Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 59553 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Robby Permana Amri
"Hak dari pers untuk menyatakan pendapatnya secara bebas namun hal itu harus dihubungkan dengan hak publik untuk mendapat pelayanan dengan menerima suatu pemberitaan yang fair dan benar, agar publik dapat mengadakan suatu penilaian yang sehat tentang persoalan-persoalan umum yang dihadapi. Di pihak lain, kebebasan pers menimbulkan persoalan krusial tentang sejauh mana dapat diterimanya pembatasan (restriksi) terhadap kebebasan pers menjadi suatu pertentangan antara prinsip kebebasan pers dengan prinsip persamaan didepan hukum serta prinsip negara demokrasi yang berdasarkan hukum, apakah akan dianut kebebasan pers secara murni ataukah pers yang akan tetap berada dalam batasan positif. Indikasinya banyak kasus yang bermunculan dan diajukan ke tingkat peradilan formal yang pada intinya berhadapan dengan insan pers terkait dengan kasus-kasus penghinaan. Delik penghinaan adalah delik aduan, oleh karena itu pada umumnya hanya bisa dituntut apabila ada pengaduan dan orang yang merasa dirugikan, dalam penegakan hukum kasus penghinaan melalui pemberitaan media massa, seringkali menggunakan Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) sebagai dasar hukum untuk menyelesaikan kasus tersebut. Sedangkan di sisi lain, masih terdapat cara yang dapat ditempuh selain menggunakan KUHP, yaitu dengan menggunakan Undang-undang Nomor 40 tahun 1999 tentang Pers, yang didalamnya mengatur mengenai penegakkan hukum atas kasus penghinaan di media massa dengan cara memberikan hak jawab, hak koreksi dan mediasi melalui dewan pers. pengaduan ke dewan pers dapat dilihat dari dua sisi yang berbeda pertama ini menunjukkan peningkatan kesadaran berbagai pihak untuk menyelesaikan masalah-masalah pemberitaan media dan penegakan kode etik jurnalistik dengan menggunakan mekanisme sebagaimana diatur dalam UU pers dan kode etik jurnalistik. Dengan kata lain dapat dilihat sebagai peningkatan kesadaran berbagai pihak untuk menyelesaikan sengketa pemberitaan melalui dewan pers, dan bukan melalui jalur hukum pidana atau hukum perdata. Kedua, banyaknya pengaduan ke dewan pers menunjukkan bahwa ada banyak masalah dengan jurnalisme kita, ada banyak masalah dalam proses penegakkan kode etik jurnalistik. Dengan indikator banyaknya pengaduan ke dewan pers menunjukkan banyaknya pelanggaran yang dilakukan media dan banyaknya pihak yang merasa dirugikan olehnya.

The presses serve the right to express their opinions freely, but it must be connected with the public's right to services to receive fair and true reports, so that the public may hold a sound judgment on issues commonly encountered. On the other hand, freedom of the press raises crucial issues about the extent to which restrictions on freedom of the press is acceptable become conflict between the principle of press freedom and the principle of equality before the law and the principles of a democratic state based on the law, whether pure freedom of the press or press which will remain in positive limits will be adopted. The indications are many cases that have sprung up and been brought to the level of formal trial and essentially they are dealing with the press in defamation (libel) cases. Offense of defamation is a crime by complaint; therefore, in general, it can only be prosecuted if there is a complaint and person who felt aggrieved. Defamation cases through mass media are often enforced using the Criminal Code as the legal basis for settling the cases. While on the other hand, there are ways that can be taken in addition to using the Criminal Code, namely by using the Law No. 40 of 1999 regarding the Press, which also regulates the law enforcement on defamation through mass media by providing the right to reply, the right to correct and mediation through the press council. The complaint to the press council can be seen from two different sides. First, it shows increased awareness of various parties to resolve the problems of media publication and enforcement of journalistic ethics by using the mechanisms as provided in the Law regarding the press and journalistic ethics. In the other words, it can be seen as increased awareness of various parties to resolve publication disputes through the press council, and not through the criminal law or the civil law. Second, many complaints to the press council shows that there are many problems with our journalism; there are many problems in the process of enforcement of journalistic ethics. Many complaints to the press council indicated that there many offenses committed by mass media and there are many parties who feel aggrieved by them."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2013
T35540
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Daniel Alfredo
"Dalam kehidupan dunia mode rn d an serba kompleks, masyarakat memili ki kebutuhan a kan i n formasi yang sangat tinggi mengingat informasi merupakan media untuk memperoleh pengetahuan, pendidikan, hiburan dan bahkan sebagai kontrol sosial bagi masyarakat. Bagi bidang usaha pers yang bergerak dalam kegiatan jurnalistik, penyajian suatu informasi dalam bentuk berita seringkali menjadi masalah, manakala penulisan dan pemuatan berita ternyata dirasakan merugikan suatu pihak lain, yang menjurus kepada suatu perbuatan melawan hukum khususnya dalam hal penghinaan atau pencemaran kehormatan dan nama baik. Adapun penghinaan atau pencemaran kehormatan dan nama baik inilah yang kadangkala sulit untuk dibuktikan oleh karena tidak terdapat maksud yang jelas dengan definisi dari penghinaan atau pencemaran kehormatan dan nama baik dalam Undang-undang Hukum Perdata. Hal ini menimbulkan perdebatan dan perbedaan pendapat di kalangan para sarjana hukum sehinga pada akhirnya hakim sendirilah yang akan menentukan batasan tertentu dalam praktek pengadilan mengenai penghinaan atau pencemaran kehormatan dan nama baik. Dalam dunia pers sendiri, adanya suatu undang-undang tentang pers dan kode etik jurnalistik sebenarnya telah menjadi suatu rambu-rambu bagi para pelaku bidang jurnalistik agar dalam melaksanakan kegiatan jurnalistik tidak melakukan pemberitaan yang bersifat menghina atau melanggar hukum. Sehubungan dengan pemuatan suatu berta yang bersifat menghina atau mencemarkan nama baik terdapat beberapa cara penyelesaian, baik melalui media hak jawab terhadap suatu berita, penyelesaian melalui Dewan Pers maupun melalui proses peradilan, baik pidana maupun perdata."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2003
S21209
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Lawhorne, Clifton O.
Carbondale: Southern Illinois University Press, 1971
346.73 LAW d
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
cover
Universitas Indonesia, 2007
S21692
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Asma Hanifah
"Skripsi ini membahas mengenai tindak pidana menghalangi hak pers untuk mencari, memperoleh, dan menyebarluaskan gagasan atau informasi sebagaimana diatur dalam Pasal 18 ayat (1) Undang-undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers dalam kaitannya dengan kekerasan terhadap wartawan. Beberapa hal yang akan dibahas dalam penelitian ini adalah ruang lingkup Pasal 18 ayat ayat (1) Undang-undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers dalam kaitannya dengan kekerasan terhadap wartawan, dan penerapan pasal tersebut dalam putusan hakim atas kasus kekerasan terhadap wartawan. Selanjutnya pembahasan dilengkapi dengan rekomendasi mengenai bagaimana seharusnya penyelesaian kasus kekerasan terhadap wartawan di Indonesia. Penelitian ini menggunakan metode penelitian kepustakaan dan dilengkapi dengan wawancara narasumber yang bersifat yuridis normatif dengan pendekatan kualitatif untuk menghasilkan data deskriptif analitis.
Dari penelitian ini, diperoleh kesimpulan bahwa dalam yang termasuk lingkup Pasal 18 ayat (1) Undang-undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers adalah segala tindakan yang berakibat pada terhalangnya hak pers untuk mencari, memperoleh, dan menyebarluaskan gagasan atau informasi, termasuk di dalamnya kekerasan terhadap wartawan pada saat proses peliputan. Dalam penerapannya, belum ada kesamaan penafsiran dari aparat penegak hukum mengenai lingkup pasal ini sehingga variasi penggunaan peraturan antara KUHP dan UU Pers masih banyak terjadi. Untuk mengatasi kasus kekerasan terhadap wartawan perlu ditingkatkan kesadaran atas pentingnya kebebasan pers pada seluruh kalangan.

This thesis discusses about the criminal act of violating journalists’ rights to seek for, gain, and spread ideas or information as ruled in Article 18 Sub. (1) Pres Act 1999 in its association with violence against journalists. Several points to be discussed in this study include the scope of in Article 18 Sub. (1) Pres Act 1999 in its association with violence against journalists, as well as its implementation on judges’ decisions on the cases of violence against journalists. The discussion is enriched with the recommendations for solving the cases of violence against journalists in Indonesia. The study uses literature review added by juridical-normative interviews with a qualitative approach that results in descriptive-analytical data.
This study concludes that those which are included in Article 18 Sub. (1) Pres Act 1999 are any acts that creates barriers for press rights to seek for, gain, and spread knowledge or information, inclusive of violence against journalists during the process of news-gathering. There is still no mutual commentary among law-enforcing institutions about the scope of this article; therefore, there are differences among criminal code (KUHP) and press act in terms of its usage. The awareness of the importance of freedom of press needs to be increased in order to solve the cases of violence against journalists.
"
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2015
S61502
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Hana Theresia Lamtarida
"Pencemaran nama baik merupakan suatu perbuatan yang melawan hukum. Dalam penulisan ini, terdapat dua permasalahan utama yakni bagaimana pencemaran nama baik diatur sebagai suatu perbuatan melawan hukum dan penerapan konsep ganti rugi yang terjadi dalam perkara terkait. Penelitian ini menggunakan penelitian yuridis normatif.
Berdasarkan hasil analisis ini, Pasal 1365 KUHPerdata merupakan pasal yang tepat untuk digunakan, karena adanya perluasan perbuatan melawan hukum. Pencemaran nama baik adalah perbuatan yang telah melanggar hak subyektif dan harus diberikan ganti rugi agar nama baik pihak yang terhina menjadi pulih. Dengan demikian, suatu pencemaran nama baik perlu penggantian kerugian dan pemulihan nama baik dan kehormatan korban.

Defamation is an act that is against the law. In this writing, there are two main issues: how defamation regulated as a unlawful act and the application of the concept of damages that occur in related case. This study uses normative juridical research.
Based on the results of this analysis, Article 1365 of Civil Code is the right article to use because it consist of the expansion of unlawful act. Defamation is an act that violated the rights of subjective and should be compensated so that the good name of the party who insulted be recovered. Thus, a defamation needs a compensation for loss and recovery of good name and the honor of the victim.
"
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2016
S64185
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
"Hukum acara pidana bertujuan mencari kebenaran materiil atau kebenaran yang sejati. Dengan demikian pembuktian merupakan masalah yang sangat penting dalam proses pemeriksaan di depan sidang pengadilan, dan dari proses pembuktian itulah dapat ditemukan suatu kebenaran materiil sehingga dapat dibuktikan apakah si terdakwa bersalah atau tidak. Berkaitan dengan hal tersebut, penggunaan alat bukti sangatlah penting dalam proses pembuktian di depan sidang pengadilan untuk membuktikan suatu tindak pidana tidak terkecuali dalam hal pembuktian tindak pidana pencemaran nama baik. KUHAP telah menyebutkan mengenai alat bukti yang sah, yang dapat diajukan dalam persidangan hukum acara pidana yaitu; keterangan saksi, keterangan ahli, alat bukti surat, alat bukti petunjuk, dan keterangan terdakwa. Namun dalam praktik seringkali ditemukan suatu bentuk alat bukti yang tidak dengan jelas diatur oleh KUHAP, misalnya adalah press release yang digunakan dalam tindak pidana pencemaran nama baik. Skripsi ini akan membahas mengenai kedudukan press release dalam pembuktian tindak pidana pencemaran nama baik, serta penerapannya. Metode penelitian yang digunakan adalah metode penelitian kepustakaan yang bersifat yuridis normatif, yakni penelitian kepustakaan yang mengaitkan permasalahan dengan norma-norma hukum yang berlaku di Indonesia. Setelah dilakukan penelitian dapat diketahui bahwa press release yang digunakan dalam tindak pidana pencemaran nama baik dapat dijadikan sebagai alat bukti surat yang pengaturannya diatur oleh KUHAP."
[Universitas Indonesia, ], [2008, 2008]
S22561
UI - Skripsi Open  Universitas Indonesia Library
cover
Nurmala Sari
"ABSTRAK
Tesis ini membahas tentang pertanggungjawaban pers media cetak terhadap
pemberitaan yang berindikasi adanya delik pencemaran nama baik ditinjau dari
UU Pers dan KUHP, hak jawab yang dilakukan oleh pers media cetak, dan
pemberitaan yang dapat dikategorikan sebagai pelanggaran terhadap asas praduga
tidak bersalah. Metode penelitian yang digunakan adalah penelitian yuridis
normatif yang bersumber pada bahan pustaka atau data-data sekunder dan
wawancara terhadap narasumber sebagai penunjang data sekunder.
Pertanggungjawaban pers menurut hukum positif di Indonesia terdapat dua
sistem yaitu sistem KUHP dan UU Pers. KUHP menganut sistem
pertanggungjawaban penyertaan dan sistem menurut UU Pers dapat dilihat
berdasarkan UU lama dan baru. Berdasarkan UU lama yaitu UU nomor 11 tahun
1966 sebagaimana telah diubah dengan UU No. 4 tahun 1967 dan UU No. 21
tahun 1982 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Pers, menganut sistem
pertanggungjawaban fiktif dan successif (urutan atau air terjun (water fall
system)), sedangkan berdasarkan UU baru yaitu UU nomor 40 tahun 1999
tentang Pers, memakai sistem pertanggungjawaban fiktif yang menempatkan
bidang usaha dan bidang redaksi yang akan bertanggungjawab bila terjadi tindak
pidana pers. Cara penyelesaian terhadap pemberitaan yang mencemarkan nama
baik dapat dilakukan dengan menggunakan Lembaga Hak Jawab sebagaimana
diatur dalam pasal 15a UU No. 21 Tahun 1982 tentang Ketentuan-Ketentuan
Pokok Pers dan Pasal 5 ayat (2) UU No. 40 tahun 1999 tentang Pers serta Pasal
11 Kode Etik Jurnalistik. Terhadap efektifitas hak jawab ini terdapat dua
pandangan berbeda, pendapat pertama menyatakan Hak Jawab sifatnya alternatif,
artinya walaupun Hak Jawab tidak digunakan namun pihak yang dirugikan tetap
tidak kehilangan haknya untuk melakukan tuntutan pidana maupun perdata.
Pendapat kedua menyatakan hak jawab wajib digunakan sebelum mengajukan
tuntutan atau gugatannya kepengadilan karena hak menggugat belum muncul
sebelum dilaksanakannya hak jawab. Dalam pers, asas praduga tidak bersalah
bermakna tidak boleh menghakimi dalam semua kasus pemberitaan. Pers tidak
boleh menyatakan seseorang bersalah sebelum ada keputusan pengadilan yang
tetap. Kewenangan pers dalam hal ini hanyalah terbatas pada penyampaian fakta
atau kenyataan bahwa “menurut pengadilan” orang tersebut bersalah, namun
stempel kesalahannya sendiri bukanlah dari pers.

ABSTRACT
This thesis discusses the responsibility of the news print media press that
indicated the existence of the offense libel in terms of the Press Law and the
Penal Code, the right of reply a made by the print press and news which can be
categorized as a violation of the presumption of innocence. The research method
used is normative which is based on library materials or secondary data and
interviews of the informant as supporting secondary data. Responsibility the press
by positive law in Indonesia, there are two systems, namely systems Penal Code
and the Press Law. Penal Code adopts the inclusion and responsibility systems
under the Press Law can be seen by the old and new law. Under the old law,
namely Law number. 11 of 1966 as amended by Act number. 4 of 1967 and Law
number. 21 of 1982 on Basic Provisions of Press, is adopting a fictitious
responsibility and successif (sequence or waterfall (water fall system)), while the
new law is based on Law number 40 of 1999 on Press, using fictitious
responsibility system that puts the field business and editorial fields that will be
responsible in the event of criminal offenses committed by the press. How
resolution against libel can be performed using Right of Reply Institutions as
stipulated in article 15a of Law number. 21 of 1982 on Basic Provisions of Press
and Article 5, paragraph (2) of Law number. 40 of 1999 on Press and Article 11
of the Code of Journalistic Ethics. The effectiveness of the right of reply, there
are two different views,The first opinion expressed Right of Reply of its
alternatives, meaning that although the Right of Reply is not used, but the injured
party still does not lose its right to conduct criminal or civil charges. The second
opinion states the right of reply shall be used before submitting a claim or lawsuit
to court for the right to sue has not appeared before the implementation of the
right of reply. In press the presumption of innocence means should not be judge
in all cases of the news. Press should not declare someone guilty before a court
decision remains. The authority of press in this case is limited to the submission
of the fact or the fact that "according to the court" the person is guilty, but the
stamp itself is not the fault of press"
2013
T33743
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Teo, Yi-Ling
Singapore: Sweet & Maxwell Asia, 2011
343.595 7 TEO m
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
cover
Martinus Evan Aldyputra
"Perkembangan teknologi informasi memberikan kemudahan dalam mengakses segala jenis informasi. Hal ini mengakibatkan munculnya jenis kejahatan baru yang dikenal dengan nama cyber crime. Dalam menghadapi akibat dari perkembangan tersebut, berbagai negara di dunia melakukan perkembangan dalam kebijakan hukumnya melalui pembuatan ketentuan yang dikenal dengan nama cyber law.
Indonesia merupakan salah satu negara yang melakukan perkembangan seperti itu, melalui Undang-Undang No. 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (Undang-Undang ITE) terdapatlah sebuah cyber law di Indonesia. Walaupun demikian, Undang-Undang tersebut dapat dikatakan memiliki kekurangan-kekurangan dalam pengaturannya. Salah satu kekurangan tersebut adalah dalam hal mengenai penyebaran informasi yang memiliki muatan penghinaan. Menurut penulis, ketentuan yang mengatur penyebaran dengan muatan informasi seperti itu dapat menjadi masalah dalam penerapannya apabila tidak terdapat kejelasan dalam perumusannya. Oleh karenanya, untuk melihat sejauh mana ketentuan tersebut dapat menjadi masalah dilakukanlah penelitian ini.
Dari hasil penelitian didapatkan kesimpulan bahwa ketentuan mengenai penyebaran informasi yang bermuatan penghinaan dalam Undang-Undang ITE dapat menjadi suatu masalah. Walaupun dari segi perumusannya dapat dijelaskan unsur-unsur yang dimilikinya, namun dari segi batasannya ketentuan tersebut terlalu luas pengaturannya sehingga memungkinkan terjadinya penyalahgunaan dalam penerapannya.

Development of information technology provides easy access to all kinds of information, this resulted in the emergence of new crime known as cyber crime. To face the consequences of these developments, many countries around the world develop a new legal policy known as cyber law.
Indonesia is one of the country that did such a development, through The Criminalization, Information and Electronic Transaction Act (Law Number 11, 2008) cyber law exist in Indonesia. However, it can be said that the Act has flaws in its regulation. One of these is in the case regarding the spread of information that contains defamation. According to the authors, such policy could be a problem in practice if there is no clarity in the concept. Therefore, this research was conducted to see how far the policy can be a problem.
From the results of research, it can be said that Dissemination Policy of Defamation in The Criminalization, Information and Electronic Transaction Act can become a problem. Although it can be explained in terms of concept, but in terms of usage it is too broad that making it possible to abuse in its implementation.
"
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2012
T30572
UI - Tesis Open  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>