Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 122485 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Bambang Surapati Y.
"Dalam kehidupan sehari-hari, keperluan akan dana guna menggerakkan roda perekonomian dirasakan semakin meningkat. Di satu sisi ada masyarakat yang kelebihan dana, tetapi tidak memiliki kemampuan untuk mengusahakannya, dan di sisi lain ada kelompok masyarakat lain yang memiliki kemampuan untuk berusaha namun terhambat pada kendala karena hanya memiliki sedikit atau bahkan tidak memiliki dana sama sekali. Disinilah pentingnya lembaga Bank yang berperan sebagai perantara keuangan yang amat vital untuk menunjang kelancaran perekonomian. Sebagai lembaga penyedia dana, salah satu peran bank adalah memberikan kredit bagi debitur yang membutuhkan. Dalam pemberian kredit, bank mensyaratkan adanya jaminan. Salah satu bentuk jaminan adalah Fidusia. Keunikan dari instrumen Jaminan Fidusia adalah tetap diberikannya hak kepada Pemberi Fidusia sebagai pemilik jaminan untuk menguasai secara fisik barang yang dijaminkan, walaupun secara hukum, kepemilikannya beralih kepada kreditur selaku Penerima Fidusia. Sebagai bentuk jaminan yang ideal, salah satu ciri lembaga Jaminan Fidusia adalah mudah dan pasti dalam pelaksanaan eksekusinya. Apabila debitur cidera janji atau wanprestasi, Undang-undang Nomor 42 Tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia memberikan keistimewaan kepada Bank untuk melakukan Parate Eksekusi atas obyek Jaminan Fidusia. Parate eksekusi adalah melakukan sendiri eksekusi tanpa bantuan atau campur tangan pengadilan atau hakim. Dalam tesis ini, Penulis menjelaskan praktek pelaksanaan Parate Eksekusi Jaminan Fidusia dan hambatan-hambatan yang timbul dalam pelaksanaannya di Bank ABC.

In daily life, the need for funds to move the wheels of the economy perceived increasing. There are some people who have excess fund, but do not have ability to invest that excess fund. On the other hand, there are also some people they have ability to invest, but they have limited fund or not fund at all. This is why we need the Bank institution that act as financial intermediaries to bridge those two groups people. Bank, as a lender of fund has in perform roles to provide to borrower who need it. The Bank requires collateral before lend the money to borrower. One form of collateral that accepted by the Bank is Fiduciary Transfer of Proprietary Right (FTO). The uniqueness of the FTO , the ownership of the physical goods still belong to the borrower, eventhough according the law, the ownership of the physical goods has been transferred to the lender. The process of enforcement of FTO are not complicate and guaranteed. This is an ideal of FTO. If the borrower is guilty of breaching of contract, Bank has privileges to do self enforcement (?Parate Eksekusi?) over the collateral according Act Nr 42 of 1999 concerning Fiduciary Transfer of Proprietary Right (FTO). Self enforcement (?Parate Eksekusi?) is defined as an instant enforcement for civil debt without a judicial decision or a judge?s order. In this thesis, the author describes the practical implementation of the FTO?s self enforcement by Bank ABC and the obstacles that arises from the process."
Depok: Universitas Indonesia, 2013
T33050
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Edi Yusuf Toto Sugiarto
"Peranan sistem pembayaran dalam sistem perekonomian semakin hart semakin panting seiring dengan semakin meningkatnya volume dan nilai transaksi serta sejalan dengan pesatnya perkembangan teknologi, yaitu untuk rnenjaga stabilitas keuangan dan perbankan, sebagai sarana transmisi kebijakan moneter, serta sebagai slat untuk meningkatkan efisiensi perekonomian suatu negara. Untuk itu sistem pembayaran perlu diatur dan diawasi agar masyarakat luas dapat memperoleh jasa sistem pembayaran yang efisien, cepat, handal dan aman.
Untuk mewujudkan sistem pembayaran yang efisien, cepat, handal dan aman maka perlu didukung dengan aturan yang komprehensif sehingga dapat menjamin kepastian dan perlindungan hukum terhadap para pihak yang terkait dalam sistem pembayaran. Berbagai layanan pembayaran dalam sistem pembayaran dapat menjadi alternatif bagi masyarakat yaitu sistem pembayaran tunai dan non tunai. Untuk masyarakat yang sudah maju ada kecenderungan untuk memilih pembayaran non tunai dengan pertimbangan praktis dan aman. Salah satu sistem pembayaran non tunai adalah dilakukan dengan transfer dana. Tranfer dana telah dikenal dan dipraktikkan oleh masyarakat dalam kurun waktu yang lama, sebagai bagian dalam kegiatan perekonomian masyarakat. Sepintas tranfer dana nampaknya sebagi suatu proses yang sederhana yaitu adanya permintaan dart pengirim dana, terlaksananya proses pengiriman, serta telah diterimanya dana dengan aman dan cepat oleh penerima. Namun demikian dalam prakteknya pelaksanaan transfer dana sudah sedemikian kompleks karena melibatkan berbagai pihak, media transfer dana, persyaratan, waktu pelaksanaan dan yurisdiksi hukum yang berbeda-beda. Dengan kondisi tersebut akan berpotensi menimbulkan risiko dan akibat hukum bagi para pihak yang terlibat. Pada saat ini pengaturan transfer dana tidak dilakukan secara spesifik dalam suatu ketentuan meskipun esensinya sendiri telah diatur dalam Peraturan Bank Indonesia yang mengatur mengenai pelaksanaan kliring dan BI-RTGS. Disamping itu jugs Undang-Undang yang terkait secara tidak Iangsung dengan transfer dana misalnya Undang-Undang tentang Lembaga Penjamin Simpanan dan Undang-Undang tentang Perlindungan Konsumen.
Dengan demikian pelaksanaan transfer dana masih tunduk pada ketentuan yang tidak seragam tergantung dart masing-masing bank. Kondisi tersebut sering menimbulkan permasalahan yang berkaitan dengan kepastian dan perlindungan hukum bagi para pihak yang terkait dalam proses transfer dana. Sehubungan dengan tersebut maka perlu dilakukan kajian apakah perlu disusun Peraturan Perundang-Undangan yang khusus mengatur transfer dana dan dalam hal perlu materi apa saja yang harus diatur.
"
Depok: Universitas Indonesia, 2006
T19792
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Juninha Siti Chairunisa
"ABSTRACT
Skripsi ini membahas tentang akibat hukum dari tidak terpenuhinya ketentuan dalam Pasal 613 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata sebagai syarat dari dilakukannya pengalihan piutang di Indonesia dan pengaruhnya terhadap dipailitkannya suatu subyek hukum melalui studi kasus kepailitan suatu perusahaan, yaitu Putusan Nomor 02/Pdt.Sus.Pailit/2014/Pn Niaga Mks tentang permohonan pailit yang diajukan Greenfinch Premier Fund terhadap PT Henrison Iriana. Dalam kasus ini, terdapat perbedaan pendapat dari Majelis Hakim yang menangani kasus ini mengenai akibat hukum dari tidak terpenuhinya syarat pengalihan piutang tersebut. Penelitian ini menggunakan metode penelitian kualitatif dengan tipe yuridis normatif. 

ABSTRACT
This research paper discusses about the transfer of receivables (cessie) and the consequences if Article 613 of Civil Codes as the provision of the transfer of receivables (cessie) in Indonesia is not fulfilled and it`s result to the bankcrupty of a law subject. The research focuses on a case study about the bankcruptcy of a company, which is a Decision No. sdfsdfs02/Pdt.Sus.Pailit/2014/Pn Niaga Mks about a Bankcruptcy Petition against Henrison Iriana Company that has been submitted by Greenfinch Premier Fund. There are arguments between the judges concerning the provision of the transfer of receivables (cessie). This research uses the qualitative-juridical normative method."
2019
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Rissa Zeno Tulus Putri
"Skripsi ini membahas mengenai permasalahan yang dihadapi oleh kreditur perbankan dalam pelaksanaan parate eksekusi berdasarkan Pasal 6 Undang-Undang Hak Tanggungan terhadap agunan yang masih dibebani credietverband. Berdasarkan Pasal 24 ayat (2) Undang-Undang Hak Tanggungan, Hak Tanggungan yang menggunakan ketentuan hipotik atau credietverband dapat menggunakan ketentuan-ketentuan eksekusi dan pencoretannya yang diatur dalam Undang-Undang Hak Tanggungan setelah buku tanah dan sertipikat yang bersangkutan disesuaikan menjadi buku tanah dan sertipikat Hak Tanggungan. Namun dalam prakteknya, terdapat dua pendapat yang berbeda antara Kantor Lelang dan Kantor Pertanahan terkait penyesuaian buku tanah dan sertipikat credietverband sebagai dasar pelaksanaan parate eksekusi. Dengan adanya pendapat yang berbeda menyebabkan pelaksanaan parate eksekusi mengalami stagnansi. Oleh karena itu tujuan diadaknnya penelitian ini adalah untuk menganalisa permasalahan yang dihadapi oleh kreditur perbankan dalam pelaksanaan parate eksekusi terhadap agunan yang jaminkan credietverband setelah periode berlakunya Undang-undang Hak Tanggungan.

This thesis deals with the problem faced by the banking creditors in parate executie according to the article 6 Law No. 4 of 1996 Regarding Mortgage Right Over Land and Objects Related to Land against collateral which saddled with credietverband. Under article 24 paragraph (2) Law No. 4 of 1996 Regarding Mortgage Right Over Land and Objects Related to Land, a mortgage that uses terms of Hypotheek or credietverband can use the terms of execution and deletion arranged in Law No. 4 of 1996 Regarding Mortgage Right Over Land and Objects Related to Land after the book and the corresponding certificate adapted into the book of the land and mortgage certificate. But in practice, there are two different opinions between the Auction Office and Office of Land related land adjustments, land book and certificate of credietverband as the basis for implementing parate executie. The existence of different opinions to the execution of the executable parate experiencing stagnation. Therefore, the purpose of the research is to analyze the problem faced by the banking creditors in collateral parate execution saddled with credietverband after the enactment of Law No. 4 of 1996 Regarding Mortgage Right Over Land and Objects Related to Land."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2016
S65369
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Muhammad Radi Jamhur
"Lembaga Perbankan merupakan salah satu lembaga keuangan yang memiliki nilai strategis dalam kehidupan pereknomian suatu negara. Fungsi utama Bank menurut Pasal 3 Undang-Undang Perbankan adalah sebagai penghimpun dan penyalur dana masyarakat (fungsi intermediary). Sebagai Lembaga Keuangan yang berorientasi pada bisnis, bank juga memiliki berbagai jenis usaha selain dari fungsi utama yang disebutkan sebelumnya, salah satunya adalah untuk memindahkan dana dari satu rekening ke rekening lain (transfer dana). Bentuk layanan transfer dana yang disediakan oleh Bank terdiri dari berbagai jenis antara lain transfer dana ke dalam atau luar negeri, pindah buku, real time gross settlement, dan kliring yang masing-masing dilakukan oleh Bank dengan penuh kehati-hatian. Tidak hanya bank, para nasabah juga perlu menerapkan prinsip kehati-hatian dan menjunjung tinggi itikad baik dalam melakukan pemindahan serta penerimaan dana. Terdapat sebuah kasus yang terjadi di PT Bank Negara Indonesia (Persero) Cabang Medan dimana salah seorang petugasnya lalai dalam melakukan setor kliring sehingga dana tersebut tidak terkredit pada rekening penerima. Pihak penerima dana salah setor kliring tersebut telah menggunakan seluruh dana dan gagal untuk mengembalikan sebagian dana. Penelitian ini akan menganalisis pengaturan transfer dana berdasarkan hukum perbankan di Indonesia yang mana tersebar dalam berbagai jenis peraturan perundang-undangan seperti Undang-Undang Perbankan dan Transfer Dana serta beberapa peraturan yang dikeluarkan oleh Bank Indonesia dan Otoritas Jasa Keuangan. Selain itu akan lebih lanjut menganalisa pertanggungjawaban penerima salah transfer dana dalam mengganti rugi kepada Bank meskipun perbuatan tersebut diawali dari kelalaian petugas bank.

Banking institution is one of the financial institutions that has strategic value in the economic life of a country. According to Article 3 of the Banking Law of Indonesia, The main function of the Bank is to collect and distribute public funds (intermediary function). As a business-oriented Financial Institution, bank also has various types of businesses apart from the aforementioned main functions, one of which is to move funds from one account to another (transfer of funds). The form of fund transfer which provided by the Bank consist of various types, including domestic or international fund transfer, overbooking, Real Time Gross Settlement, and clearing, which carried out by the Bank with good faith. Not only bank but also customer need to apply the precautionary principle and uphold good faith in transferring and receiving funds. There was a case occurred at Medan Branch of PT Bank Negara Indonesia (Persero) where one of its officers neglected to conduct a clearing deposit so the funds were not credited to the beneficiary's account. The (wrong) recipient of clearing deposit has used all the funds and failed to return some of the funds. This study will analyze the regulations fund transfer based on banking law in Indonesia which regulate in various types of legislation such as the Banking and Funds Transfer Law and several regulations issued by Bank Indonesia and Financial Services Authority. In addition, it will further analyze the responsibility of the (wrong) recipient transfer of funds to the Bank though the act was conducted by the negligence of the bank officer."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2021
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Daikh Mudh Dullah Isa
"[ABSTRAK
Transfer pricing bagi Indonesia merupakan tantangan besar untuk memaksimalkan penerimaan negara, karena tercatat oleh otoritas pajak Indonesia bahwa setiap tahunnya Indonesia dirugikan 1300 Trilliun Rupiah karena praktik transfer pricing ini. Bagi Jepang perhatian khusus diberikan untuk penanganan transfer pricing karena tumpuan penerimaan negara Jepang berada pada sektor perpajakan. Tantangan baru dalam hal transfer pricing adalah adanya praktik transfer pricing atas aspek intangible property yang ternyata banyak dilakukan oleh MNC yang saat ini rata-rata basis usahanya adalah intangible property. Penelitian ini ditujukan untuk mengetahui cara penindakan abuse of Transfer pricing dan cara penindakan praktek transfer pricing atas intangible property di Indonesia dan Jepang, serta untuk mengetahui apa sajakah yang menjadi kesulitan DJP Indonesia dan NTA Jepang dalam menangani praktik transfer pricing atas intangible property. Penelitian ini menggunakan metode penelitian hukum normatif, dan hasil dari penelitian ini menunjukkan bahwa penindakan transfer pricing di Indonesia berpedoman pada PER DJP Nomor PER-22/PJ/2013 dan SE DJP Nomor SE-50/PJ/2013, sedangkan Jepang berpedoman pada Special Measures Tax Law 1986 yang diikuti NTA Administrative Guidelines, dan Indonesia belum memiliki aturan khusus penindakan transfer pricing atas intelectual property, sedangkan Jepang telah memiliki referensi khusus untuk menindak transfer pricing atas intelectual property, serta diketahui bahwa kesulitan yang dihadapi DJP dan NTA dalam mengatasi transfer pricing atas intangible property sama yaitu kesulitan dalam

ABSTRACT
Transfer pricing for Indonesia is a big challenge to maximize revenues, as recorded by the Indonesian tax authorities that each year 1300 Trillion Indonesian Rupiah harmed because of this transfer pricing practices. For Japan special attention is given to the handling of transfer pricing as the foundation of Japan's revenues are in the taxation sector. New challenges in terms of transfer pricing is the practice of transfer pricing aspects of intangible property, on which there are many MNCs are currently performed because the average base of their business is intangible property. This study aimed to determine how enforcement abuse of transfer pricing and how enforcement of transfer pricing practices on intangible property in Indonesia and Japan, as well as to know what are some difficulties Directorate General Of Tax Indonesia and National Tax Agency Japan dealing with transfer pricing practices on intangible property. This study uses normative legal research methods, and the results of this study indicate that the transfer pricing enforcement in Indonesia based on the PER DGT No. PER-22 / PJ / 2013 and SE DGT No. SE-50 / PJ / 2013, while Japan based on the Special Measures tax Law in 1986 which followed by the NTA Administrative Guidelines, and Indonesia does not have specific rules on transfer pricing enforcement on intelectual property, while Japan has had special reference to crack down transfer pricing on intelectual property aspect, and it is known that the difficulties faced by the Directorate General of Tax and National Tax Agency in dealing with transfer pricing on intangible property aspect is the same, and that is the difficulty in determining a reasonable price and the difficulty in finding a reasonable comparison. ;Transfer pricing for Indonesia is a big challenge to maximize revenues, as recorded by the Indonesian tax authorities that each year 1300 Trillion Indonesian Rupiah harmed because of this transfer pricing practices. For Japan special attention is given to the handling of transfer pricing as the foundation of Japan's revenues are in the taxation sector. New challenges in terms of transfer pricing is the practice of transfer pricing aspects of intangible property, on which there are many MNCs are currently performed because the average base of their business is intangible property. This study aimed to determine how enforcement abuse of transfer pricing and how enforcement of transfer pricing practices on intangible property in Indonesia and Japan, as well as to know what are some difficulties Directorate General Of Tax Indonesia and National Tax Agency Japan dealing with transfer pricing practices on intangible property. This study uses normative legal research methods, and the results of this study indicate that the transfer pricing enforcement in Indonesia based on the PER DGT No. PER-22 / PJ / 2013 and SE DGT No. SE-50 / PJ / 2013, while Japan based on the Special Measures tax Law in 1986 which followed by the NTA Administrative Guidelines, and Indonesia does not have specific rules on transfer pricing enforcement on intelectual property, while Japan has had special reference to crack down transfer pricing on intelectual property aspect, and it is known that the difficulties faced by the Directorate General of Tax and National Tax Agency in dealing with transfer pricing on intangible property aspect is the same, and that is the difficulty in determining a reasonable price and the difficulty in finding a reasonable comparison. ;Transfer pricing for Indonesia is a big challenge to maximize revenues, as recorded by the Indonesian tax authorities that each year 1300 Trillion Indonesian Rupiah harmed because of this transfer pricing practices. For Japan special attention is given to the handling of transfer pricing as the foundation of Japan's revenues are in the taxation sector. New challenges in terms of transfer pricing is the practice of transfer pricing aspects of intangible property, on which there are many MNCs are currently performed because the average base of their business is intangible property. This study aimed to determine how enforcement abuse of transfer pricing and how enforcement of transfer pricing practices on intangible property in Indonesia and Japan, as well as to know what are some difficulties Directorate General Of Tax Indonesia and National Tax Agency Japan dealing with transfer pricing practices on intangible property. This study uses normative legal research methods, and the results of this study indicate that the transfer pricing enforcement in Indonesia based on the PER DGT No. PER-22 / PJ / 2013 and SE DGT No. SE-50 / PJ / 2013, while Japan based on the Special Measures tax Law in 1986 which followed by the NTA Administrative Guidelines, and Indonesia does not have specific rules on transfer pricing enforcement on intelectual property, while Japan has had special reference to crack down transfer pricing on intelectual property aspect, and it is known that the difficulties faced by the Directorate General of Tax and National Tax Agency in dealing with transfer pricing on intangible property aspect is the same, and that is the difficulty in determining a reasonable price and the difficulty in finding a reasonable comparison. ;Transfer pricing for Indonesia is a big challenge to maximize revenues, as recorded by the Indonesian tax authorities that each year 1300 Trillion Indonesian Rupiah harmed because of this transfer pricing practices. For Japan special attention is given to the handling of transfer pricing as the foundation of Japan's revenues are in the taxation sector. New challenges in terms of transfer pricing is the practice of transfer pricing aspects of intangible property, on which there are many MNCs are currently performed because the average base of their business is intangible property. This study aimed to determine how enforcement abuse of transfer pricing and how enforcement of transfer pricing practices on intangible property in Indonesia and Japan, as well as to know what are some difficulties Directorate General Of Tax Indonesia and National Tax Agency Japan dealing with transfer pricing practices on intangible property. This study uses normative legal research methods, and the results of this study indicate that the transfer pricing enforcement in Indonesia based on the PER DGT No. PER-22 / PJ / 2013 and SE DGT No. SE-50 / PJ / 2013, while Japan based on the Special Measures tax Law in 1986 which followed by the NTA Administrative Guidelines, and Indonesia does not have specific rules on transfer pricing enforcement on intelectual property, while Japan has had special reference to crack down transfer pricing on intelectual property aspect, and it is known that the difficulties faced by the Directorate General of Tax and National Tax Agency in dealing with transfer pricing on intangible property aspect is the same, and that is the difficulty in determining a reasonable price and the difficulty in finding a reasonable comparison. , Transfer pricing for Indonesia is a big challenge to maximize revenues, as recorded by the Indonesian tax authorities that each year 1300 Trillion Indonesian Rupiah harmed because of this transfer pricing practices. For Japan special attention is given to the handling of transfer pricing as the foundation of Japan's revenues are in the taxation sector. New challenges in terms of transfer pricing is the practice of transfer pricing aspects of intangible property, on which there are many MNCs are currently performed because the average base of their business is intangible property. This study aimed to determine how enforcement abuse of transfer pricing and how enforcement of transfer pricing practices on intangible property in Indonesia and Japan, as well as to know what are some difficulties Directorate General Of Tax Indonesia and National Tax Agency Japan dealing with transfer pricing practices on intangible property. This study uses normative legal research methods, and the results of this study indicate that the transfer pricing enforcement in Indonesia based on the PER DGT No. PER-22 / PJ / 2013 and SE DGT No. SE-50 / PJ / 2013, while Japan based on the Special Measures tax Law in 1986 which followed by the NTA Administrative Guidelines, and Indonesia does not have specific rules on transfer pricing enforcement on intelectual property, while Japan has had special reference to crack down transfer pricing on intelectual property aspect, and it is known that the difficulties faced by the Directorate General of Tax and National Tax Agency in dealing with transfer pricing on intangible property aspect is the same, and that is the difficulty in determining a reasonable price and the difficulty in finding a reasonable comparison. ]"
2015
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Hardjatmo
"Transfer pricing merupakan upaya rekayasa alokasi keuntungan antar beberapa perusahaan dalam satu grup perusahaan multinasional. Secara keseluruhan yang terpenting dari akhir kegiatan adalah laba setelah pajak dari grup. Transfer pricing sering dipakai untuk manajemen pajak yaitu sebuah usaha untuk meminimalkan jumlah pajak yang harus dibayar. Dari sisi pemerintahan, transfer pricing diyakini mengakibatkan berkurang atau hilangnya potensi penerimaan pajak suatu negara karena perusahaan multinasional cenderung menggeser kewajiban perpajakannya dari negara-negara yang memiliki tarif pajak yang tinggi (high tax countries) ke negara-negara yang menerapkan tarif pajak rendah (low tax countries), Terkait dengan isu transfer pricing, secara umum otoritas fiskal harus memperhatikan dua hal mendasar agar koreksi pajak terhadap dugaan transfer pricing mendapat justifikasi yang kuat, yaitu afiliasi (associated enterprises) atau hubungan istimewa (special relationship) dan kewajaran atau arm's length principle. Di Indonesia, perusahaan Penanaman Modal Asing yang didirikan berdasarkan hukum Indonesia dan berkedudukan di Indonesia, tidak sedikit yang melakukan praktek-praktek transfer pricing Hal yang cukup memprihatinkan adalah mereka membuat Indonesia sebagai loss centre untuk perusahaan multinasionalnya, di mana mereka beroperasi di Indonesia selama bertahun-tahun direkayasa untuk selalu rugi sehingga tidak pernah membayar pajak penghasilan badannya. Rekayasa tersebut dilakukan dengan bermacam-macam cara dan tujuan, tergantung pada kebijaksanaan manajemen perusahaan tersebut. Perusahaan dapat direkayasa untuk terus-menerus dalam keadaan merugi, akan tetapi tetap terjadi pembayaran royalti atau imbalan jasa teknis dan jasa lainnya dari perusahaan Indonesia kepada perusahaan lain di mancanegara yang sebenamya masih berada dalam satu grup perusahaan dengan yang ada di Indonesia. Hampir dalam setiap undang-undang perpajakan dapat dijumpai aturan-aturan yang mengatur perlakuan pajak terhadap transaksi antara pihak-pihak yang mempunyai hubungan istimewa. Aturan tersebut merupakan dasar hukum bagi otoritas pajak untuk melakukan koreksi atas transaksi yang terjadi antar pihak-pihak yang mempunyai hubungan istimewa dan dapat memecahkan masalah transfer pricing Undang-Undang Nomor 17 tahun 2000 tentang Perubahan Ketiga Atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan juga mempunyai aturan yang menangani masalah transfer pricing, yaitu Pasal 18. Tesis ini mencoba menawarkan pemecahan masalah dan aturan hukum yang perlu ditinjau dan dipertegas dalam suatu perundang-undangan perpajakan yang mengatur masalah transfer pricing di Indonesia."
Depok: Universitas Indonesia, 2007
T 18680
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Naibaho, Nelson Dunan
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2006
S23970
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Ardi Jaya Pradipta
"Tesis ini membahas mengenai permasalahan pemindahan hak atas tanah yang tidak sesuai dengan prosedur yang diatur dalam hukum tanah nasional. Obyek yang akan diteliti dalam tesis ini adalah Putusan Pengadilan Negeri Nomor: 86/PDT.G/2009/PN.DEPOK. Yang menjadi permasalahan adalah apakah dalam pendekatan Hakim dalam memutus kasus tersebut sudah tepat dan lengkap apabila dianalisis menggunakan sistem hukum tanah nasional dan bagaimanakah peran para pihak yang digugat dalam kasus sehubungan dengan putusan yang menyatakan bahwa telah terjadi Perbuatan Melawan Hukum. Pemindahan Hak Atas Tanah melalui Jual Beli melalui beberapa tahapan yang berhubungan dengan pelaksanaan jabatan beberapa Pejabat maupun instansi yang ditunjuk berdasarkan perundangundangan.
Dalam pelaksaan jabatannya sehubungan dengan pejabat dan Instansi yang berwenang tersebut memiliki koridor kode etik dan prosedur yang sudah diatur dalam perundang-undangan. Pada kasus yang dibahas dalam tesis ini terdapat indikasi yang kuat bahwa pejabat dan instansi melakukan penyimpangan sehingga menyebabkan kerugian bagi orang lain. Sedangkan pihak pembeli dan bank juga tidak melaksanakan kewajiban pelunasan sehubungan dengan transaksi jual beli yang disepakati dengan penjual. Dengan tidak atau belum selesai melaksanakan kewajiban pembayaran tersebut seharusnya pembeli sadar betul bahwa pemindahan hak atas tanah belum sempurna selesai dan seharusnya tidak melakukan proses lanjutan seperti balik nama dan penjaminan atas benda yang belum jadi miliknya sepenuhnya tersebut. Dalam putusan tersebut Hakim memutuskan baik pihak Pembeli, Bank, PPAT dan Kantor BPN melakukan perbuatan melawan hukum namun hakim tidak mengelaborasikan lebih jauh secara detail peranan para pihak yang secara partial sesuai kewenangan yang dimilikinya merugikan pihak lain.

This thesis discuss about the issue of transfer of Land Right which not in accordance with the procedures regulated in Agrarian Regulation .The object that will be researched in the this thesis is Civil Court Verdict number: 86/PDT.G /2009/ PN.DEPOK. The problem is whether the judge?s approaching method in the case is already exact in according to Agrarian Positive Law and how each role of sued parties in the case regarding to a verdict that said there has been a tort. Transfer of Land Right by Sale and Purchase transaction needs through several phases that relate to the implementation of authority of several authorized officials and government institutions designated by law.
On the implementation of authority, the authorized officials and government institutions shall subject to the code of conduct and procedures corridor which it is set by law. In the case which discussed in the thesis there are strong indications on the implementation of authority, the authorized officials and government institutions digress which cause harm to others. Meanwhile the buyer and the bank didn't respect the obligations of payment that emerge correspond to the agreement with the seller. By not or unfinished to perform its payment obligation buyer should well aware the rudimentary of transfer of rights and should not make collateral to anyone things that has yet to become full ownership. In the verdict, judges decided either the Buyer, Bank, PPAT and BPN proven having committed tort but judge mistakenly not elaborate in detail each role of the parties who jointly performed tort to the Seller.
"
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2015
T43041
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Ardian Fitriyanto
"Penelitian ini memiliki tujuan untuk mengevaluasi implementasi pemindahtanganan barang milik negara melalui proses hibah yang berlarut-larut penyelesaiannya dan menjadi temuan pemeriksaan Badan Pemeriksa Keuangan pada tahun 2011, dimana sampai dengan saat ini belum selesai ditindaklanjuti. Penelitan ini menggunakan metode deskriptif analisis secara kualitatif dan strategi penelitian single studi kasus. Hasil penelitian menunjukkan bahwa implementasi pemindahtanganan barang milik negara telah sesuai dengan PMK 165/PMK.06/2016 dan Logic Model Theory namun belum optimal dalam pelaksanaannya. Berlarut-larutnya penyelesaian pemindahtanganan ini disebabkan karena calon penerima hibah (masyarakat/Pemerintah Daerah) tidak berkenan menyampaikan surat pernyataan kesediaan menerima hibah. Perlu dilakukan perubahan rencana pemindahtanganan dari semula melalui proses hibah, agar dilakukan pemindahtanganan melalui penjualan atau melakukan penghapusan barang milik negara dengan alasan sebab-sebab lain.

This study aims to evaluate the implementation of the transfer of state-owned asset through a grant and became the findings of an examination by the Supreme Audit Agency in 2011, which until now has not been followed up. This research uses a descriptive qualitative analysis method and a single case study research strategy. The results of the study show that the implementation of the transfer of state-owned asset is in accordance with PMK 165/PMK.06/2016 and Logic Model Theory but has not been optimal in its implementation. The protracted settlement of this transfer was due to the fact that the prospective grant recipients (the community/local government) did not wish to submit a statement of willingness to accept the grant. It is necessary to change the transfer plan from the original through the grant process, so that the transfer is carried out through sales or write-off of state-owned asset for other reasons."
Depok: Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia, 2023
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>