Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 125983 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Katarina S Sulianti
"Penelitian ini dilatarbelakangi oleh kenyataan bahwa pada saat ini terdapat kecenderungan dalam masyarakat menuntut kemampuan yang sama pada anak laki-laki dan perempuan. Bem (dalam Papalia 2000) menyebutkan anggapan budaya mengenai jender sangat mungkin berubah-ubah. Pembahan-perubahan ini dapat terefleksikan dalam skema jender anak dan nantinya mempengaruhi sikap dan tingkah lakunya. Seseorang mungkin saja mempersepsi suatu masalah dari skema yang lainnya bukan hanya dari skema jender saja, namun Bem (dalam Boldizar, 1991) memberikan penekanan bahwa skerna jender menjadi hal yang penting, karena adanya kebiasaan dan ideologi sosial yang membentuk hubungan antara jender dengan tingkah laku, konsep, dan katagori-kategori tertentu berdasarkan jender, masyarakat sendiri menganggap perbedaan berdasarkan jender adalah hal yang penting, dan menggunakan jender sebagai dasar beberapa norma, keanggotaan kelompok, dan pengaturan di institusi-institusi. Bem (dalam Basow, 1992) menekankan bahwa bermula dari menyadari adanya perbedaan-perbedaan antara laki-laki dan perempuan di setiap situasi sehari-hari, anak merangkai sebuah skema berdasarkan jender, sehingga terbentuk identitas jender, yang kemudian ditampilkan melalui tingkah laku-tingkah laku yang dianggapnya sesuai untuk laki-laki atau perempuan. Seorang anak laki-laki tidak selalu harus membentuk identitas jender maskulin, demikian pula seorang anak perempuan tidak selalu harus membentuk identitas jender feminin. Beberapa penelitian sebelumnya menemukan bahwa anak-anak dan remaja yang memiliki identitas jender androgin dun maskulin lebih dapat diterima di lingkungannya, lebih percaya diri, lebih menghargai dirinya, dan lebih populer daripada mereka yang memiliki identitas jender feminin. Dan tampaknya dikaitkan dengan kondisi Zaman saat ini identitas jender androgin lebih tepat untuk dimiliki seorang anak. Di dalam proses pembentukan identitas jender, dipengaruhi oleh faktor internal yaitu perkembangan kognitif fisik, dan psikososial seseorang. Dengan adanya tekanan sosial dan perkembangan kognitif yang berbeda antara anak usia sekolah dan remaja, menyebabkan anak usia sekolah dan remaja berbeda."
Depok: Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, 2004
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
cover
Mira Ariyani
"Penelitian ini adalah penelitian mengenai faktor yang berperan dan proses yang terjadi dalam keputusan perempuan dewasa untuk menjadi isteri kedua pada perkawinan poligami.
Daya tarik akan kebahagiaan dalam perkawinan, perasaan cinta, dan keinginan untuk selalu bersama serta berada dekat dengan orang yang dicintai, merupakan salah satu faktor
yang memperkuat keinginan seseorang untuk menikah, khususnya bagi individu di tahap perkembangan dewasa, baik awal maupun madya.
Perkawinan itu sendiri terdiri dari bercam-macam tipe, Salah satunya adalah poligami. Menurut pcengamatan penulis, praktik perkawinan poligami terlihat marak akhir-akhir ini. Fenomena ini beserta dinamikanya dapat disaksikan dalam berbagai media, baik
eleklronik maupun cetak.
Berdasarkan undang-undang di Indonesia, poligami diperbolehkan. Adapun pendapat agama mengenai poligami, berbeda-beda. Di dalam masyarakat, pro dan kontra tentang poligami pun tidak berhenti hingga saat ini.
Walau hagaimanapun pro dan kontra yang ada, keputusan perempuan untuk menjadi isteri kedua tetap menimbulkan bermacam pertanyaan dan dugaan. Di satu pihak,
ketidakkonsistenan peraturan pemerintah dan perbedaan pendapat tentang praktik poligarni
di Indonesia belum berakhir, sedang di pihak lain, masih banyak pihak perempuan yang bersedia menjadi isteri kedua dengan berbagai alasannya.
Hal ini menimbulkan masalah penelitian yakni tentang faktor-faktor apa saja yang berperan dalam keputusan perempuan untuk menjadi istcri kedua, bagaimana proses
terjadinya keputusan tersebut, dan apakah pcrbedaan dan persamaan Paktor-faktor tersebut jika perempuan dewasa yang memutuskan menjadi isteri kedua berada dalam tahap
perkembangan yang berbeda, yakni pada masa dewasa awal dan dewasa madya.
Penelitian yang hendak dilakukan adalah penelitian kualitatif. Adapun landasan teori yang digunakan adalah mengenai perkawinan, pemilihan pasangan, pengambilan keputusan, dan teori perkcmbangan usia dewasa.
Hasil anaiisis mcnyebuLkan bahwa faktor yang mempengaruhi proses pengambilan keputusan, seperti faktor lingkungan, kepribadian, nilai, tendensi alami terhadap resiko, dan
potensi disoenansi; memang turut benpcran bagi subjek.
Hampir seluruh subjek penelitian menyertakan faktor ekonomi dan emosional dalam
keputusannya tersebut. Adapun dalam hal kepribadian yang dinyatakan oleh subjek sendiri,
terdapat beberapa kesamaan, yaitu seluruh subjek penelitian adalah pribadi-pribadi yang selalu menemukan sendiri pilihannya, berani, dan keras.
Dalam hal proses pengamnbilan keputusan, tidak seluruh tahap proses pengambilan keputusan dilakukan oleh subjek, terutama tahap evaluasi sebelum memilih altematif.
Seluruh subjek penelitian tidak melakukan kompromi atau meminta pendapat orang tua dan
keluarga sebelum mengambil keputusan. Selain itu, kebanyakan subjek tidak memiliki pengembangan alternatif lain selain hanya pilihan menikah atau tidak menikah.
Perbedaan antar subjek penelitian ini bukan terletak pada tahap perkembangan usia dewasa, akan tetapi, perbedaan yang cukup menonjol terletak pada faktor gadis (belum
pernah menikah) dan janda. Mereka yang menikah dalam kondisi masih gadis, memang cenderung disebabkan oleh keinginannya atau kesejahteraannya sendiri. Tujuan yang bersifat
emosional lebih berpengaruh di sini. Adapun mereka yang menikah dalam kondisi janda,lebih memikirkan kesejahteraan anak-anak sebelum mengambil keputusan. Namun, hal ini
hanya berlaku bagi mereka yang memiliki hak asuh anak
"
Depok: Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, 2004
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Maharani Ardi Putri
"Penelitian ini bertujuan untuk melihat gambaran coping pada perempuan di usia dewasa muda yang mengalami kekerasan seksual, Kekerasan seksual yang dimaksud disini adalah kekerasan yang terjadi karena adanya unsur kehendak seksual yang dipaksakan dan mengakibatkan terjadinya kekerasan oleh pelaku dan tidak diinginkan oleh korban (Rubenstein dalam Yuarsi, Dzuhayatin dan Wattie, 2003) Rentannya perempuan dalam mengalami kekerasan seksual ditentukan oleh banyak faktor, yaitu antara lain faktor lingkungan dalam arti budaya dan masyarakat, faktor negara, dan juga faktor individu baik individu sebagai pelaku maupun sebagai korban. Pandangan yang sudah berakar kuat mengenai posisi perempuan yang subordinat, ketentuan hukum yang belum tegas dalam menindak pelaku kekerasan seksual, kehendak pelaku yang berada di luar kontrol perempuan, serta reaksi perempuan terhadap kekerasan seksual itu sendiri merupakan bentuk - bentuk konkrit yang memberi sumbangan besar pada kerentanan perempuan terhadap kekerasan seksual. Semakin lama, perempuan harus semakin mengurangi ketergantungannya pada lingkungan, dan menjadi lebih waspada pada perubahan lingkungan di sekitarnya Namun demikian kekerasan seksual dapat terjadi dimana saja baik dalam lingkup publik maupun privat, dan dilakukan oleh siapa saja baik orang yang dikenal maupun tidak dikenal, sehingga kadang kala kekerasan seksual itu tidak dapat dihindari. Saat perempuan mengalami kekerasan seksual, maka ia juga berarti mengalami suatu peristiwa yang tidak menyenangkan yang dapat memberikan baik dampak fisik maupun psikologis dan dapat menempatkan individu dalam keadaan bahaya atau emotional distres disebut, keadaan ini juga disebut sebagai stres (Baron & Byrne, 2000). Untuk mengatasi keadaan ini seseorang akan perlu melakukan coping. Dimana menurut Lazarus & Folkman (1984, dalam Aldwin dan Revenson, 1987 : 338) coping adalah usaha yang sifatnya kognitif maupun perilaku, yang terus berubah. Dimana usaha tersebut ditujukan untuk mengatasi tuntutan yang berat maupun yang melampaui sumber daya / kemampuan seseorang Pemilihan coping yang tepat akan membawa individu pada keadaan yang stabil. Oleh karena itu penulis ingin melihat bagaimana penghayatan perempuan yang mengalami kekerasan seksual trhadap peristiwa tersebut, dan kemudian coping apa yang dikembangkan oleh perempuan yang mengalami kekerasan seksual. Penelitian menggunakan pendekatan kualitatif Oleh karena proses coping pada diri setiap orang berbeda, yang disebabkan karena perbedaan pengalaman dan penghayatan masing - masing individu, maka pendekatan kualitatif lebih tepat digunakan dalam pendekatan ini karena pendekatan ini berdasarkan pada sudut pandang individu yang mengalaminya. Selain itu, penelitian ini juga merupakan sebuah studi kasus, sebab meneliti hampir keseluruhan aspek yang terdapat pada kehidupan responden. Pengambilan sampel dilakukan pada 3 rcsponden, dengan menetapka kriteria bahwa responden adalah perempuan yang berada dalam usia dewasa muda dan pernah mengalami kekerasan seksual. Pada akhirnya responden pada penelitian ini memiliki latar belakang budaya yang berbeda, namun tingkat pendidikan yang relatif sama. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa setiap orang akan memiliki strategi coping yang berbeda - beda hal ini ditentukan dari bagaimana ia mempersepsikan keadaan lingkungan dan juga dirinya sendiri. Namun ditemukan pula bahwa apabila coping yang dilakukan lebih bersifat emotion focused tanpa diimbangi dengan jenis problem - directed, maka dapat membawa akibat yang negatif sebab perasaan negatif itu menjadi lebih ditujukan pada diri. Apalagi apabila yang dikembangkan adalah strategi avoidance."
Depok: Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, 2005
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Soeharijanto Ary Soekadi
"Masalah sampah di Indonesia timbul dari peningkatan jumlah penduduk yang mencapai 2 kali lipat dalam 25 tahun terakhir seiring dengan meningkatnya jumlah konsumsi mereka sehingga pada akhirnya juga akan meningkatkan jumlah buangan/limbah yang dihasilkan. Limbah tersebut dikenal dengan limbah domestik yang berupa sampah. Sampah pada dasarnya adalah suatu bahan yang terbuang atau dibuang dari suatu hasil aktivitas manusia maupun proses alam yang tidak mempunyai nilai ekonomi. Hingga saat ini penanganan sampah tidak kunjung optimal, salah satunya adalah penanganan sampah di daerah pesisir. Hingga saat ini belum ditemukan teknologi yang dapat mengatasi masalah sampah yang dibuang ke laut. Cara yang paling mungkin dilakukan adalah dengan mencegah masyarakat membuang sampah ke laut.
Sikap dan perilaku masyarakat dalam membuang sampah tidak terlepas dari kurangnya pemahaman mereka terhadap sampah itu sendiri. Dampak negatif dari perilaku membuang sampah ke laut sebenarnya bisa langsung dirasakan oleh masyarakat itu sendiri, karena itu dibutuhkan penanganan yang nyata dalam memberikan pemahaman mengenai sampah sekaligus mengubah perilaku mereka. Program intentervensi ini berlangsung di sebuah komunitas di dusun Payalaman, Kepulauan Matak. Penelitian awal dalam program intervensi ini dilakukan dengan 2 cara yaitu dengan observasi dan FGD dengan para stakeholder. Dari penelitian awal diketahui bahwa masyarakat Payalaman memiliki pengetahuan yang sangat terbatas mengenai sampah dan dampaknya. Selain itu juga ditemukan bahwa mereka tidak mempunyai sistem pengelolaan sampah yang baik dan benar, terbukti dari tidak adanya tempat sampah umum dan TPA. Hal ini terlihat dari skor hasil observasi yang dilakukan oleh peneliti (pre test).
Dari hasil metode pelaksanaan penelitian awal disimpulkan bahwa untuk mengubah perilaku mereka dalam membuang sampah dibutuhkan peningkatan pemahaman mereka akan sampah yang pada akhir ya juga akan berdampak pada kebiasaan mereka membuang sampah. Membangkitkan peran serta masyarakat menjadi kunci utama untuk mencapai tujuan akhir, yaitu perubahan perilaku. Masyarakat harus diberi pemahaman mengenai sampah dan segala dampak yang ditimbulkannya.
Kemudian mereka juga harus dilatih bertanggung jawab untuk berperan aktif dalam pengelolaan sampah yang dihasilkannya. Konsep partisipasi ini menempatkan masyarakat setempat (komunitas) sebagai stakeholder utama proses peningkatan pemahaman dan pengelolaan sampah yang ada di komunitas tersebut. Untuk itu, diperlukan sebuah program intervensi terhadap masyarakat sehingga mereka lebih memahami masalah sampah dan bisa mengubah perilaku mereka dalam mengelola sampah. Program intervensi dilakukan di RT 1, 2 dan 3 Dusun Payalaman dengan kaum ibu sebagai target intervensi. Intervensi dilakukan dengan beberapa tahapan, yaitu workshop, social organizing, sosialisasi, kesepakatan, pelaksanaan uji coba dan pemantauan serta evaluasi program.
Hasil intervensi menunjukkan bahwa adanya peningkatan pemahaman masyarakat desa Payalaman khususnya RT 1, 2 dan 3 mengenai masalah sampah sehingga hal ini juga berpengaruh dalam kebiasaan mereka dalam membuang sampah. Mereka sudah mampu memilah sampah dan mengetahui bagaimana cara menangani setiap jenis sampah. Mereka tidak lagi membuang sampah ke laut atau ke kolong rumah melainkan ke tempat pembuangan sampah. Pada saat ini juga telah ada tempat sampah disetiap rumah, telah tersedia tempat sampah umum dan TPA. Peningkatan pemahaman ini dapat dilihat dari meningkatnya skor hasil observasi yang dilakukan peneliti (post test).
Melihat bahwa intervensi ini berlangsung dengan baik maka diusulkan program intervensi Lanjutan yang juga masih berhubungan dengan masalah lingkungan, yaitu "Desaku indah dan Hijau". Kondisi desa yang umumnya gersang dan belum tumbuhnya pemahaman mengenai perlunya keindahan lingkungan dan pemanfaatan lingkungan. Berdasarkan kondisi itu maka sebagai tindak lanjut dari program intervensi di bidang kebersihan yang sudah menunjukkan hasil, penulis memandang perlunya melakukan meningkatkan pemahaman masyarakat desa tentang pentingnya penghijauan, keindahan lingkungan dan pemanfaatan lingkungan sekitar tempat tinggal sehingga menjadi Lebih nyaman, lebih indah, dan lebih sehat."
Depok: Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, 2004
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Ririn Dwi Lestari. H
"Tugas akhir ini berisi analisis penerapan dan usulan Penilaian Kinerja Pegawai (PKP) di PT. A, sebuah BUMN di bawah Departemen Perhubungan yang bergerak di bidang pengelolaan dan pengusahaan jasa bandar udara di Indonesia (profil perusahaan lihat lampiran 1). Sebagai salah satu sub sistem dalam pembinaan pegawai berdasarkan prestasi (merit system) di PT. A maka terapkanlah PKP sejak tahun 1994. Pada kenyataannya sistem PKP ini tidak berjalan dengan semestinya. Salah satu penyebabnya adalah sistem PKP di PT. A menggunakan sistem penilaian multi-raters. Sistem penilaian ini mengharuskan bawahan menilai alasan, sedangkan budaya perusahaan belum siap menerimanya. Sistem PKP yang sudah ada juga kurang spesifik mengukur hasil kerja karena belum ada Sasaran Kerja Individu-nya. Selain itu masih ada hal-hal lain yang belum diatur pada sistem PKP PT. A antara lain tidak adanya féedback dan jabatan khusus yang bertugas dan bertanggung jawab atas jalannya PKP. (lihat analisis data pada halaman 15-32).
Menanggapi kondisi di PT.A, penulis menginformasikan bahwa PKP sebagai bagian dari sistem manajemen kinerja harus kongruen dengan strategi, tujuan dan budaya dari Suatu organisasi Sementara itu masih ada faktor-faktor eksternal (di luar sistem PKP) yang dapat memuluskan jalannya PKP di suatu organisasi, seperti dukungan yang signifikan dari manajemen senior dan dijadikannya PKP sebagai masalah strategis dalam organisasi.
Berdasarkan analisis sistem PKP di PT. A, penulis memberikan usulan sistem PKP yang disesuaikan dengan budaya PT. A. Penyesuaian terdapat pada sistem penilaian dan penerapan PKP’ berbasis sasaran (SKI) yang salah satu sasarannya kerjanya adalah menjalankan PKP dengan tepat waktu Sehingga jalannya PKP terjamin dan terpantau. Usulan juga diberikan terhadap hal-hal yang belum diatur dalam sistem PKP PT. A seperti pemberian feedback dan jabatan khusus Dari dua alternatif sistem penilaian yang ada (single-rarer dan multi-raters), penulis merekomendasikan sistem penilaian tetap multi-raters
namun bawahan tidak lagi sebagai penilai. Atasan I, atasan II, rekan sekerja dan diri sendiri menjadi penilai pemegang jabatan manajer atau supervisor. Untuk penerapan SKI diusulkan agar dikerjakan oleh konsultan bekerjasama dengan personalia PT. A."
Depok: Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, 2003
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Kukla, Andre
Yogyakarta: Jendela, 2003,
300.1 Kuk k
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
cover
Sri Winarni
Depok: Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, 2002
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Sri Wulan
"Penelitian ini mengkaji hubungan antara iklim kelas belajar aktif dan gaya belajar dengan kreativitas. Iklim kelas belajar aktif adalah kondisi yang memungkinkan siswa terlibat secara aktif baik intelektual, emosional, maupun fisik dalam belajar. Iklim kelas mencerminkan kondisi psikologis dari lingkungan kelas sebagai tempat pembelajaran, sebagaimana yang dipersepsikan oleh individu di dalamnya. Oleh karena itu, iklim kelas berkenaan dengan suasana belajar yang tercipta, yang banyak ditentukan oleh interaksi antara guru dan siswa.
Gaya belajar adalah kecenderungan siswa dalam mengadaptasi strategi tertentu dalam belajar, melalui proses internalisasi dan konsentrasi hingga menemukan pendekatan yang sesuai dengan tuntutan belajar di kelas atau sekolah, serta tuntutan mata pelajaran. Menurut DePorter dan Hemacki (1992), ada tiga macam gaya belajar, yaitu visual, auditori, dan kinestetik.
Kreativitas adalah kemampuan melahirkan sesuatu yang baru, baik berupa gagasan maupun karya nyata, baik dalam bentuk aptitude maupun non-aptitude, baik karya baru maupun kombinasi hal-hal yang sudah ada, yang relatif berbeda dengan apa yang telah ada sebelumnya. Kreativitas dalam penelitian ini diukur melalui Tes Kreativitas Figural (TKF) dengan hasil berupa skor CQ (Creativity Quotient).
Penelitian ini merupakan kajian lapangan dengan tipe non-eksperimental korelasional. Pengambilan sampel dilakukan dengan metode purposive accidental sampling, dengan 34 siswa untuk pengujian item dan 55 siswa untuk pengujian hipotesis, yang berasal dari tiga kelas. Kriteria responden adalah siswa kelas III sekolah dasar dari sekolah dasar yang menerapkan belajar aktif dalam kegiatan pembelajarannya. Data yang digunakan adalah data kuantitatif dan kualitatif, yang diperoleh melalui pengisian kuesioner oleh siswa, tes kreativitas, dan wawancara.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa secara umum, iklim kelas belajar aktif memiliki korelasi yang cukup signifikan dengan kreativitas. Namun, gaya belajar visual, auditori, dan kinestetik tidak memiliki korelasi dengan kreativitas. Demikian pula, iklim kelas belajar visual dan kinestetik tidak berkorelasi dengan kreativitas. Namun, iklim kelas belajar aktif dan gaya belajar auditori memiliki hubungan yang cukup signifikan dengan kreativitas ketika dilihat secara bersama-sama.
Untuk penelitian lebih lanjut, disarankan mempertimbangkan heterogenitas tingkat inteligensi (IQ) siswa serta homogenitas sampel berdasarkan kemampuan akademik siswa melalui nilai rapor. Selain itu, disarankan menggunakan alat ukur gaya belajar yang dapat memberikan hasil identifikasi beserta skor kuantitatifnya, sehingga hasil identifikasi dapat dikonversikan ke dalam angka dengan standar baku. Penelitian selanjutnya juga sebaiknya menggunakan ilustrasi gambar yang lebih baik, memperluas usia subjek penelitian, serta melakukan analisis data variabel gaya berpikir untuk memperoleh hasil yang lebih mendalam.
Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa iklim kelas belajar aktif dapat meningkatkan kreativitas siswa kelas III sekolah dasar. Oleh karena itu, disarankan kepada para pendidik, baik orang tua maupun guru, untuk menyajikan kegiatan pembelajaran yang kondusif bagi pengembangan kreativitas anak, yaitu dengan menciptakan iklim kelas belajar aktif. Selain itu, penelitian ini menunjukkan bahwa siswa memiliki gaya belajar yang unik atau berbeda-beda antara satu dengan yang lain. Oleh karenanya, dalam rangka meningkatkan kreativitasnya, siswa harus diberikan kesempatan untuk memilih kegiatan kreatif yang sesuai dengan gaya belajarnya, sehingga kreativitas siswa akan berkembang secara optimal."
Depok: Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, 2004
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Indrias Ardhiana
"Pada tahun-tahun pertama kehidupan seorang anak, tokoh pertama yang dikenal adalah ibunya, sehingga. ibu memegang peranan panting dalam perkembangan anak. Melalui hubungan yang kontinyu, intim, dan hangat antara ibu dan anak, ibu menjadi peka terhadap kebutuhan-kebutuhan anak dan berusaha memuaskannya. Dengan pemuasan kebutuhan tersebut akan menimbulkan rasa percaya diri pada anak dan juga rasa percaya pada orang lain.

Anak-anak yang harus berpisah dengan orang tuanya terutama. ibunya dan kemudian tinggal di panti asuhan karena suatu sebab akan mengalami keadaan- keadaan yang tidak menyenangkan seperti kurangnya perhatian dan kasih sayang, serta kemungkinan timbulnya perasaan insecure. Dalam usaha menyesuaikan diri ini, anak biasanya lebih memilih untuk menuruti apa yang dikatakan atau diperintahkan padanya daripada melakukan apa yang sebetulnya menjadi kemauannya sendiri. Dengan mengikuti kemauan orang lain yang mungkin bertentangan dengan kemauannya sendiri bisa menyebabkan anak terganggu dan menimbulkan beban mental yang akhirnya dapat mengakibatkan terjadinya ilustrasi. Karena banyaknya kebutuhan-kebutuhan yang tidak terpenuhi yang menimbulkan ilustrasi, serta kejadian yang tidak mengenakkan, maka akan menimbulkan bermacam-macam tingkah laku untuk menyalurkan dorongan-dorongannya tersebut. Salah satu yang mungkin merupakan media penyalurannya adalah dengan bertingkah laku agresif atau menyerang orang lain (Berkowitz,1993). Agresivitas ini dapat tampil dalam bentuk yang tampak (overt) maupun yang tidak tampak (covert). Bentuk dan deraiat agresif yang tampil dapat berbeda antara seorang anak dengan anak yang lain tergantung pribadi si anak dan lingkungannya.

Hand test adalah suatu tes proyeksi yang menggunakan gambar tangan sebagai stimulusnya. Yang diungkap dari tes ini adalah kecenderungan tingkah laku yang tampak(over1 behavior). Salah satu yang bisa diungkap oleh hand test adalah prediksi tentang tingkah laku agresif yang tampak (AOR : Acting-Out Score). AOR didapatkan dengan membandingkan antara skor Ajeclion + Dependence + Communicarion dan Direction + Aggression. Seorang dikatakan agresif adalah bila pada AOR, skor agresif mendominasi kecenderungan tingkah laku. Hipotesa yang diajukan dalam penelitian ini ada dua, yaitu :
- Ho = Sum of Aggressive (AGG + DIR) sama dengan Sum of Cooperative (AFP + COM + DEP) pada anak-anak bermasalah yang tinggal di panti asuhan. Ha = Sum of Aggressive (AGG + DIR) lebih tinggi daripada Sum of Cooperative (AFF + COM + DEP) pada anak-anak bermasalah yang tinggal di panti asuhan
- Ho = Indikasi agresivitas pada anak-anak laki-lald bermasalah yang tinggal di panti asuhan sama dengan anak-anak perempuan bermasalah yang tinggal di panti asuhan. Ha = Indikasi agresivitas pada anak-anak laki-Iaki bermasalah yang tinggal di panti asuhan Iebih tinggi daripada anak-anak perempuan bermasalah yang tinggal di panti asuhan.
Sedangkan hasil yang diperoleh dari penelitian ini adalah sebagai berikut
1. Sum of aggressive lebih rendah daripada Sum of Cooperative baik pada kelompok anak laki-Iaki maupun anak perempuan, Setelah dilakukan uji signifikansi untuk mengetahui apakah perbedaan antara Sum of Cooperative dan Sum of Aggressive tersebut signifikan atau tidak, maka data yang didapat menunjukkan bahwa tidak ada perbedaan yang signifikan antara. Sum of Cooperative dan Sum of Aggressive. Hal ini berarti hipotesis yang diajurkan, yaitu Sum of Aggressive lebih tinggi daripada Sum of Cooperative pada anak-anak bermasalah di panti asuhan tidak terbukti
2. Bila mean Sum of Aggressive antara kelompok anak laki-laki dan anak perempuan dibandingkan, maka dapat disimpulkan bahwa indikasi agresivitas anak perempuan lebih tinggi bila dibandingkan anak laki-Iaki. Tetapi bila Sum of Aggressive antara kelompok anak iaki-laki dan perempuan dibandingkan dengan menggunakan 1-resi, maka perbedaan indikasi agresivitas antara anak perempuan dan anak laki-laki bermasalah di panti asuhan tersebut tidak signifikan.

Beberapa faktor yang mungkin dapat dikemukakan sebagai penyebab tidak
terbuktinya hipotesa yang diajukan adalah :
1. Perbedaan kriteria bermasalah antara pengurus panti asuhan dan kriteria bermasalah penelitian yang sudah ditentukan. Sebagai aldbatnya, kritena subyek penelitian menjadi berubah karena disesuaikan dengan kriteria pengurus sendiri
2. Ketika diambil data di salah satu panti asuhan (yaitu panti asuhan H. Patisah), pengums panti asuhan meminta untuk tetap menunggui jalannya tes yaitu dengan duduk di samping subyek ketika dilakukan wawancara dan diberikan tes.
3. Budaya Indonesia (Jawa Tengah khususnya) yang membiasakan bahwa
individu tidak bisa mengekspresikan dirinya seobyektif mungkin karena
segala sesuatunya harus dikaitkan dengan sopan santun
4. Meskipun hasil tes pada anak-anak bermasalah di panti asuhan tidak
menunjukkan hasil bahwa mereka agresif namun dari hasil observasi
didapat bahwa anak-anak yang ditunjuk untuk menjadi subyek penelitian
tampak agresi£ seperti tampak sulit untuk diam dan menunjukkan perilaku memberontak.
5. Banyak anak asuh yang sudah diwawancarai dan diberi tes memberitahu
jawabannya pada teman-temannya yang akan menjadi subyek penelitian.
6. Kurangnya inquiry yang dilakukan peneliti terhadap respon-respon yang diberikan subyek penelitian, sehingga kemungkinan menyebabkan kesalahan skoring."
Jakarta: Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, 2002
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>