Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 128962 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Tesara Rafiantika
"Konformitas merupakan salah satu cara untuk menyesuaikan diri dengan lingkungan sekitar. Dalam film G.I. Jane, konformitas dilakukan oleh pemeran utama perempuan sebagai bentuk perlawanan terhadap dominasi patriarki yang dibentuk melalui hegemoni maskulinitas. Konformitas menjadi hal yang perlu dilakukan dalam film G.I. Jane sebagai cara untuk mengubah pandangan tentang stereotipe feminin dan maskulin. Skripsi ini akan membahas tentang hegemoni maskulinitas yang terbentuk dalam film G.I. Jane melalui kekuasaan patriarki sampai pada akhirnya terjadi proses perubahan representasi identitas. Representasi identitas baru tersebut merupakan cara berkonformitas. Hasil analisis mengungkapkan bahwa konformitas dalam film G.I. Jane dilakukan oleh tokoh utama dengan cara mengubah penampilan fisiknya sebagai bentuk ketidaksetujuannya dengan konstruksi patriarki dalam film tersebut yang menolak kesetaraan laki-laki dan perempuan. Selain itu, hasil analisis juga mengungkapkan bahwa konformitas dalam film tersebut merupakan sebuah cara untuk menetang dikitomi antara perempuan dan laki-laki yang cenderung melemahkan perempuan. Konformitas tersebut terjadi melalui interaksi tokoh utama dengan beberapa tokoh pendukung dalam film tersebut. Hasil analisis tersebut diharapkan dapat memberikan pemahaman bahwa konformitas tidak selalu merepresentasikan ketertundukan pada kekuasaan. Pendobrakan konstruksi dan dominasi yang melemahkan perempuan dapat dilakukan melalui konformitas.

Conformity is a way of adaptation in a society. In G.I. Jane, conformity is done by the main female character as a woman resistance of patriarchy domination which is established through hegemony masculinity. Conformity in G.I. Jane needs to be done as a way to change the paradigm in forming feminine and masculine stereotype. This undergradute thesis explains how hegemony masculinity is formed by patriarchy power and triggers a representation of new identity of the main female character. The representation of a new identity is the way to show her conformity. The result of analysis reveals the main female character in G.I. Jane shows her conformity by changing her physical appearance. She does the conformity as her disagreement to patriarchal construction which eliminates the power of women and ignores the equality between women and men. Moreover, the result of analysis shows the conformity is a way to oppose dichotomy between women and men which tend to debilitate women’s power. The conformity is established by the interactions between the main female character and the supporting characters in the movie. By acknowledging he results of analysis, it can help to give a new thought of the ideaa of conformity. Conformity is not only a symbol of submission, but also a representation of power and domination resistance."
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan dan Budaya Universitas Indonesia, 2013
S43936
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Mariana
"Masalah seksualitas perempuan kerap kali jatuh pada ambiguitas. Pandangan yang meletakkan seks seks secara tidak adil pada perempuan ini memberikan legtimasi semu bahwa laki-laki sebagai pemilik hasrat, garah dan antuisiasme seks sedangkat perempuan hanya perangkat gairah itu sendiri. Seksualitas perempuan yang direpresentasikan dalam novel Saman dapat memberikan wacana seks yang bersudut pandang kehendak atau pengalaman peremuan yangs elama ini hanya dipegang kaum lelaki."
Depok: Program Pascasarjana Universitas Indonesia, 2004
T11985
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Soenarjati Djajanegara
Depok: Fakultas Sastra Universitas Indonesia, 1995
813.54 SOE c
Buku Teks SO  Universitas Indonesia Library
cover
Dessy Fransiska Wulansari
"Film The Stepford Wives ini menjelaskan tentang emansipasi wanita dari gerakan feminisme yang telah menimbulkan rasa takut bagi posisi kaum pria. Mengacu kepada pernyataan K. Trigiani, kaum pria adalah kaum maskulin yang bersifat dominan atas kaum wanita atau feminin. Dalam makalah ini juga digunakan teori dari C. Jewitt mengenai konsep maskulinitas wimp dan homoseksual. Secara spesifik, para pria yang ada di dalam film tersebut menganut kedua konsep dari C. Jewitt. Para pria tersebut digambarkan sebagai kaum yang tidak hanya merasa tersaingi oleh emansipasi wanita, melainkan harga diri mereka juga terancam. Oleh karena itu, para pria tersebut mencoba untuk merebut kembali maskulinitas mereka melalui tindak diskriminasi terhadap para wanita.

The film The Stepford Wives explains about women emancipation from feminism movement that has caused the feeling of afraid for the men’s position. Refering to K. Trigiani’s statement, men are categorized as a group of masculines that are dominant over women or feminines.This paper is analysed with Masculinity wimp and Homosexual theory by C. Jewitt. Specifically, men in the film belong to the categories based on the theory of C. Jewitt. The men are illustrated as a group of people who not only feel insecure by women emancipation, but also their self esteem are threatened. Therefore, men try to get their masculinity back through discrimination towards women."
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan dan Budaya Universitas Indonesia, 2013
MK-Pdf
UI - Makalah dan Kertas Kerja  Universitas Indonesia Library
cover
Wiwiek Wijanarti
Depok: Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, 1990
S2639
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Retno Lusi Anggari
"Perubahan dan paradox sudah menjadi ciri khas bangsa Amerika. Hal ini terjadi di berbagai aspek kehidupan baik dalam level individu, masyarakat, maupun pemerintah. Ketiganya merupakan sebuah kesatuan sistem yang saling terkait, sehingga perubahan di dalam salah satu variabel sistem tersebut akan merembet pada variabel lainnya. Peran dan identitas laki-laki merupakan satu titik dalam aspek sosial kebudayaan Amerika yang masuk dalam arus perubahan tersebut. Hal ini akan membawa pengaruh penting pada masyarakat karena keluarga merupakan lembaga yang berisikan nilai dan norma budaya yang membentuk nilai dan norma budaya kelompok ataupun lapisan sosial masyarakat tertentu secara keseluruhan.
Selama ini berbagai bahasan tentang jender lebih banyak fokus pada perempuan dan umumnya dari perspektif perempuan Dan sungguh merupakan sesuatu yang menarik ketika Mrs. Doubt Fire dan Junior menampilkan hal yang berbeda yakni permasalahan laki-laki dan dari sudut pandang laki-laki.
Tesis ini menunjukkan bahwa di era 1990an terjadi perubahan peran laki-laki dalam keluarga dari breadwinner menjadi caregiver. Perubahan peran ini disokong oleh perubahan identitasnya sebagai sensitive men dan involved father atau sebutan lain yang senada yang pada dasarnya mengangkat dan menekankan pada aspek kepekaan emosi sebagai karakter yang ideal di masa itu menggantikan aspek materiil. Faktor ekonomi dan liberasi perempuan ternyata menjadi penyebab dan pendorong perubahan peran laki-laki ini. Media massa, dalam hal ini film menampilkan stereotip laki-laki baru ini sebagai figur ideal era 1990an, namun perubahan ini terhambat oleh ambivalensi perempuan dan pemerintah yang bisa dilihat sebagai sebuah paradoks demokrasi Amerika.
Rangkaian dari perubahan ini adalah redefinisi "motherhood" yang menekankan pada aspek financial support, dan keluarga yang lebih fokus pada fungsi daripada bentuk.

Changes and paradox always go hand in hand. They are present in all three levels in society i.e. individual, community, and state. The relation of those three aspects then marks the American core values. Changes themselves do not stand-alone and are believed to generate further changes in related areas.
The prevalent phenomenon in the life of the American white, middle class men in 1990s was the degrading trend of the breadwinning role due to both economic as well as social factors. As a result, fathers entering the private sphere increase from time to time. Men's new role in domestic area is well supported by their newly defined identity as new men, sensitive men, involved father and the lie which put a greater emphasis on emotional rather than material aspect as the determining factor of happiness and success in life. Media, especially films, play the role as the "major socializing influence" which is also the case with Mrs. Doubt fire and Junior.
Despite the fact that more and more men have trudge into the domestic area, the problems remain. Ambivalence in the part of women and institution are the major cause. The push and pull over women's striving for equality and preserving their "motherhood" on one side, and the shift in the ruling power from conservatives to liberal represented by the Democratic party on the other one impede men's equality with women in the private sphere. Then, it can be said that ambivalence is a paradox to.
Finally, men's changing role requires a change in women's in the form of redefined motherhood. This time, women's new role will consider putting emphasis on financial support for the dependants. As for family, focus will be directed towards function than forms.
"
Depok: Program Pascasarjana Universitas Indonesia, 2003
T 11100
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
New Jersey: Prentice-Hall, 1981
305.3 MEN
Buku Teks SO  Universitas Indonesia Library
cover
Fatmariza
"Kebijakan Kembali ke Nagari di Sumatera Barat merupakan respon lokal terhadap reformasi di Indonesia setelah rezim otoritarian Soeharto (1966-1998). Kebijakan Kembali ke Nagari ini dalam aspek tertentu dapat dipandang sebagai legitimasi dan strukturisasi peran perempuan Minangkabau di ranah publik, terlepas dari dominannya laki-laki sepanjang proses perumusan kebijakan, dan penguatan adat yang membebani perempuan. Legitimasi ini secara struktural telah memperluas wilayah peran perempuan Minangkabau yang dahulunya hanya di wilayah domestik (kaum) menjadi wilayah publik (Nagari). Adat Minangkabau menetapkan bahwa perempuan mempunyai peran sentral di dalam kaumnya dengan kedudukan sebagai Bundo Kanduang. Peran sentral perempuan Minangkabau di dalam kaum tersebut dengan kembali ke nagari secara implicit juga mendapatkan penguatan kembali. Posisi penting Bundo Kanduang dalam struktur masyarakat minangkabau ini idealnya dapat menjadi modal dasar bagi perempuan Minang untuk masuk ke ranah publik. Sehubungan dengan itu Kembali ke Nagari dapat diartikan sebagai terbukanya ruang baru bagi peran dan partisipasi perempuan Minangkabau di Nagari terutama dalam bidang politik dan pemerintahan, di samping bidang-bidang lainnya seperti ekonomi, sosial dan budaya. Terbukanya ruang sosial baru bagi partisipasi dan reposisi perempuan di ranah nagari (publik) dalam realitasnya tidaklah mudah untuk diisi dan dimanfaatkan oleh perempuan Nagari. Selain karena faktor-faktor internal seperti: kapasitas perempuan, tokoh-tokoh perempuan, kesadaran perempuan. organisasi perempuan, keberhasilan perempuan dalam mengakses posisi-posisi strategis di nagari juga sangat tergantung kepada kultur dan keterbukaan elit laki-laki di nagari baik niniak mamak, alim ulama maupun cadiak pandai (elit adat, elit agama, cendikiawan) yang dalam cukup banyak kasus masih bias gender.

The policy of returning to Nagari (Kembali ke Nagari) in West Sumatera is a responsive local policy to reform in Indonesia in post-Soeharto`s authoritarian regime (1966-1998). This policy of Kembali ke Nagari in a certain aspect can be viewed to justify and to re-structure the role of Minangkabau women in public domain vis-à-vis the dominant roles of Minangkabau men in making decisions/policies and in reinforcing cultural values to village communities. The policy of Kembali ke Nagari has extended the roles of Minangkabau women as Bundo Kanduang (the clan`s chief), to Nagari leader (Wali Nagar/ sub-district leader) and other public roles. In other words, the policy of Kembali ke Nagari is a new opportunity to Minangkabau women to participate in politics, government and economy in the local level. But it is not easy for woman to participate and reposition in public area so that the openness of structure has not been utilized by Nagari organization and success of woman in assessing the strategic position in Nagari, is also depends on the culture and openness of elite man in Nagari such as the leader of tribe, the man of religion and experts who have the gender bias perspectiveness.
"
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2012
D1514
UI - Disertasi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Bunda Sri Sugiri
"Pada tanggal 22 Desember 1995, Presiden Republik Indonesia mencanangkan kemitrasejajaran wanita dan pria sebagai suatu Gerakan Nasional. Dikatakan bahwa: dengan kemitrasejajaran pria dan wanita yang harmonis, kita bangun bangsa Indonesia yang maju dan sejahtera lahir dan batin. Wanita sebagai warga negara mempunyai hak, kewajiban dan kesempatan yang sama dengan pria di segala bidang. Namun pada kenyataannya masih banyak ditemukan ketidak sejajaran antara wanita dan pria. Kemitrasejajaran pria dan wanita masih perlu disosialisasikan, dimulai dari keluarga sebagai pranata sosial terkecil sampai pranata yang terluas, yaitu masyarakat. Penelitian ini menitikberatkan pada relasi jender suami istri di dalam keluarga. Selain itu juga ingin diketahui faktor-faktor apa saja yang mempengaruhi seorang individu (informan) terhadap pandangan dan sikap serta prilakunya tentang kemitrasejajaran wanita dan pria. Untuk melihat apakah posisi suami istri setara dalam relasi perkawinannya, pembagian kerja di dalam rumah tangga dan proses pengambilan keputusan serta posisi tawar (bargaining position) istri dalam proses tersebut, menjadi perhatian dalam penelitian ini. Empat (4) orang informan dipilih dengan kriteria sudah menikah, dalam kelompok usia dewasa muda, dan mahasiswa Universitas Indonesia.
Untuk memahami informan dan dalam menganalisis temuan lapangan, dipakai teori Sistem Ekologi, teori Sistem Keluarga dan teori Belajar Sosial. Dari keempat informan, tampaknya pembagian kerja tidak terlalu kaku dalam pelaksanaannya, dalam artian sebagai suami istri pembagian kerja di dalam keluarga tidak lagi berdasarkan jender, tetapi berdasarkan kesepakatan dan melihat situasi serta kondisi pasangannya masing-masing. Sedang posisi tawar istri oleh keempat informan dirasakan setara, karena mereka diikut sertakan pada proses pengambilan keputusan, di dengar pendapatnya dan memutuskan segala hal di dalam keluarga bersama-sama. Mereka merasa di hargai walaupun tidak mempunyai penghasilan sendiri.
Keluarga orientasi, orang tua, pendidikan, media komunikasi dan pasangan hidup beserta keluarganya merupakan faktor yang mempengaruhi pandangan dan sikap informan terhadap konsep kemitrasejajaran. Konsep kemitrasejajaran pria dan wanita sebagai suami istri yang saling menghargai, saling membantu dengan menerima kelebihan dan kekurangan pasangannya masing-masing, sudah mulai diterima, dipahami dan diwujudkan, tetapi masih berada dalam proses transisi. Artinya masih dengan batasan-batasan tertentu, sesuai dengan tatanan keluarganya masing-masing."
Jakarta: Program Pascasarjana Universitas Indonesia, 1998
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Chung, Kumala Sari Dewi
Depok: Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, 1999
S2699
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>