Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 92807 dokumen yang sesuai dengan query
cover
cover
Dance Yulian Flassy
"Provinsi Papua adalah salah satu provinsi yang amat tertinggal di bldang perekonomian dan pembangunan dibandingkan dengan provinsi - provinsi lain di Indonesia. Kondisi ini dialami sejak Papua berintegrasi dengan Indonesia pada tahun 1963, terlebih lagi pada masa arde baru kemarin yang menerapkan sistem sentralistik dalam pembangunannya. Padahal daerah ini termasuk daerah penyumbang tertinggi pada devisa negara terutama dari sektor pertambangan dan galian. Oleh sebab itu sebagian dari rakyat Papua merasa tidak puas dengan kondisi daerahnya dan mengangkat senjata melakukan perlawanan untuk memisahkan diri dari Negara Kesatuan Republik Indonesia. Sehingga membuat kondisi perekonomian dan pembangunan di Papua sedikit terganggu dan semakin membuat rakyat Papua hidup tidak tenang dan miskin. Padahal kekayaan alamnya sungguh luar biasa banyaknya dan Jika dikelola dengan benar serta provinsi ini mendapat pembagian yang layak, maka rakyat Papua akan menlngkat kesejahteraannya.
Pemerintah menyadari kesalahan yang telah diperbuat selama ini kepada Provinsi Papua dan untuk menutupi kekecewaan sebagian besar rakyat Papua, maka pemerintah pusat menyetujui tuntutan rakyat Papua untuk mengurus diri dan kekayaan alam mereka sendirl lewat UU Nomor 21Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus bagi Provinsi Papua. Otonomi Khusus adalah kewenangan yang diakui dan diberikan kepada Provinsi Papua untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat menurut prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi dan hak-hak dasar masyarakat Papua dengan tetap berada dalam kerangka Negara Kesatuan Republik Indonesia. Kewenangan ini berarti pula kewenangan untuk memberdayakan potensi sosial budaya dan perekonomlan masyarakat Papua, kecuali kewenangan di bidang politik, luar negeri, pertahanan keamanan, moneter dan fiskal, agama dan peradilan serta kewenangan tertentu dibidang yang lain yang ditetapkan sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
Dengan menggunakan analisa Location Quotient ( LQ ) yang dlfokuskan pada tahun 2001 ( Tahun dimana UU Otonoml Khusus dimulal ), maka diperoleh kesimpulan bahwa sektor pertambangan dan
yimg diharapkan adalah ? Meningkatkan Standar Hidup masyarakat Papua dengan terciptanya Pendidikan dan Kesehatan yang murah, tepat dan bermutu".
Akhirnya, Pemerintah Provinsi Papua harus benar-benar memanfaatkan momentum otonomi khusus ini dengan mengacu pada hasil perhitungan LQ dan analisa kebijakan yang harus diambil berdasarkan pendekatan AHP. Tetapi juga jangan sampai meninggalkan kebutuhan-kebutuhan rill masyarakat Papua dengan menyesuaikannya pada sltuasi dan kondisi yang berkembang d! daerah Papua. Dan disarankan juga menyesuaikannya pada situasi dan kondisi yang berkembang di daerah Papua. Dan disarankan juga pemerintah Provinsi Papua bers!ap dlri dalam menghadapi era persaingan bebas terutama di wilayah Asia Pas!fik, dengan meningkatkan kualitas SDM dan standar hldup masyarakat Papua.
"
Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia, 2003
T11975
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Anggarani Utami Dewi
"Pembentukan Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (KKR) yang berkedudukan di daerah oleh pemerintah daerah mengalami perdebatan khususnya mengenai legalitas penyidikan peristiwa pelanggaran HAM yang berat di masa lalu oleh komisi ini. Tesis ini akan menjawab permasalahan mengenai implementasi KKR dalam era non transisional serta pengaturan mengenai pembentukan dan implementasi KKR yang berkedudukan di daerah. Penelitian menggunakan metode kualitatif dengan fokus pada studi kepustakaan, wawancara dengan para ahli, dan studi perbandingan pada KKR era non transisional di tujuh negara, yakni Korea Selatan, Brazil, Thailand, Maroko, Kanada, Amerika Serikat, dan Australia. Hasil penelitian menyimpulkan bahwa enam dari tujuh negara tersebut membentuk Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi untuk mengungkapkan pelanggaran hak asasi manusia (HAM) yang berat yang terjadi lebih dari lima tahun yang lalu, dan hanya Thailand yang membentuk KKR dalam dua bulan setelah berakhirnya konflik. Dari enam negara tersebut, seluruhnya telah mengeluarkan berbagai kebijakan reparasi, kompensasi, ataupun ganti rugi bagi korban sebelum dibentuknya KKR. Brazil, Kanada, dan Australia telah lama mencabut kebijakan yang diduga melanggar HAM. Seluruh negara selain Maroko telah memiliki peraturan yang melindungi privasi dan kerahasiaan warga negara pada saat KKR dibentuk. Pengungkapan kebenaran oleh KKR pada ketujuh negara tersebut difokuskan agar tercapai rekonsiliasi nasional. Di Indonesia, KKR Aceh dibentuk oleh Pemerintah Aceh sebagai mandat dari Perjanjian Helsinki dan Pasal 230 Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh melalui Qanun Nomor 17 Tahun 2013 tentang Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi Aceh. Namun karena dibentuk dengan qanun yang setingkat dengan Peraturan Daerah, Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi Aceh mengalami berbagai hambatan dalam proses penyelidikan peristiwa pelanggaran HAM seperti kesulitan dalam mengakses dokumen pemerintah atau memanggil pejabat pemerintah untuk dimintai keterangannya. Berbeda dengan Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi di Korea Selatan dan Kanada, yakni meskipun Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi ada yang berkedudukan di daerah namun pembentukannya dilakukan oleh pemerintah pusat. Propinsi Papua saat ini juga sedang menyiapkan naskah pendukung penerbitan Peraturan Presiden tentang Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi di Papua. Dalam rancangannya, Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi Papua akan mengungkapkan kebenaran mengenai peristiwa konflik yang melibatkan negara sejak integrasi Irian Jaya. Oleh karena pemerintah daerah telah menginisiasi pembentukan KKR di daerah, maka seharusnya pemerintah pusat dapat mempercepat penyusunan Rancangan Undang-Undang Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi sebagai panduan pemerintah daerah dalam menyusun peraturan mengenai KKR di wilayahnya.

The establishment of Truth and Reconciliation Commission (TRC) in regions by the regional government has experienced debate, especially regarding the legalitiy of investigating incidents indicate of gross human rights violations in the past. This thesis will analyst two issues regarding the implementation of TRCs in the non transitional era and establishment and implementation of TRCs in regional. The research used qualitative methods with focus on literature studies, interviews with experts, and comparative studies on seven countries (South Korea, Brazil, Thailand, Morocco, Canada, the United States, and Australia). The results of this study concluded that six of the seven countries formed a TRC to expose gross human rights violations that occurred more than five years before, and only Thailan formed a TRC within two months after the end of conflict. Of the six countries, all of them had issued various reparation, compensation or compensation policies for victims prior to the establishment of the TRC. Brazil, Canada and Australia have long since repealed policies that allegedly violated human rights. All countries other than Morocco already had regulations protecting the privacy and confidentiality of citizens when the TRC was formed. Revealing the truth by the TRC in the seven countries was focused on achieving national reconciliation. In Indonesia, the Aceh TRC was formed by the Government of Aceh as a mandate from the Helsinki Agreement and Article 230 of Law Number 11 of 2006 concerning the Governance of Aceh through Qanun Number 17 of 2013 concerning the Aceh Truth and Reconciliation Commission. However, because it was formed under a qanun that was at the same level as a regional regulation, the Aceh Truth and Reconciliation Commission experienced various obstacles in the process of investigating incidents of human rights violations such as difficulties in accessing government documents or summoning government officials for questioning. It is different from the Truth and Reconciliation Commissions in South Korea and Canada, that is, although there are Truth and Reconciliation Commissions based in the regions, their formation is carried out by the central government. The Province of Papua is also currently preparing a text supporting the issuance of a Presidential Regulation on the Truth and Reconciliation Commission in Papua. In its design, the Papua Truth and Reconciliation Commission will reveal the truth about the conflict events involving the state since the integration of Irian Jaya. Because the regional governments have initiated the formation of TRCs in the regions, the central government should be able to accelerate the drafting of the Truth and Reconciliation Commission Bill as a guide for local governments in drafting regulations regarding TRCs in their regions."
Jakarta: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2023
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Ramzy Sayuda Patria Hani Putra
"Provinsi Papua merupakan salah satu provinsi di Indonesia yang diimplementasikan sebagai daerah otonom khusus. Otonomi Khusus yang diberikan didasari oleh adanya ketentuan Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus Bagi Provinsi Papua (Undang-Undang Otsus Papua). Lebih lanjut, salah satu mekanisme kewenangan yang diberikan adalah dalam penentuan pengisian jabatan anggota DPRP, kewenangan tersebut menetapkan frasa “diangkat” orang asli Papua sebagai anggota DPRP, dengan tujuan untuk melindungi hak-hak asli masyarakat Papua dan agar dipastikannya masyarakat asli Papua dapat ikut serta dalam penyelenggaraan pemerintahan provinsi Papua. Namun frasa tersebut dirasa memberikan dampak hilangnya hak konstitusional berupa kedudukan yang sama dalam pemerintahan, Oleh karena itu untuk mengetahui Kedudukan DPRP dalam NKRI diperlukan analisis terkait Putusan MK Nomor 4/PUU-XVIII/2020 terhadap Pasal 6 ayat (2) Undang-Undang Otsus Papua melalui Metode Penelitian Yuridis Normatif. Berdasarkan analisis dari putusan tersebut kedudukan Hukum Dewan Perwakilan Rakyat Papua (DPRP) dalam NKRI telah sesuai dengan tujuan negara yaitu mensejahterakan rakyat dengan penyesuaian terhadap adat istiadat dan kebiasaan masing-masing wilayahnya. Akan tetapi pemerintah masih dirasa perlu untuk melakukan perumusan perundang perundangan yang merumuskan secara jelas kriteria orang asli papua yang “diangkat” sesuai dengan karakteristik sosial ekonomi serta karakteristik budaya masyarakat

Papua Province is one of the provinces in Indonesia which is implemented as a special autonomous region. The Special Autonomy granted is based on the provisions of Law Number 21 of 2001 concerning Special Autonomy for the Papua Province (Law on Special Autonomy for Papua). Furthermore, one of the mechanisms of authority given is in determining the filling of positions for members of the DPRP, this authority stipulates the phrase "appointed" native Papuans as members of the DPRP, with the aim of protecting the indigenous rights of the Papuan people and ensuring that indigenous Papuans can participate. in the administration of the Papuan provincial government. However, this phrase is felt to have an impact on the loss of constitutional rights in the form of an equal position in the government. Therefore, to find out the position of the DPRP in the Republic of Indonesia, an analysis is needed regarding the Constitutional Court Decision Number 4/PUU-XVIII/2020 against Article 6 paragraph (2) of the Special Autonomy Law for Papua. through Normative Juridical Research Methods.Based on the analysis of the decision, the legal position of the Papuan People's Representative Council (DPRP) in the Unitary State of the Republic of Indonesia is in accordance with the state's goal, namely the welfare of the people by adjusting to the customs and habits of each region. However, the government still feels the need to formulate legislation that clearly formulates the criteria for indigenous Papuans who are "appointed" in accordance with the socio-economic characteristics and cultural characteristics of the community."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2022
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Raharusun, Yohanis Anton
Jakarta: Konstitusi Press, 2009
959.8 YOH d
Buku Teks SO  Universitas Indonesia Library
cover
cover
Zainal Abidin
"Dengan penerapan sistem pemerintahan yang sangat sentralistik pada masa pemerintahan Orde Baru telah melahirkan ketidakadilan secara sosial, ekonomi, pemerintahan dan hukum di Daerah Istimewa Aceh yang menyebabkan timbulnya kekecewaan yang sangat mendalam ditengah masyarakat. Salah satu akibat yang ditimbulkannya adalah muncul berbagai tuntutan dan protes dari masyarakat baik( secara diplomasi maupun dengan perlawanan bersenjata yang apabila tidak direspon dengan arif dan bijaksana akan dapat mengancam keutuhan negara Republik Indonesia.
Di penghujung abad kedua puluh Indonesia dilanda oleh gelombang reformasi yang menuntut perubahan yang mendasar dalam berbagai bidang. Salah satu tuntutan yang bergulir adalah pemberian otonomi yang luas kepada daerah. Sehubungan dengan itu, untuk menyikapi tuntutan reformasi dan untuk meredam konflik di Aceh, MPR-RI telah membuat ketetapan No.IV/MPR-R1/1999 tentang pemberian Otonomi Khusus kepada Propinsi Daerah Istimewa Aceh yang diatur dengan Undang-Undang.
Untuk menindaklanjuti ketetapan MPR tersebut, DPR-RI bersama pemerintah telah membahas suatu Undang-Undang tentang Otonomi Khusus bagi Daerah Istimewa Aceh yaitu UU No.18 tahun 2001.
Yang menarik untuk diteliti adalah bahwa sebagian besar materi yang dibahas dalam Undang-undang Otonomi khusus bagi Provinsi Daerah Istimewa Aceh berasal dari DPRD, Pemerintah Daerah dan tokoh masyarakat Aceh, yaitu berasal dari bawah. Dan hal ini terjadi diluar kebiasaan dari DPR-RI dalam menetapkan suatu undang-undang.
Metode yang dipakai dalam penelitian ini adalah metode kualitatif dengan teknik pengumpulan data melalui penelitian kepustakaan dan penelitian lapangan, sementara untuk menjelaskan pokok perrnasalahan dipergunakan teori konflik, teori konsensus, teori partisipasi dan teori demokrasi.
Dalam penelitian ini ditemukan terjadinya konflik kepentingan antara pemerintah dengan angota DPR-RI, khususnya anggota DPR-RI yang menjadi angota Pansus RUU NAD yang berasal dari daerah pemilihan Propinsi Daerah Istimewa Aceh. Konflik terjadi dalam banyak masalah, namun yang paling menonjol adalah menyangkut penetapan persentase bagi hasil sumber daya alam minyak bumi dan gas alam antara pemerintah dengan Daerah Istimewa Aceh."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2004
T14357
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
cover
cover
Akbar Yogaswara
"ABSTRAK
Didalam bentuk negara kesatuan dikenal dua asas
pemerintahan yaitu sentralisasi dan desentralisasi,
sentralisasi menciptakan keseragaman sedangkan
desentralisasi menciptakan keberagaman, sehingga daerah
dapat menentukan pilihan kebijakan apa yang sesuai
keinginan daerah masing-masing. Dengan diberlakukannya
desentralisasi, maka tiap-tiap daerah mempunyai kewenangan
untuk mengatur dan mengurus urusan rumah tangganya sendiri.
Pengimplementasian dari otonomi daerah terkadang membuat
sebagian masyarakat di daerah merasa kurang puas terhadap
kinerja dan pelayanan pemerintah daerah. Hal tersebut
mendorong sebagian masyarakat untuk membentuk daerah otonom
baru. Undang-Undang No. 32 Tahun 2004 yang berlaku saat ini
mengatur mengenai persyaratan dan prosedur Pembentukan dan
pemekaran. Ada dua pokok permasalahan yang menjadi telaahan
dalam tesis ini, yaitu persyaratan dan prosedur Pembentukan
dan pemekaran daerah menurut hukum positif, dan persyaratan
dan proses pembentukan Kota Tangerang Selatan dalam
perspektif hukum positif di Indonesia. Dalam penelitian ini
dibahas juga mengenai perkembangan pemekaran daerah di
Indonesia.Dalam penelitian ini digunakan metode hukum
normatif, dengan titik berat kepada materi peraturan
perundang-undangan yang mengatur pembentukan daerah. Data
di kumpulkan melalui studi kepustakaan dan wawancara, jenis
data tersedia adalah data primer dan data sekunder yang
didapat dari Departemen Dalam Negeri Republik Indonesia dan
Pemerintah Kabupaten Tangerang. Pendekatan penelitian
dengan mengunakan deskriptif analisis dengan analisis yang
bersifat kuantitatif, terakhir penarikan kesimpulan dengan
metode induktif. Persyaratan dan prosedur pembentukan
daerah diatur dalam Pasal 5 Undang-undang No. 32 Tahun 2004
dimana terdapat syarat administratif, teknis dan fisik
kewilayahan. Hasil dalam penelitian ini menyimpulkan bahwa
untuk persyaratan administratif, terdapat beberapa
persyaratan yang belum dipenuhi oleh Kabupaten Tangerang
untuk pembentukan Kota Tangerang Selatan. Kemudian untuk
persyaratan teknis masih dinyatakan lulus bersyarat. Untuk
persyaratan fisik calon Kota Tangerang Selatan telah
memenuhi persyaratannya."
2007
T36843
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>