Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 89461 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Harahap, Agnes Stephanie
"Latar belakang. Reseptor estrogen β (RE β) dapat berperan dalam progresi kanker payudara sesuai teori karsinogenesis multistep. Reseptor estrogen β berperan sebagai supresor tumor dan ekspresinya menurun seiring progresifitas tumor. Atypical ductal hyperplasia (ADH) adalah lesi proliferatif intraduktal payudara yang memiliki risiko 4-5 kali menjadi karsinoma payudara. Diperlukan penanda prediktif ADH yang dapat menjadi karsinoma atau tidak. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui penanda potensi ganas pada lesi ADH melalui ekspresi RE β.
Bahan dan cara. Penelitian menggunakan metode potong lintang, analitik dan deskriptif. Sampel terdiri atas 24 kasus ADH tanpa karsinoma dan 24 kasus ADH yang disertai karsinoma. Dilakukan pulasan RE β dan penilaian dilakukan menggunakan H score.
Hasil. H score RE β pada ADH yang disertai karsinoma lebih rendah secara bermakna dibandingkan ADH tanpa karsinoma (p 0,006). RE β dinyatakan tinggi bila H score ≥ 229,2.
Kesimpulan. REβ potensial dijadikan penanda prediktif ADH yang akan menjadi karsinoma.

Background. Estrogen receptor β (ER β) have a role in breast cancer progression through multistep carcinogenesis. ER β is a tumor supressor and its expression decreases during the tumor progression. Atypical ductal hyperplasia (ADH) is an intraductal proliferative lesion of the breast and has 4-5 times of a risk in becoming a carcinoma. The aim of this study is to obtain a marker that can predict malignant potential in ADH through expression of ER β.
Patients and methods. This is a descriptive-analytic cross-sectional study using 24 cases of ADH without carcinoma and 24 cases of ADH with carcinoma. Estrogen receptor β status were assessed by immunohistochemistry and the H score was calculated.
Results. Estrogen receptor β H score in ADH with carcinoma is significantly lower than ADH without carcinoma (p 0,006). ER β is catagorized as high if the H score ≥ 229,2.
Conclusion. ER β can potentialy be used as a malignant predictive marker in ADH.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2012
T33083
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Muhammad Mirwan
"Latar belakang. Hubungan antara hormon estrogen pramenopause dan reseptor estrogen masih belum diketahui. Hormon estrogen memiliki faktor risiko penyebab kanker payudara. Sedangkan reseptor estrogen berperan dalam menentukan rencana pengobatan lebih lanjut pada pasien kanker payudara. Pasien dengan reseptor estrogen tinggi memiliki prognosis yang lebih baik. Jika hormon estrogen pramenopause dapat mempengaruhi reseptor estrogen, maka hormon estrogen dapat dimanipulasi untuk mendapatkan prognosis yang lebih baik.
Metode. Penelitian ini dilaksanakan di Bagian Onkologi Departemen Bedah FK UI - RSCM dari bulan Desember 2021 sampai Mei 2022. Jenis penelitian ini adalah studi potong lintang, dengan sampel sebanyak 32 subjek. Subyek penelitian diambil berdasarkan kriteria inklusi dan eksklusi. Setelah itu data dikumpulkan dan dilakukan analisis menggunakan SPSS dengan uji korelasi Pearson jika berdistribusi normal dan Spearman jika berdistribusi tidak normal.
Hasil. Estradiol subjek memiliki kisaran 15,3-89,8 pg/mL. Reseptor estrogen memiliki kisaran luas 10-90%. Uji korelasi Spearman antara estradiol dan reseptor estrogen menunjukkan nilai p = 0,864 dan koefisien korelasi negatif 0,032.
Kesimpulan. Hormon estrogen secara statistik tidak berhubungan dengan reseptor estrogen pada pasien kanker payudara pramenopause, sehingga menggambarkan bahwa prognosis pasien kanker payudara tidak berhubungan dengan hormon estrogen yang diproduksi oleh tubuh.

Background. The relationship between the premenopausal estrogen hormone and estrogen receptors is still not known. The hormone estrogen has a risk factor for causing breast cancer. Meanwhile, the estrogen receptor plays a role in determining further treatment plans in breast cancer patients. Patients with high estrogen receptors have a better prognosis. If the premenopausal estrogen hormone can affect the estrogen receptor, then the estrogen hormone can be manipulated to get a better prognosis.
Method. This research was conducted at the Oncology Division of the Department of Surgery, FK UI - RSCM from December 2021 to May 2022. This was cross-sectional study research, with a sample of 32 subjects. Research subjects were taken based on inclusion and exclusion criteria. After that, the data was collected and analysis was done using SPSS with the Pearson correlation test if the distribution was normal and Spearman if the distribution was not normal.
Results. The estradiol of the subjects has a range of 15.3 − 89.8 pg/mL. Estrogen receptors ​​have a wide range of 10-90%. The Spearman correlation test between the estradiol and the estrogen receptor showed a p-value = 0.864 and a negative correlation coefficient of 0.032.
Conclusion. Estrogen hormone is not statistically associated with estrogen receptors in premenopausal breast cancer patients, thus illustrating that the prognosis of breast cancer patients is not related to the estrogen hormone produced by the body.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2022
SP-Pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
R. Mustarichie
"Abstrak
Based on data from the Hospital Information System (HIS) in 2007, breast cancer is the top ranked diagnosed cancer in Indonesia. Estrogen receptor alpha (ERα) is associated with breast cancer because it is found in high levels in cancer tissues. Curcumol, curcumenol, isocurcumenol of white tumeric rhizomes (Curcuma zedoaria (Christm.) Roscoe), and β-sitosterol from seeds of pumpkin (Cucurbita pepo L.) have been reported to have inhibitory activity against cancer cells. This study presents the in silico study of these compounds as inhibitors of ERα.
Methods: Docking simulations are carried out in this paper to visualize molecular-level interactions between the four compounds with ERα. Docking simulations between estradiol and tamoxifen on ERα are carried out as well.
Results: Docking results indicated that curcumol, curcumenol, isocurcumenol, and β-sitosterol showed inhibitory activity againts estrogen receptor alpha (ERα). The order of potency is shown consecutively by isocurcumenol, curcumol, curcumenol, and β-sitosterol with values 0.584 M, 1.36 M, 1.61 M, and 7.35 M respectively. Curcumenol and estradiol interacts with ERα through hydrogen bonds and hydrophobic interactions, whereas curcumol, isocurcumenol, β-sitosterol and tamoxifen through hydrophobic interactions in succession.
Conclusion: Natural products containing all four compounds have the potential to be used as drugs or adjuvant drugs in breast cancer therapy."
Jakarta: Faculty of Medicine Universitas Indonesia, 2014
610 UI- MJI 23:1 (2014) (2)
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
cover
Indah Widya Lestari
"ABSTRAK
Latar belakang: Enhancer of Zeste homolog 2 (EZH2) merupakan kelompok protein grup polycomb yang berperan penting dalam regulasi epigenetik dan berkaitan erat dengan tumorigenesis. EZH2 ekspresinya meningkat pada kanker payudara. Peningkatan ekspresi EZH2 dapat memprediksi peningkatan risiko keganasan. Columnar cell lesion (CCL) merupakan lesi proliferatif, sering ditemukan seiring dengan meningkatnya deteksi dini kanker payudara dengan mammografi. Lesi ini terbagi atas columnar cell change (CCC), columnar cell hyperplasia (CCH), flat epithelial atypia (FEA). CCL menjadi penting setelah dikaitkan dengan risiko menjadi karsinoma payudara, serta hubungannya dengan lesi jinak dan lesi ganas payudara lainnya. Penanda prediktif CCL dibutuhkan untuk memilah CCL yang berpotensi menjadi ganas, sehingga dapat digunakan untuk deteksi dini kanker payudara kelak. Bahan dan cara: Penelitian ini menggunakan metode potong lintang, deskriptif dan analitik. Sampel terdiri atas masing-masing 25 kasus CCL tanpa karsinoma dan CCL dengan karsinoma. Dilakukan pulasan EZH2 secara imunohistokimia dan penilaian dilakukan menggunakan H score dengan modifikasi oleh dua pengamat secara independen. Hasil: Hasil penilaian dua pengamat menyimpulkan nilai tidak ada perbedaan bermakna antar pengamat (p 0,655). Median H score EZH2 pada CCL tanpa karsinoma lebih tinggi secara bermakna (p 0,002) dibandingkan EZH2 dengan karsinoma, dinyatakan tinggi bila H score ≥ 100,16 (dengan sensitivitas 40,00). Kecenderungan sebaran median H score EZH2 didapatkan lebih tinggi pada FEA dengan nilai H score 119,03, diikuti CCH sebesar 103,63 dan CCC sebesar 100,07. Median H score EZH2 pada FEA tanpa karsinoma lebih tinggi (218,26) daripada CCL dengan karsinoma (101,53). Kesimpulan: Ekspresi EZH2 pada CCL tanpa karsinoma lebih tinggi dibandingkan CCL dengan karsinoma, terdapat kecenderungan ekspresi EZH2 yang lebih tinggi pada FEA dibandingkan CCH dan CCC pada semua kasus dan masing-masing kedua kelompok. Ekspresi EZH2 pada FEA tanpa karsinoma lebih tinggi dibandingkan FEA dengan karsinoma. EZH2 diduga berperan dalam karsinogenesis CCL yaitu terutama pada tahap transformasi.

ABSTRACT
Background: Enhancer of Zeste homolog 2 (EZH2) is a group of polycomb which has an important role in epigenetic regulation and is related to tumorigenesis. The expression of EZH2 is increasing in breast cancer. Overexpression of EZH2 can predict the risk of malignant. Columnar cell lesion (CCL) is a proliferatif lesion, and it is increasingly found with the increasing breast screening by mammography. This lesion divided consisted of columnar cell change (CCC), columnar cell hyperplasia (CCH), flat epithelial atypia (FEA). CCL become important related to the risk for carcinoma, and the relation with others benign lesion and maligna lesion. The predictive sign of CCL needed to assess CCL transformation become malignancy. Methods: This was cross sectional study. The sampling consisted of 25 CCL cases without carcinoma and 25 CCL cases with carcinoma. EZH2 immunostainning was assesed using H score by two independent observers. Result: The H score between two observers showed high concordance (p 0,655). Median EZH2 H score in CCL without carcinoma is significantly higher (p 0,002) than CCL with carcinoma, is high if H score ≥ 100,16 (with sensitivity 40,00). Inclination distribution of median H score EZH2 resulted higher in FEA with H score 119,03, followed by CCH 103,63 and CCC 100,07. Median EZH2 H score in FEA without carcinoma (218,26) higher than CCL with carcinoma (101,53). Conclusion: The expression of EZH2 in CCL without carcinoma is higher than CCL with carcinoma, and it shows higher tendency of EZH2 expression in FEA compared by CCH and CCC in all cases and in each group. The expression of EZH2 in FEA without carcinoma is higher than FEA with carcinoma. Hence EZH2 is predicted has a role in malignant transformation and the carcinogenesis of CCL."
2016
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Lisana Sidqi Aliya
"Latar Belakang: Sel punca kanker merupakan populasi sel minor yang memiliki kemampuan self-renewal dan proliferasi tak terbatas sehingga bersifat tumorigenik dan diduga berperan dalam penurunan sensitivitas terhadap berbagai terapi kanker. Tamoksifen merupakan terapi lini pertama pada kanker payudara ER positif namun penggunaan jangka panjangnya menimbulkan masalah resistensi. Beberapa faktor yang diduga berperan dalam penurunan sensitivitas sel terhadap Tamoksifen yakni modulasi pensinyalan estrogen melalui ER?66; dan ER?36 (yang diketahui memperantarai pensinyalan non-genomik), serta ekspresi transporter effluks seperti MRP2 yang berperan dalam penurunan kadar Tamoksifen intraseluler. Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis efek pemaparan Tamoksifen berulang pada sel punca kanker payudara CD24-/CD44+, dalam kaitannya mengenai sensitivitas terapi melalui perubahan ekspresi estrogen reseptor alfa dan transporter efluks MRP2.
Metode: Selpunca kanker payudara CD24-/CD44+ dipaparkan Tamoksifen 1 ?M selama 21 hari dengan DMSO sebagai kontrol negatif. Viabilitas sel setelah pemaparan Tamoksifen diuji dengan metode trypan blue exclusion. Sifat tumorigenik sel setelah pemaparan (CD24-/CD44+(T)) diuji dengan mammossphere formation assay dan dibandingkan dengan sel CD24-/CD44+(0) yang belum dipaparkan Tamoksifen. Ekspresi mRNA Oct4, c-Myc, ER?66, ER?36 dan MRP2 dianalisis dengan one step quantitative RT-PCR.
Hasil: Terjadi penurunan sensitivitas sel punca kanker payudara CD24-/CD44+(T) yang dipaparkan Tamoksifen selama 21 hari yang ditunjukkan dengan kenaikan viabilitas sel hingga 125,2%. Tamoksifen tidak dapat menekan sifat tumorigenik sel CD24-/CD44+(T) yang dibuktikan melalui jumlah mammosfer yang tidak berbeda bermakna dibandingkan dengan CD24-/CD44+(0). Penurunan sensitivitas sel CD24-/CD44+(T) juga dibuktikan melalui peningkatan ekspresi Oct4 dan c-Myc; keduanya merupakan petanda pluripotensi dan c-Myc juga dikenal sebagai petanda keganasan. Parameter penurunan sensitivitas seperti ER?66, ER?36 dan MRP2 juga menunjukkan peningkatan ekspresi pada hari ke-15 namun menurun kembali pada hari ke-21 yang menunjukkan adanya mekanisme regulasi lain yang mungkin terlibat dalam penurunan sensitivitas sel punca kanker payudara terhadap Tamoksifen.
Kesimpulan: Pemaparan Tamoksifen berulang dapat menurunkan sensitivitas sel punca kanker payudara CD24-/CD44+ melalui perubahan ekspresi estrogen reseptor alfa dan transporter efluks MRP2.

Background: Cancer stem cells are minor population of cells possessing self-renewal and unlimited proliferation abilities which support their tumorigenicity and role in decreased sensitivity to many cancer therapies. Tamoxifen is a first line therapy for breast cancer patients with positive ER status. Nonetheless, after 5 years of its long term use eventually leads to recurrence and resistance in 50% of patients receiving tamoxifen therapy. Among some factors that might play role in decreased sensitivity to tamoxifen are modulation of estrogen signaling through ER?66 and ER?36 (the latter known for its non-genomic estrogen signaling), and expression of efflux transporter such as MRP2 responsible for decreased intracellular tamoxifen level. The objective of this study is to analyze the effects of long term tamoxifen exposure toward decreased sensitivity of the breast cancer stem cells CD24-/CD44+ through changes in expression of estrogen receptor alpha and efflux transporter MRP2.
Methods: Breast cancer stem cells CD24-/CD44+ were exposed to 1 ?M tamoxifen for 21 days with DMSO as negative control. After exposure with 1 ?M tamoxifen, the cell viability were tested by the trypan blue exclusion method. Cell tumorigenicity of tamoxifen-exposed CD24-/CD44+(T) and CD24-/CD44+(0) (before treatment) were tested by the mammosphere formation assay. The expression of Oct4, c-Myc, ER?66, ER?36 andMRP2 mRNAs were analyzed by one step quantiative RT-PCR.
Results: A decreased sensitivity of the breast cancer stem cells CD24-/CD44+ exposed with 1 ?M tamoxifen for 21 days was observed as indicated by an increased cell viability up to 125.2%. In the presence of tamoxifen, breast cancer stem cells CD24-/CD44+(T) exhibited tumorigenic properties as indicated in no significant difference in the formation of mammosphere unit compared to those of CD24-/CD44+(0). After exposure with 1 ?M tamoxifen for 21 days, an elevated level of Oct4 and c-Myc expressions were observed; both are known as pluripotency markers and the latter also known as marker of aggresiveness. Parameters for a decreased sensitivity such as ER?66, ER?36 and MRP2 also exhibited an elevated expression after 15 days of exposure, but the decreased expression after 21 days of exposure suggests that there might be another mechanism involved in decreased sensitivity of the breast cancer stem cells toward tamoxifen.
Conclusion: Long term tamoxifen exposure may decrease the sensitivity of the breast cancer stem cells CD24-/CD44+ through changes in expression of estrogen receptor alpha and efflux transporter MRP2.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2014
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Lisana Sidqi Aliya
"Latar Belakang: Sel punca kanker merupakan populasi sel minor yang memiliki kemampuan self-renewal dan proliferasi tak terbatas sehingga bersifat tumorigenik dan diduga berperan dalam penurunan sensitivitas terhadap berbagai terapi kanker. Tamoksifen merupakan terapi lini pertama pada kanker payudara ER positif namun penggunaan jangka panjangnya menimbulkan masalah resistensi. Beberapa faktor yang diduga berperan dalam penurunan sensitivitas sel terhadap Tamoksifen yakni modulasi pensinyalan estrogen melalui ERα66; dan ERα36 (yang diketahui memperantarai pensinyalan non-genomik), serta ekspresi transporter effluks seperti MRP2 yang berperan dalam penurunan kadar Tamoksifen intraseluler. Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis efek pemaparan Tamoksifen berulang pada sel punca kanker payudara CD24-/CD44+, dalam kaitannya mengenai sensitivitas terapi melalui perubahan ekspresi estrogen reseptor alfa dan transporter efluks MRP2.
Metode: Selpunca kanker payudara CD24-/CD44+ dipaparkan Tamoksifen 1 μM selama 21 hari dengan DMSO sebagai kontrol negatif. Viabilitas sel setelah pemaparan Tamoksifen diuji dengan metode trypan blue exclusion. Sifat tumorigenik sel setelah pemaparan (CD24-/CD44+(T)) diuji dengan mammossphere formation assay dan dibandingkan dengan sel CD24-/CD44+(0) yang belum dipaparkan Tamoksifen. Ekspresi mRNA Oct4, c-Myc, ERα66, ERα36 dan MRP2 dianalisis dengan one step quantitative RT-PCR.
Hasil: Terjadi penurunan sensitivitas sel punca kanker payudara CD24-/CD44+(T) yang dipaparkan Tamoksifen selama 21 hari yang ditunjukkan dengan kenaikan viabilitas sel hingga 125,2%. Tamoksifen tidak dapat menekan sifat tumorigenik sel CD24-/CD44+(T) yang dibuktikan melalui jumlah mammosfer yang tidak berbeda bermakna dibandingkan dengan CD24-/CD44+(0). Penurunan sensitivitas sel CD24-/CD44+(T) juga dibuktikan melalui peningkatan ekspresi Oct4 dan c-Myc; keduanya merupakan petanda pluripotensi dan c-Myc juga dikenal sebagai petanda keganasan. Parameter penurunan sensitivitas seperti ERα66, ERα36 dan MRP2 juga menunjukkan peningkatan ekspresi pada hari ke-15 namun menurun kembali pada hari ke-21 yang menunjukkan adanya mekanisme regulasi lain yang mungkin terlibat dalam penurunan sensitivitas sel punca kanker payudara terhadap Tamoksifen.
Kesimpulan: Pemaparan Tamoksifen berulang dapat menurunkan sensitivitas sel punca kanker payudara CD24-/CD44+ melalui perubahan ekspresi estrogen reseptor alfa dan transporter efluks MRP2.

Background: Cancer stem cells are minor population of cells possessing self-renewal and unlimited proliferation abilities which support their tumorigenicity and role in decreased sensitivity to many cancer therapies. Tamoxifen is a first line therapy for breast cancer patients with positive ER status. Nonetheless, after 5 years of its long term use eventually leads to recurrence and resistance in 50% of patients receiving tamoxifen therapy. Among some factors that might play role in decreased sensitivity to tamoxifen are modulation of estrogen signaling through ERα66 and ERα36 (the latter known for its non-genomic estrogen signaling), and expression of efflux transporter such as MRP2 responsible for decreased intracellular tamoxifen level. The objective of this study is to analyze the effects of repeated tamoxifen exposure toward decreased sensitivity of the breast cancer stem cells CD24-/CD44+ through changes in expression of estrogen receptor alpha and efflux transporter MRP2.
Methods: Breast cancer stem cells CD24-/CD44+ were exposed to 1 μM tamoxifen for 21 days with DMSO as negative control. After exposure with 1 μM tamoxifen, the cell viability were tested by the trypan blue exclusion method. Cell tumorigenicity of tamoxifen-exposed CD24-/CD44+(T) and CD24-/CD44+(0) (before treatment) were tested by the mammosphere formation assay. The expression of Oct4, c-Myc, ERα66, ERα36 andMRP2 mRNAs were analyzed by one step quantiative RT-PCR.
Results: A decreased sensitivity of the breast cancer stem cells CD24-/CD44+ exposed with 1 μM tamoxifen for 21 days was observed as indicated by an increased cell viability up to 125.2%. In the presence of tamoxifen, breast cancer stem cells CD24-/CD44+(T) exhibited tumorigenic properties as indicated in no significant difference in the formation of mammosphere unit compared to those of CD24-/CD44+(0). After exposure with 1 μM tamoxifen for 21 days, an elevated level of Oct4 and c-Myc expressions were observed; both are known as pluripotency markers and the latter also known as marker of aggresiveness. Parameters for a decreased sensitivity such as ERα66, ERα36 and MRP2 also exhibited an elevated expression after 15 days of exposure, but the decreased expression after 21 days of exposure suggests that there might be another mechanism involved in decreased sensitivity of the breast cancer stem cells toward tamoxifen.
Conclusion: Repeated tamoxifen exposure may decrease the sensitivity of the breast cancer stem cells CD24-/CD44+ through changes in expression of estrogen receptor alpha and efflux transporter MRP2.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2014
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Putri Fatimatus Zahro
"Pendahuluan: Jenis perawatan untuk memperbaiki deformitas dentokraniofasial pada pasien yang masih di dalam fase tumbuh kembang berbeda dengan pasien usia dewasa. Estimasi usia skeletal telah dikembangkan untuk mendapatkan estimasi status pertumbuhan seseorang, namun masih bersifat rerata dan subjektif sehingga menimbulkan ketertarikan terhadap biomarker molekuler. Estradiol (E2) merupakan hormon yang berperan dalam proses maturasi saat akhir pertumbuhan manusia dengan cara menginduksi osifikasi pada lempeng pertumbuhan. Kartilago kondil mandibula mencit sebagai salah satu titik pusat pertumbuhan dentokraniofasial diteliti untuk dilihat ekspresi E2 sebagai kandidat biomarker. Tujuan: Menganalisis ekspresi biomarker E2 melalui estrogen reseptor alfa (ER) pada kondil mandibula di akhir masa pertumbuhan mencit jantan C57BL. Metode: Sampel penelitian merupakan spesimen kondil mencit C57BL jantan pada masa puncak pertumbuhan (usia 28 hari), awal dari akhir pertumbuhan (usia 56 hari), dan akhir pertumbuhan (usia 84 hari). Spesimen dilakukan dilakukan uji immunohistokimia untuk melihat ekspresi E2 melalui ER pada kondil mencit C57BL. Ekspresi ER kemudian dikuantifikasi menggunakan Image-J dan dilakukan uji statistik. Hasil: Tidak ditemukan ekspresi ER pada kelompok usia 28 hari. Ditemukan ekspresi positif lemah ER pada kelompok 56 hari dan 84 hari dengan ekspresinya semakin meningkat seiring bertambahnya usia. Terdapat perbedaan yang signifikan secara statistik mengenai ekspresi ER diantara ketiga kelompok usia mencit. Kesimpulan: ER dapat dijadikan kandidat biomarker untuk menilai periode puncak pertumbuhan kondil mandibula.

Introduction: The type of treatment to correct dentocraniofacial deformities in patients who are still in the growth and development phase is different from adult patients. Skeletal age estimation has been developed to estimate a person's growth status, but is still average and subjective, giving rise to interest in molecular biomarkers. Estradiol (E2) is a hormone that plays a role in the maturation process at the end of human growth by inducing ossification in the growth plate. The mandibular condylar cartilage of mice as one of the central points of dentocraniofacial growth was studied to see the expression of E2 as a candidate biomarker. Objective: To analyze the expression of the E2 biomarker through estrogen receptor alpha (ER) in the mandibular condyle at the end of the growth period of male C57BL mice. Methods: The research samples were condylar specimens of male C57BL mice at the peak growth period (28 days of age), the beginning of the end of growth (56 days of age), and the end of growth (84 days of age). Specimens were subjected to immunohistochemical testing to see the expression of E2 through ER in the condyles of C57BL mice. ER expression was then quantified using Image-J and statistical tests were carried out. Results: No ER expression was found in the 28 day age group. There was a weak positive expression of ER in the 56 day and 84 day groups with the expression increasing with age. It was found that there were statistically significant differences regarding ER expression between the three age groups of mice. Conclusion: ER can be used as a candidate biomarker to assess the peak period of mandibular condyle growth."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Indonesia, 2024
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Endang Sri Roostini Hardjolukito
"ABSTRAK
Sifat "hormone dependent" sebagian karsinoma .payudara telah lama dikenal; dan adanya reseptor hormon dalam sel karsinoma dihubungkan dengan sifat tersebut. Dari penelitian terdahulu terbukti bahwa penderita karsinoma payudara dengan reseptor estrogen (RE) positif 60% menunjukkan respons yang baik terhadap terapi hormonal, sedangkan dengan reseptor estrogen negatif keberhasilan terapi hanya mencapai 10%. Bila status reseptor tidak dibedakan, keberhasilan terapi hormonal hanya sampai 30%. Di samping itu " disease free interval" lebih lama pada tumor dengan reseptor positif. Status reseptor pada tumor primer juga berperan dalam menentukan respons terapi hormonal pada rekurensi/metastasis pada hart kemudian.
Teknik yang lazim dan banyak digunakan selama ini adalah pengukuran kuantitatif secara biokimia. Teknik ini pada prinsipnya menera reaktivitas reseptor terhadap molekul estrogen yang diberi label radioaktif pada ekstrak jaringan tumor. Kemudian dikembangkan teknik sitokimia/imunositokimia, baik dengan fluoresensi maupun peroksidase, yang dapat memeriksa reseptor langsung pada tingkat seluler. Pada teknik ini tidak dijumpai berbagai keterbatasan yang terdapat pada teknik biokimia, antara lain dapat diterapkan pada jaringan yang kecil (biopsi), visualisasi sel dapat dilakukan sehingga dapat mernbedakan positivitas pada sel tumor dan non tumor, dan sebaran positivitas pada sitoplasma atau inti dapat dinilai.
Kedua jenis teknik penetapan RE terbukti memberi kesesuaian hasil yang cukup besar, baik dalam hal positivitasnya maupun hubungannya dengan respons terhadap terapi hormonal.
Berbagai penelitian dengan teknik biokimia telah membuktikan adanya kaitan antara positivitas RE dengan berbagai aspek kliniko-patologik karsinoma payudara. Positivitas RE lebih banyak ditemukan pada tumor dengan diferensiasi baik, usia tua dan keadaan pasca menopause.
Namun demikian, dengan teknik yang sama, didapatkan kontroversi karena kaitan dengan derajat diferensiasi tidak selalu ditemukan. Di samping itu poly positivitas RE cukup bervariasi pada berbagai jenis histologik karsinoma payudara. Selama ini kaitan antara positivitas RE dengan berbagai aspek kliniko-patologik yang diperiksa dengan teknik imunositokimia belum banyak dilakukan.
Pada penelitian ini akan dilaporkan hasil penelitian yang bertujuan menilai kaitan antara positivitas RE dengan derajat diferensiasi tumor, jenis histologik dan status paid, yang diperiksa dengan teknik imunoperoksidase. Diharapkan hasil penelitian ini dapat menambah informasi yang lebih terinci pada tingkat seluler mengenai positivitas RE pada karsinoma payudara serta kaitannya dengan berbagai aspek yang diteliti."
1988
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
"Studies have been reported on the association between menopause and periodontal disease related to estrogen deficiency. Although the estrogen receptor has been demonstrated on some oral tissues, the presence of estrogen receptors on periodontal pockets has not been discussed. This study was conducted to determine the difference of estrogen receptor α and β on periodontal pockets between menopausal and reproductive women. The results showed that the estrogen receptors α and β were expressed on periodontal pockets. The immunoexpression of estrogen receptor α in periodontal pocket epithelium of menopausal women was higher than that of estrogen receptor β, similarly to the reproductive women, but there was no significant difference in the immunoexpression of estrogen receptors α and β between menopausal and reproductive women. We concluded that the influence of estrogen on the periodontal pockets is more via
estrogen receptor α both on menopausal and reproductive women."
[Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Jember, Journal of Dentistry Indonesia], 2008
pdf
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
cover
Budi Susanto Notosaputro
"ABSTRAK
Neoplasia endometrium dalam klinik muncul sebagai keluhan gangguan haid dalam berbagai bentuk. Keluhan ini merupakan kasus sehari-hari dalam klinik ginekologi. Diagnosis pasti, yang dapat berbentuk hiperplasia kistik, hiperplasia adenomatosa, hiperplasia atipik, atau adanokarsinoma berbagai derajat, hanya mungkin ditegakkan berdasarkan pemeriksaan histopatologik.
Dalam patogenesisnya, rangkaian jejas ini umumnya berkaitan erat dengan hormon estrogen. Kadar hormon estrogen yang tinggi dan berlangsung lama tanpa diimbangi oleh hormon progesteron akan menyebabkan berlangsungnya perangsangan yang terus menerus pada sel epitel kelenjar sehingga terjadi proliferasi yang berlebihan. Untuk dapat bekerja, hormon ini membutuhkan suatu protein spesifik dalam sel sasaran yang dikenal sebagai "reseptor". Pada dasarnya receptor mempunyai 2 fungsi utama yaitu 1) mengenal dan mengikat hormon estrogen, dan 2) mengantar hormon estrogen dari sitoplasma ke inti sel sehingga berlangsung respons sel yang spesifik. Dalam inti sel, kompleks reseptor-estrogen ini berikatan dengan bagian kromatin yang disebut "akseptor". Dengan berlangsungnya rangkaian ikatan ini, inti sel mulai membentuk mRNA yang dikeluarkan ke sitoplasma dan sel mulai membentuk protein spesifik yang pada akhirnya menghasilkan pembelahan sel.
Pengenalan terdapatnya reseptor estrogen ini bermanfaat dalam pengobatan maupun penentuan prognosis penderita. Suatu adenokarsinoma endometrium misalnya, bila memiliki cukup reseptor dapat diberikan pengobatan hormonal yang jauh lebih menguntungkan dari pada sitostatika. Demikian juga tumor demikian menunjukkan prognosis yang lebih baik.
Tujuan penelitian ini adalah untuk menilai manfaat pulasan imunoperoksidase dalam mengenal reseptor estrogen, sekaligus mempelajari pola distribusi dan intensitasnya dalam sel sasaran serta melihat hubungannya dengan jenis neoplasia. Diharapkan penelitian ini selanjutnya akan bermanfaat bagi ahli patologi anatomik, para ahli klinik yang menangani penderita, saerta bagi para peneliti sebagai dasar penelitian selanjutnya.
Dalam penelitian ini diperiksa sejumlah 36 kasus, 5 (=13,9%) di antaranya terdiri atas adenokarsinoma endometrium berdiferensiasi baik. Jumlah kasus ini lebih kurang sebanding dengan jumlah kasus yang telah didiagnosis sebagai neoplasia endometrium di Bagian Patologi Anatomik FKUI selama 7 tahun {1980--1986) yaitu sebanyak 1240 kasus, di antaranya 186 (=15%) kasus adalah karsinoma.
Diperiksa pula 10 sediaan endometrium normal masa proliferasi den sekresi dan 2 sediaan endometrium dalam gangguan keseimbangan horman. Diagnosis histopatologik ditegakkan berdasarkan hasil pulasan rutin hematoksilineosin. Untuk mengenal reseptor estrogen dipergunakan pulasan imunoperoksidase dengan memakai antibodi anti-estradiol, dikerjakan pada jaringan yang telah difiksasi dan dibuat blok parafin. Hasil pulasan umumnya memuaskan karena 1) antibodi yang digunakan memiliki spesifisitas yang cukup tinggi, 2) kromogen memberikan warna merah-coklat yang kontras terhadap latar belakang yang kebiruan, dan 3) pulasan tending dengan hematoksilin Mayer tidak menghalangi pembacaan warna kromogen. Spesifisitas pulasan dikontrol dengan sediaan yang sama tetapi tidak diberikan antibodi anti-estradiol, melainkan diberikan serum non-imun. Pulasan non-spesifik berlangsung juga pada jaringan ikat kolagen den sel granulosit, namun secara morfologik mudah dibedakan dari sel epitel kelenjar.
Pembacaan dilakukan.dengan pembesaran 450 kali pada 10 lapangan, hanya sel epitel kelenjar yang dinilai serta dirinci atas inti dan sitoplasma. Dilakukan pengukuran semikuantitatif atas distribusi reseptor estrogen maupun intensitas pulasannya.
Peniiaian distribusi reseptor estrogen dinyatakan dalam % positif polpulasi sel kelenjar. Jumlah nilai yang diperoleh dikonversikan dalam bentuk derajat distribusi, dinyatakan dalan derajat 1 {20 - 40% positif) sampai dengan derajat 3 ' (> 60% positif) dan basil yang negatif (< 20% positif).Penilaian intensitas pulasan dirinci atas +, ++, dan +++ berdasarkan kepadatan granula yang terpulas.
Pada endometrium normal, sebaran reseptor estrogen dalam inti sel kelenjar memperlihatkan keterkaitan dengan periode siklus haid. Derajat terendah didapatkan pada masa proliferasi awal, menoapai nilai tertinggi dalam masa proliferasi lanjut, menetap selama masa sekresi awal, kemudian menurun menoapai nilai minimal dalam masa sekresi lanjut.
Guna melihat hubungan antara status reseptor dengan derajat perubahan histopatologik, dilakukan pengujian statistik menurut Kendall dengan 2 variabel kategori berderajat. Bila didapatkan hubungan bermakna, kemaknaan hubungan itu ditentukan dengan menggunakan koefisien kemaknaan dari Kendall pula.
Analisis status reseptor dalam hubungannya dengan perubahan histopatologik dari normal hingga karsinoma tidak menunjukkan hubungan yang bermakna. Sebaran reseptor estrogen dalam inti sel kelenjar yang mencapai derajat III didapatkan pada 40% kasus dari kelompok endometrium normal, namun hanya 11,11% kasus dari kelompok neoplasia. Rendahnya jumlah kasus dalam kelompok yang terakhir ini menunjukkan perbedaan perilaku biologik antara kedua kelompok. Selanjutnya dari kelompok neoplasia dilakukan analisis tersendiri.
Hasil pengujian yang diperoleh menunjukkan bahwa distribusi reseptor dalam inti sel kelenjar mempunyai hubungan yang bermakna dengan jenis neoplasia (0,001 < p < 0,01; r = 0,29). Makin keras neoplasia, makin luas sebaran reseptor 'estrogen dalam inti sel kelenjar. Meskipun demikian, beberapa kasus menunjukkan sebaran yang menyimpang dari pola umum.
Distribusi reseptor estrogen dalam sitoplasma sel kelenjar maupun intensitasnya dalam inti dan sitoplasma tidak menunjukkan hubungan bermakna dengan jenis neoplasia.
"
1987
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>