Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 179194 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Philipus Rionaldo
"Hanggar adalah sebuah struktur bangunan yang mempunyai atap tertutup diatasnya, berfungsi sebagai tempat penyimpanan dan perawatan pesawat. Pada penelitian ini perencanaan hanggar digunakan untuk mengetahui perilaku struktur sistem rangka dan sistem rigid frame atau portal dengan material baja. Variasi yang dilakukan adalah bangunan A adalah bangunan yang memiliki sistem rangka dengan perletakkan portal 3 sendi, bangunan B adalah bangunan yang memiliki sistem portal dengan perletakkan sendi, serta bangunan C adalah bangunan yang memiliki sistem portal dengan sistem perletakkan jepit. Hasil penelitian menunjukkan bangunan A menggunakan profil 2L 80x80x6 dan 2L 70x70x6 (double angles) dan bangunan B menggunakan profil WF 300x150, WF 400x200, dan WF 500x200 (wide flange). Struktur rangka baja membutuhkan komponen baja dengan profil lebih kecil dan ringan dibandingkan dengan kebutuhan baja untuk strutkur baja dengan sistem portal.

Hangar is a building structure that has a roof covered on top of it, functions as aircraft maintenance and storage area. On this research, hangar planning was used to know the behavior of the structural truss system and the rigid frame system. The variations that was done were : building A was a building that had truss system with three hinged connections, building B was a building that had frame system with two hinged support, while building C was a building that had frame system with two fixed support. The results showed that building A used 2L 80x80x6 and 2L 70x70x6 (double angles) profiles and building B used WF 300x150, WF 400x200, and WF 500x200 (wide flange) profiles. Steel truss structures required steel components with smaller and lighter profiles compared to the steel for the frame system structure."
Depok: Fakultas Teknik Universitas Indonesia, 2013
S47718
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Daffa Muhammad Hilmi
"Penelitian ini bertujuan untuk meneliti lebih lanjut bagaimana penerapan ketentuan intersepsi dan pemaksaan mendarat dalam Pasal 3 bis Konvensi Chicago oleh Indonesia, Belarusia, dan Inggris, baik dalam ketentuan hukum nasional masing-masing negara maupun dalam penanganan kasus intersepsi oleh ketiga negara tersebut. Penelitian ini juga bertujuan untuk membandingkan penerapan ketentuan intersepsi pada ketiga negara tersebut, khususnya dari segi alasan intersepsi dan penanganan pesawat setelah pemaksaan mendarat.
Pasal 3 bis Konvensi Chicago memperbolehkan setiap negara untuk mengintersepsi dan memaksa mendarat pesawat udara sipil yang melintas wilayahnya tanpa membahayakan keselamatan penerbangan ataupun menggunakan senjata. Selain itu, kedua tindakan tersebut hanya boleh dilakukan atas dua alasan: pelanggaran kedaulatan wilayah udara dan penyalahgunaan penerbangan sipil. Walaupun ICAO melengkapi ketentuan tersebut dengan standar dan rekomendasi tata cara teknis intersepsi dalam Annex 2 dan Manual Intersepsi ICAO, ketentuan hukum internasional belum mengatur penanganan pesawat udara sipil pasca pemaksaan mendarat secara merinci. Selain itu, ketentuan hukum internasional juga belum mendefinisikan maksud penyalahgunaan penerbangan sipil sebagai alasan intersepsi dan pemaksaan mendarat.
Indonesia, Belarusia, dan Inggris memiliki ketentuan hukum nasional tersendiri untuk mengatur tindakan intersepsi dan pemaksaan mendarat, mulai dari alasan dan tata cara intersepsi hingga penanganan pesawat udara yang dipaksa mendarat. Mengingat ketentuan hukum internasional belum mendefinisikan maksud penyalahgunaan penerbangan sipil serta belum mengatur penanganan pesawat udara pasca pemaksaan mendarat, setiap negara menetapkan kedua hal tersebut dengan ketentuan yang berbeda antara satu dengan yang lainnya. Selain itu, perbedaan lainnya juga terlihat dari seberapa merinci peraturan tersebut dan seberapa selaras ketentuan tersebut dengan ketentuan Konvensi Chicago.
Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa Indonesia, Belarusia, dan Inggris melaksanakan intersepsi dan pemaksaan mendarat menurut ketentuan hukum nasionalnya masing-masing. Pada akhirnya pula, keselarasan negara dalam menangani tindakan intersepsi dengan ketentuan Pasal 3 bis Konvensi Chicago dipengaruhi keselarasan ketentuan hukum nasional mengenai intersepsi dengan ketentuan Pasal 3 bis itu sendiri.

The following research was established to further investigate on how Indonesia, Belarus, and the United Kingdom apply Article 3 bis of the Chicago Convention regarding civil aircraft interception and forced landing on their national laws and on how each state handle interception cases in their respective countries. The following research was also aimed to compare the application of civil aircraft interception provisions on the following three countries, especially regarding the reason of interception and handling of aircraft post-forced landing.
Article 3 bis of the Chicago Convention allows every state to intercept a civil aircraft flying through the concerned state’s territory and force its landing without endangering aviation safety and by refraining from using weapons. Both of those actions are only permitted under two reasons: violation of airspace sovereignty and misuse of civil aviation. Although ICAO supplement the following provision with their standards and recommendation regarding the technical procedures of aircraft interception on Annex 2 and ICAO’s Interception Manual, international law provisions have yet to regulate the handling of forced landed aircraft in detail. Furthermore, international law provisions have also yet to further define misuse of civil aviation as grounds for aircraft interception and forced landing.
Indonesia, Belarus, and the United Kingdom each have their own perspective national regulations regarding civil aircraft interception and its forced landing, ranging from grounds of interception and its procedures to handling of forced landed aircraft. Considering international law provisions have yet to further define misuse of civil aviation and regulate the handling of forced landed aircraft, each state has different regulations regarding both matters. Other differences of each national regulations are from how detailed its regulations are and how consistent its national regulations with the Chicago Convention.
To conclude, Indonesia, Belarus, and the United Kingdom handles civil aircraft interception and its forced landing in accordance with their respective national regulations. This further shows that how consistent a state’s handling of interception cases with Article 3 bis of the Chicago Convention are influenced by how consistent its national regulations on interception with the provisions of Article 3 bis itself.
"
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2023
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Ridwan Gunawan
"Gerak longitudinal dan lateral suatu pesawat terbang terdiri dari 3 sistem sumbu gerak yaitu roll, pitch dan Yau. Semua variable seperti kecepatan linier, kecepatan sudut dan gaya aerodinamik dan momen aerodinamik diacu terhadap ketiga sumbu gerak tersebut. Variable gerak longitudinal maupun lateral akan saling mempengaruhi dan berinteraksi.
Besarnya interaksi diteliti dengan simulasi yang didasarkan pada pemodelan sistem gerak suatu pesawat penumpang tipe jet bermesin empat. Interaksi antar variable gerak tersebut dihilangkan-dikurangi dengan menggunakan metoda Bristol. Setelah pengaruh interaksi berhasil dihilangkan, maka dilakukan perancangan kontroller P, PI dan PD untuk mengendalikan gerak sistem tersebut sehingga didapat response waktu yang baik.
Pada gerak longitudinal kecepatan pada sumbu roll Δv mencapai 90% untuk Kp = 6 dan dapat diperkecil menjadi 10%, tetapi waktu stabil menjadi panjang."
Depok: Fakultas Teknik Universitas Indonesia, 1995
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Fidel Kasman
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 1988
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Martijanti
"Pengelasan merupakan teknologi yang banyak digunakan untuk penyambungan logam, namun hasil pengelasan yang diterapkan pada paduan aluminium tidak selalu menghasilkan sambungan dengan kualitas yang baik. Hal ini disebabkan oleh adanya perubahan mikrostruktur selama pengelasan. Salah satu cara yang digunakan untuk meningkatkan kualitas, dalam hal ini sifat mekanis adalah proses aging. Perbaikan sifat mekanis bahan dengan proses aging dipengaruhi oleh temperatur dan waktu. Temperatur dan waktu solution treatment adalah 570 °C dengan waktu 60 menit. Proses Aging yang digunakan adalah artificial aging yang dilakukan pada temperatur 180 °C sedangkan waktu aging divariasikan 2, 3, 4 dan 5 jam. Data yang diperoleh adalah kekuatan luluh, kekuatan tarik, perpanjangan, distribusi kekerasan, struktur mikro dan struktur makro terhadap sample uji yang mengalami proses pengelasan tanpa perlakuan panas (aging) dan sample uji las yang digging. Penelitian ini bertujuan untuk menganalisa pengaruh waktu penahanan pada saat aging terhadap hasil lasan paduan aluminium, sehingga diperoleh kualitas hasil lasan yang menunjukkan sifat mekanis yang optimal.
Dari hasil penelitian diperoleh kekuatan tarik maksimum 429 MPa terjadi pada temperatur 180° dengan waktu aging 3 jam. Pada penelitian ini paduan aluminium yang digunakan adalah paduan aluminium seri 6013 dan merupakan paduan yang baru dari paduan aluminium wrought seri 6xxx. Berdasarkan kemampuan yang dimiliki oleh paduan seri 6013 diharapkan paduan ini dapat menggantikan beberapa penggunaan paduan 6061 yaitu pada rangka kursi penumpang pesawat terbang. Tegangan pada pelat kursi sebesar 57,53 MPa dan tegangan batang kursi 357,4 MPa di bawah kekuatan luluh dari material Aluminium 6013 T4 sebesar 373 MPa.

Welding process is a technology commonly used to joint two metal pieces, however this process still low quality especially in mechanical properties. This matters induced by change microstructure of material during in the process. To solve the problem, age hardening process can be implemented. Improvement the mechanical properties of this material are induced by aging temperature and aging time, in which the temperature is 540° C with holding time 30 minutes. Temperature at artificial aging is 180 ° with variable time are 2,3,4,and 5 hours respectively. The experimental results are yield strength, tensile strength, elongation, hardness distribution, macrostructure and microstructure from sample without aging treatment and after aging treatment . This research is intended to analysis the influenced of aging time variations to the welding process so that the welding process producing good quality in the mechanical properties.
From the result research gain the maximum ultimate strength happen on temperature 180° by aging time 3 hours is au= 429MPa. The aluminum alloys used for this research was aluminum alloys 6013 series and a new heat treatable alloys in Aluminum alloys 6xxx series. Base on its capability, is hoped to replace several application of aluminum 6061 in seats structure aircraft. Seats plate strength 57,53 MPa and bar seats 357,4 MPa under neat from yield strength Aluminum 6013-T4 is 373 MPa.
"
Depok: Fakultas Teknik Universitas Indonesia, 2003
T14686
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Ghema Ramadan Haruman
"Pembahasan dari segi-segi Hukum Perdata Internasional (HPI) terhadap perkara perbuatan melawan hukum (PMH) yang memiliki unsur asing sangat penting dilakukan demi menentukan forum yang berwenang untuk mengadili perkara tersebut dan hukum yang berlaku.
Berdasarkan sejumlah perkara PMH bernuansa asing yang dibahas di dalam tulisan ini, dapat disimpulkan bahwa konvensi-konvensi HPI di bidang penerbangan turut berperan penting dalam menentukan forum yang berwenang untuk mengadili perkara-perkara tersebut dan hukum yang berlaku.

The analysis from Private International Law aspects in relation to tort which contains of foreign element is important in order to determine forum jurisdictions and the applicable law.
Based on the tort cases that are discussed in this writing, it can be concluded that Private International Law conventions in aviation sector take important role in order to determine forum jurisdictions and the applicable law.
"
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2013
S46755
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Sarah Faita Rizkiaputeri
"Manajemen risiko yang buruk adalah salah satu penyebab utama kegagalan sebuah proyek. Penelitian ini membahas pengukuran risiko teknis untuk proyek pembangunan Depot Pengisian Pesawat Udara DPPU di wilayah Sumatera Utara, khususnya wilayah Silangit, Sibolga, dan Gunung Sitoli. Pengukuran risiko dilakukan untuk menyusun strategi mitigasi risiko yang harus dilakukan dalam pelaksanaan proyek. Metode pengukuran risiko dilakukan dalam empat tahapan, yaitu identifikasi risiko, pengukuran dampak dan probabilitas risiko, klasifikasi risiko, dan mitigasi risiko. Dari proses pengukuran risiko, didapatkan 65 faktor risiko yang kemudian dikelompokkan ke dalam empat kejadian risiko yaitu kerusakan sarana dan fasilitas pembangunan DPPU, keterlambatan pengerjaan pembangunan DPPU, kecelakaan kerja, dan kendala finansial. Strategi mitigasi yang diusulkan terkait dengan pemilihan jenis tangki yang digunakan, pemilihan pemasok material, kontraktor, dan moda transportasi material yang digunakan, penyediaan peralatan yang dibutuhkan, dan pelaksanaan pelatihan dan pengontrolan rutin.

Poor risk management is one of the main cause of project failure. This research is made to measure technical risk for the construction project of Aircraft Filling Depot in North Sumatra, especially Silangit, Sibolga, and Gunung Sitoli area. Risk measurement is done to create mitigation plans that need to be done in this project. The methods of measuring risk is done in four steps, which are risk identification, impact and probability measurement, risk classification, and risk mitigation. From the risk measurement process, 65 risk factors were identified and then classified to four risk events, which are facility damage, delay in construction project, work accident, and financial constrain. The proposed risk mitigation strategy includes the selection of storage tank type, selection of supplier, contractors, and material transportation method, provision of essential equipment, and implementation of routine training and monitoring."
Depok: Fakultas Teknik Universitas Indonesia, 2017
S67828
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Saiful Tenaya
"Kepailitan yang dialami oleh suatu perusahaan yang bergerak di bidang jasa transportasi udara, tidak hanya membawa dampak kepada perusahaan itu sendiri sebagai debitor dan para kreditornya, namun calon penumpang yang telah membeli tiket yang merupakan konsumen dari perusahaan tersebut juga ikut merasakan dampaknya. Begitu juga yang terjadi pada kepailitan yang dialami PT. Metro Batavia yang mengakibatkan ribuan calon penumpang yang telah membeli tiket menjadi batal diberangkatkan. Kedudukan para calon penumpang tersebut tidak diatur dalam Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang, sehingga menyebabkan mereka tidak mendapatkan kepastian dalam hal pemenuhan hak dalam pembagian harta pailit yang dilakukan oleh kurator.
Dari penelitian kasus ini diperoleh hasil bahwa kurator dalam membagikan harta pailit kurang memperhatikan teori-teori terkait perjanjian yang dianut oleh hukum Indonesia yang membedakan antara konsumen dan kreditor dan juga pasal 36 ayat (1) Undang- Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang yang memberikan ruang kepada kurator untuk menjamin posisi konsumen. Selain itu Indonesia juga belum memiliki Undang- Undang yang mengatur secara khusus mengenai kedudukan konsumen pada perusahaan yang dinyatakan pailit.
Dari uraian diatas, penelitian ini bertujuan untuk mengkaji kedudukan calon penumpang maskapai penerbangan dalam hal pembagian harta parusahaan pailit yang dilakukan oleh kurator. Penelitian ini menggunakan metode penelitian hukum normatif yaitu dengan cara meneliti bahan pustaka atau data sekunder yang bersifat hukum atau berupa norma hukum tertulis.

Bankruptcy experienced by a company engaged in the field of air transport services not only has an impact to the company itself as its debtors and creditors, but also to the passengers who have bought their tickets as the consumers of the company that also shares the burden of the impact. This is what happened to PT. Metro Batavia which experienced bankruptcy that leads to the failure of thousands of passengers departure. The position of these passengers are not regulated in Law Number 37 of 2004 on Bankruptcy and Suspension of Payment, causing them to not get certainty in their right fulfillment of the bankruptcy property distribution by the curator.
The result of this case study shows that in the distribution of the bankruptcy property, the curator pays less attention to theories related to treaties adopted by Indonesian law which distinguishes consumers and creditors, and Article 36 paragraph (1) of Law No. 37 of 2004 on Bankruptcy and Suspension Debt payments which gives space to the curator to guarantee the consumer's position. In addition to that, Indonesia has not had a law that specifically regulates the position of consumers in companies declared as bankrupt.
From the description above, this study aims to examine the position of airline passengers in the process of bankruptcy estate distribution by the curator. This study uses the normative legal research by examining legal literature or secondary data and written legal laws.
"
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2013
S45731
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Arif Maskur
"Skripsi ini membahas tentang persepsi masyarakat yang bermukim di sekitar Bandara Internasional Soekarno-Hatta terhadap tingkat kebisingan yang berasal dari aktivitas bandara. Persepsi tersebut merupakan gangguan nonauditory yang meliputi gangguan komunikasi, gangguan psikologis, dan gangguan fisiologis. Penelitian ini adalah penelitian kuantitatif dengan desain penelitian cross-sectional. Penelitian ini dilakukan pada bulan Mei 2012 di Kelurahan Neglasari dan Kelurahan Selapajang Jaya, Kecamatan Neglasari, Kota Tangerang. Hasil penelitian ini menunjukkan terdapat perbedaan proporsi kejadian mengalami gangguan non-auditory antara responden yang tempat tinggalnya bising dengan responden yang tempat tinggalnya tidak bising (p value=0,007). Terdapat pula perbedaan proporsi kejadian mengalami gangguan non-auditory antara responden yang berumur ≤12 tahun, 13 sampai 18 tahun, dan ≥19 tahun (p value=0,027). Variabel lain yang bermakna adalah perbedaan proporsi kejadian mengalami gangguan non-auditory antara responden yang sedang menjalani pendidikan baik SD, SMP/ SMA, PT, ataupun bekerja (p value=0,039) dan terdapat perbedaan proporsi kejadian mengalami gangguan non-auditory antara responden yang bekerja dengan pajanan bising dari pekerjaannya dengan responden yang tidak terpajan bising dari pekerjaannya (p value=0,009). Akan tetapi untuk variabel status kesehatan tidak ada perbedaan proporsi kejadian mengalami gangguan nonauditory antara responden yang berstatus kesehatan sehat, anak sakit, bapak/ ibu sakit, dan ibu hamil (p value=0,205).

This study discusses the perception of the community living around the Soekarno-Hatta International Airport to the level of noise coming from the airport activity. Perception is a non-auditory disorders that include communication disorders, psychological disorders, and physiological disorders. This study was a quantitative study with cross-sectional study design. The research was conducted in May 2012 in the Neglasari and Selapajang Jaya, Tangerang. The results of this study indicate there are differences in the proportion of the incidence of nonauditory disorders among respondents noisy residence where he lived with the respondent that no noise (p value = 0.007). There are also differences in the proportion of the incidence of non-auditory disorders among respondents aged ≤ 12 years, 13 to 18 years, and ≥ 19 years (p value = 0.027). Another significant variable is the difference in the proportion of the incidence of non-auditory disorders among respondents who are on a good education elementary, junior high / high school, collage, or work (p value = 0.039) and there are differences in the proportion of the incidence of non-auditory disorders among respondents who worked with exposure to noise from his job with the respondent that his job is not exposed to noise (p value = 0.009). However, for health status variables there was no difference in the proportion of the incidence of impaired non-auditory health status among respondents that healthy, sick child, father / mother is sick, and pregnant women (p value = 0.205).
"
Depok: Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia, 2012
S-Pdf
UI - Skripsi Open  Universitas Indonesia Library
cover
Bass, Bob
London: Ebury, 1993
629.133 1 BAS b
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>