Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 149245 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Heddy Shri Ahimsa Putra
Jakarta: Kementerian Kebudayaan dan Pariwisata, 2011
307.7 HED s
Buku Teks SO  Universitas Indonesia Library
cover
Jakarta: Kementerian Kebudayaan dan Pariwisata, 2011
307.7 IDE
Buku Teks SO  Universitas Indonesia Library
cover
M.A. Dewi Indrawati
Jakarta: Kementerian Kebudayaan dan Pariwisata, 2011
307.7 DEW m
Buku Teks SO  Universitas Indonesia Library
cover
Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, 1989
301.45 POL
Buku Teks SO  Universitas Indonesia Library
cover
Fu Xie (Siat)
"Konflik antar golongan akhir-akhir ini, terutama konflik yang berlatar belakang agama, membuktikan bahwa pembangunan sosial di Indonesia masih sangat kurang. Untuk bisa hidup rukun di Indonesia, yang terdiri dari banyak agama, perlu dikembangkan sikap dan perilaku inklusif. Seorang yang bersikap inklusif, tidak perlu berkompromi terhadap nilai-nilai kepercayaan yang dipegangnya. Dia tetap berpegang teguh terhadap kepercayaan agamanya, namun dalam hidup bermasyarakat dia terbuka terhadap kelompok-kelompok yang lain.
Penelitian ini bertujuan mengetahui faktor-faktor apa yang mempengaruhi inklusivitas seseorang Kristen, dan bagaimana cara meningkatkannya, Penulis memilih kota Bandung karena kota ini adalah kota yang multi kultur.
Variabel yang diteliti yaitu lnklusivitas, Sikap maupun Inklusivitas, Perilaku dari orang-orang Kristen sebagai variabcl dependen. Sedangkan variabel independen yaitu: Aliran gereja, Struktur Gereja, Sistem Pemerintah Gereja, lnteraksi Antar Umat, Keterlibatan Orang Awam, lnklusivitas dari Gembala Sidang, dan juga latar belakang pribadi dari umat. Unit analisis dari penelitian ini yaitu orang Kristen Populasi target yaitu orang-orang Kristen yang ada di Kota Bandung, sedangkan populasi sampelnya yaitu orang-orang Kristen yang menjadi anggota gereja yang ada di Bandung. Kerangka sampel yang dipakai yaitu daftar gereja yang ada pada Departemen Agama Kota Bandung dan daftar anggota yang ada di gereja.
Untuk mendapatkan alat ukur yang reliable dan valid dilakukan uji coba yang dilaksanakan dua kali di Bogor. Setiap kali uji coba, dilakukan pengujian reliabilitas dan validitas. Hasil uji coba yang kedua menunjukkan bahwa alat ukur sudah valid dan reliable. Pengambilan data dilakukan terhadap 19 gereja yang terpilih secara acak, dan dari setiap gereja dipilih 4 - 5 orang sehingga terkumpul 92 responden.
Untuk menyederhanakan pengolahan data dan memudahkan penarikan kesimpulan, variabel-variabel inklusivitas jemaat maupun inklusivitas gembala direduksi menjadi masing-masing 3 variabel dengan menggunakan analisis-faktor. Analisis step-wise regression dipakai untuk mengetahui variabel-variabel mana saja yang berpcngaruh terhadap variabel dependen.
Hasil pengolahan data menunjukkan bahwa variabel-variabel yang mempengaruhi lnklusivitas-sikap-umat yaitu Aliran gereja, Lama Pendidikan, Punya Famili Agama Katolik, dan Aktif di Organisasi Rohani Aliran gereja Karismatik/Pentakosta lebih eksklusif dibanding aliran yang lain. Semakin lama pendidikan seseorang, maka dia akan semakin inklusif. Orang yang mempunyai famili orang Katolik, akan lebih inklusif dibandingkan dengan yang tidak. Dan orang yang aktif dalam organisasi rohani (kecuali gereja) akan lebih inklusif dibandingkan dengan yang tidak.
Sedangkan variabel yang mempengaruhi Inklusivitas-perilaku-jemaat yaitu lnklusivitas-Perilaku-Gembala dan Tokoh-Idola-Rohani. Semakin tinggi inklusivitas-perilaku-gembala, maka akan semakin tinggi pula umatnya. Dan orang yang hanya mempunyai tokoh idola rohani saja akan lebih eksklusif dibandingkan dengan yang mempunyai tokoh idola yang Iain (bukan hanya rohani).
Variabel-variabel yang mempengaruhi Inklusivitas-Perilaku-Jemaat-terhadap-Gereja-Lain yaitu Ink!usivitas-Perilaku-Gembala-terhadap-gereja-lain, etnis umat, dan Pernah-Sekolah-Katolik. Semakin tinggi lnklusivitas-Perilaku-gembala-terhadap-gereja-lain, maka semakin tinggi pula umatnya. Orang Kristen etnis Tionghoa kurang inklusif dalam perilakunya terhadap gereja lain dibanding etnis yang lain. Sedangkan orang Kristen etnis Sunda lebih inklusif dibandingkan dengan lain. Dan orang Kristen yang pemah bersekolah di sekolah Katolik, akan lebih inklusif dalam perilakunya terhadap gereja lain dibandingkan dengan yang tidak.
Dari hasil wawancara bisa disimpulkan: Orang yang eksklusif umumnya adalah orang yang kurang mau berinteraksi dengan masyarakat sekitar. Orang-orang Kristen di Bandung umumnya memiliki tipifikasi yang negatif terhadap Orang Islam-Sunda. Hubungan orang Kristen terhadap Islam lebih tegang dibandingkan terhadap agama lain. Kelompok eksklusif minoritas akan semakin eksklusif jika dilarang dan dikucilkan oleh masyarakat.
Berdasarkan kesimpulan-kesimpulan ini, ada beberapa rekomendasi yang penulis ajukan berikut ini. Pemerintah harus memfasilitasi pola interaksi antar umat sehingga umat dari agama yang berbeda bisa saling berinteraksi dan jangan ada segregasi dalam bentuk apapun. Pemerintah perlu meninjau lagi larangan terhadap kelompok eksklusif minoritas supaya kelompok tersebut berkurang (hilang) eksklusivitasnya. Gereja harus memperdulikan masalah-masalah yang ada pada lingkungan dengan memberikan bantuan, namun bentuk bantuannya jangan hanya "melempar" saja tapi dalam bentuk yang bisa berinteraksi dengan masyarakat. Umat Kristen harus mengasihi semua orang tennasuk tetangganya dengan motif yang tulus dan bukan supaya mereka nanti jadi Kristen."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2003
T12214
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan RI, 1984/1985
301.45 POL
Buku Teks SO  Universitas Indonesia Library
cover
Zainal Abidin
"ABSTRAK
Meningkatnya kuantitas dan kualitas kasus penghakiman massa Paska Pemerintahan Orde Baru, telah mendorong peneliti untuk melakukan penelitian tentang kasus ini. Peneliti bermaksud (1) memahami karakteristik dan sifat dasar dari kasus penghakiman massa, (2) memahami pengalaman para pelaku sebelum, pada saat, dan sesudah menjadi pelaku dalam penghakiman massa, dan (3) membangun teori substantif atau framework tentang penghakiman massa.
Beberapa teori psikologi dan sosiologi tentang agresi dan kekerasan kolektif ditelusuri oleh peneliti untuk penjelasan awal dan sementara tentang kasus ini. Teori-teori tersebut di antaranya adalah social interactionist theory of coercive action (Tedeshi & Felson, 1994); social identity theory (Tajfel, 1984), self categorization theory (Turner & Giles, 1985), dan_collective identification theory (Reicher, 1996, 2003; Hogg, 2003); frustration aggression theory (Dollards, dkk, 1961), relative deprivation theory (Gurr, 1971; Muller, 1980); teori-teori tentang mob, lynching dan collective violence (LeBON, original 1895, 1995; Young, 1958;Milgram & Toch,1969; Smelser, 1962); dan teori tentang peran penegakan hukum (Black, 1983). Berdasarkan pada penelusuran teoritis tersebut disusunlah sebuah tesis atau hipotesis kerja penelitian berikut ini: ?Terdapat beberapa faktor yang memungkinkan timbulnya penghakiman massa, yakni perceived norm violation, relative deprivation, mob identification, dan perceived law enforcement.
Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode kualitatif dengan pendekatan case study. Praktek penelitiannya dilakukan melalui 2 tahap, yakni preliminary study dan field study. Penelitian dilakukan di daerah-daerah perkampungan di empat kecamatan yang semuanya berada di Kota (Kodya) Tangerang. Terdapat lima buah kasus yang diteliti dalam penelitian ini, yang masing-masing diberi nama Kasus-1, Kasus-2, Kasus-3, Kasus-4, dan Kasus-5. Pengambilan data dilakukan mulai bulan Februari sampai Oktober 2003. Data dianalisis melalui suatu proses pengkodean (coding) dengan menggunakan alur berpikir induktif (untuk menemukan faktor-faktor atau tema-tema baru di lapangan) dan deduktif (untuk mengetahui ada tidaknya faktor-faktor atau tema-tema dalam resis penelitian). Untuk menjaga kredibilitas penelitian digunakan lankah-langkah seperti triangulation, keeping a reflextive journal peer debriefing, prolonged engagement, dan intellectual sharing.
Hasil penelitian antara Iain menunjukkan: (1) Sebagai suatu bentuk kekerasan kolektif penghakiman massa mungkin tidak bersifat unik, karena di negara-negara lain pun terdapat kasus-kasus serupa dengan sebutan yang berbeda-beda. Tetapi jika dilihat dari konteksnya, maka keunikan kasus ini tarnpak antara lain dari variasi kasusnya (spontan, semi-spontan, dan tidak spontan), jenisjenis kekerasannya (pengeroyokan dan pembakaran), dan motif pelakunya. yang non-politis, non-etnis, non-mitis, non-agama, dan lain-lain. (2) Sebelum terjadinya kasus penghakiman massa, para pelaku mengalami perasaan tidak aman yang disebabkan oleh semakin meningkatnya kualitas dan kuantitas kejahatan di Iingkungan mereka. Perasaan tersebut menyebabkan mereka memiliki perceived norm violation yang negatif terhadap para penjahat, perceived law enforcement yang negatif terhadap polisi, social learning yang positif dari kasus-kasus penghakiman massa yang terjadi sebelumnya, perceived social support yang positif dari warga kampungnya, dan relative deprivation yang disebabkan oleh kesenjangan antara harapan akan terciptanya rasa aman dan semakin meningkatnya kejahatan. Setelah dipicu oleh munculnya penjahat di kampung mereka (triggering factor), dan para pelaku mengalami perceived social role yang sesuai dengan citra-dirinya, maka menyatulah mereka dalam massa dan merasa sebagai bagian dari massa (mob identification). Mob identification menyebabkan depersonalisasi, desensitisasi, dan dehumanisasi, sehingga tanpa rasa kasihan mereka menjadi pelaku penghakiman massa. (3) Berdasarkan temuan pada butir dua, maka disusunlah sebuah teori substantif atau framework tentang penghakiman massa berlkut ini: ?Penghakiman massa dapat terjadi jika ada beberapa faktor yang mendahuluinya (antecedent factors). Faktor-faktor tersebut adalah: (a) perceived norm violation, fb) perceived law enforcement, dan (C) relative deprivation, (d) perceived social support, dan (e) social learning. Setelah diperantarai oleh (E)triggering factor dan (g) perceived social control, maka terjadilah (g) mob identification. Tanpa triggering factor, mob identification, dan perceived social role, tidak mungkin ada penghakiman massa." Setelah terlibat dalam penghakiman massa pun, para pelaku masih mengalami suatu pengalaman yang disebut self defense mechanism. Kesadaran bahwa mereka telah melakukan pembunuhan terhadap ?penjahat? menjadikan mereka merasa cemas dan was-was- Mereka kemudian berusaha melindungi diri mereka dari parasaan-perasaan yang tidak menyenangkan tersebut melalui berbagai argumentasi dan rasionalisasi untuk membenarkan (justifikasi) ?pembunuhan" tersebut.
Hasil penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat bagi; (a) Upaya pengendalian kasus-kasus penghakirnan massa, (b) Pengembangan teori-teori kekerasan kolektif dalam psikologi sosial dan upaya memperkaya khasanah kepustakaan psikologi sosial di Indonesia tentang kasus-kasus kekerasan massa pada umumnya dan kasus-kasus penghakiman massa pada khususnya, (c) Pengembangan metode penelitian kualitatif dalam penelitian-penelitian psikologi, khususnya psikologi sosial.
The increased penghakiman masse cases, qualitatively as well as quantitatively, alter the fall down of the New Order regime had raised the researchers interest to do a study on this topic. This study was aimed to (1) understand the characteristics and the nature of penghakiman massa, (2) understand the experiences of the actors before, during, and after they were involved in a penghakiman massa, and (3) build up a theory or framework about penghakiman massa.
Some psychological and sociological theories about aggression and collective violent behavior were reviewed. Some of the theories are: Social interactionist theory of coercive action (Tedeshi & Felson, 1994), Social Identity Theory (Tajfel, 1984), Self1Categorization Theory (Turner & Giles, 1985), and Collective Identification Theory (Reicher, 1996, 2003, Hogg, 2003) Frustration Aggression Theory (Dollards et.al, 1961), Relative Deprivation Theory (Gurr, 1971, Muller, 1980), Theories of Mob, Penghakiman rnassan, and Collective violence (LeBon, original 1895, 1995, Young, 1958, Milgrain and Toch, 1969, Smelser, 1962), and theories of the role of Law Enforcement (Black, 1983). A thesis was generated from reviewing those theories : "Factors that triggered penghakiman massa include perceived norm violation, relative deprivation, mob identification, and perceived law enforcement".
Case study approach and qualitative method were used in this study. The research procedure consists of 2 stages: preliminary study and field study. This study was carried out in the village areas at 4 districts in the City of Tangerang. There were live cases in this study and they were called Case-1, Case-2, Case-3, Case-4, and Case-5. The length of data gathering was from February to October 2003. Data analysis was done by using coding technique. The inductive thinking (to lind new factors or themes in the Held) and deductive thinking (to discover new factors or themes in the research thesis) were used in the whole process of this study. To maintain the credibility of this research, some actions were done, such as triangulation, keeping a reflective joumal, peer debrieftng, prolonged engagement, and intellectual sharing.
The result of this research shows that (1) as a fonn of collective violent behavior, penghakiman massa is not unique to Indonesia because similar cases occur in other countries as well. However, in terms of its context, the uniqueness of these cases can be seen from the variety of the cases (spontaneous, semi spontaneous or not spontaneous), the types of violence involved (pengeroyakan and bum); (2) actors usually feel unsecured before a penghakiman massa happens that is caused by the increased crime rates in their neighborhood. This unsecured feeling shapes a negative perceived norm violation of the criminals, negative perceived law enforcement of policemen, positive social learning from previous penghakiman massa cases, positive perceived social support from members of their community, and relative deprivation caused by discrepancy between hope for secured feeling and the facts that criminals are in their neighborhood (triggering factor), and the actors have positive perceived social role. All of these factors form mob identification that causes depersonalization, desensitization, and dehumanization which trigger penghakiman massa. (3) Based on point (2), a substantive theory of penghakiman massa was built, that ?the antecedent factors of penghakiman massa include (a) perceived norm violation, (b) perceived law enforcement, (c) relative deprivation, (d) perceived social support, and (e) social learning. After being mediated by (f) triggering factor and (g) perceived social control, then (h) mob identification is formed. Without triggering factor, perceived social control, and mobidentification, penghakiman massa will never take place". After being involved or exposed to penghakiman massa, the actors felt anxious, wony, and guilty as a consequence of being aware that they have killed a ?criminal". Then they built a self defense mechanism to protect themselves from these unpleasant feelings in the form of argumentation and rationalization to justify ?the killing".
The result of this research is expected to be beneficial for (a) the development of collective behavior theories in social psychology and to enhance references in social psychology, especially in Indonesia, about collective violent behavior in general and penghakiman massa in particular; (b) the development of qualitative research methods in research in psychology, especially social psychology; (c) law enforcement, to build a mechanism to deal with penghakiman massa cases; and (d) government and NGOs who are concerned with human rights issues, to put penghakiman massa as part of their work program.
"
Depok: Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, 2004
D-Pdf
UI - Disertasi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Yusniardi Setiawan Azis
"Penelitian mengenai orang-orang Tionghoa di Malang pada tahun 1942-1949 ini ditujukan untuk melengkapi penulisan tentang sejarah lokal dan sejarah etnis Tionghoa di Indonesia. Penelitian ini dilakukan dengan menggunakan metode sejarah yang terdiri dari empat tahapan, yaitu heuristik, kritik, interpretasi, dan historiografi. Selain menggunakan sumber-sumber tertulis, penelitian ini juga dilengkapi dengan menggunakan sumber-sumber lisan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa kehidupan orang-orang Tionghoa di Malang pada tahun 1942 _ 1949, yang merupakan masa pendudukan Jepang dan masa Revolusi, mengalami beberapa perubahan dalam bidang politik, sosial, dan ekonomi. Di bidang politik, pemerintah Jepang memaksa orang-orang Tionghoa yang memiliki orientasi politik berbeda-beda untuk bersatu serta melarang seluruh organisasi sosial dan politik Tionghoa. Di bidang sosial, pemerintah pendudukan Jepang menutup sekolah-sekolah Tionghoa dan menerapkan kebijakan pengerahan massa terhadap orang-orang Tionghoa sebagaimana diterapkan juga kepada orang-orang pribumi. Di bidang ekonomi, pemerintah pendudukan Jepang menganggap orang-orang Tionghoa sebagai sumber pendapatan ekonomis yang potensial. Untuk itu, pemerintah pendudukan Jepang membentuk Komite Hoakiao Penolong Kesengsaraan sebagai wadah untuk mengumpulkan derma dari orang-orang Tionghoa Malang. Kehidupan orang-orang Tionghoa di Malang pada masa Revolusi juga mengalami beberapa perubahan. Di bidang politik, persatuan antara orang-orang Tionghoa kembali pecah. Mereka terbagi-bagi ke dalam orientasi-orientasi politik yang berbeda-beda. Di bidang sosial, salah satu persoalan yang dihadapi orang-orang Tionghoa di Malang adalah pendidikan bagi anak-anak Tionghoa. Persoalan ini baru terpecahkan pada tahun 1949 dengan kembali dibukanya sekolah Tiong Hoa Hwee Kwan. Di bidang ekonomi, potensi ekonomi yang dimiliki orang-orang Tionghoa di Malang digunakan oleh pemerintah Republik. Pada bulan November 1945, mereka memberikan sumbangan sebesar f. 50.000 kepada pemerintah Republik."
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan dan Budaya Universitas Indonesia, 2007
S12646
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
cover
Mardy Arief
"Masalah hubungan sosial. masyarakat Cina dengan penduduk asli merupakan masalah hubungan dua etnik yang berbeda latar belakang historis dan budayanya. Hubungan sosial yang terjadi tidak luput dari adariya prasangka dan tindakan diskriminatif. Dalam rangka mempertahankan.hidup dan kelangsungannya serta meningkatkan kesejahteraan, interaksi sosial individu dan atau kelompok dalam bidang ekonomi, khususnya perdagangan berlangsung secara berkesinambungan menjadi hubungan kerjasama dengan penduduk asli yang petani. Untuk mendapatkan komoditi ekspor dan pemasaran barang-barang dagangannya berupa kebutuhan pokok penduduk.
Sebaliknya penduduk asli mencari pedagang yang akan membeli hasil kebunnya yang berupa komoditi ekspor seperti karet, coklat, lada dan sawit (CPO) serta kayu dan hasil hutan ikutan yang lain. Hubungan kerjasama yang terjadi adalah hubungan kerjasama yang simbiotik. Di samping itu orang Cina juga mengembangkan pola hubungan persaingan. Perilaku orang Cina yang ulet, tekun, etos kerjanya tinggi dan pragmatis usaha perdagangan orang Cina lebih maju dan penduduk asli. lni ditunjang oleh hubungan kerjasama sesama orang Cina yang berupa jaringan bisnis dan perdagangan yang melampaui batas-batas administrasi suatu negara. Adanya jaringan perdagangan tersebut menyebabkan orang Cina tidak akan kekurangan modal untuk mengembangkan usahanya. Juga tak akan susah memantau harga di luar negeri.
Langkah-langkah yang dijalankan orang Cina untuk memajukan usaha dagangnya tidak tertandingi oleh penduduk asli yang sistim kerjanya masa secara tradisional. Oleh karena itu kehidupan orang Cina lebih makmur dari penduduk asli. Kesenjangan sosial ini di tempat lain dapat menimbulkan konflik dengan kekerasan atau kerusuhan. Tetapi di Kotamadya Jambi belum pernah teijadi. Ini disebabkan antara orang Cina dan penduduk asli mata pencahariannya berbeda, mereka saling melengkapi. Maka kehidupan sosial penuh dengan suasana toleransi, tenggang menenggang. Tambahan lagi Pemerintah Daerah memperhatikan kemajuan daerah dengan melakukan pembangunan secara berkesinambungan sehingga Kotamadya Jambi semakin terbuka untuk segala kegiatan aspek kehidupan.
Dalam suasana yang demikian dimana kesejahteraan penduduk meningkat, maka keamanan pun akan stabil. Karena sistim ekonomi yang baik akan berpengaruh baik pula pada aspek-aspek kehidupan yang lain. Dengan demikian pembinaan Ketahanan Nasional dapat dibina."
Depok: Program Pascasarjana Universitas Indonesia, 1999
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>