Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 212987 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Sinaga, Witra Evelin Maduma
"KKR dengan fokusnya pada masa lalu, dapat memberi kontribusi pada berbagai mekanisme yang sedang bekerja memperbaiki kinerja perlindungan HAM di Indonesia pada saat ini, dengan memberi perspektif sejarah, pencerahan tentang pola, dan rekomendasi-rekomendasi untuk kasus-kasus yang patut ditangani, maupun rekomendasi untuk reformasi institusi, mengungkap kebenaran atas praktik penyalahgunaan kekuasaan dan pelanggaran hak asasi manusia di masa lalu. Karena itu, sebuah KKR akan sangat membantu Indonesia, dimana terdapat beberapa kasus pelanggaran HAM berat yang belum terselesaikan hanya melalui Pengadilan HAM, karena mekanisme KKR yang dapat menyelidiki semua kasus-kasus atau sejumlah besar kasus yang ada secara komprehensif dan tidak dibatasi kepada penanganan sejumlah kecil kasus saja. Sebuah komisi bisa mencapai tujuannya yaitu dengan mematahkan siklus pembalasan dendam dan kebencian antara pihak-pihak yang dahulunya bermusuhan, dan berusaha menumbuhkan rekonsiliasi antara pihak-pihak bertentangan yang merasa bahwa mereka masih memiliki kebencian atau kecemasan, atau juga sejarah pembalasan dendam, sehingga rekonsiliasi nasional yang diharapkan dapat terwujud. Jika masa lalu tidak diselesaikan, maka bangsa ini juga tak akan pernah belajar, dari kesalahan yang pernah diperbuatnya saat lampau, untuk kemudian berupaya tidak mengulanginya kembali di masa yang akan datang.

Nowadays, TRC by its focus on the past, contribute to various mechanisms those improve the performance of Human Rights protection in Indonesia. The contribution did by giving a historical perspective, enlightening the pattern, and recommending the cases those should be handled. Moreover, they are also giving recommendations for institutional reforms, revealing the truth of the abuses of power and violation of Human Rights in the past. Therefore, TRC help us to resolve cases those are not handled by Human Rights Tribunal, because TRC’s mechanisms investigate all the cases including large numbers of existing cases in a comprehensive way and not to be limited only by handling small cases. A commission can reach their goals by breaking the cycle of revenge and hatred between the previously warring parties, and trying to recon ciliate between the conflicting parties who still have a feeling of resentments and fears, or even historical revenge. So the National reconciliation those have been expected would come to be realized. If we didn’t solve the cases in the past, then we would never been learned from mistakes those ever done and we will not ever reiterate it again in the future.
"
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2013
T35851
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Adelwin Airel Anwar
"Aceh yang merupakan daerah khusus dan istimewa di bawah Negara Kesatuan Republik Indonesia merupakan daerah yang memiliki banyak kewenangan yang unik dan tidak dimiliki daerah lainnya. Salah satu yang melatarbelakangi kekhususan dan keistimewaan ini adalah konflik Aceh yang pernah terjadi atas ketidakpuasan Pemerintah Pusat memperlakukan Aceh. Konflik tersebut menyisakan banyak dampak yang masif khususnya kepada korban dan keluarga korban sehingga diduga terjadi pelanggaran Hak Asasi Manusia berat. Pada akhirnya, Aceh diberi kewenangan khusus melalui UndangUndang No. 13 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh untuk membentuk Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi Aceh sebagai lembaga independen di daerah demi mengungkapkan kebenaran dan menciptakan rekonsiliasi di Aceh. Namun, pembentukan lembaga tersebut menuai kontroversi di awal pembentukannya karena masih belum terbentuknya Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi Nasional karena Undang-Undang pembentukannya diputus tidak mengikat hukum secara keseluruhan oleh Mahkamah Konstitusi. Padahal, Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi Aceh merupakan bagian yang tidak terpisahkan dengan Komisi Kebenaran Rekonsiliasi Nasional dan berpedoman pada Undang-Undang Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi Dengan metode yuridis-normatif yang disusun secara deskriptif-analitis, penelitian ini menemukan bahwa melalui internalisasi nilai-nilai hak asasi manusia di pemerintahan Aceh menyebabkan penanganan pelanggaran hak asasi manusia berat di Aceh juga menjadi kewenangan Pemerintahan Aceh salah satunya melalui Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi Aceh yang tetap dapat berdiri dengan dibentuk melalui Qanun Aceh karena pada dasarnya, Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi Aceh merupakan lembaga non-struktral dan independen di daerah yang telah diatribusikan pembentukannya oleh Undang-Undang Pemerintahan Aceh yang mengatur secara khusus kelembagaan yang berdiri di Aceh sehingga tidak tergantung dengan dinamika politik hukum pembentukan Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi Nasional. Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi Aceh juga berdiri atas dasar perlunya penanganan korban secara cepat dan menyeluruh. Sayangnya, Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi Aceh harus menghadapi banyak tantangan dalam melaksanakan tugas dan fungsinya sebagai Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi pertama di Indonesia tetapi bekerja dalam lingkup daerah.

Aceh, which is an exclusive and special region under the Unitary State of the Republic of Indonesia, is a region that has many unique authorities that other regions do not have. One of the reasons behind this exclusivity and specialty is the Aceh conflict that once occurred over dissatisfaction with the treatment of the Central Government towards Aceh. This conflict left a lot of massive impacts, especially on the victims and their families so that serious human rights violations are suspected. In the end, Aceh has exclusive authority through Law no. 13 of 2006 on the Government of Aceh to establish the Aceh Truth and Reconciliation Commission as an independent regional institution to reveal the truth and create reconciliation in Aceh. However, the formation of this institution sparked controversy at the beginning of its formation because the National Truth and Reconciliation Commission has not yet been formed because the Constitutional Court ruled that the Law on Truth and Reconciliation Commission was not legally binding as a whole. Yet, the Aceh Truth and Reconciliation Commission is an integral part of the National Truth and Reconciliation Commission and is guided by the Law on Truth and Reconciliation Commission. Using a juridical-normative method compiled in a descriptive-analytical manner, This study found that through the internalization of human rights values in the Aceh government, the handling of serious human rights violations in Aceh also became the authority of the Aceh government, one of which was through the Aceh Truth and Reconciliation Commission that can still exist by being formed through the Aceh Qanun because The Aceh Truth and Reconciliation Commission is a nonstructural and independent institution in the region whose establishment has been attributed to the Aceh Government Law which specifically regulates institutions that exist in Aceh so that it is not dependent on the dynamics of legal politics for the formation of the National Truth and Reconciliation Commission. The Aceh Truth and Reconciliation Commission was also established on the basis of the need for quick and thorough handling of victims. Unfortunately, the Aceh Truth and Reconciliation Commission had to face many challenges in carrying out its duties and functions as the first Truth and Reconciliation Commission in Indonesia but working in a regional scope."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2023
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Candra
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2003
S22103
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Muhammad Iqbal
"Indonesia mengalami pemerintahan otoriter selama 32 tahun. Berakhirnya rezim Orde Baru pada tahun 1998 meninggalkan permasalahan krusial terkait pelanggaran HAM berat. Tuntutan masyarakat terutama pihak korban dan keluarganya terhadap peristiwa yang diduga merupakan pelanggaran HAM berat masih terus disuarakan sampai saat ini. Guna menindaklanjuti aspirasi masyarakat tersebut, Pemerintah bersama DPR telah membentuk Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia. Selanjutnya antara tahun 2002-2004 Pemerintah membentuk Pengadilan HAM ad-hoc yang tujuannya untuk memeriksa dan memutus perkara pelanggaran HAM berat kasus Timor Timur pasca jajak pendapat dan kasus Tanjung Priok. Masyarakat terutama korban dan keluarganya belum merasakan jawaban atas hasil Pengadilan HAM ad-hoc dimaksud berkenaan dengan tuntutan yang selama ini dilakukan. Hal ini karena proses yudisial tersebut tidak memberikan nilai-nilai keadilan, dan tidak berpihak kepada korban. Pendekatan yudisial hanya menyelesaikan aspek hukumnya saja, dan hanya berorientasi kepada pelaku. Sementara pelanggaran HAM berat mengandung dimensi politik, psikologis, dan sosial yang sangat kompleks, yang dialami oleh korban beserta keluarganya.
Sistem hukum Indonesia disamping mengenal penyelesaian sengketa secara yudisial, juga mengenal alternatif penyelesaian sengketa secara non-yudisial. Salah satu pendekatan ekstrayudisial untuk menyelesaikan masalah pelanggaran HAM berat yang dikenal oleh masyarakat internasional adalah rekonsiliasi. Pendekatan rekonsiliasi meskipun tidak menjamin terwujudnya rasa keadilan bagi semua pihak, akan tetapi lebih dari 20 negara yang sukses menerapkan rekonsiliasi untuk menyelesaikan masalah pelanggaran HAM berat masa lalu, seperti Afrika Selatan (1995), Chili (1990-1992), Guatemala (1995), Meksiko (1992), dan El Savador (1992-1994). Pemerintah bersama DPR melalui Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2004 tentang Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi membentuk lembaga rekonsiliasi yang diberi nama Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (KKR). Belum lagi Komisi ini memilih dan menatapkan anggotanya, UU KKR yang menjadi payung hukum pelaksanaan rekonsiliasi di Indonesia diuji materil terhadap UUD 1945 oleh Mahkamah Konstitusi. Putusan MK menyatakan bahwa UU KKR tidak memiliki kekuatan hukum mengikat. Dengan demikian kelembagaan yang sudah terbentuk dengan sendirinya dibubarkan, dan rekonsiliasi sebagai pendekatan ekstrayudisial belum pernah dilakukan di Indonesia.
Rekonsiliasi merupakan bagian tak terpisahkan dari penegakan hukum yang bersifat ekstrayudisial. Lawrence M. Friedman melihat bahwa keberhasilan penegakan hukum selalu menyaratkan berfungsinya semua komponen sistem hukum, yang terdiri atas 3 (tiga) bagian, yaitu: substance, structure, dan legal culture. Penulis memanfaatkan ketiga komponen tersebut sebagai kerangka kerja analisis untuk membahas urgensi rekonsiliasi di Indonesia. Implementasinya dilakukan dengan membandingkan pengaturan, mekanisme, dan praktik rekonsiliasi di Afrika Selatan dan Chili. Komponen substance, dipergunakan untuk mengetahui apa urgensi pengaturan rekonsiliasi terkait dengan transitional justice, tanggung jawab dan kewajiban negara, serta politik hukum. Komponen structure, dipergunakan untuk mengetahui bagaimana mekanisme rekonsiliasi terkait dengan bentuk, struktur, dan mandat kelembagaan yang diperlukan guna mendukung rekonsiliasi. Komponen legal culture, dipergunakan untuk mengetahui bagaimana praktik pengaturan dan mekanisme yang sesuai dengan kebutuhan di Indonesia.

Indonesia experienced authoritarian rule for 32 years. Orde Baru regime ended in 1988 left the crucial issues related to serious human rights violations. Public, especially the victims and their families demanded the Government to resolve the serious human rights violations in a fair and dignified. Finally, the Government and the Parliament has established the Law No. 26 Year 2000 on Human Rights Court. The Government has established a Human Rights Court ad-hoc which aim to examine and rule on cases of serious human rights violations cases in East Timor after the referendum and the Tanjung Priok case conducted between the years 2002-2004. Public, especially victims and their families, did not receive a fair response to the human rights court ad-hoc. The judicial process did not give the value of justice, and not to side with the victim. The judicial approach simply completing the legal aspects, and oriented to the perpetrator. On the other hand, human rights violations contains aspects of political, psychological, and social problems are complex. Indonesia imposed a judicial and extrajudicial approach in resolving a dispute. The international community recognize reconciliation as alternative dispute resolution. Reconciliation in principle does not guarantee justice, but nearly 20 countries in the world to apply this method to solve the problem of serious human rights violations of the past, such as: South Africa (1995), Chile (1990-1992), Guatemala (1995), Mexico (1992), and El Salvador (1992-1994).
Government and Parliament enacting Law No. 27 Year 2004 on the Truth and Reconciliation Commission. This law established the Truth and Reconciliation Commission in Indonesia. Constitutional Court conduct a judicial review Law No. 27 Year 2004 on the 1945 National Constitution. Decision of the Court stated that the Law No. 27 Year 2004 does not have binding legal force. Thus, the institution that has been formed by itself had been disbanded. Moreover, the reconciliation as extrajudicial approach has never been done in Indonesia. Reconciliation is an integral part of law enforcement that is extrajudicial. Lawrence M. Friedman's said that the success of law enforcement always requires three components functioning legal system, namely substance, structure, and legal culture.
I use these three components as an analytical framework to discuss the urgency of reconciliation in Indonesia. Its implementation is done by comparing the arrangements, mechanisms, and practices of reconciliation in South Africa and Chile. Substance, is used to identify whether an urgency of reconciliation arrangements associated with transitional justice, responsibility and state obligation, and legal politic. Structure is utilized to identify the reconciliation mechanism related to the shape, structure, and institutional mandate to reconciliation. Legal culture is employed to identify a practice of arrangements and mechanism that inline to the demands of reconciliation in Indonesia.
"
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2013
S46833
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
cover
Sigiro, Atnike Nova
"Dua puluh tahun sejak transisi politik Indonesia pada tahun 1998, kasus-kasus pelanggaran HAM berat yang terjadi pada masa Orde Baru belum dapat diselesaikan. Indonesia menghadapi situasi impunitas, sementara agenda keadilan transisi semakin hilang dari diskursus publik. Disertasi ini meneliti dan menganalisa bagaimana pendekatan advokasi yang dilakukan oleh Lembaga Swadaya Masyarakat LSM dan Komisi Nasional Hak Asasi Manusia Komnas HAM terhadap kebijakan Bantuan Medis dan Psikososial BMP Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban LPSK , tidak hanya memperbaiki prosedur dan pelaksanaan kebijakan BMP tetapi juga dapat mendorong kelanjutan agenda keadilan transisi di Indonesia. Penelitian ini menemukan bahwa kualitas pemulihan dari kebijakan BMP ditentukan oleh koherensi internal dan eksternal dari kebijakan tersebut. Advokasi yang dilakukan oleh LSM dan Komnas HAM terhadap kebijakan BMP telah menyentuh hal-hal yang menjadi masalah di dalam koherensi kebijakan BMP. Penelitian ini menyimpulkan bahwa pendekatan ilmu kesejahteraan sosial tidak hanya bersifat komplementer terhadap pendekatan hukum dalam memandang korban dan hak-hak korban, melainkan justru memberikan perspektif baru dalam memandang fungsi kelembagaan LPSK dan Komnas HAM sebagai Lembaga Pelayanan Manusia.

Twenty year after Indonesia rsquo;s political transition in 1998, gross human rights violations that occurred during the New Order have not yet being settled. Indonesia is facing impunity, meanwhile the transitional justice agendas are disappearing from public discourse. This dissertation studies and analyses how the advocacy approach, which have been used by Non Governmental Organizations NGOs and the National Human Rights Commission of Indonesia Komnas HAM towards the Medical and Psychosocial Assistance rsquo;s policy BMP of the Victims and Witness Protection Agency LPSK , could not only improve the procedures and the implementation of BMP policy, but could also further drive the transitional justice agendas in Indonesia. This research found that the quality of reparation provided by BMP policy was determined by the internal and external coherence of the policy. Advocacy that were conducted by NGOs and Komnas HAM towards BMP policy have addressed the coherences of BMP policy. This research concludes that social welfare approach is not just a complementary to the legal approach in looking at the victims and the rights they are entitled. Instead, it gives new perspective in looking at the institutional role of LPSK and Komnas HAM as Human Service Organizations HSO ."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2018
D-Pdf
UI - Disertasi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Asyifa Mastura
"

Penuntasan pelanggaran HAM berat masa lalu bagi masyarakat Aceh begitu penting untuk segera dirumuskan dan dilaksanakan. Kepentingan tersebut tidak hanya untuk menjawab hak korban yang mengalami pelanggaran HAM berat ataupun mengadili pelakunya, namun penting untuk menata kembali masa depan masyarakat Aceh. Penelitian ini disusun sebagai penelitian normatif, dengan menggunakan pendekatan perundang-undangan, konseptual, sejarah dan perbandingan.  Dengan melihat perspektif sejarah, pengetahuan atau teori yang sudah ada mengenai pelaksanaan kebijakan Penuntasan kasus pelanggaran HAM berat di Provinsi Aceh, hingga saat ini tidak ada kemajuan apapun dalam penaganan kasus pelanggaran HAM di Aceh. Dianulirnya Undang-Undang KKR Tahun 2004 dan penundaan pembentukan Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi, membuat Qanun No. 17 Tahun 2013 tentang KKR Aceh tidak jelas keberadaanya. Keberadaan KKR Aceh, hendaknya menjadi solusi dari kekerasan yang panjang sekaligus jalan hukum demi menegakkan keadilan, dimana setiap permasalahan yang dihadapi harus dicarikan solusi bijak, bukan malah menunda-nunda untuk diselesaikan. Presiden sebagai Kepala Negara seharusnya memberikan akan kejelasan terhadap batas waktu Penuntasan pelanggaran Hak Asasi Manusia pada masa lalu agar terciptanya kepastian hukum bagi para korban pelanggaran HAM berat itu.

 

 


The resolution of past gross human rights violations for the Acehnese people is so important to be formulated and implemented immediately. The importance is not only to answer the rights of victims who experience gross human rights violations or try the perpetrators, but it is important to reorganize the future of the Acehnese people. It is a normative study, using a legal, conceptual, historical, and comparison approach. By looking at the existing historical, knowledge or theoretical perspectives on the implementation of the policy of resolving cases of the gross human rights violations in Aceh Province, until now there has been no progress in handling cases of human rights violations in Aceh. The annulment of the 2004 The Truth and Reconciliation Commission (KKR) Law and the postponement of the establishment of the Truth and Reconciliation Commission make the existence of Qanun (Islamic Bylaw) No. 17 of 2013 concerning KKR Aceh is not clear. The existence of the Aceh KKR should be a solution to long violence as well as a legal way to uphold justice, where every problem faced must be found a wise solution rather than delaying it to be resolved. The President as Head of State should provide clarity on the deadline for completing violations of human rights in the past in order to create legal certainty for victims of gross violations.

"
2019
T52676
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Wike Devi Erianti
"Fokus penelitian ini adalah mengenai penyelesaian masalah pelanggaran HAM di Indonesia (2001-2005) dan Argentina (1983-2007) melalui KKR serta Pengadilan HAM pada masa transisi. Permasalahan penelitian ini adalah perbandingan penerapan keadilan transisi antara Indonesia dan Argentina melalui KKR serta Pengadilan HAM. Pengumpulan data dilakukan dengan studi literatur dan wawancara dengan narasumber yang terkait.
Penelitian ini menggunakan teori keadilan transisi untuk menjelaskan bahwa penyelesaian masalah HAM di masa lalu dapat dilaksanakan pada masa transisi demokrasi salah satunya melalui KKR dan Pengadilan HAM. Penelitian ini menunjukan bahwa demokrasi yang belum stabil di masa transisi di Indonesia dan Argentina mempengaruhi proses penyelesaian pelanggaran HAM masa lalu.

This thesis focuses to settlement of violation of human rights in Indonesia (2001-2005) and Argentine (1983-2007) by commision of truth and reconciliation and human rights trial. The problem is comparison of transitional justice assembling between Indonesia and Argentine through commision of truth and reconciliation and human rights trial. The data was collected by study of literature and in-depth interview with the related informants.
This thesis uses transitional justice theory to explain that settlement past human rights violation could be excecute in transition of democracy that ones of its methods are commision of truth and reconciliation and human rights trial. This study concludes that unstable democracy in transition time either in Indonesia or Argentine affects to settlement of past human rights violation process.
"
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2013
S45202
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Satya Arinanto
Jakarta: Badan Pembinaan Hukum Nasional, Kementerian Hukum dan HAM Republik Indonesia, 2008
323.4 SAT r
Buku Teks SO  Universitas Indonesia Library
cover
Aulia Rahman AK
"Penegakan Hukum Pelanggaran HAM berat di Indonesia terdiri dari mekanisme yudisial dan non yudisial. Pelanggaran HAM berat di Paniai memberikan ancaman diskursus pengetahuan HAM dewasa ini. Terlebih implikasi Penegakan Hukum HAM terfokus pada para korban yang tidak terpenuhi haknya. Konsep keadilan reparasi merupakan rangkaian dari konsep keadilan transisi yang dirancang untuk menjawab pertanggungjawaban negara kepada korban Pelanggaran HAM berat yang tercantum dalam hukum nasional dan hukum internasional. Penelitian ini menggunakan metode hukum penelitian doktrinal dengan pendekatan perundang-undangan dan pendekatan konsep. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa hak reparasi atas korban banyak mengalami dialektik transisi kebijakan di berbagai rezim, khususnya di rezim dewasa ini yang menekankan penyelesaian pelanggaran HAM yang berat masa lalu melalui mekanisme non yudisial sehingga terdapat ketidaksesuaian antara konsep keadilan reparasi maupun keadilan transisional dalam penerapannya di Indonesia saat ini. Oleh karena demikian, perlu adanya rekonsiliasi dari negara sehingga pemenuhan hak reparasi bagi korban pelanggaran HAM di Paniai maupun masa lampau dapat terealisasikan secara maksimal sesuai dengan kajian komprehensif HAM.

The enforcement of gross human rights violations in Indonesia consists of judicial and non-judicial mechanisms. Gross human rights violations in Paniai pose a threat to the current human rights discourse. Moreover, the implications of human rights law enforcement are focused on victims whose rights are not fulfilled. The concept of reparative justice is part of the broader concept of transitional justice, designed to address state accountability to victims of gross human rights violations, as stipulated in national and international law. This research uses doctrinal legal research methods with legislative and conceptual approaches. The results of this study show that the reparation rights for victims has undergone a dialectic of policy transitions across various regimes, particularly in the current regime, which emphasizes the resolution of past gross human rights violations through non-judicial mechanisms. This results in discrepancies between the concepts of reparative justice and transitional justice in their implementation in Indonesia today. Therefore, reconciliation from the state is necessary so that the fulfillment of the right to reparations for victims of human rights violations in Paniai and the past can be maximized in accordance with a comprehensive human rights review."
Jakarta: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2024
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>