Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 19991 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Achmad Sofyan
"Penelitian ini membahas tentang perjalanan Kotabaru sebagai sebuah bagian dari sejarah Yogyakarta. Kotabaru Yogyakarta adalah sebuah kelurahan yang terdapat di wilayah kecamatan Gondokusuman. Kotabaru berkembang sebagai sebuah wilayah yang di khususkan untuk penduduk Belanda pada masa kolonialisme Belanda. Pada masa pendudukan Jepang Kotabaru berubah fungsi menjadi markas militer tentara Jepang (Kido Butai). Kotabaru memiliki bangunan besar dan luas yang cocok untuk dijadikan gudang peluru dan amunisi lainnya. Ketika kolonialisme Belanda dan pendudukan Jepang berakhir. Kotabaru berkembang menjadi sebuah perumahan elit pribumi yang mampu membayar sewa hak tanah di atas tanah Kraton. Hasil penelitian ini membahas bagaimana perubahan pemukiman yang terjadi di Kotabaru serta dampak perubahan tersebut terhadap kampung di sekitarnya.

This study discusses Kotabaru trip as a part of the history of Yogyakarta. Kotabaru Yogyakarta is a village located in the district Gondokusuman. Kotabaru developed as an area dedicated to the population in the Netherlands during the Dutch colonialism. During the Japanese occupation Kotabaru turned into the headquarters of the Japanese army military (Kido Butai). Kotabaru has a large and spacious building suitable to be used as warehouse bullets and other ammunition. When the Dutch colonialism and Japanese occupation ended. Kotabaru developed into an elite residential indigenous land rights is able to pay rent on the palace ground. Results of this study discusses how the changes that occur in Kotabaru settlement and the effects on the surrounding villages."
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan dan Budaya Universitas Indonesia, 2013
S52521
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Shabrina
"Posisi elite pribumi dalam birokrasi pemerintahan di Jawa Tengah merupakan fokus utama dalam penelitian ini. Permasalahan yang diajukan adalah bagaimana posisi elite pribumi dalam sistem birokrasi kolonial di wilayah Jawa Tengah 1918-1924. Periode yang diteliti dimulai dari tahun 1918, ketika pemerintah kolonial mulai memberlakukan kebijakan Ontvoogding Ordonanntie (Ordonansi Pembebasan Perwalian) dan berakhir pada 1924 dengan diberlakukannya Regentschapsordonantie (Ordonansi Kabupaten). Metode yang digunakan adalah metode sejarah didukung dengan model lapisan sosial dari Roland Mousnier dan konsep kekuasaan dari Michael Mann. Sumber primer yang digunakan adalah Staatsblad van Nederlandsch-Indië dan majalah Pedoman Prijaji. Hasil penelitian menunjukkan bahwa bupati memegang posisi tertinggi dalam birokrasi pemerintahan pribumi di wilayah Jawa Tengah berdasarkan aturan turun-temurun yang diberikan oleh pemerintah kolonial sejak abad ke-19. Sikap pemerintah kolonial yang tidak memberikan kebebasan menimbulkan adanya perlawanan dari para elite birokrasi pribumi. Pemerintah kolonial memberi respon dengan menyerahkan kekuasaan dan wewenang kabupaten kepada pemerintah pribumi.

The position of indigenous elite in government bureaucracy in Central Java is the main focus of this research. The problem proposed is how the position of indigenous elite in the colonial bureaucracy in Central Java region 1918-1924. The period of this research starts from 1918, when the colonial government to released Ontvogding Ordonanntie (Freedom Ordonance) policy and ended in 1924 releasement of the Regentschaps Ordonanntie (Regency Ordonance) policy. The method used the historical methods supported with social layer model from Roland Mousnier and authority concept from Michael Mann. Primary resources used Staatsblad van Nederlandsch-Indië and Pedoman Prijaji. The result shows that regent holds the highest position of native government bureaucracy in Central Java region based on hereditary rule that has been given by colonial government since the nineteenth century. The attitude of colonial government which did not provide freedom led to resistance from indigenous bureaucracy elite. The colonial government responded by handing over the power and authority of the regency to the native government."
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan dan Budaya Universitas Indonesia, 2020
TA-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Suharto, 1944-
"Tujuan penelitian ini adalah untuk mengungkapkan fenomena di Keresidenan Banten setelah daerah itu diduduki oleh
Belanda. Penelitian ini melalui empat tahap, yaitu mencari sumber sejarah (heuristik), kritik, interpretasi, dan penulisan
sejarah (historiografi). Hasil penelitian menunjukkan bahwa pelaksanaan pemerintahan di kedua pemerintahan sipil
yang saling bermusuhan itu berjalan tidak sempurna. Tidak lama setelah Banten diduduki oleh Belanda, beberapa tokoh
Banten khususnya yang pro-Belanda membicarakan status daerah itu di masa datang. Dinas Penerangan Keresidenan
Banten pro-Belanda menyediakan beberapa alternatif agar dipilih rakyat Banten. Alternatif yang dikemukakan adalah:
(1) Banten sebagai Propinsi ke-13 dari Kerajaan Belanda, (2) Banten masuk Negara Indonesia Serikat secara langsung
sebagai negara atau daerah istimewa, atau (3) Banten masuk NIS secara tidak langsung dengan terlebih dahulu
bergabung dengan negara Pasundan atau Distrik Federal Jakarta. Jika bergabung dengan negara Pasundan, ada dua cara,
yaitu daerah itu sebagai keresidenan, atau sebagai negara, atau sebagai daerah istimewa. Beberapa alternatif tersebut
disampaikan kepada Badan Perwakilan Rakyat Banten untuk dipilih dan menetapkan suatu delegasi yang tugasnya
menyampaikan pilihan mereka ke Konferensi Meja Bundar di Den Haag. Ternyata badan tersebut tidak mengikuti
keinginan Dinas Penerangan, tetapi menunggu hasil konferensi. Putusannya, Banten tetap masuk wilayah RI sebagai
salah satu negara bagian dari Republik Indonesia Serikat.
The aim of this researh is to expose the phenomenon in Banten Residency after the Dutch occupied the region. There
are four steps used in this research, i.e. collecting historical sources (heuristic), critique, interpretation and
historiography (writing the history). This research result that the two sides of the civil government did not work well.
Not long after Banten was occupied by the Dutch, several prominent Bantenese figures, especially those who were pro-
Dutch discussed the future status of the region. The Information Department of Banten Residency who was pro-Dutch
offered several alternatives for the people of Banten to choose. The alternatives were: (1) Banten became the 13th
province of the Dutch Kingdom; (2) Banten joined the United States of Indonesia as a state or got a special status; (3)
Banten indirectly joined the United States of Indonesia. First this region joined the state of Pasundan or the Federal
District of Jakarta. If Banten joined the state of Pasundan, there are two options, firstly this district as a residency or
secondly, as a state or an exclusive territory. Those alternatives were presented to the People Representative Board of
Banten for the people to choose and to appoint a delegation who would present their choice to the Round Table
Conference in the Hague (Den Haag). But the body did not follow the aspiration of the representative board. This body
just had to wait for the conference decision. Based on the conference decision, Banten remained as a part of the
Republic of Indonesia which was a state in the United States of Indonesia."
Fakultas Ilmu Pengetahuan dan Budaya Universitas Indonesia, 2009
PDF
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
cover
P. Swantoro
Jakarta: KPG(Kepustakaan Populer Gramedia), 2002
959.8 Swa d
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
cover
P. Swantoro
Jakarta: KPG(Kepustakaan Populer Gramedia), 2002
959.8 Swa d
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
cover
Azora Nuraida
"ABSTRAK
Jepang menguasai Indonesia dari tahun 1942 hingga 1945 dengan tujuannya adalah memperluas kekuasaan militernya di Asia. Salah satu peninggalan masa pendudukan militer Jepang di Indonesia adalah tonarigumi. Tonarigumi dibentuk untuk merealisasikan keinginan Jepang untuk menarik masa dalam menghadapi perang. Tonarigumi memiliki peran besar bagi Jepang untuk dijadikan senjata dalam menduduki Indonesia. Lembaga ini didasari asas gotong royong yang saat itu digunakan pemerintah untuk mengendalikan dan mengontrol masyarakat. Tonarigumi memberi dampak postitif dan negatif bagi Indonesia. Artikel ini menjelaskan secara rinci awal mula, fungsi dan penyebaran dari tonarigumi. Penelitian ini merupakan kajian kepustakaan dengan metode deskriptif analisis. Hasil penelitian ini mengungkapkan bahwa masa kependudukan militer Jepang di Indonesia berperan besar dalam sejarah terbentuknya tonarigumi dan menjadi salah satu peninggalan penting pendudukan militer Jepang di Indonesia.

ABSTRACT
Japan take control Indonesia from 1942 to 1945 with the aim of expanding its military power in Asia. One of the remains of the Japanese military occupation in Indonesia was tonarigumi. Tonarigumi was formed to realize Japan s desire to attract time in the face of war. Tonarigumi has a big role for Japan to be used as a weapon in occupying Indonesia. This institution is based on the principle of mutual cooperation which was then used by the government to control the community. Tonarigumi has a positive and negative impact on Indonesia. This article explains in detail the origin, function and spread of tonarigumi. This research is a study of literature with descriptive analysis method. The results of this study reveal that the period of Japanese military occupation in Indonesia effect in the history of the formation of tonarigumi, and became one of the important remains of Japanese military occupation in Indonesia."
Fakultas Ilmu Pengetahuan dan Budaya Universitas Indonesia, 2018
MK-Pdf
UI - Makalah dan Kertas Kerja  Universitas Indonesia Library
cover
Mohammad Iskandar
"ABSTRAK
Dalam pembangunan nasionai dibutuhkan adanya pengusaha-pengusaha nasional yang dapat dijadikan pilar-pilar penyangganya. Namun usaha pemerintah untuk merangsang tumbuhnya pengusaha-pengusaha pribumi (nasional) menjadi konglongmerat-konglongmerat nasionai yang tangguh umumnya tidak mencapai sasaran. Kelemahan semacam ini tentu bukan muncul begitu saja. Paling tidak ada periode-periode yang mengawalinya yang menyebabkan 'etos kerja' para pengusaha Indonesia demikian lemah dan umumnya sangat tergantung dengan fasilitas negara.
Iklim yang tidak baik yang menyebabkan lemannya 'etos kerja' para pengusaha pribumi (Indonesia) ternyata berakar iauh sebelum negara kesatuan Republik indonesia terbentuk. Politik pemerintah kerajaan-kerajaan tradisional Indonesia, dan juga politik koionial Belanda membuat pertumbuhan wiraswasta Indonesia terhambat. Dampaknya tarnyata terus kelihatan sampai periode 1950-an. Memang fakta yang diungkapkan di sini masih fragmentaris sifatnya, dan tidak begitu tepat untuk menggeneralisir-semua pengusaha Indonesia. Akan tetapi dari kasus-kasus yang ditonjolkan di sini paling tidak dapat memberikan satu informasi untuk dijadikan pertimbangan bagi penelitian dan kerja di masa akan datang.
"
Fakultas Ilmu Pengatahuan Budaya Universitas Indonesia, 1994
LP-pdf
UI - Laporan Penelitian  Universitas Indonesia Library
cover
Nugroho Notosusanto
Tokyo: Waseda University Press, 1979
992.06 NUG p
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
cover
Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan RI, 1979
959.83 DAR
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
cover
Rahdil Pahlefi Dasril
"Penelitian yang berjudul Peralihan Fungsi dan Peranan ABRI pada Pasca Reformasi , membahas mengenai peralihan fungsi ABRI dari masa Orde Baru ke masa Reformasi dan kebijakan-kebijakan yang dilakukan oleh ABRI dalam rangka memenuhi tuntutan masyarakat agar ABRI melakukan reformasi internal pasca runtuhnya Orde Baru.
Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode sejarah yang terdiri dari empat tahapan yaitu heuristik, kritik, interpretasi, dan historiografi. Hasil penelitian ini adalah bahwa mundurnya militer dari politik tidak secara otomatis menjadikan militer profesional. Profesionalisme militer masih berada pada tataran kebijakan yang menghadapi kendala teknis implementasinya.

The focus of this study is to explain the transition of ABRI function on the New Order era to the Reform era, moreover the policies which conducted by the ABRI in order to fulfill the demands from society that ABRI has to do internal reforms after the collapse of New Order.
The method used in this study is the historical method consists of four stages: heuristic, critic, interpretation, and historiography. The result of this study is that the with drawal of the military from politics doesn’t automatically make professional military. The professionalism of military is still facing the obstacle of technical implementation.
"
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan dan Budaya Universitas Indonesia, 2013
S46881
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>