Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 80431 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Sinaga, Risma Margaretha
"Penelitian ini berangkat dari marginalisasi ulun Lampung. Sebagai etnik lokal, mereka kurang dihargai oleh pendatang. Di ranah eksternal, ulun Lampung mendapat stigma, karena berbagai tindakannya sering di luar konteks Piil Pesenggiri. Pada dasarnya, Piil Pesenggiri berhubungan dengan makna positif seperti keramahtamahan terhadap tamu, menjunjung martabat dan harga diri, namun sebaliknya yang tampil adalah kekerasan, malas, arogan dan tindakan lainnya yang dalam pandangan pendatang diasosiasikan dengan Piil Pesenggiri. Penelitian ini bertujuan menjelaskan strategi ulun Lampung dalam merevitalisasi nilai Piil Pesenggiri sebagai modal budaya dalam mempertahankan identitasnya dan kesetaraan dengan pendatang.
Saat ini, mereka merevitalisasi kembali Piil Pesenggiri menjadi modal dan strategi untuk keluar dari dominasi pendatang dan mengubah stigma yang dilekatkan kepada mereka. Ulun Lampung menguatkan kesadaran kolektif untuk sejajar dengan pendatang melalui revitalisasi dan reartikulasi Piil Pesenggiri sebagai representasi identitas. Penelitian ini juga menemukan, bahwa reproduksi Piil Pesenggiri adalah bentuk resistensi terhadap ketidaksetaraan dengan pendatang, juga upaya ulun Lampung untuk diakui dan dihargai sebagai etnis lokal. Salah satu contoh adalah dengan menggelar begawi adok, yaitu ritual pemberian gelar kehormatan kepada orang luar (pendatang) sebagai tanda hubungan persaudaraan atau sebagai pertukaran.

This study begins from the marginalization of ulun Lampung. As a local ethnic group, they areunder-appreciated by outsiders or migrants coming to Lampung. In the external domain, ulun Lampung are stigmatized, because their actions are of ten not in line with Piil Pesenggiri context. Basically, Piil Pesenggiri is associated with positive characteristics such as such hospitality towards guests, keeping the dignity and self-esteem, but ulun Lampung appear to display violence, laziness, arrogance and other attitudes which are viewed by migrants to be associated with Piil Pesenggiri. This study aims to explain the strategy to revitalize PiilPesenggiri values of ulun Lampung as cultural capital in maintaining their identity and equality with the migrants.
Currently, they are reviving Piil Pesenggiriinto capital and an exit strategy against the domination of the migrant sand are changing the stigma which has been attached to them. Ulun Lampung streng then their collective consciousness to stand at an equal position as the migrants through revitalization and re-articulation of Piil Pesenggirias the representations of their identity. The study also found that reproduction of Piil Pesenggiriis a form of resistance against inequality with the migrants and the effort of ulun Lampung to be recognized and appreciated as a local ethnic group. One example is they hold begawi adok, aritual of awarding an honorary degreeto outsiders (immigrants) as a sign of brotherhood or as an exchange."
Depok: Universitas Indonesia, 2013
D-Pdf
UI - Disertasi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Sulistyowati Irianto
"Etnifikasi atau proses peminggiran penduduk lokal sebagai akibat migrasi di Lampung menyebabkan ulun Lampung menjadi minoritas di tengah-tengah heterogenitas budaya pendatang. Dalam menghadapi marjinalisasi ini, mereka membangkitkan tradisi (invensi tradisi) dalam rangka memperkuat kesadaran kolektif melalui pemaknaan piil pesenggiri (harga diri) yang direproduksi dan diartikulasikan sebagai representasi identitas. Penelitian ini bertujuan menjelaskan pemaknaan piil pesenggiri sebagai kedayatahanan identitas ulun Lampung yang mereposisi identitasnya, terkait dengan bagaimana piil pesenggiri diolah sebagai modal budaya dan strategi budaya di dunia sosial mereka. Sebagai penelitian kualitatif, data diperoleh melalui wawancara mendalam dengan sejumlah informan untuk mendapatkan gambaran lengkap tentang piil pesenggiri berdasarkan pengalaman dalam dunia sosial yang dijalaninya.
Temuan penelitian ini, bahwa rekonstruksi identitas ulun Lampung tidak terlepas dari perkembangan dinamika politik dan budaya dalam ruang dan waktu. Produksi dan reproduksi piil pesenggiri sebagai invensi tradisi, yang diolah menjadi modal budaya dan strategi identitas merupakan resi stensi terhadap pendatang sebagai reteritorialisasi dan identifikasi diri. Mengubah stigma negatif piil pesenggiri yang selama ini dijadikan "perisai budaya" dalam berbagai tindakannya adalah konstruksi ulun Lampung dengan citra baru melalui pendidikan, simbol budaya maupun jalur politik, merupakan proses untuk diakui identitasnya dalam struktur sosial. Reproduksi piil pesenggiri menunjukkan piil sebagai identitas bukan produk yang statis tetapi kontekstual dan tidak dapat dipisahkan dari habitus ulun Lampung.

Etnifikasi or marginalize the local ethnic as result of migration process in Lampung has cause ulun Lampung?s to became a minority amidst of the cultural heterogeneity immigrants. In response to this marginalization, they re-invented tradition in order to strengthen their collective consciousness through the meaning of piil pesenggiri (self esteem) that's reproduced and articulated as a representation of identity. The study aims to explain how the meaning piil pesenggiri has been reproduced in the repositioning of ulun lampung's cultural identity, related to how ulun lampung interpret piil pesenggiri as a cultural capital and strategy cultural. The data were obtained through in-depth interviews from a number of informants to obtain a comprehensive description of piil pesenggiri based on their experiences in the social world.
The results showed that the reconstruction of Lampung ulun identity is inseparable from the development of the political and cultural dynamics in space and time. The production and reproduction of piil pesenggiri as an invention is processed to serve a cultural capital and identity strategy on the social structure vis-a-vis migrants can be viewed as a reteritorialization of identity. Changing the negative stigma that has piil pesenggiri used as cultural "shields" manifested in the various actions is the construction of ulun lampung with a new image through field of education, cultural symbols, or political field, and a process for gaining recognition in terms of their existence identity in the social structure. The reproduction of piil pesenggiri in social structure Lampung society shows that piil is not a static entity but an ever-changing one and it is inseparable from the ulun Lampung?s habitus.
"
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2011
AJ-Pdf
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
cover
Sinaga, Risma Margaretha
"This research is based on the mindset that any of heterogeneous in a society, they still could be identified based on the values or symbols that referred to them as an ethnic groups. The problem in this research comes from seeing the issues of Lampung ethnic as an experienced local ethnic domination that increasingly being desperate in their own cultural environment. Ambiguity and vagueness of identity as a local ethnic also reinforced by the attitude of immigrants towards them that affect the relationship between them and if it still left unchecked can potentially lead to conflict. This ethnography research aims to reveal how Lampung ethnic establish their existence of identity through cultural values of Piil Pesenggiri, which upholds the dignity contextually as Lampung identity which carried out in their actions as a strategy of contestation in the immigrant communities. The emergence of a awareness of their identity, reviving Piil Pesenggiri uphold the values of honour in local wisdom become a strategy and a capital that being used when they are dialing with immigrants. In their actualization, the reproduction of Piil Pesenggri still being based on its own basic values such as Pesenggiri, nemui nyimah, nengah nyappor, juluk adok, dan sakai sambayan. Contextually, Piil Pesenggiri become a strategy to manifested their existence as Lampung ethnic and it also used to change the stereotype that immigrants pinned to them with a new value such as (a) changing the work ethic that has been known so low that they are often associated with lazy, less ductile, weak competitiveness, and human resources are still limited; (b) are not stuck with the romance of the past as a landlord; (c) re-interpretation of the titles of nobility (juluk buadek) which has been become the pride and purpose to be achieved in the internal structure so that could be received in the external structure; (d) Piil Pesenggiri become an ethnic identity and politics identity. Piil Pesenggiri is a way of life how ethnic Lampung have to act and behave. For them, Piil Pesenggiri is an identity or reflects the identity so that their existence is recognized and valued in relation to immigrants. In order to confirm their identity as Lampung ethnics, then the actions and strategies they are doing is building a network through the structure of society, also using the idiom of kinship as a strategy to deal with the migrants so that their existence as an ethnic Lampung still got appreciation in accordance with the values of honour that contained in Piil Pesenggiri."
2012
PDF
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
cover
Sulistyowati Irianto
"Etnifikasi atau proses peminggiran penduduk lokal sebagai akibat migrasi di Lampung menyebabkan ulun Lampung
menjadi minoritas di tengah-tengah heterogenitas budaya pendatang. Dalam menghadapi marjinalisasi ini, mereka
membangkitkan tradisi (invensi tradisi) dalam rangka memperkuat kesadaran kolektif melalui pemaknaan piil
pesenggiri (harga diri) yang direproduksi dan diartikulasikan sebagai representasi identitas. Penelitian ini bertujuan
menjelaskan pemaknaan piil pesenggiri sebagai kedayatahanan identitas ulun Lampung yang mereposisi identitasnya,
terkait dengan bagaimana piil pesenggiri diolah sebagai modal budaya dan strategi budaya di dunia sosial mereka.
Sebagai penelitian kualitatif, data diperoleh melalui wawancara mendalam dengan sejumlah informan untuk
mendapatkan gambaran lengkap tentang piil pesenggiri berdasarkan pengalaman dalam dunia sosial yang dijalaninya.
Temuan penelitian ini, bahwa rekonstruksi identitas ulun Lampung tidak terlepas dari perkembangan dinamika politik
dan budaya dalam ruang dan waktu. Produksi dan reproduksi piil pesenggiri sebagai invensi tradisi, yang diolah
menjadi modal budaya dan strategi identitas merupakan resistensi terhadap pendatang sebagai reteritorialisasi dan
identifikasi diri. Mengubah stigma negatif piil pesenggiri yang selama ini dijadikan "perisai budaya" dalam berbagai
tindakannya adalah konstruksi ulun Lampung dengan citra baru melalui pendidikan, simbol budaya maupun jalur
politik, merupakan proses untuk diakui identitasnya dalam struktur sosial. Reproduksi piil pesenggiri menunjukkan piil
sebagai identitas bukan produk yang statis tetapi kontekstual dan tidak dapat dipisahkan dari habitus ulun Lampung.
Etnifikasi or marginalize the local ethnic as result of migration process in Lampung has caused ulun Lampung?s to
became a minority amidst of the cultural heterogeneity immigrants. In response to this marginalization, they re-invented
tradition in order to strengthen their collective consciousness through the meaning of piil pesenggiri (self esteem) that's
reproduced and articulated as a representation of identity. The study aims to explain how the meaning piil pesenggiri
has been reproduced in the repositioning of ulun lampung's cultural identity, related to how ulun lampung interpret piil
pesenggiri as a cultural capital and strategy cultural. The data were obtained through in-depth interviews from a number
of informants to obtain a comprehensive description of piil pesenggiri based on their experiences in the social world.
The results showed that the reconstruction of Lampung ulun identity is inseparable from the development of the
political and cultural dynamics in space and time. The production and reproduction of piil pesenggiri as an invention is
processed to serve a cultural capital and identity strategy on the social structure vis-a-vis migrants can be viewed as a
reteritorialization of identity. Changing the negative stigma that has piil pesenggiri used as cultural "shields" manifested
in the various actions is the construction of ulun lampung with a new image through field of education, cultural
symbols, or political field, and a process for gaining recognition in terms of their existence identity in the social
structure. The reproduction of piil pesenggiri in social structure Lampung society shows that piil is not a static entity
but an ever-changing one and it is inseparable from the ulun Lampung?s habitus."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2011
AJ-Pdf
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
cover
Fachruddin, researcher
Lampung : Kanwil Depdikbud Propinsi Lampung , 1996
390 FAC f
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
cover
Sulistyowati Irianto
"Etnifikasi atau proses peminggiran penduduk lokal sebagai akibat migrasi di Lampung menyebabkan ulun Lampung menjadi minoritas di tengah-tengah heterogenitas budaya pendatang. Dalam menghadapi marjinalisasi ini, mereka membangkitkan tradisi (invensi tradisi) dalam rangka memperkuat kesadaran kolektif melalui pemaknaan piil pesenggiri (harga diri) yang direproduksi dan diartikulasikan sebagai representasi identitas. Penelitian ini bertujuan menjelaskan pemaknaan piil pesenggiri sebagai kedayatahanan identitas ulun Lampung yang mereposisi identitasnya, terkait dengan bagaimana piil pesenggiri diolah sebagai modal budaya dan strategi budaya di dunia sosial mereka. Sebagai penelitian kualitatif, data diperoleh melalui wawancara mendalam dengan sejumlah informan untuk mendapatkan gambaran lengkap tentang piil pesenggiri berdasarkan pengalaman dalam dunia sosial yang dijalaninya. Temuan penelitian ini, bahwa rekonstruksi identitas ulun Lampung tidak terlepas dari perkembangan dinamika politik dan budaya dalam ruang dan waktu. Produksi dan reproduksi piil pesenggiri sebagai invensi tradisi, yang diolah menjadi modal budaya dan strategi identitas merupakan resistensi terhadap pendatang sebagai reteritorialisasi dan identifikasi diri. Mengubah stigma negatif piil pesenggiri yang selama ini dijadikan "perisai budaya" dalam berbagai tindakannya adalah konstruksi ulun Lampung dengan citra baru melalui pendidikan, simbol budaya maupun jalur politik, merupakan proses untuk diakui identitasnya dalam struktur sosial. Reproduksi piil pesenggiri menunjukkan piil sebagai identitas bukan produk yang statis tetapi kontekstual dan tidak dapat dipisahkan dari habitus ulun Lampung.

Etnifikasi or marginalize the local ethnic as result of migration process in Lampung has caused ulun Lampung?s to became a minority amidst of the cultural heterogeneity immigrants. In response to this marginalization, they re-invented tradition in order to strengthen their collective consciousness through the meaning of piil pesenggiri (self esteem) that's reproduced and articulated as a representation of identity. The study aims to explain how the meaning piil pesenggiri has been reproduced in the repositioning of ulun lampung's cultural identity, related to how ulun lampung interpret piil pesenggiri as a cultural capital and strategy cultural. The data were obtained through in-depth interviews from a number of informants to obtain a comprehensive description of piil pesenggiri based on their experiences in the social world. The results showed that the reconstruction of Lampung ulun identity is inseparable from the development of the political and cultural dynamics in space and time. The production and reproduction of piil pesenggiri as an invention is processed to serve a cultural capital and identity strategy on the social structure vis-a-vis migrants can be viewed as a reteritorialization of identity. Changing the negative stigma that has piil pesenggiri used as cultural "shields" manifested in the various actions is the construction of ulun lampung with a new image through field of education, cultural symbols, or political field, and a process for gaining recognition in terms of their existence identity in the social structure. The reproduction of piil pesenggiri in social structure Lampung society shows that piil is not a static entity but an ever-changing one and it is inseparable from the ulun Lampung?s habitus."
Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2011
pdf
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
cover
Dewi Damayanti
"Hidup sebagai perempuan single parent dengan HIV positif memunculkan beragam stigma dimasyarakat. Penelitian ini bertujuan untuk memperoleh gambaran stigma pada perempuan single parent dengan HIV positif. Penelitian ini merupakan penelitian kualitatif deskriftif dengan pendekatan konten analisis. Tehnik pengambilan data dilakukan dengan wawancara mendalam yang dilakukan pada 13 partisipan. Tehnik sampling yang digunakan purposive sampling. Data dianalisis dengan tehnik analisis konten konvensional.
Hasil penelitian membentuk 5 tema yaitu:1) mengalami stigma internal, 2) mengalami stigma eksternal dan diskriminasi, 3) memiliki anak sebagai motivator hidup tertinggi, 4) mengalami kelelahan fisik berlebih, 5) mengalami masalah dalam memulai interaksi dengan calon pasangan hidup baru.
Kesimpulan penelitian ini adalah perempuan single parent mengalami stigma ganda dengan status sebagai single parent dan HIV positif. Pada penelitian ini direkomendasikan bahwa perempuan single parent dengan HIV membutuhkan dukungan yang lebih, dibandingkan perempuan HIV yang lain, oleh karena double stigma yang mereka emban.

Life as a single parent women with HIV positive experienced various stigma in community. This study aimed to obtain a picture stigma felt by single parent women with HIV-positive. This study used qualitative methods with the content analysis approach. The participants ware recruited with purposive sampling. In depth interviews conducted with 13 participants, single parent woman with HIV positive in Bandar Lampung city Lampung province. Data were analyzed by conventional content analysis techniques.
Finding showed five themes, as follows : 1) having an internal stigma, 2) having external stigma and discrimination, 3) having children as a highest life motivator, 4) excessive physical fatigue, 5) having problems in getting started interaction with prospective new life partner.
The finding highlight that single parent women experience double stigma , due in their status as HIV positive and as single parent. The present study suggest that single parent women need more support stsyems, compared with women living with HIV another, because of the double stigma they have.
"
Depok: Fakultas Ilmu Keperawatan Universitas Indonesia, 2016
T46306
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Gagah Putra Ibrahim
"Tulisan ini membahas tentang bagaimana stigma dapat memberikan dampak yang signifikan terhadap suatu kelompok masyarakat. Tulisan ini menjelaskan bagaimana stigma pada daerah asal pelaku kejahatan dapat mempengaruhi kehidupan masyarakat yang berasal dari daerah tersebut. Kasus dalam Tulisan ini adalah dampak  stigma ‘Kampung Begal’ di Desa Jabung terhadap masyarakat yang beridentitas daerah tersebut. Peneliti menggunakan metode penelitian kualitatif dengan melakukan wawancara dengan sembilan narasumber yang berasal dari dalam Desa Jabung maupun dari luar desa untuk mencari data tentang faktor-faktor apa saja yang dapat menimbulkan stigma ‘Kampung Begal’ di Desa Jabung dan apa saja dampak-dampak dari stigma ‘Kampung Begal’ di Desa Jabung terhadap masyarakat yang berasal dari daerah tersebut. Melalui data-data yang telah ditemukan, peneliti menganalisisnya dengan mengaitkannya dengan teori stigma oleh Erving Goffman dan teori moral panics oleh Stanley Cohen. Melalui analisis, penelitian berhasil menghasilkan beberapa argumen yang menjelaskan bagaimana stigma ‘Kampung Begal’ dapat berdampak pada masyarakat yang berasal dari Desa Jabung. Stigma ‘Kampung Begal’ secara garis besar berdampak besar pada kesejahteraan individu dan kelompok yang berasal dari Desa Jabung, sebagai contoh secara individu,  stigma ini dapat individu dari Desa Jabung kesulitan.

This thesis discusses how stigma can have a significant impact on a group of people. This thesis explains how stigma in the area where criminals originate can affect the lives of people from that area. The case in this thesis is the impact of the stigma of 'Kampung Begal' in Jabung Village on people with an identity in that area. Researchers used qualitative research methods by conducting interviews with nine sources from inside the village and outside the village to look for data about what factors can give rise to the stigma of 'Kampung Begal' in Jabung Village and what impacts the stigma of 'Kampung Begal' in Jabung Village has on the people who come from from that area. Through the data that has been found, the researcher analyzes it by linking it to the theory of stigma by Erving Goffman and the theory of moral panics by Stanley Cohen. Through analysis, the research succeeded in producing several arguments that explain how the stigma of 'Kampung Begal' can have an impact on people from Jabung Village. The stigma of 'Kampung Begal' generally has an impact on the welfare of individuals and groups from Jabung Village."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2024
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Simanjuntak, Natanael Martua Parningotan
"Pasar Seni Ancol adalah ruang seni dan budaya Jakarta yang dalam beberapa dekade terakhir mengalami degradasi akibat penurunan jumlah pengunjung dan seniman. Penurunan ini menunjukkan kebutuhan revitalisasi untuk mengembalikan fungsi dan daya tariknya sebagai ruang seni dan budaya perkotaan melalui strategi regenerasi perkotaan. Penelitian ini menggunakan metodologi kualitatif dengan pendekatan studi kasus. Data dikumpulkan melalui wawancara semi-terstruktur dengan komunitas seniman, pengelola Pasar Seni Ancol, dan Pemerintah. Temuan penelitian mengungkapkan bahwa Pasar Seni Ancol menghadapi minimnya visibilitas seniman dan karya seni mereka. Situasi ini diperburuk oleh hubungan sosial yang kurang harmonis antara pengelola dan komunitas seniman. Selain itu, pengelolaan Pasar Seni Ancol kurang adaptif terhadap perubahan preferensi seni di era digital. Diversifikasi dan valuasi karya seni juga tidak selaras dengan karakteristik demografi pengunjung. Penelitian ini merekomendasikan strategi revitalisasi Pasar Seni Ancol sebagai ruang seni dan budaya perkotaan yaitu pembukaan akses tanpa biaya masuk bagi publik untuk meningkatkan visibilitas serta restrukturisasi manajemen pengelola yang lebih profesional dan adaptif. Transformasi manajemen pengelolaan juga diusulkan untuk beradaptasi dengan preferensi seni dan budaya di era digital. Diversifikasi karya seni dan valuasi karya direkomendasikan untuk memenuhi preferensi dan kemampuan finansial demografi pengunjung yang beragam.

Pasar Seni Ancol, a significant art and cultural space in Jakarta, has experienced degradation over the past decades due to a decline in visitor numbers and artist engagement. This decline highlights the urgent need for revitalization to restore its function and appeal as an urban art and cultural hub through urban regeneration strategies. This study employs a qualitative methodology using a case study approach. Data were collected through semi-structured interviews with the artist community, Pasar Seni Ancol management, and government representatives.The findings reveal that Pasar Seni Ancol faces a lack of visibility for its artists and their works, compounded by strained social relations between management and the artist community. Additionally, its management has been inadequately responsive to evolving artistic preferences in the digital era. The absence of diversified and appropriately valued artworks further undermines its attractiveness to its visitor demographics. This study recommends several revitalization strategies for Pasar Seni Ancol, including opening public access free of charge to enhance visibility and restructuring management to be more professional and adaptive. Transforming management practices is also suggested to align with changing artistic and cultural preferences in the digital age. Diversifying art offerings and adjusting valuations are further recommended to cater to the diverse preferences and financial capacities of its visitor base, enabling Pasar Seni Ancol to reclaim its relevance as a dynamic and inclusive urban art and cultural space."
Jakarta: Sekolah Kajian Stratejik dan Global Universitas Indonesia, 2024
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Dwi Suratmini
"Prevalensi penyalahgunaan NAPZA yang terus meningkat merupakan ancaman bagi kesehatan masyarakat terutama populasi remaja. Salah satu dampak penyalahgunaan NAPZA adalah munculnya stigma diri. Stigma diri dapat menyebabkan krisis identitas yang menganggu pencapaian tugas perkembangan remaja. Tujuan penelitian ini adalah mendapatkan gambaran secara mendalam tentang pengalaman remaja penyalahguna NAPZA dalam menghadapi stigma diri (self stigma). Penelitian ini menggunakan pendekatan fenomenologi deskriptif dengan metode wawancara mendalam. Partisipan berjumlah 11 orang dari BNN Lido Jawa Barat, LPKA DKI Jakarta, dan Yayasan Al-Islamy DI Yogyakarta yang ditentukan melalui teknik purposive sampling. Hasil wawancara dianalisis menggunakan teknik Collaizi. Penelitian ini menghasilkan 5 tema, yaitu internalisasi stigma diri remaja penyalahguna NAPZA, upaya optimal remaja penyalahguna NAPZA dalam menghadapi stigma diri, keresahan remaja penyalahguna NAPZA untuk keluar dari stigma diri, perubahan positif stigma diri remaja penyalahguna NAPZA pasca memulai rehabilitasi, dan harapan remaja penyalahguna NAPZA kepada diri dan lingkungan sekitar untuk mengatasi stigma diri. Stigma diri pada remaja penyalahguna NAPZA merupakan suatu hal yang kompleks. Diperlukan upaya penanganan komprehensif yang melibatkan peran aktif perawat dan sistem pendukung untuk membantu remaja penyalahguna NAPZA menghadapi stigma diri.

The increased prevalence of drug abuse was a threat to public health, especially for adolescent population. One of the effects of drug abuse was the emergence of self-stigma. Self-stigma can leaded to an crisis of identity that interferes with the achievement of youth development tasks. The purpose of this study was to obtained an in-depth description of the experiences of adolescent drug abusers in dealed with self-stigma. This study used a descriptive phenomenology approached with in-depth interviews. There were 11 participants from BNN Lido Jawa Barat, LPKA DKI Jakarta, and the Yayasan Al-Islamy DI Yogyakarta who participants were determined through purposive sampling technique. The results of the interviews were analyzed using the Collaizi technique. This research resulted in 5 themes, namely internalization of the self-stigma of adolescent drug abusers, optimal efforts of adolescent drug abusers in dealed with self-stigma, anxiety of adolescent drug abusers to get out of self-stigma, positive changed in self-stigma of adolescent drug abusers after started rehabilitation, and hopes to themselves and the environment to overcome self-stigma. Selfstigma in adolescent drug abusers was a complex matter. Comprehensive handled efforts that involved the active role of nurses and support systems were needed to help adolescent drug abusers faced self-stigma.
"
Depok: Fakultas Ilmu Keperawatan Universitas Indonesia, 2020
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>