Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 217787 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Marisa Harfiana
"Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui mengenai konsep, tujuan, pengaturan, dan permasalahan penerapan Izin Pinjam Pakai Kawasan Hutan (IPPKH) dalam kegiatan pertambangan batubara di Indonesia serta mengetahui dampaknya terhadap investasi. Penelitian ini merupakan penelitian hukum yang bersifat yuridis normatif dengan menggunakan data sekunder, diantaranya peraturan perundangan-undangan, buku, dan wawancara dengan narasumber. Dari hasil penelitian ini diperoleh kesimpulan yang menjawab pokok permasalahan, yaitu bahwa IPPKH merupakan sebuah fasilitas untuk menjembatani kepentingan investasi dan kepentingan pelestarian hutan dimana keduanya merupakan kepentingan strategis bagi Negara yang tidak bisa dikesampingkan salah satunya. Namun, IPPKH masih mengalami masalah dalam penerapannya karena beberapa faktor seperti masih banyaknya perusahaan yang tidak atau belum mengajukan IPPKH, perbedaan pemetaan, serta kepastian hukum pengaturan IPPKH. Masalah-masalah tersebut disebabkan oleh faktor dari Pemerintah maupun pihak pengusaha pertambangan itu sendiri. Kondisi ini menimbulkan potensi terganggunya investasi di bidang pertambangan batubara. Dengan demikian perlu diwujudkan penerapan IPPKH yang efektif sehingga fungsi dan tujuan dari IPPKH untuk mengakomodir kepentingan investasi dan pelestarian hutan dapat terlaksana secara optimal.

This research aims to determine the concept, purpose, regulations, and implementation of Borrow-to-Use Permit For Forest Area (IPPKH) on coal mining activities in Indonesia, as well as the impact on investment climate. This research is a normative legal research using secondary data, such as legislations, books, and interviews with experts. From this research, it can be concluded that IPPKH is a permit to facilitate the interests of forest protection and investment which both of them have strategic importance to Indonesiaand none of them can be ruled out. However, IPPKH still experiencing problems in its implementation because of several factors such as; many companies don?t obtain IPPKH, differences in mapping, and legal certainty of IPPKH regulations. These problems are caused by factors from the Government and the mining investors itself. This condition poses a potential disruption of investment climate in coal mining. Thus, IPPKH needs an effective implementation so that the function and the purpose of IPPKH to accommodate the interests of investment and forest protection can be implemented optimally.
"
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2013
S46453
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Endah Kusumawati
"Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral dimulai dari tahap perencanaan sampai dengan proses perizinan pinjam pakai kawasan hutan hal tersebut untuk menghindari adanya tumpang tindih penggunaan kawasan hutan. Langkah selanjutnya penyempurnaan kebijakan yang lebih rasional sehingga tidak menimbulkan kerancuan di lapangan. Selain hal tersebut perlu adanya sosialisasi kepada masyarakat khususnya masyarakat sekitar hutan tentang peraturan perundang-undangan di sektor kehutanan maupun pertambangan agar diperoleh kesepahaman.
Kegiatan dan kebijakan mengenai pertambangan yang menggunakan kawasan hutan di Indonesia sudah diatur oleh berbagai sektor diantaranya sektor Kehutanan, Pertambangan, Lingkungan Hidup dan juga peran serta Pemerintahan Daerah (Propinsi, Kabupaten/Kota). Berbagai permasalahan terjadi pada kawasan hutan terutama kawasan hutan lindung, sebagaimana telah diatur dalam Undang-Undang 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan. Adanya kegiatan pertambangan yang sudah dan sedang beroperasi pada berbagai tahapan baik perizinan, permohonan, eksplorasi maupun produksi menambah persoalan dalam mengatasi penggunaan lahan di kawasan hutan. Permasalahan lain yang muncul adalah dengan terbitnya Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, dengan fokus dan nuansa desentrralisasi otonomi daerah, maka sebagian Pemerintahan Daerah (Propinsi, Kabupaten/Kota) mengasumsikan bahwa kewenangan Pertambangan juga termasuk menjadi wewenang Pemerintahan Daerah.
Disharmonisasi diperparah lagi dengan adanya tumpang tindih penggunaan kawasan hutan. Dalam pelaksanaan penggunaan kawasan hutan untuk kegiatan pertambangan masih banyak dijumpai tumpang tindih kegiatan antara pemanfaatan kawasan hutan dengan penggunaan kawasan hutan. Misalnya kegiatan pemanfaatan kayu dengan kegiatan pertambangan. Hal tersebut menjadi hambatan dalam pelaksanaan pinjam pakai kawasan hutan untuk pertambangan. Selain hal tersebut dijumpai juga adanya klaim-klaim masyarakat sekitar hutan untuk menuntut ganti rugi tegakkan akibat kegiatan pertambangan. Dengan demikian hal tersebut akan menghambat iklim investasi sektor pertambangan. Sebagai langkah kebijakan untuk mengatasi hal tersebut maka diperlukan langkah sinergitas kegiatan antara sektor terkait khususnya Kementerian Kehutanan dan
"
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2014
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Fitrianus
"Penelitian ini menganalisis pengaruh kebijakan pengendalian penggunaan kawasan hutan terhadap luas IPPKH tambang mineral dan batubara di Indonesia pada periode 2008-2017. Kebijakan pengendalian penggunaan kawasan hutan yaitu kebijakan moratorium izin dan kebijakan kenaikan tarif PNBP PKH yang dianalisis melalui pendekatan model ARIMA dengan melakukan proyeksi data sebelum kebijakan yang diidentifikasi sebagai Business As Ussual BAU dari IPPKH tanpa kebijakan dan selanjutnya BAU dibandingkan dengan data aktual setelah kebijakan untuk melihat pengaruh kebijakan tersebut. Kebijakan pengendalian penggunaan kawasan hutan lainnya yaitu kebijakan kuota IPPKH dianalisis dengan pendekatan deskriptif dan analisis spasial terhadap pola sebaran dan model ekspansi IPPKH tambang. Selain itu, dilakukan wawancara mendalam terhadap narasumber yang kompeten untuk memperdalam analisis.
Hasil analisis mengindikasikan kebijakan moratorium izin tidak efektif mengurangi luas IPPKH tambang mineral dan batubara sedangkan kebijakan kenaikan tarif dan perubahan skema pungutan PNBP PKH terindikasi mampu mengendalikan luas IPPKH tambang mineral dan batubara. Untuk kebijakan kuota luas IPPKH tambang, kebijakan ini cenderung mendorong terjadinya usaha penguasaan kawasan hutan oleh perusahaan tambang dan persaingan untuk mendapatkan IPPKH tambang khususnya pada wilayah yang kaya sumber daya alam.

This research analyzes the influence of policy of controlling the use of forest area against IPPKH area of mineral and coal mine in Indonesia in the period of 2008 2017. The policy of controlling the use of forest areas is the policy of permit moratorium and the policy of tariff increase of PNBP PKH is analyzed through ARIMA model approach by doing data projection before policy identified as Bussines As Ussual BAU of IPPKH without policy and BAU then compared with actual data after policy to see influence of the policy. The other policy of controlling the use of forest areas is the IPPKH quota policy is analyzed by descriptive approach and spatial analysis on the distribution pattern and expansion model of IPPKH mine. In addition, in depth interviews were conducted to competent sources to deepen the analysis.
The results of the analysis indicate that the policy of permits moratorium is ineffective reduces the extent of IPPKH of mineral and coal mines while the policy of tariff increase and the change of PNBP PKH levy scheme is indicated to be able to control the extent of IPPKH of mineral and coal mines. For IPPKH 39 s broad quota policy, this policy tends to encourage forestry companies 39 control of forest areas and competition to obtain IPPKH mines, especially in rich natural resources areas.
"
Depok: Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia, 2018
T49580
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Danu Ega
"Skripsi ini membahas mengenai perizinan dan pelaksanaan kegiatan pertambangan batu kapur di kawasan hutan oleh PT. Semen Indonesia (Persero) Tbk. Tipe penelitian yang digunakan menurut jenisnya adalah penelitian yuridis normatif, menurut tujuannya adalah penelitian problem solution, menurut penerapannya adalah penelitian berfokus masalah, dan menurut ilmu penerapannya adalah penelitian monodisipliner. Simpulan dari penelitian ini ialah kebijakan kegiatan pertambangan pada kawasan hutan Indonesia saat ini telah diatur oleh masing-masing sektor, yaitu pertambangan dan kehutanan, serta berdasarkan kewenangan pemerintah daerah dalam pemberian perizinan pertambangan legalitasnya sudah ada kepastian hukum yaitu Pasal 1 ayat (7) Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintah Daerah terkait desentralisasi dan Pasal 37 Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 Tentang Pertambangan Mineral dan Batubara terkait peran pemerintah daerah yang memberikan Izin Usaha Pertambangan. Akan tetapi PT. Semen Indonesia (Persero) Tbk. pada prakteknya masih menghadapi beberapa kendala perizinan pertambangan terutama dalam perizinan dan pelaksanaan kegiatan pertambangan batu kapur di kawasan hutan Kabupaten Tuban, antara lain mengenai kompensasi lahan dan perbedaan prinsip di dalam penafsiran Bupati Kabupaten Tuban dalam pemberian izin. Hasil penelitian menyarankan kedepannya diharapkan penerapan pola perizinan sebagai pola pengusahaan pertambangan, seharusnya di tunjang oleh administrasi pemerintahan dan pelayanan publik yang baik dan lebih memberikan kepastian hukum. Dan diharapkan Pemerintah dapat menjalankan fungsi pemerintahan dengan baik dengan cara mengatur seluruh kegiatan pertambangan di Indonesia untuk mewujudkan kesejahteraan negara sesuai dengan amanat Pasal 33 ayat (3) Undang-undang Dasar 1945, sehingga kekayaan alam di Indonesia dapat dirasakan manfaatnya oleh seluruh rakyat Indonesia.

This mini thesis discusses about the licensing and implementation of limestone mining in forest areas by PT. Semen Indonesia (Persero) Tbk. This type of research is used by species normative research, according to the research purpose is problem solution, according to its application is the focus of research problems, and according to science is the application of research monodisipliner. The conclusion of this study is, mining policy in Indonesia's forest area has been regulated by each sector which is mining sector and forestry sector, and by the authority of the local government in granting mining licenses legally existing rule of law which is Article 1 paragraph (7) of Law Number 32 Year 2004 about Regional Government especially about Decentralization and Article 37 of Law Number 4 of 2009 about Mineral and Coal mining related role of local government that provides Mining Permit. However PT. Semen Indonesia (Persero) Tbk. in practice still faces some obstacles, especially in the mining permitting and licensing activities limestone mining in the forest area of Tuban, which is the principle of compensation for land and differences in the interpretation of the Tuban district Mayor in giving permission. The results suggest the future is expected adoption pattern as patterns mining business licenses, should be supported by public administration and better public services and more legal certainty. And the government is expected to run well the government functions by regulating all mining activities in Indonesia for the welfare state in accordance with the mandate of Article 33 paragraph (3) of the 1945 Constitution, so the benefit from natural resources in Indonesia can be felt by the people of Indonesia."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2013
S52495
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Manalu, Andre Abrianto
"Penggunaan kawasan hutan untuk kepentingan pembangunan di luar kegiatan kehutanan diakomodir berdasarkan Pasal 38 Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan. Sebagai penelitian yuridis normatif, artikel ini membahas mengenai tumpang tindih kawasan yang terjadi antara usaha pertambangan dan kegiatan budidaya kehutanan yang berdampak pada terhambatnya kegiatan usaha pertambangan di kawasan tersebut. Izin merupakan salah satu bentuk dari pengendalian oleh Pemerintah, sehingga dengan diperolehnya izin, maka penerima izin seharusnya dapat melakukan kegiatan pertambangan. Tertundanya kegiatan pertambangan PT. Mitra Bara Jaya di kawasan tersebut diakibatkan karena pemerintah tidak campur tangan dalam penghitungan biaya ganti investasi dan justru menyerahkan penyelesaian tersebut melalui skema business to business. Hal ini menunjukkan kelemahan manajemen pemerintah untuk memberikan kepastian hukum bagi pelaku usaha. Ombudsman Republik Indonesia berpendapat bahwa telah terjadi maladministrasi yang dilakukan oleh Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan RI cq Direktur Jenderal Pengelolaan Hutan Produksi Lestari karena telah melakukan pengabaian kewajiban hukum dan penundaan berlarut terkait penyelesaian permasalahan ganti biaya investasi antara PT. Mitra Bara Jaya dengan PT. Adindo Hutani Lestari.
....The usage of forest area for development purpose besides forestry activity is accommodated based on Article 38 of Law Number 41 of 1999 concerning Forestry. As a normative juridical study, this article discusses the overlapping areas that occur between mining businesses and forestry cultivation activities that have an impact on the obstruction of mining business activities in these areas. Permit is one form of control by the Government, so that by obtaining license, the permit recipient should be able to carry out mining activities. PT. Mitra Bara Jaya's mining activity is delayed because instead of interfere in calculating the cost of investment, the Government hands over the settlement through a Business-to-Business scheme. This shows the weakness of government management to provide legal certainty for business. Ombudsman of the Republic of Indonesia argues that there has been a maladministration by the Indonesian Minister of Environment and Forestry cq the Director General of Sustainable Production Forest Management due to the neglection of legal obligation and prolonged delay related to the resolution of the compensation on cost of investment issue between PT. Mitra Bara Jaya and PT. Adindo Hutani Lestari."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2020
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Ahmad Nugraha Abrar
"Sektor kehutanan memiliki karakteristik yang spesifik yaitu, apabila dilakukan eksploitasi terhadap hutan, maka pemulihan fungsinya sangat sulit dan butuh waktu yang relatif lama, Kendala yang terjadi saat ini adalah pemegang IUP tidak bisa melakukan aktifitas usaha pertambangan sebelum mendapat persetujuan pemanfaaatan kawasan hutan dari Kementerian LHK. Persetujuan yang dimaksud dalam bentuk Izin Pinjam Pakai Kawasan Hutan (IPPKH). Permasalahan dalam tesis ini yaitu 1) Bagaimana pengaturan perizinan pengusahaan pertambangan mineral dan batu bara dalam kawasan hutan berdasarkan UU Pertambangan Minerba dan UU Kehutanan?; 2) Bagaimana pelaksanaan perizinanan pengusahaan pertambangan mineral dan batubara dalam kawasan hutan?. Metode Penelitian yuridis normatif digunakan dalam penelitian ini karena difokuskan pada penelitian tentang asas-asas dan teori-teori hukum yang dapat dijadikan dasar dalam harmonisasi pengaturan pengusahaan pertambangan yang memanfaatkan kawasan hutan. Data yang digunakan dalam penelitian hukum normatif adalah data sekunder berupa bahan-bahan hukum. Dari hasil penelitian dapat disimpulkan 1) Pengaturan perizinan usaha pertambangan minerba yang mengsinkronkan dengan pengaturan pengusahaan sektor lainnya seperti kehutanan, pertanahan dan lingkungan telah mengalami banyak perubahan sejak diundangkannya UU Nomor 4 Tahun 2009 Tentang Pertambangan Minerba. Perubahan terus dilakukan terutama untuk menyesuaikan pengaturan pemanfaatan dan penggunaan kawasan hutan untuk kegiatan usaha pertambangan melalui UU Nomor 3 Tahun 2020 Tentang Perubahan UU Nomor 4 tahun 2009 Tentang Pertambangan Mineral dan Batubara; 2) Harmonisasi norma hukum dalam  regulasi  di bidang pertambangan Minerba dan regulasi di bidang Kehutanan diwujudkan melalui instrumen hukum Izin Pinjam Pakai Kawasan Hutan (IPPKH) sebagai dasar penggunaan kawasan hutan untuk kegiatan pertambangan  bagi pemegang IUP

The forestry sector has specific characteristics, namely, if forest exploitation is carried out, then the restoration of its function is very difficult and takes a relatively long time. The current obstacle is that IUP holders cannot carry out mining business activities before obtaining approval for the use of forest areas from the Ministry of Environment and Forestry. The approval referred to in the form of a Borrow-to-Use Forest Area Permit (IPPKH). The problems in this thesis are 1) How are the licensing arrangements for mineral and coal mining concessions in forest areas based on the Minerba Mining Law and the Forestry Law?; 2) How is the implementation of licensing for mineral and coal mining in forest areas? The normative juridical research method is used in this study because it focuses on research on legal principles and theories that can be used as the basis for harmonization of mining concession arrangements that utilize forest areas. The data used in normative legal research is secondary data in the form of legal materials. From the results of the study, it can be concluded that 1) Mining business licensing arrangements that synchronize with other sector management arrangements such as forestry, land and the environment have undergone many changes since the enactment of Law Number 4 of 2009 concerning Minerba Mining. Changes continue to be made, especially to adjust the regulation on the utilization and use of forest areas for mining business activities through Law Number 3 of 2020 concerning Amendments to Law Number 4 of 2009 concerning Mineral and Coal Mining; 2) Harmonization of legal norms in regulations in the Minerba mining sector and regulations in the forestry sector is realized through the legal instrument of the Borrow-to-Use Forest Area Permit (IPPKH) as the basis for the use of forest areas for mining activities for IUP holders."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2021
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Citta Parahita Widagdo
"Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui mengenai konsep, tujuan, pengaturan, dan permasalahan dalam pengendalian produksi dan ekspor batubara di Indonesia serta mengetahui dampak dari pengendalian produksi dan ekspor batubara terhadap penanaman modal. Penelitian ini merupakan penelitian hukum yang bersifat yuridis normatif dengan menggunakan data sekunder, diantaranya peraturan perundangan-undangan, buku, dan wawancara dengan narasumber.
Dari hasil penelitian, diperoleh kesimpulan yang menjawab permasalahan, yaitu bahwa pengendalian produksi dan ekspor batubara belum dapat dilaksanakan karena belum terdapat Peraturan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral yang mengatur tata cara pelaksanaannya. Selain itu, terdapat pandangan bahwa pengendalian produksi batubara telah dilaksanakan melalui Domestic Market Obligation, padahal kebijakan tersebut merupakan dua hal yang berbeda. Belum adanya Peraturan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral tersebut menimbulkan dampak terhadap tidak terkendalinya produksi dan ekspor batubara sehingga terjadi kondisi oversupply dan tidak sejalan dengan cetak biru pengelolaan energi nasional. Dalam kaitannya dengan penanaman modal, adanya pengendalian produksi dan ekspor batubara dapat menurunkan investasi di bidang pertambangan batubara. Namun demikian, pengendalian produksi dan ekspor batubara harus dilaksanakan karena memiliki tujuan jangka panjang untuk menjamin ketahanan energi nasional.

This research aims to determine the concept, purposes, regulations, and implementation of the control of coal production and export in Indonesia and to determine its impact to the investment climate. This research is a normative legal research using secondary data, such as legislation, books, and interviews with research persons.
From this research, it is concluded that the control of coal production and export has not yet been implemented because there is no Minister of Energy and Mineral Resources Regulation regarding the procedure of the control of coal production and export, and there is a misunderstanding that the coal production has been controlled through the Domestic Market Obligation policy. The nonexistent of the Ministry Regulation has resulted in the uncontrollability of coal production and export, making it not in accordance with the national energy policy. In its relation to investment, the control of coal production and export can lead to a decrease of investment in the coal mining sector. However, the control of coal production and export must be implemented due to its long-term purpose to secure the national energy."
Depok: Universitas Indonesia, 2013
S44779
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Istiadiningdyah
"Skripsi ini membahas penyelesaian sengketa investasi asing di sektor pertambangan minerba di Indonesia dalam kaitannya dengan hukum perdata internasional. Penelitian ini menggunakan metode yuridis normatif dan metode yuridis empiris. Hasil penelitian menyarankan agar Majelis Arbitrase Internasional dan para pihak dalam KK dan PKP2B untuk lebih memperhatikan penerapan hukum Indonesia sebagai hukum yang berlaku dalam KK dan PKP2B (governing law), sekaligus sebagai hukum materiil (substantive law) dalam proses arbitrase internasional untuk menyelesaikan perkara-perkara utama HPI di dalamnya.

The focus of this study is the settlement of foreign investment dispute in mineral and coal mining sector in Indonesia in relation to private international law. This study uses a juridical normative and empirical methods. The results suggest that the International Arbitration Tribunal and the parties in KK and PKP2B to pay more attention to the implementation of Indonesian law as the governing law in KK and PKP2B, as well as the substantive law in the process of international arbitration to resolve major matters of HPI in it."
Depok: Universitas Indonesia, 2014
S53538
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Reza Satrio
"Kebijakan Clear and Clean pada awalnya bertujuan untuk menata Izin Usaha Pertambangan IUP Mineral dan Batubara dikarenakan permasalahan administrasi dan kewilayahan yang ditemukan dalam proses penerbitan IUP tersebut oleh Pemerintah Provinsi, dan/atau Pemerintah Kabupaten/Kota sesuai dengan kewenangannya. Namun, seiring berjalannya waktu, ditemukan permasalahan lainnya dalam proses penerbitan IUP salah satunya adalah tidak lengkapnya dokumen lingkungan sebagai syarat untuk menjalankan kegiatan usaha pertambangan. Maka, Pemerintah setelah itu mengeluarkan Peraturan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral yang mengatur bahwa penataan IUP dilakukan dengan mengevaluasi tata cara penerbitan IUP Mineral dan Batubara melalui 5 kriteria aspek, yakni administrasi, kewilayahan, teknis, lingkungan, dan finansial.
Hasil dari evaluasi 5 kriteria aspek atas IUP ini yang selanjutnya menghasilkan status dan sertifikat Clear and Clean bagi pemegang IUP yang telah dinyatakan memenuhi 5 kriteria aspek tersebut. Sebagai kebijakan yang bertujuan untuk menata, kebijakan ini di sisi lain juga memaksakan ketaatan/kepatuhan compliance terhadap pemegang IUP untuk menaati/mematuhi 5 kriteria aspek evaluasi tersebut agar IUP nya dapat menjadi IUP Clear and Clean. Skripsi ini membahas mengenai Kebijakan Clear and Clean dengan mengaitkannya sebagai instrumen penaatan hukum lingkungan melalui pendekatan manajemen lingkungan dan tipologi kebijakannya.

The objective of Clear and Clean policy at the beginning is to manage the Mineral and Coal Mining Business License IUP due to the findings of administration and territoriality issues during the IUP issuance process by Provincial Government and or Local City Government based on their authority. However, other issues had also been found afterwards during the IUP issuance process, one of them is the incompletion of environmental documents which is required in order to run a mining business, thus, Government subsequently invoke a Minister of Energy dan Mineral Resources Regulation which regulates that IUP management is conducted by evaluating the IUP issuance procedure through 5 criterias, which are administration, territoriality, technical, environment, and financial.
The evaluation that is conducted on IUP through these 5 criterias hereafter resulting a Clear and Clean status and certificate for the IUP holder which declared the IUP holder has met all the 5 criterias. As a policy that aims to manage, this policy in the other hand is also forcing a compliance towards IUP holder to comply all the 5 evaluation criterias in order to have their IUP as Clear and Clean IUP. This thesis discusses Clear and Clean policy by associating it as an instrument of environmental law compliance through environmental management approach and the typology of its policy.
"
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2018
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Jean Viola Eudithya
"Skripsi ini membahas mengenai ketentuan kewajiban divestasi saham bagi perusahaan asing di bidang pertambangan mineral menurut UU No. 4 Tahun 2009 dan peraturan pelaksananya serta sinkronisasinya dengan hasil renegosiasi kontrak karya PT. Freeport Indonesia. Setelah melewati proses renegosiasi, pada akhirnya tercapai kesepakatan antara Pemerintah Republik Indonesia dan PT. Freeport Indonesia yang menentukan bahwa kewajiban divestasi saham PT. Freeport Indonesia adalah sebesar 30%.
Dengan menggunakan jenis penelitian yuridis normatif, hasil penelitian ini menunjukkan bahwa hasil renegosiasi kontrak karya PT. Freeport tidak sinkron dengan peraturan yang berlaku pada saat itu yaitu PP No. 24 Tahun 2012, yang mengatur perusahaan asing di bidang pertambangan mineral untuk mendivestasikan sahamnya paling sedikit sebesar 51%. Setelah PP No. 24 Tahun 2012 diubah dengan PP No. 77 Tahun 2014, maka ketentuan kewajiban divestasi saham hasil renegosiasi kontrak karya PT. Freeport Indonesia dengan peraturan perundang-undangan telah sinkron.

This thesis examines the provisions regarding share divestment obligation for foreign mineral mining company according to Law No. 4 of 2009 and its implementing regulations, and the synchronisation with the result of contract of work renegotiation of PT. Freeport Indonesia. After going through the process of renegotiation, the Government of Republic of Indonesia and PT. Freeport Indonesia eventually reached an understanding that PT. Freeport Indonesia is obliged to divest 30% of its share.
By using normative juridical research, this study shows that the result of contract of work renegotiation of PT. Freeport Indonesia is not in sync with the applicabe regulation i.e. Government Regulation No. 24 of 2012 which requires foreign mineral mining company to divest at least 51% of its share. After Government Regulation No. 24 of 2012 is amended by Governement Regulation No. 77 of 2014, the provisions regarding share divestment obligation between the result of contract of work renegotiation of PT. Freeport Indonesia and Law No. 4 of 2009 and its implementing regulations has synchronised.
"
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2015
S58264
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>