Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 139218 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Wanda Gautami
"Pendahuluan: Penyakit respirasi merupakan masalah kesehatan dengan angka kejadian tinggi di Indonesia. Penyakit respirasi kronik seperti asma, pneumonia, tuberkulosis, dan Penyakit Paru Obstruktif Kronik (PPOK) juga merupakan penyebab mortalitas yang tinggi di Indonesia. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui hubungan antara kondisi lingkungan rumah terhadap prevalensi penyakit respirasi kronik yaitu PPOK, batuk kronik, tuberkulosis paru, asma, pneumonia, dan infeksi fungal pada penghuni rumah susun di Jakarta.
Metode: Penelitian ini menggunakan metode cross-sectional dengan alat ukur berupa kuesioner. Penelitian dilakukan terhadap 120 keluarga yang tinggal di rumah susun menengah kebawah di Jakarta pada tahun 2012. Variabel lingkungan yang diteliti meliputi ventilasi, pencahayaan, kepadatan hunian, sarana sanitasi, suhu udara, dan kelembaban udara.
Hasil: Dari 120 keluarga, didapatkan 513 data penghuni rumah susun dengan prevalensi penyakit respirasi secara total sebesar 41,9%, secara rinci yaitu prevalensi tuberkulosis paru sebesar 7,6%, PPOK sebesar 1,8%, asma sebesar 1,0%, infeksi fungal sebesar 0,8%, pneumonia sebesar 0,2%, batuk kronik sebesar 0,6%, dan Infeksi Saluran Pernapasan Akut (ISPA) sebesar 32,9%. Hasil analisis menunjukkan terdapat hubungan yang bermakna antara prevalensi penyakit respirasi kronik dengan ventilasi rumah susun (p=0,042) , dan dengan pencahayaan dalam rumah susun (p=0,003).
Kesimpulan: Penyakit respirasi kronik memiliki hubungan dengan keadaan lingkungan yaitu ventilasi dan pencahayaan pada penghuni rumah susun di Jakarta.

Introduction: Respiratory disease is one of the highest prevalence health problem in Indonesia. Chronic respiratory disease such as asthma, pneumonia, tuberculosis, and Chronic Obstructive Pulmonary Disease (COPD) are the top leading cause of mortality in Indonesia. The objective of this study is to know the relationship between flat environmental condition and prevalence of chronic respiratory disease, which is COPD, chronic cough, tuberculosis, asthma, pneumonia, and fungal infection of flat occupiers in Jakarta.
Method: This study was an observational research using cross-sectional design. Data was obtained through questionnaire. This study was conducted on 120 families who live in lower middle flats in Jakarta on 2012 The environmental variables of this study specifically include ventilation area, natural lighting in the house, occupancy density, basic sanitation facilities, temperature, and humidity of the flats.
Result: From 120 family, 513 data of flat occupiers in Jakarta is obtained with the prevalence of respiratory disease in a total of 41.9%, specifically tuberculosis with prevalence of 7,6%, COPD with 1,8%, asthma with 1,0%, fungal infection with 0,8%, pneumonia with 0,2%, chronic cough with 0,6%, and acute respiratory infection with 32,9%. Significant relationship was obtained between prevalence of chronic respiratory disease and ventilation area (p=0,042), and also with natural lighting in the house (p=0,003).
Conclusion: In conclusion, the ventilation area and natural lightning in the house are the environmental factors contributing for the prevalence of chronic respiratory disease of flat occupiers in Jakarta."
Depok: Universitas Indonesia, 2013
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Veronika Cahya Wijaya
"Pendahuluan: Masalah kesehatan respirasi merupakan salah satu gangguan kesehatan dengan prevalensi cukup tinggi di dunia. Penyebabnya erat kaitannya dengan perilaku merokok. Selain itu, tingkat pengetahuan, sikap, perilaku serta lingkungan juga berperan serta. Tujuan dari penelitian ini ialah mengetahui hubungan antara tingkat pengetahuan dengan prevalensi masalah kesehatan respirasi pada penghuni rumah susun di Jakarta.
Metode: Desain penelitian yang dipilih ialah cross-sectional. Data diperoleh dengan mengisi kuesioner yang ditanyakan melalui wawancara. Pengambilan data dilakukan pada bulan Agustus 2012 dengan melibatkan 120 responden. Data yang dikumpulkan akan diuji dengan chi-square dan fisher untuk melihat nilai probabilitas (p).
Hasil: Sebanyak 36% responden pernah mengalami masalah kesehatan respirasi dan 64% lainnya menunjukkan status kesehatan respirasi yang baik. Tingkat pengetahuan responden didapatkan 40,8% dengan pengetahuan di bawah rata-rata dan 59,2% dengan pengetahuan di atas rata-rata. Tidak terdapat hubungan bermakna antara tingkat pengetahuan dengan status kesehatan respirasi (p=0,879).
Kesimpulan: Prevalensi masalah kesehatan respirasi pada penghuni rumah susun di Jakarta ialah 36% Tingkat pengetahuan tidak memiliki hubungan dengan masalah kesehatan respirasi.

Introduction: Respiratory health problems is one of the health problems with a high prevalence in the world. The cause is closely associated with smoking behavior. In addition, knowledge level, attitude, behavior and environment also have a role as well. The purpose of this study is to determine the relationship between knowledge level with the prevalence of respiratory health problems in flats occupants in Jakarta.
Method: The selected research design is cross-sectional. Data obtained by filling out a questionnaire that asked through interview. Data collected was performed in August 2012, involving 120 respondents. The data collected will be tested with chi-square and fisher to see the value of the probability (p).
Result: About 36% of respondents had experienced respiratory health problems while 64% showed good respiratory health status. The knowledge level of the respondents earned showed about 40.8% of respondents with knowledge level below average and 59.2% above average. There is no significant relationship between the level of knowledge with the respiratory health status (p=0.879).
Conlusion: Prevalence of respiratory health problems in flats occupants in Jakarta is about 36%. Knowledge level is not contributing for the prevalence of respiratory health problems."
Depok: Universitas Indonesia, 2013
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Yusuf Musafir Kolewora
"ABSTRAK
Latar belakang: Penyakit Paru Obstruksi Kronik (PPOK) merupakan penyebab utama angka kesakitan dan kematian di seluruh dunia termasuk di Indonesia. Hasil Riset Kesehatan Dasar (RISKESDAS) tahun 2013 menunjukkan bahwa prevalens PPOK di Indonesia sebanyak 3,7% dan menduduki peringkat ke-6 dari 10 penyebab kematian di Indonesia. Penelitian ini merupakan studi awal untuk mengetahui prevalens PPOK di RSUP Persahabatan.
Metode: Penelitian ini menggunakan desain studi potong lintang dengan metode consecutive sampling pada pasien PPOK yang berkunjung di RSUP Persahabatan Jakarta pada bulan April-September 2018. Diagnosis PPOK dilakukan dengan menggunakan COPD Diagnostic Questionnaire (CDQ) dan pemeriksaan spirometri.
Hasil: Subjek penelitian sebanyak 875 subjek. Sampel akan dilakukan penapisan awal menggunakan CDQ dengan skor nilai ≥19,5 sebanyak 332 subjek. Hasil pemeriksaan spirometri pada 332 subjek sebelum pemberian bronkodilator inhalasi menunjukkan bahwa sebanyak 83 subjek (25%) memiliki hasil VEP1/KVP <70% dan 249 subjek (75%) memiliki hasil VEP1/KVP ≥70%. Hasil pemeriksaan spirometri setelah pemberian bronkodilator inhalasi menunjukkan bahwa sebanyak 78 subjek (94%) memiliki hasil VEP1/KVP <70% yang berarti menderita PPOK dan 5 subjek (6%) memiliki hasil VEP1/KVP ≥70% yang berarti tidak menderita PPOK sehingga prevalens PPOK adalah 8,9% dari keseluruhan sampel. Gejala klinis pada pasien PPOK antara lain batuk (43,6%), terdapat dahak (50%), dan sesak (39,7%). Hasil uji statistik menunjukkan bahwa faktor yang berhubungan dengan PPOK dalam penelitian ini adalah umur (nilai-p = 0,040), lama merokok (nilai-p = 0,012), jumlah rokok yang dihisap per hari (nilai-p = 0,000) dan derajat berat merokok (nilai-p = 0,000) sedangkan faktor yang tidak berhubungan adalah jenis kelamin (nilai-p = 0,585) dan indeks massa tubuh (nilai- p = 0,953).
Kesimpulan: Prevalens PPOK di rumah sakit Persahabatan Jakarta adalah 8,9%. Gejala klinis pada pasien PPOK antara lain batuk, terdapat dahak dan sesak. Hasil uji statistik menunjukkan bahwa faktor yang berhubungan dengan PPOK dalam penelitian ini adalah umur, lama merokok, jumlah rokok yang dihisap per hari dan derajat berat merokok sedangkan faktor yang tidak berhubungan adalah jenis kelamin dan indeks massa tubuh.

ABSTRACT
Background: Chronic Obstructive Pulmonary Disease (COPD) is the main cause of morbidity and mortality rates in the world including in Indonesia. The result of Riset Kesehatan Dasar (RISKESDAS) in 2013 showed the prevalence of COPD in Indonesia was 3.7% and was ranked 6th from 10 causes of death in Indonesia. This study is the preliminary study to determine of prevalence of COPD in Persahabatan Hospital.
Method: This is a cross sectional study design with consecutive sampling method in COPD patient who visited to the Persahabatan Hospital Jakarta in April- September 2018. COPD diagnosed by using COPD Diagnostic Questionnare (CDQ) and spirometry examination.
Result: Study subject were 875 subject. The sample will be screened preliminary by using CDQ whom get score ≥ 19.5 only 332 subject. The results of spirometry tests on 332 subject before inhaled bronchodilators showed that 83 subject (25%) had results VEP1/KVP <70% which meant diagnose COPD and 249 subject (75%) had results VEP1/KVP ≥70% which means not diagnose COPD. The results of spirometry after inhaled bronchodilators showed that as many as 78 subject (94%) had results VEP1/KVP <70% which meant diagnose COPD and 5 subject (6%) had results VEP1/KVP ≥70%, which means not diagnose COPD so that the prevalence of COPD is 8.9% from all the sample. There were some of symptoms of COPD patients reported such as daily coughing (43,6%), coughing with phlegm (50%), and wheezing (39,7%). Statistical test results indicate that factors associated with COPD in this study are age, duration of smoking, number of cigarettes smoked per day and the degree of smoking-free while the unrelated factors are gender and Body Mass Index."
Depok: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2019
SP-Pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Saras Serani Sesari
"Gangguan pada sistem respirasi adalah penyebab kematian ketiga di Indonesia. Pengetahuan mengenai kesehatan sistem respirasi berperan dalam perubahan sikap dan pandangan terhadap upaya pencegahan penyakit di masyarakat. Tujuan penelitian ini adalah mengetahui hubungan tingkat pengetahuan mengenai kesehatan dan penyakit respirasi dengan prevalensi masalah respirasi pada masyarakat perumahan.
Penelitian ini menggunakan desain penelitian observasional, metode potong lintang. Pengambilan data dilaksanakan di Jakarta pada tanggal 7-12 Mei 2012 dengan pengisian kuesioner. Sampel penelitian adalah 107 keluarga masyarakat perumahan di kelurahan Bintaro yang dipilih melalui metode consecutive sampling. Kuesioner terdiri dari kuesioner mengenai kesehatan respirasi dan kuesioner mengenai penyakit TB, asma, PPOK, infeksi paru, dan kanker paru.
Hasil penelitian ini, dengan uji chi-square didapatkan nilai p<0,05 yang berarti terdapat perbedaan bermakna antara tingkat pengetahuan mengenai kesehatan respirasi dengan prevalensi masalah respirasi. Sementara untuk tingkat pengetahuan mengenai penyakit TB, asma, PPOK, infeksi paru, dan kanker paru, dengan uji chi-square didapatkan nilai p>0,05 yang berarti tidak terdapat perbedaan bermakna antara tingkat pengetahuan penyakit TB, asma, PPOK, infeksi paru, dan kanker paru dengan prevalensi masalah respirasi.

The respiratory system disorder is the third leading cause of death in Indonesia. Knowledge about the respiratory health system plays an important role in changing the attitudes and perception towards the disease prevention in the community. The objective of this study was to determine the relationship between the level of knowledge regarding the respiratory health and diseases with the prevalence of respiratory health problem in housing society.
Design of this study is observational, cross sectional method. The data was collected in Jakarta at May 7-12th 2012 by filling out questionnaires. The samples are 107 families of housing community in Bintaro which chosen by consecutive sampling method. The questionnaire consists of set questionnaires about respiratory health and set questionnaires about TB, asthma, COPD, lung infection, and lung cancer.
The results, according to chi-square test there was a significant difference (p<0,05) between the level of knowledge about respiratory health and the prevalence of respiratory health problem. Meanwhile, according to chi-square test also, there was no significant difference (p>0,05) between the level of knowledge about TB, astma, COPD, lung infection, and lung cancer, and the prevalence of respiratory health problem."
Depok: Universitas Indonesia, 2013
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Vania Tryanni
"Gangguan respirasi merupakan masalah kesehatan yang perlu menjadi perhatian. Selain angka mortalitas yang tinggi, gangguan ini juga menunjukkan angka morbiditas yang tinggi. Rumah susun sendiri merupakan salah satu alternatif tempat tinggal untuk kota padat seperti Jakarta. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui prevalensi gangguan respirasi dengan perilaku warga rumah susun di wilayah rumah susun Jakarta. Selain itu diliat juga faktor yang mempengaruhi perilaku seseorang, dengan demikian dapat diketahui cara modifikasi perilaku paling efektif.
Metode: Metode yang digunakkan dalam penelitian ini adalah cross-sectional dimana pengumpulan data dilakukan dengan pengisian kuesioner dan pengukuran keadaan lingkungan. Penelitian ini melibatkan 120 keluarga yang tinggal di daerah rumah susun di Jakarta.
Hasil: Dari 513 penghuni rumah susun didapatkan prevalensi gangguan respirasinya adalah 44.2%. Dimana gangguan yang paling sering dialami adalah gangguan saluran nafas atas termasuk ISPA, rhinitis,sinusitis, faringitis mencapai 32.9%. Setelah itu disusul oleh TBC (7.6%) , PPOK (1.8%) dan asma (1%). Keluhan yang paling sering dialami diluar batuk adalah sesak nafas yang mencapai 4.1% . Dari hasil analisis didapatkan tidak ada hubungan yang bermakna antara gangguan respirasi baik. Analisis juga menunjukkan tidak terdapat hubungan antara perilaku seseorang dengan jenis kelamin, pekerjaan serta pendidikan.
Diskusi: Perilaku dan indikator tidak menunjukkan hal yang bermakna mungkin dikarenakan analisis ini menilai hubungan perilaku respondent dan gangguan respirasi pada keluarga, padahal belum tentu semua anggota keluarga memiliki perilaku yang sama. Hal ini akhirnya kurang menggambarkan hubungan perilaku seseorang dengan gangguan respirasi yang dialaminya.

Respiratory disorder is a health problem that needs our attention. In addition to the high mortality rate, this disorder also show high morbidity number. The purpose of this study is to determine the prevalence of respiratory disorder and its relationship with human behavior in residents of flat in Jakarta. Other than that this study also looked for factor that influence a person?s behavior, thus it can be seen most efficient way to modify behavior.
Method:This study methodology is cross sectional. The data is obtanaid by quostionare filling and measurement for some indicator. This study involved 120 family that live in flats in Jakarta.
Results: Of 513 residents of the apartement the prevalence of respiratory disorder was 44.2%. Where the most often experienced disorder is upper respiratory illness, includeig upper respiratory infections, rhinitis, sinusitis, phrayngitis wich reach 32.9%. Follow by lung tuberculosis (7.6%), COPD (1.8%), and asthma (1%). The most experienced symptoms is shortness of breath (4.1%) beyond cough. From the analysis found no significant relationship between repiratory disorder and overall behavior. The analysis also showed there was no correlation between the behavior of a person with gender, occupation and education.
Discussion: Overall behavioral and each indicators do not show significant correlation may caused by this analysis assessing the relationship of respondent behavior and respiration disoreder in the family, though not necessarily all members of the family have the same behavior. It is less describes the relationship between human behavior and respiratory disorder they going through."
Depok: Universitas Indonesia, 2013
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Erry Prasetyo
"Latar belakang: Inflamasi pada Penyakit Paru Obstruktif Kronik (PPOK) dominan disebabkan oleh neutrofil namun inflamasi dikarenakan eosinofil juga dapat terjadi pada PPOK. PPOK eosinofilik jika ditemukan eosinofil di sputum ≥3%. Peningkatan eosinofil dapat dideteksi di darah dan sputum.
Metode: penelitian ini menggunakan potong lintang dengan menggunakan data primer di poli asma dan PPOK RS Rujukan Respirasi Nasional dari Juni 2019 sampai September 2019. Pemilihan subjek dilakukkan secara consecutive sampling dan dilakukan wawancara, pemeriksaan uji faal paru, pemeriksaan sputum dan darah eosinofil.
Hasil: total 74 sampel yang datang ke poli asma dan PPOK RS Rujukan Respirasi Nasional Persahabatan terdapat 7 sampel sputum yang tidak terdapat leukosit dan hanya epitel sehingga didapatkan 67 sampel yang dianalisis (61 laki-laki dan 6 perempuan). Pasien dalam penelitian ini memiliki  rata-rata  usia 66,7±8,6 tahun. Pasien didominasi oleh pasien perokok dan bekas perokok sebesar 62 pasien (92,5%). Indeks Brinkman terbanyak adalah IB sedang dan berat sebanyak 48 pasien (71,6%). Derajat hambatan aliran jalan napas paling banyak pada GOLD III dan IV (68,7%). Median eosinofil darah pasien pada penelitian ini sebesar 280 sel/μL dengan rentang 0-1300 dan median eosinofil sputum 4% dengan rentang 0-47. Korelasi darah dan sputum pada penelitian ini sebesar 0,43
Kesimpulan: penelitian ini menggambarkan korelasi positif dengan kekuatan lemah antara eosinofil darah dan sputum pada pasien PPOK stabil

Background: Dominant Chronic Obstructive Pulmonary Disease (COPD) inflamation is neutrofil but eosinofilic inflammation for COPD can be occurred. Eosinopilic COPD is defined by increament of eosinophils in sputum ≥3%. Increament of eoshinophils can be shown in blood and sputum
Method: this study use cross sectional method from primary data at asma and PPOK clinic in National Referal Rspuratory Persahabatan Hospital. Subject were taken to participate in study in consecutive sampling basis and all patients were interviewed, lung function test and blood and sputum eoshinophils
Results: Total 74 patient have been recruited who came to asma and PPOK klinik in National Referal Respiratory Persahabatan Hospital. Seven sputum sample is not have the leukocyt but ephitel only. Total patients are 67 (61 male dan 6 female). The mean of age from this study is 66,7±8,6 years old. Most of pasien is smokers and former smoker about 62 patients (92,5%). Brinkman index from this study dominating moderate and severe about 48 patients (71,6%). Airflow limitations from this study are GOLD III and IV (68,7%). Median of blood eoshinophils of this study is 280 cells/μL (0-1300). Median of sputum eoshinophils in this study is 4% (0-47). Correlations of blood and sputum eoshinophils from this study is 0,43
Conclusion: this study shown positive correlations with weak power between blood and sputum eoshinophils.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2019
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Dede Fatimah
"PPOK merupakan penyakit yang bersifat kronis, irreversible, dan progresif lambat semakin lama semakin memburuk. Hal tersebut membuat pasien PPOK mengalami ketergantungan terhadap obat dan orang lain, sehingga rentan mengalami gangguan status emosional. Maka, peneliti tertarik untuk mengetahui hubungan antara dukungan sosial dengan status emosional pada pasien PPOK. Teknik pengambilan sampel yang digunakan dalam penelitian ini adalah teknik consecutive sampling. Data diolah menggunakan perangkat lunak dengan menggunakan uji statistik Chi Square.
Hasil analisis hubungan antara dukungan sosial dengan status emosional pada pasien PPOK menunjukkan bahwa tidak terdapat hubungan antara dukungan sosial dengan status emosional depresi p=0.921, status emosional kecemasan p=0.184, dan status emosional stress p=0.795. Namun, peneliti menyarankan pada rumah sakit agar melakukan skrinning status emosional pada setiap pasien, khususnya pasien PPOK agar dapat mencegah terjadinya perburukan.

COPD is a chronic disease, irreversible, slow progressive disease progressively worsens. This makes the COPD patient dependent on drugs and others, so vulnerable to emotional status disorders. So, researchers interested to know the relationship between social support with emotional status in patients with COPD. The sampling technique used in this research is consecutive sampling technique. Data is processed using software using Chi Square statistical test.
The analysis of the relationship between social support and emotional status in COPD patients showed no association between social support with emotional status depression p 0.921, emotional status anxiety p 0.184, and emotional status stress p 0.795 . Horever, investigators suggest that the hospital should screen for the emotional status of each patient, especially in the case of COPD to prevent worsening.
"
Depok: Fakultas Ilmu Keperawatan Universitas Indonesia, 2018
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Dina Faizah
"Masalah kesehatan respirasi termasuk tuberkulosis, pneumonia, asma, dan penyakit paru obstruktif kronik memiliki prevalensi yang tinggi di Indonesia. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan antara kondisi lingkungan rumah dengan kejadian masalah kesehatan respirasi. Desain penelitian ini adalah potong lintang pada 107 rumah tangga di pemukiman kumuh Petamburan, Jakarta Pusat, dengan consecutive sampling. Pengumpulan data dilakukan dengan melakukan wawancara kepada responden tentang kejadian masalah kesehatan respirasi. Kondisi lingkungan rumah seperti jenis lantai, jenis dinding, kepadatan hunian rumah, lubang asap di dapur, jendela, luas ventilasi, pencahayaan, kelembapan, serta suhu diobservasi dan diukur menggunakan luxmeter, hygrometer, termometer, dan meteran. Data dianalisis dengan chi-square test. Hasil penelitian ini menunjukkan terdapat hubungan hubungan bermakna antara kejadian masalah kesehatan respirasi dengan luas ventilasi (p <0,001), jendela (p =0,032), kepadatan hunian rumah (p <0,001), dan lubang asap di dapur (p =0,027). Dari hasil tersebut dapat disimpulkan bahwa kondisi lingkungan rumah yang tidak memenuhi syarat berhubungan dengan kejadian masalah kesehatan respirasi.

Respiratory health problem including tuberculosis, pneumonia, asthma and chronic obstructive pulmonary disease has high prevalence in Indonesia. This study aims to find out association between respiratory health problems and housing environment. A cross-sectional study was done on a total of 107 households in Petamburan slums, Jakarta, Indonesia. The sampling method was consecutive sampling. Data was obtained by interviewing subjects about incidence of respiratory health problems in their households. Housing environment such as lighting level, humidity, temperature, ventilation, bedroom crowding, smoke hole in kitchen, kind of wall and floor were observed and measured using luxmeter, hygrometer and thermometer. Data were analyzed by chi-square tests. This study found that there were significant association between incidence of respiratory health problem and ventilation (p <0,001), window (p =0,032), house crowding (p <0,001) and smoke hole in kitchen (p =0,027). The result of this study shows that poor housing environment associates with incidence of respiratory health problems."
Depok: Universitas Indonesia, 2014
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Dwi Nutfa Liani
"Penelitian mengenai hubungan ruang terbuka hijau dengan prevalensi hipertensidi Provinsi DKI Jakarta perlu dilakukan mengingat ketersediaan RTH di Provinsi DKI Jakarta kurang dari standar dengan prevalensi hipertensi yang terus meningkat dari tahun ke tahun. Maraknya urbanisasi yang terjadi di Provinsi DKI Jakarta menimbulkan permasalahan, salah satunya adalah masalah ketersediaan Ruang Terbuka Hijau (RTH). Ketersediaan RTH di Provinsi DKI Jakarta hanya 10% dari total seluruh wilayahnya. Padahal berdasarkan UU. No. 26 Tahun 2007 Tentang Penataan Ruang standar minimal RTH di sebuah kota adalah 30% dari total seluruh wilayahnya. Padahal, keberadaan RTH memiliki banyak manfaat, salah satunya adalah manfaat untuk kesehatan. Terdapat penelitian yang menunjukkan bahwa RTH merupakan faktor protektif terhadap hipertensi. Prevalensi hipertensi lebih rendah pada wilayah dengan RTH lebih banyak. Prevalensi hipertensi di DKI Jakarta terus meningkat. Pada tahun 2013 prevalensinya hanya 20% sedangkan pada tahun 2017 prevalensinya menjadi 34,95%. Desain studi dari penelitian ini adalah studi ekologi dengan uji statistik yang digunakan adalah uji regresi linear sederhana. Kemudian analisis spasial juga dilakukan. Variabel-variabel yang diteliti adalah luas RTH dan prevalensi hipertensi. Terdapat hubungan yang lemah antara luas RTH dengan prevalensi hipertensi di Provinsi DKI Jakarta (R= 0,247). Berdasarkan analisis spasial bahwa persebaran prevalensi hipertensi tinggi dan RTH yang juga tinggi terpusat di pusat Provinsi DKI Jakarta. Hubungan yang lemah antar variabel tersebut dikarenakan terdapat beberapa faktor penyebab hipertensi yang tidak dapat dipengaruhi secara langsung oleh adanya RTH yaitu faktor psikososial, faktor gaya hidup dan kebiasaan aktifitas fisik masyarakat. Kemudian, proporsi RTH yang dapat mendukung interaksi sosial dan aktifitas masyarakat di Provinsi DKI Jakarta dinilai rendah dan didominasi oleh pemakaman dan jalur hijau yang secara fungsinya tidak dapat mendukung kegiatan masyarakat yang menguntungkan dalam segi kesehatan.

Study about the relationship between green space with the prevalence of hypertension in DKI Jakarta is necessaryto be done considering of the availability of green spaces that are less than the minimum standard, and the prevalence of hypertension that continues to increase. The increase of urbanization in DKI Jakarta provokes many problems. One of the problems is about the availability of green spaces. The availability of green spaces in DKI Jakarta is only 10% from all the areas. Besides, according to UU No. 26 Tahun 2007 Tentang Penataan Ruang, the minimum standard of green space in city is 30% of the total area. Whereas, the existence of green spaces has many benefits, include health benefit. Studies shown that green spaces are protective factor of hypertension. The prevalence of hypertension is lower in areas with more green spaces. The prevalence of hypertension in DKI Jakarta remains to increase. In 2013, the prevalence of hypertension is only 20%, while in 2017 the prevalence mounts up to 34,95%. This study is an ecological study with the statistical test used is a simple linear regression test. Then, spatial analysis is also used to each variable. There is poor relationship between the large of green spaces and the prevalence of hypertension in DKI Jakarta (R=0,247). The poor relationship between those variables are due to several factors that cause hypertension that cannot be directly affected by the existence of green spaces. Those factors are psychosocial factors, lifestyle factors, and the physical activity of community. Besides, the proportion of green spaces that support social interaction and communitys activities is considered low. The green spaces in DKI Jakarta are dominated by funerals and street trees which function in a way cannot support communitys activity that are beneficial for their health."
Depok: Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Indonesia, 2019
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Anna Yusrika
"ABSTRAK
Latar belakang: Kapasitas difusi paru berdasarkan karbon ke sirkulasi pulmoner. Nilai DLCO prediksi pada asma cenderung normal atau sedikit monoksida (DLCO) didesain untuk mengukur laju perpindahan gas CO dari alveolus meningkat sedangkan pada PPOK kapasitas difusi cenderung menurun akibat emfisema. Sindrom tumpang-tindih asma-PPOK dinyatakan sebagai entitas yang unik dengan kombinasi karakteristik asma dan PPOK. Tujuan utama penelitian ini adalah mengetahui nilai DLCO pada pasien tumpang tindih asma- PPOK (TAP) di RSUP Persahabatan Jakarta.
Metode: Uji DLCO dengan metode napas tunggal dan beberapa pemeriksaan penunjang lainnya telah dilakukan pada 40 pasien yang terdiagnosis sebagai TAP. Diagnosis TAP pada subjek penelitian ditegakkan menggunakan kriteria pedoman GINA/GOLD 2017. Kriteria akseptabilitas dan reprodusibilitas DLCO napas tunggal dinilai menggunakan kriteria dari ATS/ERS 2017. Hasil uji DLCO disajikan dalam nilai mutlak dan nilai persen prediksi.
Hasil: Rerata nilai DLCO mutlak dan %DLCO prediksi yang didapatkan dalam penelitian ini adalah 17.98 ± 5.37 mL/menit/mmHg dan 84.16 ± 18.29%. Jika menggunakan persamaan penyesuaian DLCO berdasarkan kadar hemoglobin didapatkan nilai %DLCO prediksi sedikit meningkat dibanding sebelumnya, 85.17 ± 18.04%. Terdapat 10 subjek (25.0%) yang mengalami penurunan nilai DLCO. Enam diantaranya mengalami penurunan ringan dan empat lainnya mengalami penurunan sedang.
Kesimpulan : Rerata nilai DLCO pada subjek TAP di RSUP Persahabatan Jakarta dapat diinterpretasikan normal, lebih menyerupai asma dibandingkan PPOK. Hasil ini juga mengindikasikan kebanyakan pasien TAP dalam penelitian ini tidak mengalami penurunan luas permukaan alveolar yang mengganggu proses difusi.

ABSTRACT
Background: Diffusing capacity of the lung for carbon monoxide (DLCO) was designed to measure transfer rate of carbon monoxide from alveoli to pulmonary circulation. As we know, DLCO predicted value in asthma proved to be normal or slightly elevated. On contrary it decreased in COPD with emphysematous pattern. Asthma-chronic obstructive pulmonary disease overlap (ACO) declared as a unique entity with combined characteristics between asthma and COPD. The aim of the research is to find out DLCO value of ACO patient in Persahabatan Hospital, Jakarta.
Method: We have conducted single-breath DLCO and other required test to 40 patients diagnosed with ACO using GINA/GOLD 2017 guidelines. The acceptability and reproducibility of single-breath DLCO was done according to ATS/ERS 2017 criteria. The result then presented as absolute value and percent predicted value.
Results: The mean DLCO of our patient is 17.98 ± 5.37 mL/minute/mmHg with percent predicted value is 84.16 ± 18.29%. Using adjusted DLCO equation for hemoglobin, we found that the value is slightly increased, 85.17 ± 18.04%. However, we found 10 patient (25.0%) with DLCO decrease. Six of them have DLCO predicted value <75% (mild-decrease) and four of them have DLCO predicted value <60% (moderate-decrease).
Conclusion: The mean DLCO value of patient with ACO in our hospital can be interpreted as normal, similar with asthma, rather than COPD. It also indicate most of our patient did not have alveolar loss that altering diffusion process."
Depok: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2019
SP-Pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>