Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 4337 dokumen yang sesuai dengan query
cover
"Seorang wanita usia 22 tahun datang dengan keluhan utama timbul bercak kemerahan dan rasa gatal pada wajah sejak 5 hari sebelum masuk rumah sakit. Keluhan lainnya adalah timbul bengkak pada kedua tungkai, nyeri tenggorokan, dan batuk. Pasien sedang dalam pengobatan untuk lupus eritematosus sistemik dan tuberkulosis paru (sejak 12 hari yang lalu). Pada pemeriksaan fisik, pasien kompos mentis, hemodinamik stabil, dengan edema anasarka, lesi multipel makulo purpura yang tersebar pada tubuhnya, konjungtivis pada kedua mata, lesi multipel ulserasi di rongga mulut, dan tampak eritema pada mukosa genitalia. Hasil laboratorium menunjukkan anemia, lekopenia, hipoalbuminemia, proteinuria. Kami mencurigai pasien ini menderita sindrom Stevens Johnson akibat obat antituberkulosis. Selama perawatan, kami menghentikan pemberian obat antituberkulosis, dan memberikan metilprednisolon parenteral, serta terapi suportif lainnya. Pasien diizinkan untuk rawat jalan setelah terjadi perbaikan klinis dan dapat mobilisasi sendiri.

Abstract
A 22-year-old woman was admitted to the hospital because of 5-days history of redness and itch on her face. Additional complains were swelling on her feet, sore throat, and cough. Patient was on treatment for systemic lupus erythematosus and pulmonary tuberculosis (since 12 days). On physical examination, patient was alert, stable hemodynamic, anasarca edema, multiple purpuric macules lesion spread on her body, conjunctivitis of both eyes, multiple oral ulcers, erythema on genital mucosa. Laboratory results were anemia, leucopenia, hypoalbuminemia, proteinuria. We suspected this patient as Stevens Johnson syndrome due to tuberculostatic drugs. During treatment, we stopped the tuberculostatic drugs, and gave her parenteral methylprednisolone, with other supportive treatments. The patient was discharge after improvement of clinical condition and capable of self mobilization."
[Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, Universitas Atma Jaya. Fakultas Kedokteran], 2012
pdf
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
cover
Nuning Indriyani
"ABSTRAK
Latar belakang: Lupus Eritematosus Sistemik LES merupakan penyakit autoimun pada anak yang mengakibatkan morbiditas dan mortalitas. Salah satu faktor risiko yang diduga berdampak terhadap morbiditas pasien LES yakni penggunaan kortikosteroid dalam waktu lama. Anak dan remaja dengan LES merupakan populasi dengan risiko lebih besar terhadap morbiditas muskuloskeletal, dalam hal ini rendahnya densitas mineral tulang dan osteoporosis.Tujuan: 1 Mengetahui gambaran densitas mineral tulang pada pasien LES anak dan remaja usia 5-18 tahun yang mendapatkan terapi glukokortikoid dan 2 Mengetahui gambaran karakteristik dosis kumulatif dan harian kortikosteroid, IMT, SLEDAI dan asupan kalsium dan vitamin D pada pasien LES anak, serta 3 Mengetahui gambaran parameter laboratorium yang menggambarkan metabolisme tulang seperti kadar kalsium, vitamin D, alkali fosfatase, fosfor dan kortisol pada pasien LES anak dengan terapi kortikosteroid.Metode: Penelitian ini merupakan penelitian potong lintang deskriptif dengan mengikutsertakan 16 pasien LES yang berobat di poliklinik anak RSCM selama November-Desember 2016 dengan diagnosis LES. Pengambilan data dilakukan dengan melihat data rekam medis, penilaian skor SLEDAI Systemic lupus erythematosus Disease Activity Index , asupan kalsium dan vitamin D, serta parameter laboratorium. Densitas mineral tulang diperiksa dengan Dual X-ray Absorbtiometry DEXA dengan melihat skor Z.Hasil: Densitas mineral tulang yang rendah skor-Z

ABSTRACT
Background Systemic lupus erythematosus SLE is an autoimune disease affecting children with significant numbers of morbidity and mortality. One of risk factors for morbidity is chronic corticosteroid use. Child and adolescent with SLE are susceptible population for musculosceletal morbidity especially low bone mineral density and osteoporosis. Aim 1 To determine the occurence of low bone mineral density among children with SLE, 2 to describe the characteristics, incuding cumulative and daily doses of corticosteroid, body mass index, SLEDAI, and calcium and vitamin D intake among children with SLE, and 3 to describe bone metabolism laboratory paramaters including serum calcium, vitamin D, ALP, phosphorus, and cortisol among children with SLE receiving corticosteroid. Method A descriptive cross sectional study involving 16 children with SLE attending child and adolescent outpatient clinic Cipto Mangunkusumo Hospital during November December 2016. Data were recorded from patients rsquo medical records, scoring SLEDAI, performing laboratory examinations, and measuring calcium and vitamin D intakes. Bone mineral density was measured using DEXA and reported using Z score. Result Low bone mineral density accured among 7 16 patients. The mean total bone mineral density was 0,885 0,09 g cm2. Children with SLE receiving corticosteroid had low calcium 8,69 0,50 mg dL , vitamin D 19,3 5,4 mg dL , ALP 79,50 43,00 164,00 U L , morning cortisol level 1,20 0,0 10,21 ug dL , and calcium 587,58 213,29 mg d and vitamin D 2,9 0 31,8 mcg d intake. Patients with low bone mineral density tend to had higher cumulative doses of corticosteroid with longer treatment duration. Conclusion The occurence of low bone mineral density was observed among children with SLE receiving corticosteroid treatment. Low bone mineral density tend to occur among patients with higher cumulative doses and longer duration of corticosteroid treatment."
2017
SP-Pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Lusiani
"Latar Belakang: Lupus Eritematosus Sistemik LES adalah suatu penyakit autoimun kronik yang melibatkan multiorgan dan multietiologi. Komplikasi kardiovaskular pada pasien LES merupakan salah satu penyebab morbiditas dan mortalitas terbesar. Proses aterosklerosis diketahui terjadi pada pasien LES usia muda dan menjadi salah satu faktor penyebab disfungsi diastolik. Penegakkan diagnosis disfungsi diastolik memerlukan pemeriksaan yang cukup mahal dan tidak merata di setiap fasilitas kesehatan. Oleh karena itu, diperlukan suatu metode diagnostik yang lebih mudah dan murah tetapi tetap dapat diandalkan untuk penegakkan diagnostik tersebut, seperti metode sistem skoring. Umur, lama sakit, komorbiditas hipertensi dan atau diabetes mellitus dan atau dislipidemia , anemia, Index Massa Tubuh IMT , kadar serum kreatinin, dan APS diketahui berhubungan dengan disfungsi diastolik dan dapat menjadi determinan diagnosis disfungsi diastolik pada pasien LES.
Tujuan: Menetapkan sistem skoring diagnosis disfungsi diastolik pasien LES berdasarkan determinan umur, lama sakit, komorbiditas, anemia, IMT, kadar serum kreatinin, dan APS.
Metode: Penelitian uji diagnostik potong-lintang cross sectional terhadap 127 pasien LES di RSCM sejak bulan April 2017 sampai Mei 2017. Data yang digunakan adalah data primer berupa wawancara, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan ekokardiografi transtorakal, serta data sekunder yang diperoleh dari rekam medis.
Hasil: Terdapat 9 7.08 subjek penelitian yang mengalami disfungsi diastolik. Lima dari tujuh determinan masuk dalam analisis multivariat. Setelah pemodelan, didapatkan APS dengan bobot skor 2 dan komorbiditas dengan bobot skor 1 yang selanjutnya menjadi bagian dari sistem skoring diagnosis disfungsi diastolik pasien LES. Sistem skoring ini kemudian di uji dengan kurva ROC dan didapatkan AUC sebesar 80.3 95 IK 62.7-97.8 dengan titik potong terbaik adalah lebih sama dengan 2. Skor ge;2 memiliki sensitifitas 44 , spesifisitas 94.9 , nilai prediksi positif 60 , dan nilai prediksi negatif 95.7 . Uji validasi interna dan eksterna menghasilkan nilai yang baik.
Simpulan: Proporsi disfungsi diastolik pasien LES di RSCM adalah 7.08 . Determinan diagnosis disfungsi diastolik pasien LES adalah APS dan komorbiditas. Skor ge;2 merupakan titik potong terbaik untuk menentukan bahwa pasien LES mengalami disfungsi diastolik.

Background : Systemic Lupus Erythematosus SLE is a chronic autoimmune disease involving multiorgan and multietiology. Cardiovascular complication in SLE patients is one of the highest causes of morbidity and mortality. It is known that premature atherosclerosis occurs in young SLE patients and related to diastolic dysfunction. The diagnostic of diastolic dysfunction requires a quite expensive and uneven examination at every health facilities. Therefore, it's necessary to have an accessible and inexpensive but reliable diagnostic method, such as a scoring system. Age, duration of pain, comorbidities hypertension and or diabetes mellitus and or dyslipidemia , anemia, Body Mass Index BMI , serum creatinine level, and APS are known to be associated with diastolic dysfunction and can be a determinant diagnostic of diastolic dysfunction in SLE patients.
Objective : Establish a diagnostic scoring system of diastolic dysfunction in SLE patients with determinants of age, duration of pain, comorbidities, BMI, serum creatinine level, and APS.
Methods : A cross sectional diagnostic study with 127 SLE patients in RSCM from April 2017 to May 2017. The data used are primary data such as interviews, physical examination, and transthoracic echocardiography, as well as secondary data was obtained from medical records.
Results : There were 9 7.08 subjects with diastolic dysfunction. Five from seven determinants can be used in multivariate analysis. After modeling, APS was obtained with score of 2 and comorbidities with score of 1, further it becomes a part of diagnostic scoring system of diastolic dysfunction in SLE patients. The scoring system was tested with ROC curve and obtained AUC of 80.3 95 IK 62.7 97.8 with the best cut off point was ge 2. A score of ge 2 had a sensitivity of 44 , specificity of 94.9 , positive predictive value of 60 , and negative predictive value of 95.7 . Internal and external validation test produce a good value.
Conclusions : The proportion of diastolic dysfunction in SLE patients in RSCM is 7.08 . Diagnostic determinants of diastolic dysfunction in SLE patients are APS and comorbidities. A score of ge 2 is the best cut off point for determining that SLE patients has a diastolic dysfunction.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2017
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Dwitya Elvira
"Latar Belakang: Lupus Eritematosus Sistemik (LES) merupakan penyakit autoimun
dengan penyebab multifaktorial. Ketidakseimbangan sitokin Th17 (Interleukin-17; IL-
17) dan T-regulator (Transforming Growth Factor-; TGF- and Interleukin-10; IL-10)
diduga terlibat dalam patogenesis LES yang mempengaruhi aktivitas penyakit.
Tujuan: Penelitian dilakukan untuk menguji perbedaan rerata IL-17, TGF- dan IL-10
dengan aktivitas penyakit LES dan menguji korelasi sitokin Th17/T-regulator.
Metode: Penelitian ini merupakan studi potong lintang melibatkan 68 pasien LES
berdasarkan kriteria inklusi MEX-SLEDAI <2 untuk LES inaktif dan >=2 untuk LES
aktif. Kriteria eksklusi adalah pasien LES dengan riwayat autoimun lain, inflamasi
kronik; infeksi akut secara klinis; serta asma bronkial, dermatitis atopi dan urtikaria
didasarkan pada catatan rekam medis. Serum IL-17, TGF-, IL-10 diperiksa dengan
metode ELISA. Data dianalisis dengan perangkat lunak SPSS 20 menggunakan uji-T
independen untuk data berdistribusi normal dan uji Mann-Whitney untuk data tidak
normal.
Hasil: Rerata IL-17 serum adalah 19,67 (1,299) pg/ml. Median TGF- dan IL-10 adalah
175,02 (132-396) pg/ml dan 2,96 (0-11) pg/ml. Tidak terdapat perbedaan rerata yang
signifikan dari kadar IL-17, TGF- dan IL-10 serum pasien LES aktif dan tidak aktif.
Didapatkan korelasi positif sedang yang signifikan antara IL-17 dan IL-10 (p<0,005;
r=0,529) dan korelasi yang tidak signifikan antara IL-17 dan TGF- (p>0,005; r=-
0,142).
Simpulan: Tidak didapatkan perbedaan rerata yang signifikan sitokin Th17/Treg pasien
LES aktif dan inaktif. Terdapat korelasi positif signifikan sedang antara IL-17 dan IL-
10, sementara tidak terdapat korelasi signifikan antara IL-17 dan TGF-. Penelitian
lanjutan dengan disain kohort prospektif diperlukan untuk mengkonfirmasi peran
sitokin jalur Th17/Treg ini pada pasien LES aktif dan inaktif.

"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2020
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Schur, Peter H.
"Often considered the prototypic autoimmune disease, Lupus is characterized by protean manifestations and affects a wide range of organ systems. Despite widespread availability of anti nuclear antibody testing and other technological diagnostic advances, the diagnosis of lupus can be elusive, difficult, and inexact. Treatment of the disease can also be challenging. Advances in immunology and biotechnology have led to a burgeoning world of new therapies in development that offer patients the real possibility of new therapies and physicians and scientists novel insights into the pathogenesis of this complicated immunological disease. Lupus erythematosus : clinical evaluation and treatment summarizes the clinical aspects of lupus facing the general clinician in the 21st century. In this invaluable, practical book, the reader will find introductory chapters regarding general diagnostic and treatment principles, followed by chapters addressing the lupus-specific organ manifestations. Special topics regarding pregnancy and comorbidities are also presented. Written by highly experienced physicians with special expertise in lupus."
New York: Springer, 2012
e20426100
eBooks  Universitas Indonesia Library
cover
Pohan, Bertyna Yulia M.
"Systemic lupus eryrhenzalasus (SLE) atau juga dikenal sebagai lupus adalah penyakit kronis yang melibatkan sistem kekebalan tubuh, di mana orang yang mengalaminya dapat menderita sejumlah gejala yang menyerang hampir di seluruh bagian tubuhnya. Para penderitanya sering disebut odapus atau orang dengan lupus. Secara khusus, wanita penderita lupus dapat mengalami kesulitan atau konflik ketika hendak memutuskan untuk memiliki anak. Konflik ini tezjadi karena penyakit yang dideritanya dapat menyebabkan ia sulit untuk mengandung. Jika wanita tersebut tetap memumskan untuk memiliki anak, maka risiko saat terjadirnya kehamilan harus segera dianlisipasi dengan ketat. Jika tidak, ia dapat mengalami keguguran. Sementara, jika wanita penderita lupus tidak mengandung atau memiliki anak, maka fungsi perkawinannya sebagai lembaga membangun keluarga dan keturunan tidak berjalan sebagaimana mestinya. Hal ini bisa menimbulkan perasaan tidak puas atau rendah diri pada wanita karena tidak bisa memberikan keturunan bagi keluarga.
Tujuan dari penelilian ini adalah untuk Iungetahui gambaran pengambilau keputusan untuk memiliki anak pada wanita penderita SLE. Subjek dalam penelitian ini adalah wanita penderita SLE yang berada dalam rentang 20-35 tahun (tahap perkembangan dewasa awal) dan sudah menikah. Penelilian ini menggunakan pendekatan kualitatif karena dianggap dapat menggali penghayatan subjek mengenai pengambilan keputusan untuk memiliki anak, Jumlah sampel yang digunakan adalah dua orang karena yang dipentingkan adalah penghayatan subjektifnya. Hasil yang diperoleh menunjukkan bahwa kedua subjek hanya melewati tahap 1, 2, dan 5 dalam proses pengambilan keputusan untuk memiliki anak. Mereka tidak lagi melewati tahap 3 dan 4. Sclain itu, terdapat sejumlah faktor yang berperan dalam pengambilan keputusan untuk memiliki anak, yaitu pregfcrence, value, belief circumsrances, dan action. Terakhir, ditemukan bahwa kedua subjek mengalami konflik sewaktu mereka mengambil keputusan untuk memiliki anak, yakni adanya keinginan untuk menghindari akibat buruk dari SLE, yaitu keguguran atau gangguan pada bayi, dengan keinginan yang kuat untuk memiliki anak."
Depok: Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, 2004
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Cahya Dewi Satria
"Latar belakang: Lupus eritrematosus sistemik (LES) adalah penyakit yang kompleks dengan manifestasi yang bervariasi. Interleukin-6 (IL-6) merupakan sitokin pleitropik yang mempunyai aktivitas biologis dengan rentang luas yang berperan penting pada regulasi imun dan inflamasi. Saat ini belum ada biomarker yang dapat membedakan kondisi remisi total dengan aktivitas penyakit ringan. Interleukin-6 diharapkan dapat digunakan sebagai parameter aktivitas penyakit terutama pada kasus-kasus dimana antara manifestasi klinis dan skor SLEDAI tidak sesuai yaitu pada pasien LES dengan aktivits ringan dan remisi total.
Tujuan: Mengetahui karakteristik IL-6 pada LES anak dengan berbagai aktivitas ringan dan remisi total.
Metode: Penelitian kasus kontrol dilakukan di poli rawat jalan Alergi-Imunologi Departemen Ilmu Kesehatan Anak RSUPN dr. Cipto Mangunkusumo, Jakarta dan RSUP Dr. Sardjito, Yogyakarta mulai Mei hingga Juni 2019. Pasien anak usia 1-18 tahun dengan diagnosis LES dinilai kadar IL-6 dan aktivitas penyakit yang dinilai dengan skor SLEDAI. Uji korelasi chi square dilakukan untuk mengetahui hubungan variabel bebas dan luaran. Analisis data dilakukan dengan program SPSS for Window ver 20,0
Hasil: Dari 60 subjek penelitian yang terdiri dari 30 pasien LES aktivitas ringan dan 30 remisi total. tidak ada perbedaan kadar IL-6 tinggi pada kelompok kasus dibanding kelompok kontrol dengan p=0,500, OR= 0,483 (95% IK: 0,041-5,628). Terdapat 2 subyek dengan kadar IL-6 tinggi menderita infeksi saluran kencing.
Simpulan: Tidak ada perbedaan aktivitas penyakit pada pasien LES anak dengan aktivitas ringan dibanding remisi total.

Background: Systemic Lupus Erythematosus (SLE) is a complex disease with various manifestations. Interleukin-6 (IL-6) is a pleiotropic cytokine with a wide range of biological activities that plays an important role in immune regulation and inflammation. Recently, there is no other biomarker that could differentiate total remission condition and mild disease activity in juvenile SLE. Interleukin-6 may be used as a parameter of disease activity, especially in the cases with different clinical manifestations and SLEDAI scores among SLE patients with mild activities and total remissions.
Aim: To indentify the characterictics of serum IL-6 concentration in juvenile systemic lupus erythematosus with mild activities and total remissions.
Methods: Case control study was performed at outpatient clinic of allergy-immunology, department of child health dr. Cipto Mangunkusumo hospital, Jakarta and dr. Sardjito hospital, Yogyakarta during May-June 2019. Serum IL-6 consentration and disease activity were assessed in all juvenile SLE patients aged 1-18 year. SLE disease activity was assessed with SLEDAI scores and serum level of IL-6 was measured by enzyme linked immunosorbent assay. Chi square correlation analysis was used to determine the correlation of serum IL-6 concentration with disease activity in juvenile SLE patients. Analyses of data were performed using the SPSS statistical software for windows version 20,0.
Results: Among 60 subjects included in this study, 30 subjects with mild activities in the case group and 30 subjects with total remissions in the control group. There was no differences of serum IL-6 concentration between case and control group (p=0,500, OR= 0,483 (95% IK: 0,041-5,628)). In this study, we found 2 subjects with urinary tract infection have high serum IL-6 concentration.
Conclusion: There was no differences of serum IL-6 concentration between juvenile SLE patients with mild activities compared with total remissions.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2019
T57644
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Giri Aji
"Lupu Eitematosus Sistemik adalah suatu penyakit autoimun yang melibatkan multi organ yang umumnya menyerang wanita dan bersifat kronik yang perjalanan penyakitnya ditandai dengan relaps dan remisi. Penelitian ini bertujuan mencari faktor risiko perburukan pasien lupus eritematosus sistemik dengan menganalisa beberapa variabel seperti usia, tingkat pendidikan, anemia, obat-obatan dihubungkan dengan perburukan yang diukur dengan skor Systemic Lupus Eythematosus Disease Activity Index. Selain itu, dilakukan juga peneltian deskritptif mengenai sebaran gen Human Leucocyte Antigen pada subpopulasi penelitian.

Systemic Lupus Erythemattosus is an autoimmune disease which involved multi organs and have chronic course and mostly inflicted woman , the nature of the disease involved relaps and remission This research aim to find risk factor for worsening (flare) of SLE by analysing variables like age, education level, anemia, drugs associated to flare measured by Systemic lupus erythematosus disease activity index and we also conduct Human Leucocyte Antigen genotyping for subpopulation of the study."
Depok: Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia, 2023
D-pdf
UI - Disertasi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Rizky Fadilah
"Kerusakan struktur dan penurunan fungsi ginjal pada anak pengidap Systemic Lupus Erythematosus (SLE) dengan komplikasi Chronic Kidney Disease (CKD) mengakibatkan penumpukan produk sisa-sisa metabolisme yang disebut uremia. Komplikasi ini mengakibatkan terjadinya gangguan integritas kulit berupa kulit kering (xerosis) yang dapat mempengaruhi kualitas hidup pasien dan menimbulkan infeksi lebih lanjut. Karya ilmiah ini bertujuan memberikan gambaran asuhan keperawatan pada anak pengidap SLE dengan komplikasi CKD dan menganalisis penerapan intervensi pemberian Virgin Coconut Oil (VCO) pada masalah gangguan integritas kulit. Intervensi diterapkan sebanyak dua kali dalam sehari dan dilakukan selama 3 hari. Metodologi yang digunakan adalah metode studi kasus. Hasil analisis menunjukkan bahwa terdapat penurunan luas kulit yang mengalami xerosis yang ditandai dengan penurunan nilai overall dry skin score dari 4 menjadi 3 dan keluarga mampu melakukan perawatan kulit secara mandiri. Rekomendasi dari studi kasus ini adalah diharapkan pemberian VCO dapat menjadi terapi penunjang sebagai upaya untuk mengatasi gangguan integritas kulit pada kondisi xerosis.

Structural damage and decreased kidney function in children with Systemic Lupus Erythematosus (SLE) with the Chronic Kidney Disease (CKD) complication caused accumulation of metabolic waste products called uremia. This complication resulted in impaired skin integrity in the form of dry skin (xerosis) which can affect the patient's quality of life and lead to further infection. This scientific work aims to provide an overview of nursing care in children with SLE with complication of CKD and to analyze the intervention of Virgin Coconut Oil (VCO) application to the impaired skin integrity area. The intervention applied twice a day and has been carried out for 3 days. The methodology used is the case study method. The results of the analysis showed that there was a decrease in the area of skin with xerosis which was indicated by a decrease in the overall dry skin score of 4 to 3 and the family was able to perform skin care independently. The recommendation from this case study is application of VCO can be a supporting therapy as an effort to overcome impaired skin integrity in xerosis conditions."
Depok: Fakultas Ilmu Keperawatan Universitas Indonesia, 2022
PR-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Mala Hayati
"Latar Belakang: Anti dsDNA merupakan salah satu faktor risiko aterosklerosis yang berasal dari LES dan belum ada penelitian yang melihat hubungan antara kadar anti dsDNA dengan ketebalan tunika intima-media arteri karotis. Penelitian ini bertujuan untuk melihat korelasi antara anti dsDNA dengan ketebalan tunik intima-media arteri karotis.
Metode: Penelitian ini adalah penelitian potong lintang, melibatkan 84 pasien LES dengan kriteria inklusi adalah pasie LES yang memenuhi kriteria diagnosis sesuai dengan ACR 1997 atau SLICC 2012, dan kriteria eksklusi adalah bila terdapat variasi anatomi pembuluh darah yang tidak dapat dilakukan pengukuran. Anti dsDNA diperiksa dengan menggunakan ELISA dan USG Doppler dilakukan pada pasien untuk mengukur ketebalan maksimal tunika intima media arteri karotis (max-IMT). Analisa statistik dilakukan dengan uji parametrik Pearson dan bila tidak memenuhi syarat dilakukan uji non parametrik Spearman.
Hasil: Delapan empat responden (82 perempuan dan 2 laki-laki) dilakukan analisa. Rerata usia pasien 35,5±8,9 tahun dengan 64,3% berusia di bawah 40 tahun, median anti dsDNA 38,9 IU/L(0,9 ? 750 IU/L) dan Median max-IMT adalah 581 μm (385-1800 μm). Terdapat 43 (51,2 %) pasien dengan ketebalan pada tunika intima-media arteri karotis, 36 (42,9%) pasien dengan ketebalan saja, 6 (7,1%) pasien dengan ketebalan pada tunika intimamedia dan plak dan 1 (1,2%) pasien dengan plak di near wall bulbus kiri tanpa disertai dengan ketebalan pada tunika intima-media. Plak terutama ditemukan pada bulbus karotis kanan dan kiri. Berdasarkan uji korelasi speraman's tidak terdapat korelasi antara ati dsDNA dengan ketebalan maksimal tunika intima media arteri karotis. (r = 0,073, p= 0,520).
Kesimpulan: Tidak terdapat korelasi antara anti dsDNA dengan ketebalan tunika intima-media arteri karotis pada pasien LES.

Background: Anti dsDNA is considered as one of SLE-related risk factors for atherosclerosis. The evaluation of Carotid intimal-media thickness has recently became one of the surrogate markers for atherosclerosis. Until now, there hasn't been any study relate the level of anti dsDNA antibody with Carotid intimal-media thickness. This study is conducted to determine the correlation between anti dsDNA and Carotid intima-Media Thickness.
Methods: This is a cross sectional study, 84 SLE patients were included. Patients diagnosed as SLE according to ACR 1997 or SLICC 2012 criteria were included in the study, while SLE patients with anatomical variation which difficult to measured were excluded from this study. Doppler ultrasound was carried out for patients and max-IMT was measured. Anti dsDNA was measured with ELISA.
Study results: Eighty four subjects (82 female, 2 male) were included. Mean age was 35,5 ±8,9 years old, 64,3 % between 18-39 years old, median anti dsDNA level 38,9 IU/L (0,9 - 750 IU), and median max-IMT value was 581 μm. There were 43 (51,2 %) patients Carotid intima-media thickness, 36 (42,9%) patients with increased IMT only, 6 (7,1%) patients with increase IMT and Plaque, and 1 (1,2%) patient with plaque in near wall left bulbus without increased IMT. Based on spearman's correlation test there are no correlation between anti dsDNA and max-IMT (r=-0,073, p= 0,520).
Conclusion: There are no correlation between anti dsDNA level and Carotid intimal-media thickness this study.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2016
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>