Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 51615 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Pohan, Aleksandra M.
"Prinsip non-intervensi merupakan prinsip yang secara universal diterima dalam hukum internasional. Prinsip tersebut dijamin oleh Piagam PBB yang menyebutkan tidak adanya campur tangan (non-interference) dalam urusan domestik negara yang berdaulat. Prinsip non-intervensi merupakan prinsip fundamental dalam mengadakan hubungan internasional dewasa ini. Khususnya di kawasan Asia Tenggara prinsip ini sangat dijunjung tinggi mengingat sejarah pembentukannya pada saat sedang terjadinya Perang Dingin. Seiring dengan berjalannya waktu penerapan prinsip non-intervensi yang terlalu kaku kerap di kritik oleh dunia internasional. Akhirnya mendorong munculnya gagasan untuk melakukan pelembutan terhadap prinsip tersebut, dengan konsep alternatif seperti ?constructive intervention?, ?flexible engagement, atau ?enhanced interaction?. Berbagai teori, dokumen-dokumen ASEAN serta kasus-kasus yang terjadi akan dibahas untuk menjelaskan prinsip non-intervensi dalam perspektif ASEAN dan berbagai macam permasalahan yang timbul dalam pelaksanaannya.

The principle of non-intervention is one of the common universally accepted principles in international law. This principle is guaranteed by the UN charter, in which the principle of non-interference in internal affairs of sovereign states is mentioned. This principle happens to be a fundamental basis in the creation of international relations as of late. In particular, this principle is highly respected upon in the South East Asia region, regarding the establishment of ASEAN during the Cold War. As time goes by, application of the non-interference principle has been reputed as rigid, and it has come across many criticisms by the international community. In concern of said criticism, there have been talks about toning down the principle through alternative concepts such as ?constructive intervention?, ?flexible engagement? or ?enhanced interaction?. Numerous theories, related ASEAN documents and recent cases will be laid out to further explain the principle of non-intervention through the ASEAN perspective and the many problems that might appear in the application."
Depok: Universitas Indonesia, 2009
S26223
UI - Skripsi Open  Universitas Indonesia Library
cover
Maria Chitra Likita
"ABSTRAK
Berkembangnya hukum internasional telah merubah prinsip kedaulatan, ia tidak dapat dijadikan alasan bagi suatu pemerintah negara untuk tidak memberikan perlindungan hak asasi manusia kepada penduduknya. Doktrin intervensi humaniter yang ada, masih menimbulkan keresahan di kalangan komunitas masyarakat internasional. Berangkat dari hal tersebut timbulah gagasan doktrin Responsibiliy to Protect R2P untuk memberikan justifikasi baru terhadap intervensi kepada suatu negara yang telah nyata gagal untuk melindungi penduduknya dari 4 empat kejahatan, yakni: genosida, war crimes, crimes against humanity, dan ethnic cleansing. Penelitian ini lantas menganilis mengenai tindakan kejahatan berat yang terjadi pada etnis Rohingya di Myanmar serta kemungkinan ASEAN untuk menerapkan doktrin R2P tersebut. Metode yang digunakan dalam penelitian ini menggunakan metode penelitian normatif. Hasil yang diperoleh dari penelitian ini adalah dimungkinkannya ASEAN untuk menerapkan R2P kepada pemerintah Myanmar, sebab pemerintah Myanmar telah terbukti melakukan dan memenuhi unsur ndash; unsur dari tindakan kejahatan berat genosida dan crimes against humanity yang diatur pada hukum internasional yang merupakan syarat ndash; syarat untuk diadakannya R2P. Pemerintah Myanmar juga dinilai tidak mampu memenuhi tanggung jawabnya untuk melindungi dan menjadi pelaku kejahatan itu sendiri, maka tanggung jawab tersebut dapat berpindah kepada komunitas internasional dalam hal ini ialah ASEAN.ABSTRACT
As the international law develops, sovereignty now cannot be deemed as granting impunity for the government to not protect their citizen s human rights. Humanitarian intervention doctrine is still lacks of support from the international community. Departing from that, the Responsibiliy to Protect R2P comes to serve a new justification for a State who is failed to protect its citizen from 4 four violations, such as genocide, war crimes, crimes against humanity, and ethnic cleansing. This study thus seeks to analyse gross violation that happen to ethnic Rohingya in Myanmar along with possibility of implementing R2P by ASEAN. The method used in this study is normative method study. This study then found the possibility of ASEAN to implement R2P for Myanmar s government, due to its action and fulfilment of the elements of gross violation genocide and crimes against humanity that stipulated in international law as the requirements of R2P implementation. Myanmar s government might be judged for has no capability to comply its responsibility to protect and becomes the perpetrator itself. Subsequently, the responsibility may devolve to international community especially ASEAN for this case."
Depok: Universitas Indonesia, 2018
T50348
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
"Non-intervensi merupakan suatu prinsip/norma dalam hubungan internasional dimana suatu negara tidak diperbolehkan untuk mengintervensi hal-hal yang pada pokoknya termasuk dalam urusan atau permasalahan dalam negeri (yurisdiksi domestik) negara lain. Urusan atau permasalahan tersebut misalnya menyangkut penentuan sistem politik, ekonomi, sosial, sistem budaya dan sistem kebijakan luar negeri suatu negara. Dalam Piagam PBB keberadaan prinsip non-intervensi dapat dilihat antara lain pada pasal 2 (7), beberapa pasal lain dalam Piagam PBB misalnya pasal 42 dan 51 juga mengatur mengenai hal ini. Prinsip non-intervensi yang ada di dalam Piagam PBB diperkuat dengan adanya deklarasi tahun 1970 (resolusi Majelis Umum PBB 2625 (XXV) tahun 1970), prinsip non-intervensi dalam deklarasi 1970 ini terdapat pada pasal 1 ayat (3). Melalui instrumen tersebut dapat dilihat bahwa tiap bentuk intervensi yang merugikan negara yang diintervensi adalah suatu pelanggaran hukum internasional. Dalam realitas pergaulan internasional, prinsip non-intervensi ini belum dijalankan secara penuh oleh negara-negara dalam hubungan antar negara yang mereka lakukan. Setiap negara pada saat ini berusaha untuk menjunjung tinggi prinsip non-intervensi dalam pergaulan mereka, namun dalam pelaksanaannya prinsip ini sering disalahgunakan, terutama oleh negara-negara besar yang cenderung ingin memberikan pengaruhnya kepada negara-negara kecil. Efektivitas berbagai peraturan prinsip non-intervensi yang ada didalam berbagai instrumen hukum internasional hingga saat ini masih dapat dikatakan belum dapat berjalan dengan baik."
Universitas Indonesia, 2007
S26056
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Lee, Monle
Jakarta: Prenada, 2004
659.1 lee p
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
cover
Lee, Monle
Jakarta: Kencana, 2007
659.1 LEE pt
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
cover
Tobing, Rian Fachmi
"ABSTRACT
ASEAN merupakan sebuah organisasi regional di sebelah tenggara benua Asia yang dibentuk melalui Deklarasi Bangkok 1967. ASEAN memiliki sebuah prinsip penting yaitu Non-Interference Principle, dimana setiap negara anggota tidak boleh melakukan suatu tidakan yang bisa mengganggu kedaulatan negara anggota lainnya. Namun prinsip ini dapt menjadi pertanyaan apabila disangkutkan dengan Hak Asasi Manusia, apa tindakan yang seharusnya diambil oleh negara anggota? ASEAN sebagai organisasi yang dianggap sangat baik dalam banyak hal tidak tinggal diam, perlindungan HAM di ASEAN sebagai organisasi secara menyeluruh dimualai pada tahun 1993 sehingga pada puncaknya yaitu ASEAN Charter 2008. Daripada mengubah prinsip yang sudah puluhan tahun dilaksanakan ASEAN membuat komisi untuk mempromosikan dan melindungi HAM bernama AICHR serta membuat deklarasi tentang HAM melalui ADHR.

ABSTRACT
ASEAN is a regional organization in Southeast Asian established by Bangkok Declaration 1967. ASEAN has an important principle called Non-Interference Principle, where every member states may not conduct any action that might cause interference to the other member’s sovereignty. However, the principle could be questioned if it relates with Human Rights issue, what action should ASEAN member states take? ASEAN, as an organization that deemed very well in handling many issue by international community, not remain silent in protecting Human Rights. As organization ASEAN started pay attention to the issue in 1993 until the ASEAN Charter 2008. Instead of change the principle that has been practiced in decades, ASEAN established a commission to protect and promote Human Rights named AICHR and declared a declaration regarding Human Rights named ADHR."
2014
S56061
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Tobing, Rian Fachmi
"ASEAN merupakan sebuah organisasi regional di sebelah tenggara benua Asia yang dibentuk melalui Deklarasi Bangkok 1967. ASEAN memiliki sebuah prinsip penting yaitu Non-Interference Principle, dimana setiap negara anggota tidak boleh melakukan suatu tidakan yang bisa mengganggu kedaulatan negara anggota lainnya. Namun prinsip ini dapt menjadi pertanyaan apabila disangkutkan dengan Hak Asasi Manusia, apa tindakan yang seharusnya diambil oleh negara anggota? ASEAN sebagai organisasi yang dianggap sangat baik dalam banyak hal tidak tinggal diam, perlindungan HAM di ASEAN sebagai organisasi secara menyeluruh dimualai pada tahun 1993 sehingga pada puncaknya yaitu ASEAN Charter 2008. Daripada mengubah prinsip yang sudah puluhan tahun dilaksanakan ASEAN membuat komisi untuk mempromosikan dan melindungi HAM bernama AICHR serta membuat deklarasi tentang HAM melalui ADHR.

ASEAN is a regional organization in Southeast Asian established by Bangkok Declaration 1967. ASEAN has an important principle called Non-Interference Principle, where every member states may not conduct any action that might cause interference to the other member’s sovereignty. However, the principle could be questioned if it relates with Human Rights issue, what action should ASEAN member states take? ASEAN, as an organization that deemed very well in handling many issue by international community, not remain silent in protecting Human Rights. As organization ASEAN started pay attention to the issue in 1993 until the ASEAN Charter 2008. Instead of change the principle that has been practiced in decades, ASEAN established a commission to protect and promote Human Rights named AICHR and declared a declaration regarding Human Rights named ADHR."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2014
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Adijaya Yusuf
"Kekalahan Indonesia atas Malaysia dalam kasus sengketa atas pulau-pulau Sipadan dan Ligitan yang diputuskan oleh Mahkamah Internasional di Den Haag akhir tahun 2002 yang lalu memunculkan kembali kontroversi di kalangan para pemerhati hukum internasional mengenai prinsip-prinsip perolehan kedaulatan atas wilayah negara, khususnya mengenai prinsip "pendudukan efektif" atau "effective occupation". "
2003
HUPE-XXXIII-1-Mar2003-15
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
cover
cover
A. Salman Maggalatung
"ABSTRAK
Masalah penegakan hukum dan keadilan serta hak asasi manusia
harus mendapat perhatian secara khusus dan serius guna memenuhi
tuntutan rasa keadilan dalam kehidupan masyarakat lebih-lebih dalan era
reformasi dewasa ini, dimana penegakan supremasi hukum merupakan salah
satu agenda yang perlu diwujudkan dan diprioritaskan. Mengingat penduduk
Indonesia mayoritas beragama Islam, maka dalam tesis ini perlu dilakukan
suatu analisis dan pengkajian secara sistimatis tentang prinsip-prinsip
penegakan hukum, keadilan dan hak asasi manusia dalam perspektif hukum
Islam dengan pokok permasalahan yang diajukan adalah: (1) Bagaimana
prinsip-prinsip penegakan hukum dan keadilan dalam perspektif hukum Islam;
(2) Bagaimana prinsip-prinsip penegakan hak asasi manusia dalam perspektif
hukum Islam; (3) Bagaimana prinsip-prinsip penegakan hukum dan keadilan
serta hak asasi manusia di Indonesia dalam perspektif hukum Islam;
(4) Faktor-faktor apa yang mempengaruhi penegakan hukum dan keadilan
serta hak asasi manusia di Indonesia, dan bagaimana mengatasinya.
Untuk menjawab permasalahn di atas, maka penulis melakukan
penelitian kepustakaan dan lapangan dengan metode pendekatan yuridis dan
historis, dengan mengutamakan data sekunder (Kepustakaan) sebagai data
utama, sedangkan data primer (Data lapangan) sebagai data penunjang yang
diperoleh melalui wawancara dengan pakar hukum Islam dan praktisi hukum
lainnya. Analisis data dilakukan secara kualitatif dan hasilnya diuraikan
secara deskritif.
Adapun kesimpulan yang diperoleh adalah: (1) Prinsip-prinsip
penegakan hukum dan keadilan dalam perspektif hukum Islam merupakan
suatu landasan yang sangat fundamental dan sekaligus sebagai satu
kesatuan yang mengilhami hukum Islam, baik dalam ide maupun dalam
operasionalnya, yaitu itu aqidah yang benar merupakan patokan dan prinsip
pertama dan utama dalam upaya penegakan hukum dan keadilan dalam
Islam, kemdian diikuti dengan prinsip-prinsip lainnya. Seperti; Prisnip
amanah, persamaan dan keadilan, musyawarah dan perdamaian; (2)
Prinsip-prinsip penegakan Hak Asasi manusia dalam perspektif hukum Islam
adalah merupakan wujud dari esensi ajaran Islam, dimana tampa penegakan,
perlindungan dan penghormatan terhadap Hak Asasi Manusia, ke-Islaman
seseorang tidak akan mencapai kesempurnaan.
Penegekan, perlindungan dan penghormatan Hak Asasi Manusia
dalam hukum Islam, telah diperaktekkan jauh sebelum ?Declaration of Human
Rigts' oleh PBB dan konvensi-konvensi Internasional lannya. Hal ini dapat
dilihat pernyataan-pernyataan dalam berbagai teks-teks keagamaan (Al-
Qur?an dan Hadis) dan juga dalam konstitusi *Piagam Madinah" yang
dideklarasikan langsung oleh Rasulullah saw; (3) Prinsip-perinsip penegakan hukum dan keadilan serta hak asasi manusia di Indonesia sebagai mana
yang termaktub dalam pembukaan Undang-Undang dasar 1945, Batang
tubuh dan penjelasannya serta berbagai peraturan perundang-undangan
lainnya sebagai penjabaran dari falsafah Pancasila pada umunya sangat
relevan dan sesuai dengan pandangan hukum Islam; dan (4) Faktor-faktor
yang mempengaruhi lemahnya penegakan hukum dan keadilan serta hak
asasi manusia di Indonesia, di antaranya: (a) Perangkat hukum atau undangundang
itu sendiri; (b) Kualitas SDM aparat penegak hukum; (c) fasilitas
penegakan hukum yang kurang memadai; (d) Budaya hukum atau kesadaran
hukum masyarakat yang masih lemah; (e) Pengaruh Globalisasi dan
perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi yang tidak seimbang dengan
pengetahuan dan keterampilan aparat penegak hukum; (f) Sistem rekrukmen
pejabat penegak hukum yang kurang tepat.
Adapun cara mengatasinya adalah (1) Dalam penyusunan suatu
undang-undang di samping memperhatikan kepentingan nasional, juga
kendaknya aspirasi masyarakat lokal jangan diabaikan. Di samping itu perlu
pula memperhatikan ide-ide dan intitusi-instusi modern yang berkembang di
negara-negara maju setelah disaring sesuai dengan aspirasi dan kepentingan
bangsa Indonesia; (2) Aparat penegak hukum harus memiliki nilai-nilai
propsesionalisme yang cukup, (3) fasilitas pendukung dalam penegakan
hukum dan keadilan serta hak asasi manusia harus ditingkatkan, (4) Dalam
upaya untuk meningkatkan kesadaran hukum masyarakat, setiap peraturan
perundang-undangan yang akan diberlakukan harus disosialisasikan:
(5) Sistem rekrukmen aparat penegak hukum harus melalui saringan yang
ketat dengan kriteria-kriteria terentu, termasuk pengangkatan seorang
pejabat penegak hukum khususnya kehakiman dan kejaksaan harus bersih
dari campur tangan eksekutif."
2000
T36492
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>