Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 195396 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Edwin Anggadinata Wirtadjaja
"Dalam kegiatan perdagangan nasional dan internasional yang semakin berkembang menjadikan pengangkutan barang melalui laut memegang peranan yang penting dalam penyelenggaraan pengangkutan laut, pengangkutan barang melalui laut melibatkan banyak pihak. Pencarter Kapal dan Pemilik Kapal merupakan suatu pihak yang selalu ada di dalam perjanjian carter kapal. Perjanjian carter kapal memegang peranan penting dalam mengatur mengenai tanggung jawab kedua belah pihak pada keseluruhan proses pengangkutan. Termasuk pula kewajiban pihak-pihak yang terkait, seperti tindakan apa saja yang dapat atau tidak dapat dilakukan oleh nakhoda. Berkaitan dengan penulisan hukum yang dilakukan, ketika timbul permasalahan mengenai tindakan nakhoda yang melakukan perbuatan melanggar hukum dengan tidak mengikuti perintah pencarter kapal, maka para pihak harus merujuk pada perjanjian carter yang digunakan serta peraturan perundang-undangan terkait. Metode pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan yuridis normative yang menitikberatkan pada data sekunder dan data kepustakaan sebagai sumber utama serta hukum positif yang berlaku, antara lain konsep-konsep pengangkutan laut, teori-teori tanggung jawab para pihak dalam perjanjian carter, serta Hague Visby Rules 1968 dan Kitab Undang-Undang Hukum Dagang.

The carriage of goods by sea in national and international scope nowadays is rapidly growing as a result of commercial business that is also developing. There are many parties involve in the process. In most of the charterparty, shipowener and charterer were existed. The charterpary itself holds a significant part of the whole process, as it stipulates both parties’ responsibilities and the ship’s master duty within the agreement. In relation with this project, when there is a problem arising out of tort by the master, then the shipowner and the charteret must refer to the charterparty and to the prevailing laws. The method of this final project is a normative juridical, which emphasize on the secondary data and literature study as its primary source and also the governing law and regulation. These data would be in the form of concepts in shipping law, responsibilities and liabilities of parties within charterparty theories, as well as Indonesian Commercial Code and the Hague Visby Rules 1968.
"
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2013
T35293
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Zulkarnain
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 1997
T36174
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Erna Widjajati
"Dalam mengkaji masalah penahanan kapal, dilihat dari segi Hukum Indonesia dan hukum lain, khususnya hukum Common Law, diusahakan menemukan kesamaan dan perbedaannya, untuk selanjutnya dapat digunakan sebagai pedoman dalam usaha perencanaan dan pembentukan hukum maritim di Indonesia. Masalah 'penahanan kapal' hukum Indonesia yang menganut sistem Civil Law ternyata berbeda dengan sistem Common Law yang banyak diikuti oleh konvensi Internasional, tetapi dengan adanya konvensi untuk unifikasi peraturan penahanan kapal (arrest kapal) dapat diakomodasikan dalam Hukum Acara Perdata Nasional. Jika diperhatikan ketentuan beberapa negara yang menganut sistem Eropa Kontinental, prosedur tuntutan terhadap penahanan kapal agak berbeda dengan negara-negara yang menganut sistem Common Law, terutama mengenai jenis-jenis klaim yang dapat menimbulkan tuntutan terhadap penahanan kapal. Praktek di Pengadilan Negeri eksekusi terhadap hipofik kapal sama dengan eksekusi hipotik tanah (barang tidak bergerak) karena menggunakan Pasal 224 HIR jo 195 HIR sampai dengan 200 HIR dan tidak menggunakan Pasal 559 - 599 Rv. Apabila dibandingkan, praktek pelaksanaan arrest kapal sebagai sita jaminan di Indonesia dilakukan oleh juru sita dengan menyampaikan penetapan Ketua Pengadilan kepada Nahkoda dan Syahbandar di mana kapal tersebut ditahan, oleh karena itu prosedur sita terhadap kapal, baik sita jaminan atau sita eksekusi, agak berlarut-larut, sedangkan menurut sistem hukum Common Law, prosedur untuk menahan kapal sejak diajukan aplikasi permohonan hanya memakan waktu tiga hari, dan tergugat baru dapat melepaskan kapalnya setelah menyerahkan sejumlah uang jaminan sebesar utang yang dituntut kepada pengadilan. Dalam tulisan ini, Penulis mengkaji masalah penahanan kapal, berturut turut penahanan kapal Joharmanik I dan II dan selanjutnya penahanan kapal Niaga XXXI, serta perkara perdata antara Ambach Marine Ltd. sebagai penggugat dan PT Pelayaran Badra Samudra Antar Nusa sebagai Tergugat yang menyangkut di dalamnya sita jaminan dan eksekusi atas kapal. Dalam permohonan Peninjauan Kembali PT Pelayaran Badra Samudra Antar Nusa sebagai Penggugat dan Hima Shipping (PTE) Ltd sebagai Tergugat."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 1997
T-9837
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Kalalo, Flora Pricilla
Manado: Logoz, 2009
343.096 FLO i
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
cover
Heru Prijanto
Malang: Bayumedia, 2007
341.7 HER h
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
cover
Mochtar Kusumaatmadja
Bandung: Binacipta, 1986
341.44 MOC p
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
cover
Sapto Sardjono
Jakarta: Simplex, 1985
346.07 SAP h (1)
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
cover
Binanda Afia Millenia
"Perbedaan antara penegakan hukum maritim dan use of force di wilayah yurisdiksi negara pantai sama rumitnya dalam hukum internasional dan juga mendasar dalam praktiknya. Putusan arbitrase kasus Guyana/Suriname serta putusan pengadilan kasus M/V Saiga (No. 2) dan M/V Virginia G menjadi sangat signifikan dalam hal ini karena pengadilan-pengadilan tersebut harus mempertimbangkan beberapa pertanyaan penting yang melibatkan kategorisasi tindakan paksa di laut. Penelitian skripsi ini akan menawarkan beberapa refleksi awal tentang apa yang dianggap sebagai aspek kunci dari perbedaan antara penegakan hukum maritim dan use of force di wilayah yurisdiksi negara serta bagaimana seharusnya implementasi penegakan hukum yang diatur di dalam 1982. Berdasarkan penelitian hukum normatif yang dilakukan, tindakan use of force pada penegakan hukum di wilyayah yurisdiksi negara merupakan suatu hal yang tidak dilarang, namun harus sesuai dengan prinsip-prinsip necessity, unavoidability, dan reasonableness. Use of force dalam konteks ini juga harus dianggap sebagai kasus lex specialis dan tidak termasuk dalam lingkup larangan umum use of force di bawah pasal 2 (4) Piagam PBB.

The distinction between maritime law enforcement and the use of force in the jurisdiction of a coastal state is as complex in international law as it is fundamental in practice. The Guyana/Suriname arbitration award and the judgments of the M/V Saiga (No. 2) and the M/V Virginia G cases have been significant in this regard since the tribunal had to consider several important questions involving the categorization of forcible action at sea. This thesis research will offer some initial reflections on what are considered the key aspects of the difference between maritime law enforcement and the use of force in the jurisdiction of a coastal state and how law enforcement should be implemented as regulated in the United Nations Convention on the Law of the Sea 1982. Based on normative legal research conducted, use of force in law enforcement in the jurisdiction of a coastal state is something that is not prohibited, but must comply with the principles of necessity, unavoidability, and reasonableness. The use of force in this context must be considered as a lex specialis case and does not fall within the scope of the general prohibition of use of force under article 2 (4) of the UN Charter."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2023
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Nadia Sekar Widyastuti
"Sebagai negara maritim dan kepulauan, Indonesia tentu banyak memanfaatkan pengangkutan melalui laut, terutama pengangkutan barang sebagai pondasi utama perdagangan nasional maupun internasional. Kelancaran pengangkutan barang melalui laut ini menjadi penting bagi kelangsungan pertumbuhan ekonomi negara. Akan tetapi dalam pelaksanaannya, tidak jarang kemudian terjadi hal-hal yang tidak diinginkan di antara para pihak yang terlibat yang menyebabkan terlambatnya, rusaknya atau hilangnya barang angkutan. Hal inilah yang terjadi pada Kapal TB Hector 103 dan BG. PMS 202 (270 FT) yang mengangkut barang berupa batu scroup yang tidak dapat diserahkan oleh si Pemilik Kapal sebagai Pengangkut kepada Penerima dikarenakan ketidakakuratan kelaiklautan (seaworthiness) yang dilakukan Pengangkut terhadap kapal, sehingga kapal dan barang angkutan tidak dapat diterima di pelabuhan tujuan. Atas keterlambatan tersebut kemudian muncul bentuk pertanggungjawaban dari para pihak yang terlibat yakni pengangkut serta agen kapal sebagai pihak yang melakukan pengurusan terhadap administrasi kapal yang diberangkatkan. Hilangnya barang akan ditinjau berdasarkan hukum pelayaran nasional yang masih merujuk pada KUHD sebagai dasar pertanggungjawaban pengangkut selain kemudian dibuatnya UU 17 Tahun 2008 tentang Pelayaran serta peraturan turunan di bawahnya. Sebagai perbandingan, kasus juga akan dianalisis dengan The Hague-Visby Rules, Hamburg Rules serta Rotterdam Rules, mengingat ketiganya sebagai konvensi internasional lebih relevan dengan perkembangan pengangkutan yang ada sekarang.

As a maritime and archipelagic country, Indonesia certainly utilizes a lot of transportation by sea, especially the transportation of goods as the main foundation of national and international trade. The smooth transportation of goods by sea is important for the continuity of the country's economic growth. However, in its implementation, it is not uncommon for unwanted things to happen between the parties involved which cause delays, damage or loss of transportation goods. This is what happened to TB Hector 103 and BG. PMS 202 (270 FT) which transporting scroup stones that could not be delivered by the Shipowner as the Carrier to the Receiver due to inaccuracies in the Carrier's seaworthiness of the ship, so that the ship and goods could not be received at the destination port. The delay of goods will then be reviewed based on national shipping law which still refers to the KUHD as the basis for carrier liability in addition to later made Law 17 of 2008 concerning Shipping and its derivative regulations. For comparison, the case will also be analyzed with The Hague-Visby Rules, Hamburg Rules and Rotterdam Rules, considering those three as international conventions are more relevant to the current development of transportation."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2024
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Saragih, Donny Hartama
"Penelitian ini berguna untuk menganalisis bagaimana penggunaan aspek historis dalam penyelesaian sengketa delimitasi maritim dan sejauh mana aspek historis tersebut dapat memengaruhi sebuah putusan pengadilan terkait sengketa delimitasi maritim. Penyelesaian sengketa delimitasi maritim sendiri telah diatur dalam UNCLOS 1982 beserta Annex-nya, mulai dari pilihan forum yang dapat dipakai hingga prosedur-prosedur apa saja yang tercantum di dalamnya. Dalam konvensi yang sama disebutkan juga tentang aspek historis, walaupun konvensi ini tidak menjelaskan secara rinci tentang definisinya dan bagaimana penggunaannya dalam penyelesaian sengketa delimitasi maritim. Hal ini lah yang menjadi tujuan dari penelitian ini agar menemukan titik terang antara apa yang tertulis dalam UNCLOS 1982 dan praktik yang dilakukan oleh pengadilan dalam penerapannya dalam penyelesaian sengketa delimitasi maritim.

This research aims to analyze how the use of historical aspects in the settlement of maritime delimitation disputes and the extent to which these historical aspects can influence a court decision related to maritime delimitation disputes. The settlement of maritime delimitation disputes itself has been regulated in the 1982 UNCLOS and its Annexes, starting from the choice of forum that can be used to the procedures listed therein. The same convention also mentions the historical aspect, although this convention does not explain in detail about its definition and how it is used in resolving maritime delimitation disputes. This is the purpose of this research in order to find a bright spot between what is written in UNCLOS 1982 and the practice carried out by the courts in its application in the settlement of maritime delimitation disputes."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2024
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>