Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 182100 dokumen yang sesuai dengan query
cover
cover
Ernita Meilani
"Krisis moneter yang terjadi di Indonesia telah memberi pengaruh yang tidak menguntungkan terhadap perekonomian nasional dan menimbulkan kesulitan besar terhadap dunia usaha dalam hal penyelesaian utang piutang serta untuk meneruskan kegiatan usahanya. Peraturan Kepailitan Stb 1905 No. 217 jo . Stb 1906 No. 348 dipandang sudah tidak memadai lagi untuk menyelesaikan utang-piutang dalam dunia usaha baik dari segi kepastian hukum, keterbukaan maupun efektifitasnya serta pula dari segi lamanya proses kepailitan yang harus ditempuh. Untuk menciptakan kepastian hukum bagi dunia usaha dalam mengatasi persoalan yang mendesak, yaitu penyelesaian utang-piutang secara adil, cepat, terbuka dan efektif, pada tanggal 22 April 1998 dikeluarkanlah Perpu No. 1 Tahun 1998 yang kemudian menjadi Undang Undang No . 4 Tahun 1998 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang Undang No. 1 Tahun 1998 tentang Perubahan atas Undang Undang Tentang Kepailitan Menjadi Undang Undang. Semasa berlakunya Peraturan Kepailitan, pengertian utang tidak diatur secara khusus dalam pasal-pasal Peraturan Kepailitan itu, sehingga "utang" itu diartikan sebagai kewajiban untuk membayar sejumlah uang akibat adanya perikatan yang timbul baik dari perjanjian maupun undang-undang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1233 Kitab Undang Undang Hukum Perdata. Dalam Pasal 1 ayat (1) Undang Undang No. 4 Tahun 1998 tentang Kepailitan disebutkan "Debitur yang mempunyai dua atau lebih kreditur dan tidak membayar sedikitnya satu utang yang telah jatuh waktu dan dapat ditagih, dinyatakan pailit dengan putusan Pengadilan yang berwenang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2, baik atas permohonan sendiri, maupun atas permintaan seorang atau lebih krediturnya. Menurut penjelasan atas Pasal 1 ayat (1) Undang Undang No. 4 Tahun 1998 tentang Kepailitan, yang dimaksud dengan utang yang tidak dibayar oleh debitur adalah utang pokok beserta bunganya. Tiadanya pengertian yang spesifik akan arti utang menurut Undang Undang Kepailitan telah menimbulkan ketidakpastian hukum tentang kapankan seseorang atau sebuah perusahaan dapat dimohonkan pailit."
Depok: Universitas Indonesia, 2002
S20999
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
cover
Fairus Harris
"Tesis ini membahas mengenai upaya yang dilakukan kreditor separatis melakukan eksekusi atas jaminan hak kebendaan yang dimilikinya dalam jangka waktu yang ditentukan Undang-Undang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang. Permasalahan dalam penulisan ini mengenai kedudukan kreditor separatis dalam proses kepailitan dan proses eksekusi jaminan yang dilakukan kreditor separatis dengan adanya pembatasan jangka waktu.
Penelitian hukum yang dilakukan adalah penelitian normatif, dengan metode pengolahan data yang bersifat kualitatif. Dalam proses kepailitan terdapat batasan-batasan terkait hak yang dimiliki kreditor separatis untuk mengeksekusi sendiri jaminan hak kebedaan. Pembatasan yang utama mengenai jangka waktu untuk memulai melaksanakan haknya dalam melakukan eksekusi jaminan tersebut.

This thesis discusses the efforts made by separatist creditors in order to execute their security right of goods in the prescribed period by law of Bankruptcy and Suspension Of Obligation For Payment Of Debts. Problems are regarding the separatist creditor in a process of bankruptcy and the process of execution by separatist creditor in restriction period.
The legal research was carried out through normative research with qualitative data processing. In a process of bankruptcy, there are limitations imposed related to the separatist creditor's rights, to execute by himself the security right of goods that his owned. The main limitation is the defined time period for separatist creditor to begin exercising his rights to execute that security right.
"
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2014
T42682
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
cover
cover
Timmy Wolya
"Tesis ini membahas mengenai keadaan yang sangat perlu dan mendesak sebagai dasar dalam melakukan tindakan penggeledahan dan penyitaan.Tujuan penelitian tesis ini adalah untuk mengetahui batasan keadaan yang sangat perlu dan mendesak kemudian dikaitkan dengan fungsi kontrol dari Ketua Pengadilan Negeri terhadap tindakan penyidik ketika melakukan tindakan penggeledahan dan penyitaan serta upaya yang dapat dilakukan oleh tersangka atau pihak lain yang merasa dirugikan akibat tindakan penggeledahan dan penyitaan tersebut. Penelitian ini merupakan penelitian yuridis normatif. Hasil dari penelitian didapatkan fakta bahwa batasan keadaan yang sangat perlu dan mendesak dalam melakukan tindakan penggeledahan dan penyitaan adalah selain dikhawatirkan tersangka akan melarikan diri, atau mengulangi tindak pidana atau benda yang dapat disita dikhawatirkan akan dimusnahkan atau dipindahkan juga terdapat penilaian subyektif dari penyidik sehingga dalam pelaksanaannya diperlukan mekanisme pengawasan vertical (built in control) dan pengawasan horizontal. Bahkan, jika dalam pelaksanaan tindakan penggeledahan dan penyitaan itu menimbulkan kerugian bagi tersangka maupun pihak lain maka upaya yang dapat dilakukan adalah ganti rugi. Namun terhadap upaya ganti rugi tersebut harus terlebih dahulu dinyatakan bahwa tindakan penggeledahan dan penyitaan adalah tidak sah tetapi upaya untuk itu tidak dimungkinkan karena pemeriksaan sah atau tidaknya tindakan penggeledahan dan penyitaan tidak termasuk lingkup pemeriksaan praperadilan. Oleh karena itu dalam rangka upaya pembaharuan hukum acara pidana nasional melalui rancangan Undang-Undang Hukum Acara Pidana(RKUHAP) tahun 2012 perlu pengaturan mengenai batasan keadaan yang sangat perlu dan mendesak secara objektif, selektif dan limitatif.

This thesis discusses concerning the situationwhich are necessary and urgent as the basis for search and seizure action. The purpose of this research is toascertain the frameworkofsituation that are necessary and urgent then to be linked withfunction of control from magistrate judge against the investigator whencarry out the actionof search and seizure,moreover any legal efforts that can be done by the suspect or other partieswho are disadvantaged by the search and seizure actions. The research is done using a judicial normative method. The results of this research is obtaining the fact that theframework of situation which is necessary and urgent when carry out the action of search and seizure is besidesthe worries that the suspect willrun away or repeat doing an injustice or the objectsthat are being seizure will be destroyedor diverted also the subjective valuation of the investigator so that performance required any mechanism controll either vertical nor horizontal. Moreover, if the search and seizure action generates deprivation toward the suspect or other parties then the effort that can be done are through indemnify. Nevertheless the effort through indemnify, shall undergo a process which stated that the search and seizure is illegal in advance yet this process is impossible because the examination of the legality of any search and seizure is not in the scope of the pretrial. For that reason, the effort to renew criminal procedural law through its future replacement with Draft of Criminal Procedural Law Year 2012 need to be regulated the situation which is necessary and urgent become objective, selective and limitedly."
Jakarta: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2014
T39195
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Agus Trianto
"Setiap bentuk pemberian kredit memiliki risiko untuk mengurangi risiko dalam penyaluran kredit adalah melakukan kerja sama pemberian kredit atau disebut juga kerja sama pembiayaan antarbank. Bentuk kerja sama pembiayaan yang umum dilakukan oleh bank-bank lebih dikenal dengan kredit sindikasi. Dalam praktik, permasalahan mengenai kredit macet tetap saja muncul. Salah satu solusi yang dapat ditempuh untuk masalah tersebut adalah melalui hukum kepailitan. Permasalahan yang sering dihadapi dalam hal kepailitan kredit sindikasi adalah siapa yang berwenang untuk melakukan permohonan pailit kepada debitor apabila para kreditor terikat perjanjian kredit sindikasi, apakah pernyataan pailit tersebut harus dilakukan oleh seorang agen ataukah dibolehkan pula kreditur itu sendiri mengajukan permohonan pailit dengan atau dengan tanpa persetujuan kreditur lainnya? Menurut UUKPKPU, seorang debitor dapat dipailitkan oleh satu atau lebih kreditornya. Akan tetapi, dalam UUKPKPU tidak dijelaskan secara terperinci perihal kreditor mana yang berhak untuk mengajukan permohonan pailit apabila kreditor terikat perjanjian kredit sindikasi. UUKPKPU menyebutkan hanya satu kali perihal kreditor sindikasi, yaitu dalam Penjelasan Pasal 2 ayat (1) sebagai berikut ?Bilamana terdapat sindikasi kreditor, maka masing-masing Kreditor adalah Kreditor sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 angka 2?. Sedangkan Pasal 1 angka 2 menyebutkan ?Kreditor adalah orang yang mempunyai utang karena perjanjian atau undang-undang yang dapat ditagih di muka pengadilan?.Hal ini berarti, UUKPKPU tidak membedakan kedudukan kreditur dari suatu perjanjian biasa atau perjanjian sindikasi. Seorang debitor dapat dipailitkan oleh salah satu atau lebih kreditornya. Mengingat dalam skema sindikasi kredit, terdapat agen fasilitas yang mendapatkan kuasa untuk bertindak untuk dan atas nama para kreditor termasuk untuk mewakili ke pengadilan. Kepailitan dapat terjadi dikarenakan debitur dalam keadaan tidak membayar hutangnya pada kreditor yang sudah jatuh tempo, dan bila kepailitan tersebut terjadi terhadap debitur yang terikat perjanjian kredit sindikasi, maka hal ini akan menimbulkan masalah bagi peserta kreditur sindikasi yang berhak mengajukan permohonan pailit, mengingat kreditor dalam kredit sindikasi dianggap sebagai kreditor Pasal 1 angka 2 UUKPKU. Dalam kredit sindikasi terdapat agen bank mempunyai peran yang besar, yaitu mewakili dan bertindak untuk kepentingan serta untuk dan atas nama para kreditur, pihak agen bank ini diangkat oleh para kreditur, serta hak atau kewenangan agen tersebut sudah diatur oleh para kreditor dengan agen itu. Masing-masing peserta sindikasi tidak mempunyai hubungan hukum yang langsung dengan debitur, karena itu tidak dapat berhubungan langsung dengan debitur, dengan demikian anggota dari peserta sindikasi tidak berhak menegur atau menagih pembayaran kredit pokok atau bunganya kepada debitur apabila debitur menunggak pembayaran, segala perbuatan hukum termasuk menyurati debitur hanya dapat dilakukan oleh agen. Penelitian ini akan berupaya untuk menjawab permasalahan-permasalahan berikut: Bagaimanakah ketentuan Pasal 2 ayat (1) disertai penjelasannya pada Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 diterapkan (ditaati) oleh para pihak yang terlibat dalam proses kepailitan di dalam kredit sindikasi? Bagaimanakah hakim menerapkan Pasal 2 ayat (1) disertai penjelasannya dalam putusan pengadilan yang dibuatnya? Bagaimanakah para pihak yang terlibat dalam kredit sindikasi khususnya peserta kredit sindikasi dan agen fasilitas mencari celah (loophole) untuk melakukan pengajuan permohonan pailit, mengingat ketentuan mengenai kepailitan terhadap kredit sindikasi masih belum diatur secara lengkap dalam Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004? Analisis yang dilakukan untuk menjawab pokok permasalahan tersebut akan menggunakan metode penelitian normatif. Adapun pendekatan yang digunakan ialah pendekatan (approach) dari sudut pendekatraktan ilmu hukum, baik secara yuridis (apa yang tertulis di dalam undang-undang) maupun empiris (apa yang terjadi di dalam praktik).

Every form of credit has an inherent risk along with it. To reduce the risk in credit provision, a distribution of the risk can be done by the means of credit provision cooperation or also known as interbank financing cooperation, with its most common form known as syndicated loan. In its application, the problem of nonperforming loan still arises. One of the solutions to such problem is the mechanism of Bankruptcy Law. The most common issue to the bankruptcy of syndicated loan is determining the party authorized to file for the bankruptcy of the debtor. When creditors are bound by syndicated loan agreement, does the bankruptcy filing fall within the duty of an agent or can any creditor file by himself with or without the approval of other creditors? According to the Bankruptcy Law, a debtor can face a bankruptcy charge from one or more of her creditors. However, the Law does not elaborate on which creditor reserves the right to file for bankruptcy in the case of syndicated loan. Only once does the Law mention the syndicated loan, that is in the Explanation of Article 2 number (1) as follows: "When there is a syndication of creditors, then each creditor is a creditor as mentioned in Article 1 number 2". Where Article 1 number 2 stipulates "Creditor is a person owning a debt which, by agreement or law, is collectible in front of Court". This means that the Bankruptcy Law does not apply any differentiation to the creditor within either a normal agreement or a syndication agreement. A debitor can be made bankrupt by one or more of her creditors. Taking into account the credit syndication scheme, an agent is authorized to act for and on behalf of the creditors, including the presence in the Court. A bankruptcy can take place due to the debtor's failure in paying her debts in due time to her creditors. And when such bankruptcy happens to a debtor bound by the syndicated credit agreement, the creditors in the syndicated loan will face an issue given that creditors in such syndicated loan is treated as a creditor in accordance to Article 1 number 2 of Bankruptcy Law. In a syndicated credit, there is a bank agent playing an important role, that is to represent and to act for the interest of and on the behalf of all the creditors. This bank agent is appointed by the creditors, and the rights and authorities of the agent are already part of the agreement between the creditors and the appointed agent. Each of the participants to the syndication does not have any direct legal connection to the debtor and thus is not able to communicate directly to the debtor. As such, any participant to the syndication has no right to collect payments to the credit, both of the principal or the interest, from ttrak Bhe debtor in the case of payment arrears. All legal action including the correspondence to the debtor is only performable by the agent. This research attempts to answer the following issues: How is the stipulation of Article 2 number (1), along with its explanation, of Act No. 37 Year 2004 applied (or abided) by the parties involved in the bankruptcy proceedings in syndication credit? How do the Judges apply Article 2 number (1), along with its explanation, in rendering their Judgement? How can the parties involved in credit syndication, particularly the participants to the syndicated credit and the agent find a loophole in filing for the bankruptcy, taking into account that stipulations regarding bankruptcy in a syndicated loan are still seeing gaps in Act No. 37 Year 2004? Analysis held to answer the main issue employs the normative research methods, with both legal (according to the letters of law) and empirical (according to the real-life application) approaches.
"
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2014
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
cover
Kamarunnisa
"Sejak dilanda krisis ekonomi pada pertengahan tahun 1997, banyak perusahaan-perusahaan yang merasakan dampaknya yang berakibat kesulitan untuk melakukan kegiatan usahanya termasuk dalam hal memenuhi kewajiban membayar kepada kreditur. Kewajiban membayar sejumlah uang dalam kepailitan disebut utang inilah yang tidak mampu dibayar oleh debitur sehingga muncul upaya pihak kreditur untuk mempailitkan debiturnya.Undang-undang nomor 4 tahun 1998 tentang Kepailitan tidak memberikan definisi atau pengertian apa yang dimaksudkan dengan "utang". Penjelasan Pasal 1 ayat 1 hanya menyebutkan bahwa utang yang tidak dibayar oleh debitur sebagaimana dimaksud dalam ketentuan ini adalah utang pokok atau bunganya. Ketiadaan pengertian ini membuka penafsiran yang berbeda tentang arti utang diantara kreditur, debitur, pengacara dan hakim.
Metode penelitian yang digunakan adalah penelitian normatif yaitu penelitian yang menitikberatkan pada penelitian perpustakaan, dan dari beberapa putusan pailit menunjukan telah terjadinya penafsiran yang berbeda tentang pengertian utang antara hakim Pengadilan Niaga, hakim Kasasi dan Peninjauan Kembali Mahkamah Agung. Dapat disimpulkan bahwa semua ini akibat dari kelemahan Undang-undang Kepailitan itu sendiri yang tidak memberikan definisi tentang utang. Demi kepastian hukum maka pengertian utang harus didefinisikan karena kepastian hukum dalam penyelesaian kasus-kasus kepailitan sangat diperlukan bagi Indonesia yang tengah melakukan perbaikan ekonomi."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2002
T36354
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>