Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 164285 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Setyaningsih
"Penelitian ini berangkat dari fenomena yang banyak dialami oleh mahasiswa. Banyak mahasiswa yang mengalami stres, selain karena tugas-tugas sebagai mahasiswa, kurangnya keuangan, konflik dengan teman, lingkungan yang tidak nyaman, juga karena "budaya” yang berbeda. Hal tersebut mengakibatkan perubahan-perubahan dalam diri mahasiswa. Setiap perubahan memerlukan usaha-usaha penyesuaian diri, Penyesuaian diri dapat berupa penyesuaian mental (Palliative Coping). Keefektifan coping lebih banyak dipengaruhi oleh persepsi seseorang. Sebab coping sendiri merupakan proses yang dipengaruhi oleh penilaian kognitif seseorang, Maksudnya, setelah seorang mempersepsikan lingkungan, ada 2 (dua) kemungkinan yang terjadi : pertama, rangsang yang dipersepsikan berada dalam batas-batas optimal sehingga timbullah kondisi "Homeostasis". Kemungkinan kedua, bila rangsang itu berada diatas batas optimal mengakibatkan seseorang menjadi stres.
Subyek yang terlibat dalam penelitian ini adalah 120 mahasiswa yang berlatar belakang etnis Madura Latar belakang etnis Madura sengaja diambil karena selain jumlah mereka yang paling besar dibandingkan etnis lain yang ada di Surabaya juga karakteristik etnis Madura yang unik Karakteristik etnis Madura yang unik yaitu ekspresi spontan dan terbuka. Karena karakteristik seperti inilah masyarakat Madura sering mendapat stigma “kasar”.
Penelitian ini menggunakan metode kuantitatif. Berawal dari pengalaman langsung yang dialami subyek berkaitan dengan perasaan stres. Hal-hal yang membuat subyek stres diperoleh melalui angket Setelah dipa oleh hal-hal yang membuat subyek merasa stres kemudian dilakukan wawancara terbuka Tujuan wawancara adalah memperoleh gambaran mengenai cara-cara obyek mengatasi masalah atau stres. Setelah diperoleh informasi bagaimana subyek mengatasi masalah kemudian diidentifikasi berdasarkan teori dari Taylor.
Hasil penelitian menunjukan bahwa: pertama, penerapan strategi perilaku coping yang dijelaskan oleh Taylor, juga berlaku pada mahasiswa dengan latar belakang etnis Madura. Gaya koping yang dilakukan oleh mahasiswa yang berlatar belakang etnis Madura tak terpisahkan dari 8 (delapan) strategi ; 3 (tiga) strategi yang terpusat pada masalah dalam bentuk, konformasi, mencari dukungan sosial, dan dalam merencanakan pemecahan masalah, sedangkau 5 (lima) stratégi lainnya yang berpusat pada emosi dalam bentuk kontrol diri, membuat jarak,penilaian kembali secara positif menerima tanggung jawab dan dalam bentuk lari atau menghindar. Kedua mahasiswa Madura yang masih tinggal di Madura maupun yang tinggal di Surabaya mempunyai kecenderungan menggunakan gaya koping yang berpusat pada emosi yaitu dengan cara lari atau menghindar.
Sehubungan dengan coping yang dilakukan individu untuk mengatasi atau menangani berbagai problema kehidupan, coping bertujuan untuk mengembalikan fungsi psikologis (menstabilkan atau menetralisir kembali keadaan individu) seperti biasa. Apapun gaya coping yang diambil atau digunakan, tugas coping adalah tetap untuk mengurangi atau mengatasi situasi dan kondisi lingkungan yang membahayakan individu, bahkan juga untuk penyesuain diri individu dengan realitas sosial yang ada sehingga individu dapat mempertahankan diri dalam kondisi apapun."
Depok: Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, 2003
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
"Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui sikap mahasiswa Universitas Trunojoyo Madura (UTM) terutama yang berkaitan kesetiaan dan kebangaan terhadap bahasa Madura. Metode yang digunakan adalah metode deskriptif kuantitatiff yang disertai denan penghitungan statistik secara sederhana. Data dikumpulkan dengan menggunakan teknik kuesioner, wawancara mendalam, dan observasi. Teknik wawancara dilakukan dengan wawancarai responden secara mendalam dengan tujuan agar keterangan yang diperlukan dan tidak ada dalam daftar pernyataan kuesioner dapat ditanyakan langsung kepada responden. Teori penelitian yang dipakai adalah teori sikap, sikap bahasa, dan pemilihan bahasa. Dari hasil analisis data, penelitian ini menunjukkan bahwa mahasiswa Universitas Trunojoyo Madura (UTM) dapat dikatakan bersikap positif terhadap bahasa Madura. Hal ini dapat dilihat dari hasil perhitungan persentase dari jumlah responden yang menjawab sangat setuju dan setuju sebanyak 76,6%. Sedangkan untuk kebanggan terhadap bahasa Madura menunjukkan angka 83,6%."
Bebasan 2:2 (2015)
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
cover
"This research was conducted at the RW Sub - District VIII Tegalsari, Distric Tegalsari Surabaya which is poor area in urban and inhabited by several tribes. The research objective was to determine patterns of social interaction in socio economic and cultural inter - Javabnese and Madurese are the majority tribe in the area...."
PATRA 10 (3-4) 2009
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
cover
Anita Sari
"Masa lanjut usia, hampir selalu identik dengan berbagai macam perubahan yang mengarah pada kemunduran. Perubahan-perubahan yang dialami lansia pada aspek fisik, kognitif, sosial dan emosional sering berpengaruh terhadap kehidupan pribadi mereka. Keadaan kesehatan yang buruk, ingatan yang makin berkurang, kehilangan peran dalam pekerjaan; kehilangan pasangan hidup atau teman sejawat, merupakan contoh-contoh perubahan yang membuat mereka sering merasa tidak berharga, tidak berguna dan kurang menghargai diri sendiri. Lebih jauh lagi hal ini mempengaruhi keterlibatan dan pola interaksi mereka dengan lingkungan sekitarnya.
Selain itu masalah kesenjangan pengalaman antar generasi muda dan tua sekarang ini, tampaknya membuat kedudukan lansia yang pada masyarakat tradisional dulu merupakan sumber berkat dan restu, menjadi memudar. Menurut penelitian Berg dkk,1981 (dalam Schultz & Moore, 1982) keadaan ini sering menyebabkan lansia mengalami kehilangan 'kepercayaan diri serta lebih jauh lagi mengalami keterasingan dari teman-teman dan keluarga. Keadaan-keadaan tersebut diatas, menurut Schultz & Moore (1984) menimbulkan keterasingan sosial (social isolation) diantara para lansia sehingga mereka mengalami kesepian.
Dari poll pendapat yang dilakukan Haris dkk (dalam Schlutz & Moore, 1984) diperoleh hasil bahwa kesepian merupakan "masalah yang serius" menurut para lansia 65 tahun keatas. Demikian pula penelitian Schultz & Moore (1984) menunjukkan bahwa hampir seluruh subyek penelitian berusia 55-75 tahun mengalami kesepian (taraf sedang) dan hanya 10% yang mengatakan tidak pernah mengalami kesepian. Dengan berasumsi bahwa penelitian-penelitian tersebut dilakukan di Barat dengan kondisi budaya yang berbeda dengan di Indonesia, timbul keinginan penulis untuk meneliti keadaan tersebut di Indonesia, khususnya Jakarta. Adanya pergeseran pola keluarga (dari keluarga luas ke keluarga batih) yang banyak melanda kota-kota besar termasuk Jakarta, menimbulkan berbagai pilihan tempat tinggal bagi para lansia yang tinggal di kota-kota besar. Walaupun sebagian besar lansia di Indonesia tinggal bersama keluarga mereka dirumah, namun penyediaan sarana panti werdha yang memenuhi berbagai fasilitas memungkinkan lansia memilih tempat tinggal bagi mereka sendiri.
Dalam usaha mengetahui gambaran kesepian pada lansia di Jakarta, penulis akan membandingkan variabel tersebut pada kondisi lingkungan tempat tinggal lansia, yaitu lansia yang tinggal di rumah (dengan keluarga) dan lansia yang tinggal di panti werdha. Adapun subyek penelitian yang diambil berusia 60-80 tahun dan masih sehat, dalam arti belum mengalami senilitas, mengingat pengambilan data dilakukan dengan wawancara.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa pada kedua kelompok tidak terdapat ?lansia yang mengalami kesepian tingkat tinggi (chronic loneliness). Sedangkan gambaran kesepian pada lansia yang tinggal di panti werdha menunjukkan sebagian besar mengalami kesepian tingkat sedang (situational loneliness) dan hanya sebagian kecil tergolong tingkat rendah (transient loneliness). Sementara lansia yang tinggal di rumah lebih banyak yang tergolong tingkat rendah (transient loneliness) dibandingkan tingkat sedang (situational loneliness).
Hasil ini menunjukkan bahwa pada kondisi masyarakat Indonesia, hubungan dan interaksi yang terjalin dalam keluarga masih belum dapat digantikan dengan hubungan sesama teman sebaya sehingga mereka yang tinggal di panti lebih merasa kesepian walaupun mereka berkumpul dengan teman seusia yang cenderung memiliki minat dan ide yang sama. Demikian juga tidak adanya lansia yang tergolong chronic loneliness menunjukkan bahwa rasa penghargaan dan penghormatan terhadap lansia yang dianggap "sesepuh" tampaknya masih berpengaruh sehinqqa dimanapun mereka berada kebutuhan akan hal-hal tersebut cukup terpenuhi."
Depok: Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, 1993
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Kamilah
"PMS (Premenstrual Syndrom) menimbulkan berbagai gejala yang bervariasi dan tidak sama antar individu. Gejala PMS bisa negatif ataupun positif gejala negatif antara lain sakit kepala, mual, perut kembung, mudah marah dan tersinggung, perasaan tertekan, labil dan lain-lain, sedangkan gejala positif antara lain adanya peningkatan energi baik fisik maupun mental, serta menjadi lebih aktif dan kreatif. Ada wanita yang menyadari adanya gejala ini, tetapi tidak merasa terganggu, sehingga kadang-kadang apa yang dirasakan sebagai gejala yang hebat pada seseorang hanya merupakan perubahan fisiologis pada wanita yang lain. Baik buruknya atau positif negatifnya gejala PMS ini tegantung pada persepsi pada diri wanita masing-masing.
Tujuan penelitian ini adalah untuk mengidentifikasi persepsi gejala PMS pada mahasiswa putri. Sampel yang digunakan adalah mahasiswa putri yang tinggal di Wismarini dan dilakukan dengan metode acak sederbana. Pengumpulan data dilakukan dengan menggunakan kuesioner untuk data demografi dan data tentang persepsi mahasiswa putri tentang gejala PMS sebanyak 18 pertanyaan. Desain yang digunakan pada penelitian ini adalah deskriptif sederhana. Setelah diuji dengan menggunakan mean didapatkan hasil 77% memiliki persepsi negatif terhadap gejala PMS dan 23% memiliki persepsi positif terhadap gejala PMS."
Depok: Fakultas Ilmu Keperawatan Universitas Indonesia, 2001
TA5029
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Jakarta : Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, 1986
499.28 PEM
Buku Teks SO  Universitas Indonesia Library
cover
Netty Herawaty
"Tinggal di asrama tidaklah sulit tetapi juga tidak mudah, karena disini terdapat peraturan-peraturan dan tata tertib yang harus di taati serta dipatuhi oleh setiap penghuni asrama. Asrama merupakan sarana yang penting untukpemondokan, pembinaan, disiplin atau akhlak, pusat pengembangan kelompok belajar dan pembinaan hidup mandiri. Sampai saat ini peneliti belum menemukan penelitian tentang hal yang berkaitan dengan peraturan tinggal di asrama. Peneliti mengambil penelitian tentang persepsi mahasiswa terhadap peraturan tinggal di asrama di AKPER RAFLESIA, pada tanggal 16 Desember 2003 - 01 Januari 2004, dengan jumlah responden sebanyak 96 orang. Penelitian ini menggunakan desain penelitian deskriptif sederhana dengan tujuan untuk mengetahui sejauh mana tingkat persepsi mahasiswa AKPER RAFLEISIA terhadap peraturan tinggal di asrama. Pengumpulan data dilakukan dengan cara memberikan kuisioner yang berisi pernyataan tentang persepsi mahasiswa terhadap peraturan tinggal di asrama. Hasil penelitian menunjukkan bahwa persepsi mahasiswa AKPER RAFLESIA terhadap peraturan tingaal di asrama positif dengan nilai mean 2.837 dengan nilai skor tertinggi 74."
Depok: Fakultas Ilmu Keperawatan Universitas Indonesia, 2003
TA5134
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
PATRA 5(3-4) 2004
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
cover
Kaniasari
"Dalam masyarakat Indonesia, masalah-rnasalah kegaiban telah lama diyakini dan dipraktekkan dalam kehidupan sehari-hari (Bastaman, 1995; George, 1995; Kartoatniojo, 1995). Fenomena-fenomena seperti "orang pandai" yang membantu menemukan barang hilang, menyembuhkan penyakit yang tidak berhasil disembuhkan ilmu kedokteran moderen, atau meramal nasib dan kejadian di masa mendatang membuat orang terheran-heran mendengarnya, namun tidak terlalu meragukan kebenarannya, karena tahu bahwa memang ada hal-hal seperti itu yang terjadi dalam masyarakat Indonesia (Noesjirwan, 1992). Untuk selanjutnya dalam penelitian ini, fenomena-fenomena sedemikian disebut sebagai fenomena paranormal.
Di Jakarta khususnya, yang boleh dianggap sebagai miniatur Indonesia, fenomena ini juga tampak jelas. Pertemuan antara berbagai budaya tradisional Indonesia dengan budaya moderen dari negara Barat ternyata tidak menyebabkan fenomena ini luntur begitu saja. Pendidikan moderen serta perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi ternyata masih menyisakan tempat terhadap penghayatan pada hal-hal yang sulit dinalar.
Mengapa orang-orang (Jakarta) dapat "beramai-ramai" mempercayai fenomena paranormal '?. Menurut Danandjaja (1994), di Indonesia, peran masyarakat terhadap pembentukan individu sebagai mahluk individual dan mahluk Sosial boleh dibilang signifikan. Kepercayaan atau keyakinan terhadap fenomena paranormal diteruskan secara turun-temurun. Sampai sekarang masih dilakukan upacara ritual pada kelahiran, kematian atau pernikahan. Sejak dulu, tokoh formal, atau agent yang bertugas menjalankan berbagai ritual dan rnenyampaikan pentingnya mempertahankan berbagai ritual ini adaiah pemuka adat, dukun, ketua suku / marga atau pemimpin upacara adat. Di Jakarta saat ini, boleh dibilang, peran agent tersebut di atas tidak dominan lagi, mungkin karena kemajemukan suku yang ada di dalamnya. Apabila dihubungkan dengan keadaan ini, tentunya pertanyaan yang timbul adalah, jika tidak dari agent ini, dari mana lagi ?. Apakah ada agent selain para pemuka adat, dukun, ketua suku / marga atau pemimpin-pemimpin upacara adat ?.
Menurut Young (1958), Hogg & Abrams (1988), Auerbach (1991) dan George (1995), faktor demografis, ekonomi, orangtua, teman sebaya, guru dan media massa dapat berperan sebagai ?story-teller", maksudnya penyampai tradisi ke generasi berikutnya Apakah tradisi tersebut kemudian akan dianut oleh individu atau tidak, berhubungan dengan pola asuh, pengalaman, tingkat pendidikan, tipe kepribadian dan usia individu.
Selain itu, menurut George (1995), setiap belief, termasuk belief terhadap fenomena paranormal dianut karena dianggap dapat memenuhi kebutuhan individu yang menganutnya. Salah satu kebutuhan manusia yang hakiki adalah untuk memahami dunia dan menjelaskan posisinya dalam alam semesta ini (Young, 1958). Tanpa pemahaman atau kedua hal tersebut, dalam hidupnya, individu akan disorientasi dan tidak berdaya.
Mendukung pernyataan di atas, Schumaker dalam George (1995) menyatakan bahwa kebutuhan akan beiief terhadap fenomena paranormal ini sangat mendasar. Dengan demikian, individu memiliki predisposisi untuk menganutnya. Dalam kehidupannya, individu mengalami hal-hal yang tidak menyenangkan, seperti kelahiran, kematian, penyakit, kelaparan dan lain-lain , yang rnembuat individu tidak berdaya karena tidak dapat menjelaskan atau memahami fenomena-fenomena tersebut. Oleh karena itu penjelasan dan pemahaman yang ?masuk akal? adalah dengan menyerahkan pengalaman-pengalaman tersebut sebagai hal-hal yang ?tidak masuk akal?.
Sesuai dengan konsep tersebut adalah pandangan Psikologi Transpersonal yang menyatakan bahwa pada setiap individu ada dorongan ke arah transendensi diri dan perkembangan spiritual (Noesjirwan, 1992). Yang dimaksud dengan transendensi diri adalah penghayatan mistis, penghayatan penyatuan diri dengan sesuatu yang Maha Besar, atau sesuatu yang maha Iuas (kesadaran kosmik). Singkatnya, secara teoritis, dengan memang adanya predisposisi Serta dorongan transendensi, maka dapat dimengerti mengapa manusia mempercayai isu-isu yang justru tidak dapat dijelaskan dengan logika / rasio.
Penelitian ini sendiri mencoba menjuruskan permasalahan kepada mahasiswa yang tinggal di Jakarta Selatan tahun pertama, atau pada masa penelitian ini telah duduk di semester dua sebagai subyek penelitian. Menurut (Tumer & Helms, 1987), pada masa ini, pengetahuan, aspirasi dan nilai-nilai tertentu dari mahasiswa seringkali masih arnbigus dan diwarnai oleh pengetahuan, aspirasi dan nilai-nilai orangtua. Padahal, untuk sepenuhnya menjadi bagian dari kehidupan dewasa, mahasiswa perlu belajar untuk menentukan tujuan hidupnya dengan cara lebih banyak mengenai tentang dirinya dan dunia. Di lain pihak, sebagai bagian dari masyarakatnya, mahasiswa agaknya sulit untuk terlepas dari kekerabatan dan konsep-konsep dalam masyarakat yang disampaikan oleh orangtuanya.
Dengan dinamika sedemikian, maka dalam penelitian deskriptif ini, ingin diketahui bagaimana gambaran belief mahasiswa terhadap fenomena paranormal dan apakah ada hubungan antara belief mahasiswa terhadap fenomena paranormal dengan belief orangtuanya. Selain itu, dalam penelitian deskriptif ini, ingin digali pula faktor-faktor lain apa saja yang mungkin berhubungan dengan belief mahasiswa terhadap fenomena paranormal ini.
Untuk menjawab permasalahan penelitian, digunakan Paranormal Belief Scale-Revised (PBS-R) dari Tobacyk (1988). Instrumen ini terdiri dari tujuh dimensi fenomena paranormal, yaitu Traditional Religious Belief Psi, Witchcraft, Superstition, Spiritualism, Extraordinary and Extraterrestrial Life Forms dan Precognition. PBS-R ini telah direkomendasi untuk digunakan dalam penelitian-penelitian mengenai Belief terhadap fenomena paranormal. Alasannya adalah karena instrumen ini memiliki reliabilitas serta validitas yang telah teruji, khususnya untuk penggunaan silang budaya dalam kebudayaan Barat.
Hasil utama penlitian ini menunjukkan gambaran belief mahasiswa terhadap fenomena paranormal. Bagi mahasiswa, ternyata Traditional Religious Belief dan belief terhadap fenomena paranormal adalah dua hal yang berbeda. Artinya, di satu pihak, mahasiswa memiliki belief Ketuhanan yang tinggi, dan di lain pihak, juga sekaligus memiliki belief terhadap fenomena paranormal. Dalam mempercayai fenomena paranormal, mahasiswa juga cenderung mempertanyakan apakah fenomena tersebut dapat dibuktikan secara ilmiah atau tidak. Oleh karena itu dapat dimengerti apabila mahasiswa memiliki belief yang tinggi terhadap hal-hal yang berhubungan dengan kemampuan manusia menyadari atau mendapatkan informasi dari dunia sekitarnya tanpa menggunakau kelima aindera sensoris yang telah dikenal, misalnya membaca pikiran orang lain. Atau pada kemampuan manusia mempengaruhi orang lain, obyek atau suatu peristiwa di sekitarnya tanpa menggunakan tenaga iisik, seperti kekuatan batin, tenaga dalam, dan sebagainya. Di samping itu, mahasiswa juga cenderung percaya pada hal-hal yang berhubungan dengan santer, sihir atau guna-guna.
Di lain pihak, mahasiswa cenderung tidak percaya pada tahyul, peramalan nasib dan bentuk-bentuk mahluk hidup yang tidak lazim. Dari hasil penelitian bahwa mahasiswa cenderung mempertanyakan bukti ilmiah, paling tidak kemungkinan terjadinya suatu peramalan. Mahasiswa paling kurang percaya pada tahyul, daripada dimensi-dimensi belief terhadap fenomena paranormal yang lain. Begitu pula dengan peramalan nasib. Bagi mahasiswa, nasib atau masa depan lebih berhubungan dengan konsep reliji atau Ketuhanan. Selain itu, mereka menganggap bahwa peramalan nasib tidak lebih dari sekedar rubrik zodiak di majalah-majalah, dalam arti lebih cenderung tidak dapat dipercaya kemungkinan terjadinya.
Hasil lain yang didapat dari penelitian ini adalah mengenai hubungan antara belief mahasiswa terhadap fenomena paranormal dengan belief orangtuanya. Dari hasil penelitian diketahui bahwa memang ada hubungan antara belief mahasiswa dengan belief orangtuanya. Selain itu, ternyata tidak ada perbedaan yang signifkan antara belief mahasiswa dengan belief orangtua secara keseluruhan. Artinya, belief mahasiswa terhadap fenomena paranormal secara umum relatif sama dengan belief orangtuanya.
Walaupun berhubungan, namun dalam hal tahyul, belief mahasiswa berbeda dengan belief orangtua mereka. Dari perbedaan mean antara mahasiswa dan orangtua, dapat dikatakan bahwa mahasiswa lebih tidak percaya pada tahyul daripada orangtua mereka. Hal ini mungkin dapat dijelaskan sebagai berikut. Tampaknya, mahasiswa telah menunjukkan pemikiran-pemikiran yang makin sistimatis dan analitis dalam memahami konsep-konsep gaib, khususnya fenomena paranormal. Di satu sisi, mahasiswa bersikap skeptis, namun di lain pihak ia masih terikat dengan tradisi dan ikatan-ikatan primordial (Poespowardojo, 1993). Suatu kondisi yang sangat khas Indonesia (Koentjaraningrat, 1975:320), di mana hubungan sosial di antara keluarga batih amat erat. Dengan demikian, transmisi budaya dalam keluarga amat intens, tennasuk transmisi sistim belief.
Mengenai faktor-faktor lain yang mungkin berhubungan dengan belief mahasiswa terhadap fenomena paranormal dapat diuraikan sebagai berikut. Faktor-faktor yang tidak berhubungan secara signifikan pada belief mahasiswa terhadap fenomena paranormal dalam penelitian ini adalah : usia, jenis kelamin, asal suku / ras, lama tinggal di Jakarta, latar belakang bidang studi, pengetahuan mahasiswa tentang fenomena paranormal (menurut persepsi mahasiswa yang bersangkutan), urutan kelahiran, serta persepsi orientasi belief terhadap fenomena paranormal pada salah satu orangtua. Faktor yang terakhir dimanifestasikan dengan pertanyaan terbuka dalam kuesioner tentang alasan pemberian set kuesioner kepada ayah atau ibu.
Sedangkan faktor-faktor yang berhubungan antara lain adalah agama. Seperti yang dilcatakan oleh Koentjaraningrat (1995), dalam beberapa kebudayaan Indonesia, ritual agama seringkali bercampur dengan budaya. Hal ini yang mungkin berperan dalam kemungkinan adanya kecenderungan subyek menyetarakan ritual agama dengan kepercayaan rakyat. Sedangkan, faktor yang berhubungan terbalik secara signifikan adalah jumlah saudara sekandung. Artinya, makin sedikit jumlah saudara sekandung yang dimiliki, makin besar kemungkinan subyek memiliki belief yang tinggi terhadap fenomena paranormal."
1997
S2476
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Suhanadji
"Tesis membahas tentang migrasi orang Madura ke Surabaya yang dihadapkan kepada suatu tantangan untuk dapat menyesuaikan diri terhadap lingkungan hidup buatan di Surabaya. Agar bisa survive, migran harus dapat mengembangkan strategi adaptasi di Surabaya. Cara mengembangkan strategi adaptasi ini akan lebih banyak diperlihatkan dari perilaku ekonominya. Objek penelitian ini dalah warga masyarakat Kelurahan Sidotopo, Kecamatan Semampir, Kotamadya Surabaya. Penelitian ini mengacu pada teori Siagel dan Everet Lee tentang Migration theory, Donald Bogue tentang push-pull factor dan Bennet tentang Adaptive Orgamic.
Dari penelitian ini telah dikemukakan bahwa:
pertama, migrasi orang Madura ke Surabaya melalui expedisi militer telah terhadi sejak sebelum kerajaan Mojopahit berdiri, yaitu : bantuan pasukan Sria Wiraraja dari Madura kepada Raden Wijaya untuk mengusir tentara Tartar (Gina). Setelah jaman kemerdekaan, apalagi setelah pemerintah mencanangkan Repelita tahun 1969 dan kota Surabaya menjadi kota INDAMARDI (Industri, Dagang, Maritim dan Pendidikan) sejak tahun 1971 kepergian orang Madura semakin intensif dan menjadi pola kebiasaan yang terus mengalir melalui saluran (chanel) teman dekat, saudara atau kerabat sekampung. Faktor pendorongnya adalah (1) tersedianya kesempatan kerja yang lebih luas dan bervariasai, (2) tidak ada hambatan psikologi? sosio dan budaya, (3) cerita sukses yang dibawa orang-orang Madura ketika pulang ke kampung halaman.
Kedua, dalam mengembangkan strategi adaptasi, orang Madura senantiasa melakukan diversifikasi usaha dan memiliki jenis usaha atau profesi yang sesuai dengan tuntutan lingkungan serta sesuai pula potensi yang dimilki oleh orang Madura sendiri.
Tiga, dalam perilaku ekonomi, orang Madura selalu menunjukkan semangat dan gairah yang tinggi dalam memperebutkan sumber-sumber ekonomi di Surabaya terutama dalam kegiatan ekonomi sektor informal. Perilaku ekonomi (pola produski, pola distribusi dan pola konsumsi) adalah bagian dari strategi adaptasi mereka dalam upaya mengembangkan kehidupannya sacara wajar di kota Surabaya."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 1998
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>