Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 79196 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Pratiwi Widyasari
"Pembuatan program intervensi ini bertujuan untuk memhentuk kemampuan bantu diri makan menggunakan sendok bagi anak tuna netra-rungu bemsia 6 tahun 2 bulan dengan mctode modifikasi perilaku. Pronquing dan fading merupakan teknik pembentukan perilaku yang dilakukan karena teknik tcrsebut merupakan teknik yang paling panting ketika akan mcngajarkan kemampuan bantu diri makan (Snell, 1983). Selain itu, dipergunakan pula teknik shaping karena anak mendapatkan kemandiriannya dalam mcnampilkan kcmampuan bantu diri melalui tahapan-tahapan (Venkatesan, 2004).
Dalam pelaksanaarmya, disertakan pula program intewcnsi cara berkomunikasi dengan menggunakan bahasa isyarat untuk aktivitas makan agar guru dan orangtua dapat berkomunikasi secara konsisten dengan subyek. Intervensi dilakukan di mmah dan dilaksanakan oleh peneliti dan orangtua.
Hasil yang didapatkan setelah program intervensi dijalankan adalah adanya peningkatan kemampuan subyek dalam menggunakan sendok ketika aktivitas makan. Suhyek juga terlihat mampu berkomunikasi dengan menggunakan bahasa isyarat. Saran yang diajukan untuk penelitian selanjutnya adalah dengan menjalankan program intervensi secara berkesinambungan dengan dua orang peneliti atau lebih, penggunaan sendok yang lebih sesuai dengan kebutuhan anak, serta pelibatan ahli dan tenaga profesional yang bergcrak di bidang tuna netra-rungu.

The aim of this intervention program is to shape self-help skill in eating with a spoon for deatlblind child aged 6 year 2 months using behavior modification method. Prompting and fading are the techniques used to shape behavior because those techniques are the most important in teaching self-help eating skill (Snell, 1983). Moreover, shaping technique is also used because children will learn independence in showing self-help skill through numerous phases (Venkatesan, 2004).
In implementing the intervention program, it is necessary to include the sign language program for eating activity to facilitate teachers and parents to be able to communicate with the subject consistently. Intervention was conducted by a researcher and subject`s parents at subject’s home.
Result of the intervention program shows there is an increase in subject’s self-help skill in using spoon while eating. Subject also begins to show an ability to communicate with sign-language. For liirther interventions, a few suggestions are made, such as implementing the intervention program continuously with two or more researchers, the use of a spoon which is in line with the need ofthe child, and the involvement of experts and professionals in deaf-blind children.
"
Depok: Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, 2008
T34042
UI - Tesis Open  Universitas Indonesia Library
cover
Haniva Az Zahra
"[Underachiever adalah kondisi yang banyak terjadi di kalangan pelajar, termasuk siswa SMP. Baslanti dan McCoach (2006) serta Bondurant (2010) menyatakan bahwa kondisi underachievement terjadi karena siswa tidak mampu melakukan regulasi diri di dalam belajar yang baik. Oleh karena itu, Zimmerman, Bonner, dan Kovach (1996) mengajukan model intervensi untuk siswa dengan underachievement melalui pengajaran 5 keterampilan akademik. Keterampilan akademik tersebut diajarkan kepada siswa guna meningkatkan kemampuan regulasi diri dalam belajar yang mereka miliki. Peneliti menggunakan model
tersebut untuk memberikan intervensi kepada P, siswa SMP dengan tipe
disorganized underachiever. Keterampilan akademik yang diajarkan kepada P adalah keterampilan manajemen waktu dan belajar yang lebih efektif. Model intervensi tersebut dikombinasikan dengan sistem organisasi informasi sekolah oleh Peters (2000). Efektivitas dari program intervensi ini dilihat dari kenaikan skor pre dan post-test yang diukur dengan Motivated Strategies for Learning Questionnaire (MSLQ) karya Pintrich dan DeGroot (1990). Peneliti menggunakan versi adaptasi dalam Bahasa oleh Puteri (2013), sehingga lebih sesuai dengan kondisi di Indonesia. Hasil penelitian menunjukkan bahwa program intervensi manajemen waktu meningkatkan kemampuan regulasi diri dalam
belajar pada diri P.;Underachiever is a condition that is quite common among students, including junior high school students. Baslanti and McCoach (2006) and Bondurant (2010) states that the condition of underachievement occurs because students are not capable to do self-regulated learning. Therefore, Zimmerman, Bonner, and Kovach (1996) propose a model of intervention for students with underachievement through teaching academic skills. There are five academis skills. The academic skills taught to students in order to improve their ability to do
self-regulated learning. Researchers used the model to provide intervention to P, junior high school students with disorganized underachiever type. One of academic skills which taught to P is a time-management skills. The intervention model is combined with a system of organization of school information by Peters (2000). The effectiveness of this intervention program be seen from the increase
in scores pre and post-test were measured with the Motivated Strategies for Learning Questionnaire (MSLQ) works by Pintrich and DeGroot (1990). Researchers use the Bahasa version, adaptation version by Putri (2013), so it is more appropriate to the conditions in Indonesia. The results showed that the time management intervention program increases the ability of self-regulated learning., Underachiever is a condition that is quite common among students, including
junior high school students. Baslanti and McCoach (2006) and Bondurant (2010)
states that the condition of underachievement occurs because students are not
capable to do self-regulated learning. Therefore, Zimmerman, Bonner, and
Kovach (1996) propose a model of intervention for students with
underachievement through teaching academic skills. There are five academis
skills. The academic skills taught to students in order to improve their ability to do
self-regulated learning. Researchers used the model to provide intervention to P,
junior high school students with disorganized underachiever type. One of
academic skills which taught to P is a time-management skills. The intervention
model is combined with a system of organization of school information by Peters
(2000). The effectiveness of this intervention program be seen from the increase
in scores pre and post-test were measured with the Motivated Strategies for
Learning Questionnaire (MSLQ) works by Pintrich and DeGroot (1990).
Researchers use the Bahasa version, adaptation version by Putri (2013), so it is
more appropriate to the conditions in Indonesia. The results showed that the time
management intervention program increases the ability of self-regulated learning.]"
Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, 2015
T44624
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Afia Fitriani
"Komunikasi pada Anak yang Mengalami Autistic Disorder Anak yang mengalami Autistic Disorder memiliki hambatan dalam tiga ranah utama yaitu, interaksi sosial timbal balik, komunikasi, dan pola tingkah Iaku repelitif (Ginanjar, 200_8). Tanpa kemampuan berkomunikasi yang baik anak autis al-can mudah Bustrasi dan menunjukkan gangguan perilaku karena kebutuhan yang tidak dapat dipenuhi (Mangunsong, 2009). Picture Exchange Communication .Slystam (PECS) rnerupakan salah satu metode yang dapat digunakan untuk mengajarkan cara berkomunikasi yang praktis kepada individu gang memiliki keterbatasan dalam berkomunikasi dengan menggunakan kartu-ka11u bergambar (Bondy & Frost, 2001).
Program intervensi dalam tugns akhir ini diberikan pada D, anak laki-Iaki dcngan Autistic Disorder yang berusia 7 tahun. Tujuannya adalah untuk meningkatkan kemampuan komunikasi D me-lalui modilikasi perilaku dengan metode Pictu:-e lnlwlzange Cotmuunication System (PECS) sampai fase kedua dari enam fase PECS. I-lasil menunjukkan bahwa berdasarkan perbandingan data dasar dan evaluasi, kemampuan komunikasi D dengan menggunakan PECS menunjukkan peningkatan kcberhasilan sebesar 30%. Hasil ini didukung oleh prosedur intervensi yang terstruktur, jelas, dilaksanakan secara intensifl serta pembexian prompt yang membantu pemahaman instruksi. Kcndala pelaksanaan program antara lain, pilihan benda yang digunakan dalam intervensi, keadaan ruangan, kondisi D yang belum pcrnah mendapatkan intervensi, serta usia D. Sccara keseluruhan, dapat dikatakan bahwa program intervensi ini cukup efektif untuk meningkatkan kemampuan komunikasi D.

Children with Autistic Disorder have deficits in three major domains, which are social interaction reciprocity, communication, and repetitive and stereotyped patterns of behavior (Ginanjar, 2008). Without fine communication skills, autistic children may easily frustrated and then show disturbing behavior because their needs are not understood (Mangunsong, 2009). Picture Exchange Communication System (PECS) is an alternative method using picture cards to teach a practical way to communicate for individuals with speech and language limitations (Bondy & Frost, 2001).
Intervention program in this final project is given to D, a 7 years old child with Autistic Disorder. The purpose is to improve D’s communication skills by behavior mcdilication using Picture Exchange Communication System (PECS) method up to the second phase from total six phase. Results shows that based on the comparision between baseline and evaluation data, D’s communication skills using PECS indicates 30% increase of success. Supportive factors of this result were clear and structured intervention procedure, carried out intensively, and additional prompt to aid instruction understandings Unfortunately, choices of items used in the intervention, room settings, D’s age and not ever received any intervention before became the hindrance factors. Overall, this intervention program is quite effective to improve D’s communication skills.
"
Depok: Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, 2009
T34137
UI - Tesis Open  Universitas Indonesia Library
cover
Penny Handayani
"Kemandirian merupakan salah satu kemampuan yang harus dimiliki setiap anak. Pada anak dengan kebutuhan khusus, khususnya anak penyandang tuna netra total, kemandirian adalah salah sam kemampuan hidup yang hams dikuasai. Adanya hambatan penglihatan tersebut terkadang membuat anak menjadi tergantung kepada orang lain untuk pemenuhan kebutuhannya, terutama pada fimgsi bantu diri. Pada jenjang pendidikan prasekolah anak berkebutuhan khusus (usia 3-5 tahun), salah satu intervensi diri yang dapat diberikan kepada anak adalah pengembangan kemampuan fungsi bantu. Salah satu fungsii bantu diri sehari-hari yang perlu dikembangkan adalah fungsi bantu diri berpakaian.
Program ini bertujuan untuk membcntuk tingkah laku berpakaian, secara mandiri pada anak usia prasekolah (usia 3-5 tahun) penyandang tunanetra total. Kemandirian yang dimaksud disini adalah adanya tingkahlaku berpakaian dengan bantuan seminimal mungkin dan orang lain. Metode pembentukan tingkahlaku yang digunakan adalah dengan metodc prompting danfadding untuk tingkahlaku berpakaiau secara umum, serta shaping pada tingkahlaku menggunakan resleting dan kancing. Reinforcement yang diberikan adalah consumable reinforcement dan social reinforcement.
Program ini terdiri dari 15 sesi dengan tiga tahap. Tiga scsi awal merupakan sesi baseline dan 12 scsi lainnya adalah sesi intervensi. Materi intervensi dibcnkan secara bertahap. Tahapan intervensi yang terdapat dalam program ini adalah tahap satu: berpakaian sehari-han (kaos dan celana pendek berpinggang karat), tahap 2: berpakaian seragam (jaket dengan resleting, celana pendek dengan reslcting dan kemeja dengan kancing), serta tahap 3: review dan rerminasi. Tahap satu terdiri dari lima sesi, tahap dua terdiri dari lima scsi, dan tahap tiga terdiri daxi dua scsi. Keseluruhan sesi diberikan pada dua lokasig sekolah dan rumah subjek, pada situasi sehari»hari dengan alokasi waktu yang tidak dibatasi. Intervensi tambahan diberikan dengan konseling kepada orangtua dan pengasuh. Evaluasi program dilakukan setiap akhir tahap. Kesimpulan program intervensi ini adalah terdapat peningkatan kcmampuan berpakaian (sehari-hari dan seragam) melalui metode prompting dan fadding pada subjek.

Independence is one ability every child should have. For exceptional children, especially the totally blind children, independence is also one of the basic life skills that should be obtained. The optical disadvantages sometimes drive children to be dependent to some else to fulfil their needs, especially their self care needs. For exceptional preschool children (3-5 years old), one of the early intervention that can be given is the development of daily self care skills. One of those daily self care skills is getting dressed.
The purpose of this program is to shape the independence getting dressed behaviour on totally blind preschool children (3-5 years old). The independence getting dressed behaviour implies here are the skills to get dressed with minimal helps form others. The behaviour modification method used are prompting and fading for general getting dressed behaviour and shaping on zippers and button used behaviour. Reinforcements given are consumable reinforcement and social reinforcement.
These programmes consist of I5 sessions with three stages. Three early sessions are baseline sessions and the rest 12 sessions are interventions sessions. Interventions are given trough stages. The intervention stages in this programme are stage one: every day getting dressed skill (T-shirt and elastic shorts), stage two: uniform getting dress skills (jacket with zipper, shorts with zippers and shirt with buttons), and stage three: is review and termination. Stage one consist of tive sessions, stage two consist of tive sessions, and stage three consist of two sessions. Overall sessions are given in two location; subject’s school and house, in every day situation setting with no time limitation. Additional intervention is given with parent and caregiver counselling Evaluations are given every time each stage ends. Overall conclusion is there an improvement in subject getting dressed behaviour through prompting and fading method.
"
Depok: Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, 2008
T34078
UI - Tesis Open  Universitas Indonesia Library
cover
Siti Anisa Amidha
"Banyak tenaga pendidik PAUD yang menyadari pentingnya kemampuan guru dalam meningkatkan pengetahuan tentang anak yang terlambat berbicara di kelas, khususnya pada bidang literasi. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui apakah Program Intervensi Fonetrik dapat meningkatkan kemampuan para guru PAUD dalam memfasilitasi literasi anak prasekolah dengan speech sound difficulties (SSD). Penelitian ini diikuti oleh 15 orang guru PAUD yang memiliki peserta didik dengan speech sound difficulties. Penelitian selama empat sesi ini mengukur dua ranah, yakni kognitif dan psikomotor. Pengambilan data kognitif dilakukan sebelum dan sesudah program intervensi (one-group pretest-posttest design) melalui instrumen LAP-SSD 1. Kemudian, data psikomotor diukur melalui instrumen LAP-SSD 2 pada sesi microteaching (one-group posttest design). Analisa statistik menggunakan Wilcoxon Signed-Rank Test serta asesmen pendukung berupa data deskriptif menunjukkan adanya perubahan skor secara signifikan baik pada ranah kognitif maupun psikomotor. Dengan demikian, Program Intervensi Fonetrik berpengaruh dalam meningkatkan kemampuan guru dalam memfasilitasi literasi anak prasekolah dengan speech sound difficulties. Limitasi serta rekomendasi akan dituliskan dalam penelitian ini.

Many PAUD teachers are aware of the importance of teaching skills in increasing the knowledge of children with speech sound difficulties in class, especially in the area of literacy. The purpose of this study is to determine whether the Fonetrik Intervention Program can increase the ability of PAUD teachers regarding literacy of preschoolers with speech sound difficulties (SSD). There were 15 PAUD teachers who have students with speech sound difficulties that participated in this study. The two domains that were measured in this four-session study were cognitive and psychomotor. A one-group pretest-posttest research design to test the cognitive domain and a one-group posttest design to test the psychomotor domain. The LAP-SSD 1 instrument was used to gather cognitive data before and after the intervention program. Then, the LAP-SSD 2 instrument was used to collect psychomotor data throughout the microteaching session. Statistical analysis using the Wilcoxon Signed-Rank Test and supporting assessments in the form of descriptive data showed a significant change in scores both in the cognitive and psychomotor domains. As a result, the Fonetrik Intervention Program has a positive impact in enhancing teachers' ability to facilitate literacy of preschoolers with speech sound difficulties. This study will include limitations and recommendations."
Depok: Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, 2023
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Ardy Destu Montius Lokononto
"Intervensi bertujuan meningkatkan konsumsi buah pada karyawan dengan cara memanfaatkan dukungan sosial dari rekan kerja. Intervensi dilakukan selama lima hari di lingkungan kantor dengan jumlah partisipan sebanyak 25 karyawan. Partisipan dibagi ke dalam dua kelompok, 13 di kelompok eksperimen (KE) dan 12 di kelompok kontrol (KK). Setiap hari partisipan diminta mengambil satu kotak buah yang disediakan secara gratis. KE mendapat perlakuan dukungan sosial berupa terlibat dalam mempersiapkan kotak buah dan mendapat foto berisi kalimat penyemangat, sedangkan KK tidak mendapat perlakuan tambahan. Hasil Mann-Whitney U Test menunjukkan partisipan KE mengambil kotak buah lebih sering dibanding KK (Z= -4,01, p< 0,05). Berbeda dalam hal konsumsi buah, tidak ditemukan adanya perbedaan berat sisa buah antara partisipan KE dan KK (Z= -0,164; p> 0,05). Dukungan sosial dari rekan kerja dapat menjadi alternatif untuk mempromosikan perilaku sehat di lingkungan kantor.

The “Eating Fruit Everyday” intervention program aimed to increase fruit consumption among workers to promote a healthy diet. The intervention implemented for five days in a workplace located in DKI Jakarta. Intervention was followed by 25 participants, 13 social support group (SC) and 12 non-social support (NSC). SC and NSC participants assigned to take one free fruit box every day. SC participants provide social support by preparing fruit boxes for other participants and photos containing encouraging sentences sent to each participant. Behavior change measured based on the number of fruit boxes taken and weight of fruit remaining. Result showed that SC took fruit more often than NSC (Z= -4.01, p< 0.05). Different result for fruit consumption, there was no difference in weight of fruit remaining between the SC and NSC (Z= -0.164, p> 0.05). Social support from natural sources is a potential factor for promoting healthy behavior in a workplace environment."
Depok: Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, 2021
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Nirtafitri Trianisa
"Salah satu kemampuan yang perlu dikembangakan pada anak tuna ganda yang masih dapat memanfaatkan sisa pendengarannya untuk berkomunikasi adalah speechreading, yaitu kemampuan untuk memahami lawan bicara dengan melihat gerak bibir, ekspresi wajah serta gestur tubuh lawan bicaranya (Tejedor, C, 2000 dalam Ortiz, I.R, 2008; Kapplan et all, 1999; Faraco, S. et al., 2007). Penelitian ini dilakukan untuk melihat apakah penggunaan pendekatan sintetik bahasa disertai dengan token economy dapat meningkatkan kemampuan speechreading pada siswa tuna grahita dengan gangguan pendengaran. Setiap kali menunjuk dengan tepat pada langkah kelima dan pengujian, subjek diberikan token yang nantinya akan ditukarkan dengan reinforcer.
Penelitian dilakukan terhadap seorang anak tuna grahita dengan gangguan pendengaran dengan jenis kelamin laki-laki berusia 12 tahun yang duduk di kelas 4 SD inklusi. Desain penelitian single subject tipe A-B-A?. Peningkatan kemampuan speechreading dilihat dari perbandingan antara hasil tes kemampuan speechreading sebelum dan sesudah intervensi. Hasil penelitian menunjukkan bahwa penggunaan metode sintetik dengan token economy dapat meningkatkan kemampuan speechreading pada anak tuna grahita dengan gangguan pendengaran. Subjek mampu menunjuk kartu dengan tepat sebanyak 100% dari 5 kata yang diujikan pada sesi 1 dan sebanyak 80% dari 5 kata yang diujikan pada sesi 2.

One of the skills that important to develop in multiple disabilities children who have residual hearing is speechreading. Speechreading is the ability to understand a speaker?s thoughts by watching the movements of the lips, facial expressions and gestures (Tejedor, C, 2000 dalam Ortiz, I.R, 2008; Kapplan et all, 1999; Faraco, S. et al., 2007). This study was conducted to see whether the useof a synthetic method with the token economy can improve speechreading in mental retardation with hard-hearing child (multiple disabilities).This intervention program is divided into two sessions with different themes. Every time the subject succeed in pointing the right card on the fifth step and testing, subject was given a token which could be exchanged with a reinforcer.
Research conducted on a 12-year-old male mental retardation with hard-hearing. Using a single-subject-ABA research design, the improvement of speech reading was determined by comparing the speechreading test results before and after the intervention. The results indicated that the use of synthetic methods with token economy can improve the ability of speechreading in mental retardation with hard-hearing child. Subject was able to point the appropriate card 100% of the 5 words tested in sessions 1 and 80% of the 5 words tested at session 2.
"
Depok: Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, 2014
T42232
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Anggi Wismumita
"Program ditujukan untuk membuktikan apakah program Direct Instruction dengan dukungan gerakan senam otak dapat meningkatkan kemampuan diskriminasi visual pada anak penyandang disabilitas intelektual sedang. Peningkatan kemampuan diskriminasi visual mencakup: 1) mencari persamaan, 2) mencari perbedaan, 3) mengetahui arah / posisi dari suatu benda, 4) mencari bentuk geometri berdasarkan ukuran, 5) menyusun kata yang memiliki unsur huruf b, d dan p. Program intervensi dilakukan selama 10 hari dengan menggunakan program Direct Instruction, mencakup tahap pendahuluan (introduction), tahap pengajaran, tahap latihan (terstruktur dan mandiri), dan tahap evaluasi. Program ini menekankan adanya tahapan yang diberikan secara hati-hati, pengulangan, dan latihan hingga subyek menguasai kemampuannya dengan baik (mastery). Sementara, komponen utama yang harus tersedia di setiap tahapan yaitu peranan pengajar, analisis tugas, modelling, scaffolding, prompt, umpan balik, dan penguat. Alat bantu yang digunakan khusus bagi subyek yaitu peralatan tiga dimensi dan sandpaper letter, agar memudahkan proses pengajaran bagi subyek yang memiliki brain injury. Mengingat kondisi subyek yang mengalami brain injury, maka program mengikutsertakan pula gerakan senam otak di awal sesi. Tujuannya adalah untuk membangun kerja seluruh otak subyek agar subyek lebih siap dalam menerima pelajaran, memiliki kesadaran mental dan mampu memfokuskan diri selama belajar. Kegiatan senam otak dilakukan selama 15 menit, mencakup empat gerakan dasar dan empat gerakan tambahan. Hasil menunjukkan bahwa terjadi peningkatan kemampuan diskriminasi visual subyek. Setelah program berlangsung, subyek mampu meningkatkan dan mempertahankan kemampuan diskriminasi visualnya, bahkan melampaui kriteria keberhasilan yang harus dicapai, yaitu minimal 80% dari tugas yang diberikan.

The program aimed to see whether the Direct Instruction program with a combination of Brain Gym can enhance visual discrimination skills in moderate intellectual disability children. Improved visual discrimination skills include: 1) find the equation, 2) look for differences, 3) know the direction/position of an object, 4) look for geometric shapes by size, 5) make the word that has elements b, d and p. Intervention program for 10 days using Direct Instruction programs, including the introduction stage, the teaching stage, the stage of practice (guidance and independent), and the evaluation stage. The program emphasizes the repetition of subject matter and exercise to increase the ability to mastery level. Meanwhile, the major components that must be available at each stage are the role of teacher, task analysis, modelling, scaffolding, prompts, feedback, and reinforcement. Material that is used specifically for equipment is the subject of a threedimensional and sandpaper letter, the purpose is to facilitate the teaching of subjects with brain injury. Given the condition of subjects with brain injury, the researches also supported with the Brain Gym. Brain Gym activities conducted at the beginning of each session for 15 minutes. The goal is to build a working whole brain subjects, so subjects can accept the lesson, have the mental awareness and are able to focus while studying. Brain gym activities undertaken include the four basic movements, and four additional movements. The results showed that an increase in visual discrimination skill of the subject. After the program, subject is able to increase and maintain the ability of visual discrimination, even beyond the success criteria that must be achieved, at least 80% of a given task."
Depok: Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, 2012
T31415
UI - Tesis Open  Universitas Indonesia Library
cover
Dina Dwiartanti
"Pada anak tunanctra, informasi yang bersifat taktil dan auditif sangat diandalkan untuk belajar tentang dunia (Hull, dalam Mangunsong, 2009). Oleh karena itu, komunikasi verbal merupakan kemampuan yang perlu dikuasai oleh anak tunanetra, agar dapal dipahami Oleh orang lain dan juga sebaliknya. Program intervensi Affect-Based Language Curriculum diberikan kcpada S, seorang anak tunanetra bcrusia 8 tahun 2 bulan yang belum mampu terlibat dalam pembicaraan dua arah. Program ini bertujuan untuk meningkatkan kemampuan komunikasi S agar sesuai dengan tahap perkcmbangannya. Hasil intervcnsi menunjukkan adanya peningkatan kemampuan komunikasi S, meskipun tidak pada semua area kcmampuan. Kurangnya keterlibatan keiuarga untuk turut menerapkan program intervensi ini secara berkelanjutan di rumah menjadi salah satu penyebab kurang optimalnya hasil yang dittapai.

Blind children rely on tactile and auditive infomiation in order to leam about the world (Hull, in Mangunsong, 2009). Thus verbal communication is an important skill that should be mastered by blind children. Affect-Based Language Curriculum is given to S, an 8 years old blind girl, who is not capable of interacting in two-way conversation. The purpose of this intervention program is to improve’s communication skill. Result shows that there is an improvement in S's communication skill, although it is not in all area of skill. The lack of family's involvement to continue the program in home setting is one of the reason why this intervention program did not result as optimal as expected."
Depok: Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, 2009
T34068
UI - Tesis Open  Universitas Indonesia Library
cover
Hernanda Anindita
"Dalam DSM-IV (APA, 1994) dikemukakan bahwa autisme adalah suatu gangguan perkembangan perilaku yang ditandai oleh kerusakan pada kemampuan komunikasi dan interaksi sosial serta pola-pola minat, aktivitas dan perilaku yang terbatas, diulang-ulang dan stereotipi. Untuk dapat didiagnosa autisme, seorang anak harus memiliki ketiga kriteria di atas namun memang ada kriteria yang menonjol diantara ketiganya. Oleh karena itu, untuk memperbaiki kekurangan tersebut, intervensi yang diberikan harus sedekat mungkin dengan kebutuhan anak. Secara umum, program ini bertujuan untuk memperbaiki kemampuan komunikasi anak dimana perbaikan dilakukan dengan cara membantu anak untuk dapat melakukan kontak mata dengan lawan bicara. Dengan anak dapat melakukan kontak mata dalam kurun waktu tertentu, diharapkan ia dapat diajarkan berbagai hal lain seperti mengajarkan bagaimana mendiskriminasi benda-benda di sekitarnya. R telah berhasil menjalankan program intervensi yang diberikan, ditandai dengan ia dapat melakukan kontak mata dengan lawan bicara selama kurun waktu tertentu. Di sisi lain, dalam melakukan diskriminasi benda, R belum dapat mendiskriminasi benda lebih dari dua karena adanya faktor eksternal yang mempengaruhi kelancaran intervensi. Kesimpulan yang dapat diambil adalah terapi Applied Behavior Analysis (ABA) dapat diterapkan dalam melatih R untuk melakukan kontak mata dan diskriminasi benda. Meskipun demikian, masih ada beberapa kelemahan dalam program ini yang perlu diperbaiki dalam penerapan intervensi applied behavior analysis selanjutnya."
Depok: Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, 2008
T38111
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>