cover
Indriyanto Seno Adji
Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 1998
345.05 IND p
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
cover
Nurudin
"Tesis ini membahas tentang implementasi kebijakan penanganan deteni lebih dari 10 di Rumah Detensi Imigrasi Jakarta dengan menggunakan teori implementasi kebijakan public George C. Edward, yang terdiri dari faktor, yaitu komunikasi, sumber-sumber, kecenderungan/disposisi dan struktur birokrasi. Penelitian ini menggunakan metode deskriptif kualitatif. Hasil penelitian menunjukkan bahwa komunikasi, sumber-sumber dan struktur birokrasi belum dapat berjalan dengan optimal yang disebabkan belum adanya peraturan yang secara jelas dan tegas mengatur penanganan deteni, sehingga menimbulkan perbedaan persepsi terhadap penanganan, pengawasan dan pelaporan maupun koordinasi penanganan deteni lebih dari 10 tahun.
Penelitian ini menyarankan untuk melakukan komunikasi peraturan sehingga terdapat kejelasan tugas dan wewenang dalam pengawasan dan pelaporan, pemberian pelatihan kerja bagi deteni, pemberian ijin tinggal, kejelasan status identitas diri dan kepastian hukum dalam rangka kehidupan yang layak dan pemenuhan hak asasi manusia serta peningkatan koordinasi internal dan eksternal sehingga mempunyai kesamaan pandangan dalam penanganan deteni lebih dari 10 tahun.

This thesis discussed about the implementation policy on handling detainees more than 10 years in Rumah Detensi Imigrasi Jakarta by using public policy implementation theory of George c. Edward. The theory consists of some factors such as communication, resources, disposition and bureaucracy structure. This research used qualitative descriptive method. The results showed that communication, sources, and bureaucracy structure hasn't been able to work optimally which were caused by the absence of clear and strict regulation to handle detainees. It made different perceptions of handling, monitoring and reporting as well as coordination for detainee more than 10 years.
This research suggested to communicate regulations in order to make the clarity of duties and authorities in monitoring and reporting, giving job training for detainees, granting of residence permit, the clarity of self identity and legal status in order to have a decent life and the fulfillment of human rights and also the increase of internal and external coordination so they have same perceptions on handling detainees more than 10 years.
"
Depok: Sekolah Kajian Stratejik dan Global Universitas Indonesia, 2014
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
R. Soesilo
Bogor: Politeia, 1985
345.5 SOE t
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
cover
R. Subekti, 1914-
Jakarta: Pradnya Paramita, 1984
323.42 SUB p
Buku Teks SO  Universitas Indonesia Library
cover
Rudi Pradisetia Sudirdja
"Penelitian ini membahas diskresi jaksa dalam sistem peradilan pidana di Indonesia. KUHAP belum mengatur diskresi secara jelas. Konsep diskresi baru ditemukan dalam hukum administrasi, tetapi apakah konsep ini dapat diterapkan dalam hukum pidana dan bagaimana pengaturan diskresi jaksa dalam proses pemeriksaan perkara pidana di Indonesia. Penelitian ini juga mengkaji konsep penuntutan yang memungkinkan digunakannya diskresi jaksa untuk kepentingan hukum dan kepentingan umum, sekaligus memformulasikan konsep diskresi jaksa yang ideal dalam SPP Indonesia. Penelitian ini menggunakan metode penelitian kualitatif untuk mengkaji aturan hukum, prinsip, konsep, teori, dan masalah hukum terkait, dan metode kuantitatif dalam pengumpulan pandangan jaksa tentang diskresi dengan teknik survei. Hasil kajian menunjukkan bahwa diskresi dalam hukum administrasi tidak dapat langsung diterapkan dalam hukum pidana. Diskresi dalam hukum pidana terkait dengan masalah hak asasi manusia dan hanya dapat dilakukan jika diberikan kewenangan oleh undang-undang. Esensi diskresi terletak pada kebebasan jaksa dalam menilai dan menerapkan kewenangan yang dimiliki. Di Indonesia, diskresi jaksa ditemukan pada setiap tahapan sistem peradilan pidana, tetapi hanya didasarkan pada aspek kepentingan hukum dan belum mencakup aspek kepentingan umum. Pelaksanaan diskresi jaksa juga dibatasi oleh prinsip kesatuan komando di lembaga kejaksaan. Mayoritas responden jaksa di Indonesia jarang menerapkan diskresi karena birokrasi yang rumit. Mereka setuju bahwa jaksa harus memiliki independensi dan akuntabilitas yang lebih kuat. Temuan penelitian ini menawarkan pendekatan baru bagi jaksa dalam mengambil keputusan, yakni pendekatan the operational efficiency model, yang menekankan efisiensi sistem peradilan pidana dengan mempertimbangkan aspek kepentingan umum. Penelitian ini juga menawarkan konsep penuntutan yang menggabungkan asas legalitas dengan asas oportunitas, serta mempertegas posisi jaksa sebagai pengendali perkara dan menjaga independensinya. Penelitian ini juga mengusulkan konsep diskresi jaksa dalam sistem peradilan pidana, termasuk prinsip-prinsip diskresi, syarat-syarat diskresi jaksa, alternatif penyelesaian perkara oleh jaksa, dan pemaknaan ulang terhadap makna Pasal 139 KUHAP yang mencakup kepentingan umum.

This study examines the discretion of prosecutors within the Indonesian criminal justice system. The Indonesian Criminal Procedure Code does not clearly regulate prosecutor’s discretion. While the concept of discretion has been established in administrative law, it remains unclear whether it can be applied in criminal law and how the discretion of prosecutors is regulated in the examination of criminal cases in Indonesia. This research investigates the concept of prosecution, which allows prosecutors to exercise discretion for the benefit of the law and the public interest, while formulating an ideal framework for prosecutor’s discretion in the Indonesian criminal justice system. Qualitative research methods are employed to examine legal rules, principles, concepts, theories, and related legal issues, and a quantitative approach is used to collect prosecutors' perspectives on discretion through a survey. The findings indicate that discretion in administrative law cannot be directly applied to criminal law. Discretion in criminal law is associated with human rights issues and can only be exercised if authorized by law. The essence of discretion lies in the prosecutor's freedom to assess and apply their powers. In Indonesia, prosecutor’s discretion is present at every stage of the criminal justice system, but it is currently limited to considerations of legal interests and does not encompass the public interest. The implementation of prosecutor’s discretion is further restricted by the principle of unity of command within the prosecutor's institution. The majority of surveyed prosecutors in Indonesia rarely exercise discretion due to bureaucratic complexities. They agree that prosecutors should have greater independence and accountability. The findings propose a new decision-making approach for prosecutors—the operational efficiency model—which prioritizes the efficiency of the criminal justice system while considering the public interest. Furthermore, this study presents a prosecution concept that combines the legality principles and opportunity principles, reinforcing the prosecutor's role as a case controller and preserving their independence. Additionally, the study suggests a framework for prosecutor’s discretion in the criminal justice system, including principles, criteria for prosecutor discretion, alternative case resolutions, and a reinterpretation of Article 139 of the Indonesian Criminal Procedure Code to incorporate the public interest."
Jakarta: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2023
D-pdf
UI - Disertasi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Muhammad Zuhal Qolbu Lathof
"Tulisan ini menganalisis bagaimana upaya mengantisipasi disparitas yang tidak bertanggungjawab pada tindak pidana tertentu dalam sistem peradilan pidana di Indonesia, khususnya terhadap praktik pembentukan pedoman pemidanaan terhadap tindak pidana tertentu yang diberikan wewenangnya kepada Mahkamah Agung dalam bentuk Peraturan Mahkamah Agung (PERMA). Tulisan ini disusun dengan menggunakan metode penelitian doktrinal. Dalam penelitian ini dihasilkan praktik yang dilakukan oleh Mahkamah Agung tersebut dinilai tidak tepat dengan tiga argumentasi yaitu ketidakidealan Mahkamah Agung dalam membuat Pedoman Pemidanaan yang diatur secara rigid apabila merujuk pada praktik baik di negara civil law maupun common law, proses perumusan serta pembentukan PERMA Pedoman Pemidanaan, dan hubungan hakim dengan PERMA Pedoman Pemidanaan. Untuk mengatasi ketidakidealan tersebut, sebenarnya dalam sistem peradilan pidana di Indonesia telah lama mengenal Pedoman Tuntutan yang dimiliki oleh Kejaksaan akan tetapi pedoman tersebut berbentuk Surat Edaran dan Pedoman yang ditujukan untuk internal Kejaksaan saja. Praktik Pedoman Tuntutan tersebut dinilai lebih tepat sebagai upaya untuk mengantisipasi disparitas yang tidak bertanggungjawab dengan empat argumentasi yaitu budaya kerja yang ada di Kejaksaan, sistem perumusan dan pembentukan pedoman tuntutan, hubungan Jaksa dengan pedoman tuntutan, dan hubungan Hakim dengan surat tuntutan yang disampaikan oleh Jaksa Penuntut Umum. Untuk mengatasi kekurangan dari praktik tersebut, maka sebaiknya pedoman tuntutan dibentuk ke dalam Peraturan Kejaksaan karena sifat peraturan yang mengikat secara umum dan berdaya laku keluar agar hakim dapat menggunakan rujukan tersebut sebagai sumber hukum dalam menjatuhkan suatu putusan pidana.

This paper analyzes how efforts to anticipate unwarranted disparity of certain crime in the criminal justice system of Indonesia, especially regarding the practice of forming guideline for sentencing certain crime which are given authority to the Supreme Court in the form of Supreme Court Regulations (PERMA). This article was prepared using doctrinal research methods. In this research, it was found that the practice carried out by the Supreme Court is considered inappropriate with three arguments, namely the Supreme Court's lack of idealism in making Sentencing Guideline which are regulated rigidly when referring to on practice in both civil law and common law countries, the process of formulating and establishing PERMA Sentencing Guideline, and the relationship between judges and PERMA Sentencing Guideline. To overcome this lack of ideality, in fact the criminal justice system in Indonesia has long been familiar with the Prosecution Guideline which are owned by the Prosecutor's Office, but these guidelines are in the form of Circulars and Guidelines which are intended for internal Prosecutors only. The practice of the Claims Guidelines is considered more appropriate as an effort to anticipate unwarranted disparity with four arguments, namely the work culture in the Prosecutor's Office, the system for formulating and forming prosecution guideline, the relationship between the Prosecutor and the prosecution guideline, and the Judge's relationship with the demand letter submitted by the General Prosecutors. To overcome the shortcomings of this practice, it would be better if the prosecution guidelines were formed into the Prosecutor's Regulations because the nature of the regulations is generally binding and has the potential to be enforceable so that judges can use these references as a source of law in handing down criminal sentencing."
Jakarta: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2024
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Donny Ardyanto
"Tembak di tempat terhadap tersangka pelaku kejahatan sudah menjadi fenomena yang biasa bagi masyarakat. Masyarakat mendukung praktek tembak tersebut sebagai instrumen pencegahan kejahatan. Namun pengetahuan masyarakat mengenai tembak di tempat hanya diperoleh dari media massa. Penerimaan masyarakat terhadap praktek tembak di tempat yang jelas melanggar hukum dan hak asasi manusia tersebut, dibangun oleh media. Media massa dalam pemberitaannya mengenai tembak di tempat ternyata sepenuhnya membawa wacana negara. Dalam pemberitaannya, polisi diposisikan sebagai aparat yang sah melakukan penghukuman dan bahkan pembunuhan/sementara penjahat sebagai korban penembakan semakin dipinggirkan dan dianggap layak untuk dihukum dengan hukuman mati tanpa pengadilan sekalipun, Dengan menggunakan metode framing analysis, pemberitaan mengenai kasus tembak di tempat di dua media massa, yaitu Kompas dan Pos Kota, dibongkar dalam tulisan ini. Terlihat bagaimana media massa mengusung kepentingan negara dalam tulisan-tulisannya mengenai tembak di tempat dan membangun konstruksi sosial yang menyesatkan mengenai penjahat dan praktek tembak di tempat. Hal tersebut tidak lepas dari posisi subordinat media massa terhadap negara dan juga dominasi negara terhadap masyarakat sipil."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 1999
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>