Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 143724 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Sihite, Sakti Alexander
Depok: Universitas Indonesia, 2001
S25255
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Lulu Agani
Depok: Universitas Indonesia, 2007
S25293
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 1983
S5531
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Pasaribu, Alboin
"Tesis ini membahas tentang kekuatan hukum dekrit presiden yang pernah diberlakukan di Indonesia sebagai produk keputusan presiden dalam keadaan darurat. Metode penelitian yang digunakan adalah metode penelitian hukum normatif. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa efektivitas dekrit yang dikeluarkan oleh presiden akan sangat ditentukan oleh dukungan berbagai kalangan dalam pelaksanaannya, sekalipun tidak ditemukan landasan pengaturannya dalam konstitusi. Di masa yang akan datang, presiden seharusnya tetap tunduk pada ketentuan konstitusi dan segala tindakan yang diambil dalam masa pemberlakuan keadaan darurat harus dapat diuji oleh lembaga peradilan.

The focus study of this thesis is the legal force of presidential decree in Indonesia as a product of the president's decision in the state of emergency. This thesis is a normative research. Result of this research indicates that the effectiveness of the implementation of a decree will be determined by the acceptance of various groups, even though it can not found the constitutional basis. The researcher suggest that the president should remain subject to the provisions of the constitution and all actions taken during the state of emergency must be reviewed by the courts in the future.
"
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2013
T36087
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
A. Salman Maggalatung
"Dinamika perkembangan dan posisi hukum Islam senantiasa mengalami pasang surut sesuai gelombang dan iklim politik yang menyertainya. Jauh sebelum Kemerdekaan, hukum Islam telah berkembang dan menjadi hukum positif bagi kerajaan Islam. Pada awal pemerintahan kolonial Belanda hukum Islam diterima sepenuhnya sebagai hukum yang berlaku bagi orang Islam dengan teori Receptio in Complexu oleh L.W.C. Van den Berg yang mengakui eksisensi hukum Islam, namun teori ini dibantah oleh Snouck Hurgronje dengan teori Receptie-nya, bahwa hukum Islam baru dapat diterima setelah diakui oleh hukum adat. Selanjutnya teori ini mendapat reaksi dari umat Islam, Hazairin misalnya menyebutnya sebagai teori iblis. Pada masa pemerintahan Balatentara Jepang, posisi hukum Islam masih tetap sama seperti pada masa pemerinahan Hindia Belanda. Menjelang Indonesia merdeka tercapai sebuah kompromi antara pendukung negara berdasarkan agama (Islam) dan pendukung negara berdasar Pancasila tertuang dalam ?Piagam Jakarta?, kendatipun hanya sebentar, piagam tersebut seolah meniupkan angin segar bagi perkembangan dan posisi hukum Islam. Sehari setelah Proklamasi Kemerdekaan terjadi nncoretan atas kalimat "dengan kewajiban menjalankan syari?at Islam bagi pemeluk-pemeluknya", sebagai garansi utuhnya NKRI. Demi menjaga stabilitas politik, keamanan dan keselamatan negara, Prsiden Soekamo mengeluarkan Dekrit 5 Juli 1959 untuk memberlakukan kembali UUD 1945. Dalam dekrit tersebut Presiden Soekamo menyatakan bahwa Piagam Jakarta menjiwai UUD 1945 dan merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari konstitusi. Piagam Jakarta memang tidak tampak dalam konstitusi Indonesia, akan tetapi ia ada, menjiwai dan hidup, serta memberi kehidupan bagi perkembangan hukum Islam, Jiwa dari Piagam Jakarta itulah yang melahirkan berbagai produk perundang-undangan yang bersumber dari hukum Islam yang wajib dilaksanakan oleh warga negara Indonesia yang beragama Islam. Dari sini dapat dipahami, bahwa Dekrit Presiden RI 5 Juli 1959 dapat menjadi dasar inspirasi dan pegangan dalam upaya penerapan hukum Islam di Indonesia. Era reformasi dan otonomi claerah temyata disambut baik oleh sejumlah Pemerintah Daerah di Indonesia untuk berperan lebih besar. Di Kabupaten Tasikmaiaya, Cianjur dan Gamt misalnya, telah menetapkan Perda untuk membasmi penyakit sosial masyarakat dan sejumlah kebijakan Iainnya untuk meningkatkan kualitas keimanan dan ketaqwaan masyarakat. Kreativitas Pemerintah Daerah dan masyarakar tampaknya cukup beralasan, yakni adanya semacam kerinduan umat Islam terhadap syari'at agamanya untuk diterapkan dalam kehidupan mereka. Kreatifitas ini clinilai oleh sebagian anggota masyarakat sebagai kompensasi politik pemerintah kepada rakyat. Upaya itu terkesan dipolitisasi dalam bentuk formalisasi dan simbolisasi syari'at Islam untuk menarik simpatik rakyat dan institusi-institusi umat Islam untuk memuluskan roda pembangunan yang dicanangkannya. Seperti apapun wacana dan kontroversi yang muncul mengenai gerakan pemerintah yang sedang berkuasa, bagi penulis adaiah hal yang wajar. Yang panting dalam perspektif yuridis tidak melanggar peraturan perundang-undangan yang berlaku. Secara konstitusional kebijakan itu dapat dibenarkan karena sesuai dengan Pancasila dan Dekrit Presiden RI S Juli 1959 yang memberlakukan kembali UUD I945, tidak bertentangan dengan undang-undang yang lebih tinggi, bahkan sesuai dengan realitas masyarakat. Keherlakuan hukum Islam adalah suatu kenyataan, bukan sesuatu yang datang secara tiba-tiba, menafikan keberlakuan hukum Islam berarti menafikan pula terhadap realitas, dan menafikan terhadap realitas, itu artinya pengkhianatan terhadap keberadaan umat Islam. Karena itu, kenika kita berbicara mengenai pembentukan Peraturan Perundang-undangan, maka semua unsur pembentukan hukum harus cliperlakukan secara adil, tak terkecuali hukum Islam. Mengenai simbolisasi dan substansialisasi dalam penerapan hukum Islam, menurut penulis keduanya baik dan diperlukan. Narnun jika lerjadi pilihan karena sesuatu hal yang dapat memicu terjadinya konflik sesama anak bangsa, maka tentu saja yang menjadi pilihan adalah substansinya, karena simbolisasi itu memang hanya merupakan proses dan jalan menuju tercapainya substansialisasi."
Depok: Universitas Indonesia, 2007
D1114
UI - Disertasi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
A. Salman Maggalatung
"Dinamika perkembangan dan posisi hukum Islam senantiasa mengalami pasang surut sesuai gelombang dan iklim politik yang menyertainya. Jauh sebelum Kemerdekaan, hukum Islam telah berkembang dan menjadi hukum positif bagi kerajaan Islam. Pada awal pemerintahan kolonial Belanda hukum Islam diterima sepenuhnya sebagai hukum yang berlaku bagi orang Islam dengan teori Receptio in Complexu oleh L.W.C. Van den Berg yang mengakui eksisensi hukum Islam, namun teori ini dibantah oleh Snouck Hurgronje dengan teori Receptie-nya, bahwa hukum Islam baru dapat diterima setelah diakui oleh hukum adat. Selanjutnya teori ini mendapat reaksi dari umat Islam, Hazairin misalnya menyebutnya sebagai teori iblis. Pada masa pemerintahan Balatentara Jepang, posisi hukum Islam masih tetap sama seperti pada masa pemerinahan Hindia Belanda. Menjelang Indonesia merdeka tercapai sebuah kompromi antara pendukung negara berdasarkan agama (Islam) dan pendukung negara berdasar Pancasila tertuang dalam ?Piagam Jakarta?, kendatipun hanya sebentar, piagam tersebut seolah meniupkan angin segar bagi perkembangan dan posisi hukum Islam. Sehari setelah Proklamasi Kemerdekaan terjadi nncoretan atas kalimat "dengan kewajiban menjalankan syari?at Islam bagi pemeluk-pemeluknya", sebagai garansi utuhnya NKRI. Demi menjaga stabilitas politik, keamanan dan keselamatan negara, Prsiden Soekamo mengeluarkan Dekrit 5 Juli 1959 untuk memberlakukan kembali UUD 1945. Dalam dekrit tersebut Presiden Soekamo menyatakan bahwa Piagam Jakarta menjiwai UUD 1945 dan merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari konstitusi. Piagam Jakarta memang tidak tampak dalam konstitusi Indonesia, akan tetapi ia ada, menjiwai dan hidup, serta memberi kehidupan bagi perkembangan hukum Islam, Jiwa dari Piagam Jakarta itulah yang melahirkan berbagai produk perundang-undangan yang bersumber dari hukum Islam yang wajib dilaksanakan oleh warga negara Indonesia yang beragama Islam. Dari sini dapat dipahami, bahwa Dekrit Presiden RI 5 Juli 1959 dapat menjadi dasar inspirasi dan pegangan dalam upaya penerapan hukum Islam di Indonesia. Era reformasi dan otonomi claerah temyata disambut baik oleh sejumlah Pemerintah Daerah di Indonesia untuk berperan lebih besar. Di Kabupaten Tasikmaiaya, Cianjur dan Gamt misalnya, telah menetapkan Perda untuk membasmi penyakit sosial masyarakat dan sejumlah kebijakan Iainnya untuk meningkatkan kualitas keimanan dan ketaqwaan masyarakat. Kreativitas Pemerintah Daerah dan masyarakar tampaknya cukup beralasan, yakni adanya semacam kerinduan umat Islam terhadap syari'at agamanya untuk diterapkan dalam kehidupan mereka. Kreatifitas ini clinilai oleh sebagian anggota masyarakat sebagai kompensasi politik pemerintah kepada rakyat. Upaya itu terkesan dipolitisasi dalam bentuk formalisasi dan simbolisasi syari'at Islam untuk menarik simpatik rakyat dan institusi-institusi umat Islam untuk memuluskan roda pembangunan yang dicanangkannya. Seperti apapun wacana dan kontroversi yang muncul mengenai gerakan pemerintah yang sedang berkuasa, bagi penulis adaiah hal yang wajar. Yang panting dalam perspektif yuridis tidak melanggar peraturan perundang-undangan yang berlaku. Secara konstitusional kebijakan itu dapat dibenarkan karena sesuai dengan Pancasila dan Dekrit Presiden RI S Juli 1959 yang memberlakukan kembali UUD I945, tidak bertentangan dengan undang-undang yang lebih tinggi, bahkan sesuai dengan realitas masyarakat. Keherlakuan hukum Islam adalah suatu kenyataan, bukan sesuatu yang datang secara tiba-tiba, menafikan keberlakuan hukum Islam berarti menafikan pula terhadap realitas, dan menafikan terhadap realitas, itu artinya pengkhianatan terhadap keberadaan umat Islam. Karena itu, kenika kita berbicara mengenai pembentukan Peraturan Perundang-undangan, maka semua unsur pembentukan hukum harus cliperlakukan secara adil, tak terkecuali hukum Islam. Mengenai simbolisasi dan substansialisasi dalam penerapan hukum Islam, menurut penulis keduanya baik dan diperlukan. Narnun jika lerjadi pilihan karena sesuatu hal yang dapat memicu terjadinya konflik sesama anak bangsa, maka tentu saja yang menjadi pilihan adalah substansinya, karena simbolisasi itu memang hanya merupakan proses dan jalan menuju tercapainya substansialisasi."
Depok: Universitas Indonesia, 2007
D748
UI - Disertasi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
cover
Siregar, Ahmad Chairun
Depok: Universitas Indonesia, 1983
S25386
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Basroni
"Sejak Proklamasi kemerdekaan Republik Indonesia hingga saat ini kita telah menggunakan tiga buah Undang-Undang Dasar. Undang-Undang Dasar yang pernah berlaku itu meliputi UUD 1945, UUD RIS 1949, UUDS 1950. UUD 1945 yang berlaku pada awalnya merupakan hasil konstruksi dari Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan (BPUPK) Indonesia dan ditetapkan oleh Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI).
Melalui Dekrit Presiden 5 Juli 1959. Undang-Undang Dasar 1945 diberlakukan kembali hingga saat ini. Pemberlakuan kembali UUD 1945 setelah gagalnya lembaga kontituante hasil Pemilihan Umum 1955 yang dibentuk dan ditugaskan untuk membentuk Undang-Undang Dasar yang baru.
Pemberlakuan kembali Undang-Undang Dasar 1945 (UUD 1945) di dalam praktek ketatanegaraan pada pelaksanaannya ternyata sangat menguntungkan Presiden sebagai lembaga eksekutif yang merupakan pihak penyelenggara pemerintahan. Hal tersebut dapat dilihat dimana pasal-pasal yang ada di dalam Undang-Undang Dasar 1945 yang mengatur kewenangan Presiden selaku Kepala Negara maupun Kepala Pemerintahan terlalu besar dibandingkan dengan lembaga-lembaga negara lainnya. Kondisi seperti ini menyebabkan Check and Balances itu tidak berjalan secara baik.
Oleh karena hal yang demikian, maka pengaturan terhadap peran dan fungsi lembaga lembaga negara yang ada pada UUD 1945 sudah saatnya untuk ditinjau kembali. Peninjauan kembali tugas dan fungsi tersebut dengan melakukan amendemen atau revisi terhadap UUD 1945. Amendemen terhadap UUD 1945 sebelurnnya pada masa lalu merupakan sesuatu yang sakral dan tidak dapat disentuh atau merupakan suatu hal yang tabu. Penapsiran yang keliru tersebut lebih banyak dipengaruhi oleh aspek-aspek politis, tanpa memahami makna historis dibuatnya konstitusi. Ketentuan perubahan terhadap UUD 1945 di atur pada pasal 37 UUD 1945.
Munculnya pasal tersebut merupakan suatu konsekuensi atau jawaban dari perumusan UUD 1945 yang terasa tergesa-gesa dalam waktu yang begitu singkat. Disamping itu proses pembuatan Undang-Undang Dasar 1945 dirancang oleh mereka yang bukan ahli dibidang ketatanegaraan.
Soekarno sebagai Ketua Panitia Perancang Undang-Undang Dasar 1945 pada tanggal 18 Agustus 1945 mengutarakan :
"Bahwa UUD 1945 yang dibuat sekarang ini adalah Undang-Undang Dasar Sementara, kalau boleh saya memakai perkataan lain adalah Undang-Undang Dasar Kilat. Soekarno lebih lanjut kemudian mengatakan bahwa dalam suasana yang damai dan tenteram nanti akan dikumpulkan kembali anggota MPR untuk membuat Undang-Undang Dasar yang lebih lengkap".
Perkembangan kondisi ketatanegaraan yang begitu cepat saat ini ternyata tidak mampu diakomodir oleh UUD 1945. Untuk itu perubahan atau amendemen terhadap UUD 1945 merupakan suatu hal yang logis dan keharusan dalam upaya menanggulangi perkembangan kondisi ketatanegaraan yang begitu pesat. Pencantuman pasal 37 UUD 1945 meng-isyaratkan kepada kita bahwa UUD 1945 dapat diamendemen atau dirubah.
Dalam melakukan amendemen atau perubahan dapat ditempuh dengan cara formal amendemen yang tertera di pasal 37 UUD 1945. Perubahan atau amendemen terhadap UUD 1945 dapat meniru cara amendemen yang dilakukan oleh Amerika Serikat dimana AS mengunakan konstitusi yang lama dan diperbaharui sehingga menjadi satu kesatuan.
Perubahan konstiutusi di beberapa negara dapat ditempuh dengan melakukan perubahan secara keseluruhan terhadap pasal-pasal yang ada sehingga konstitusi yang digunakan adalah konstitusi yang baru sama sekali. Cara berikutnya adalah dengan melakukan perubahan pada beberapa pasal saja, sehingga konstitusi yang digunakan bukanlah konstitusi yang baru. Pasal-pasal yang diubah dijadikan satu kesatuan yang terintegrasi dan tidak dapat dipisahkan.
Dalam melakukan perubahan terhadap suatu konstitusi di beberapa negara juga ada batasan-batasan yang dijadikan pegangan. Di Indonesia perubahan atau amendemen dilakukan tidak untuk menghasilkan Undang-Undang Dasar yang baru. Amendemen terhadap UUD 1945 dilakukan dengan cara melakukan perubahan terhadap beberapa pasal yang ada di Batang Tubuh UUD 1945 tersebut. Disamping itu dalam melakukan perubahan juga di berikan batasan-batasan yang dijadikan sebagai acuan. Batasan yang dijadikan acuan dalam melakukan amendemen terhadap Undang-Undang Dasar 1945 dengan mengacu pada pengalaman di beberapa negara dalam melakukan perubahan atau amendemen terhadap konstitusi. Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 merupakan sesuatu kondisi yang tidak perlu untuk disentuh serta beberapa pasal lainnya seperti bentuk negara dll.
Dalam melakukan amendemen menurut hemat penulis ada beberapa hal yang perlu untuk diamendemen yakni meliputi hal-hal sbb : pengaturan mengenai Hak Asasi manusia, Kedudukan, tugas dan wewenang MPR, kedudukan dan pertanggungjawaban Presiden, kedudukan tugas dan wewenang DPR, hal-hal lain. Dengan adanya amendemen diharapkan Check and Balances dapat berjalan dengan baik."
Universitas Indonesia, 2000
T980
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>