Ditemukan 150906 dokumen yang sesuai dengan query
Universitas Indonesia, 2007
S24591
UI - Skripsi Membership Universitas Indonesia Library
Worotikan, Meiny Paulina
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2006
S24339
UI - Skripsi Membership Universitas Indonesia Library
Ingrid Veronica
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2004
S23867
UI - Skripsi Membership Universitas Indonesia Library
Muhammad Adhi Indra Bawana
Depok: Universitas Indonesia, 2003
T36643
UI - Tesis Membership Universitas Indonesia Library
Audi Anindya Pramesti
"Surety bond merupakan salah satu produk penjaminan yang umum ditawarkan oleh Perusahaan Asuransi Umum dalam pelaksanaan proyek untuk menjamin bahwa kontraktor atau principal dapat melaksanakan kewajibannya sesuai dengan perjanjian pokok. Apabila kontraktor wanprestasi maka pihak asuransi akan memberikan ganti kerugian kepada pemberi kerja atau obligee. Meskipun demikian, terdapat permasalahan yang mungkin timbul mengenai pertanggungjawaban perusahaan asuransi apabila kegagalan principal terjadi karena keadaan memaksa atau force majeure. Skripsi ini menggunakan metode Yuridis Normatif dan bersifat deskriptif dengan menggunakan data sekunder berupa studi kepustakaan dan menganalisis putusan-putusan yang berkaitan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa konflik mengenai surety bond yang seringkali terjadi adalah mengenai pencairan ganti kerugian. Pada umumnya, ketika kontraktor gagal melaksanakan prestasinya maka pihak pemberi kerja (obligee) akan meminta perusahaan asuransi untuk membayar klaim. Meskipun demikian, dalam hal principal mengklaim bahwa kegagalan dilaksanakannya prestasi akibat keadaan memaksa, maka perlu dilakukan peninjauan apakah keadaan yang diklaim oleh principal dapat disebut sebagai keadaan memaksa. Hal ini karena adanya indemnity agreement antara pihak kontraktor dengan perusahaan asuransi yang menyatakan bahwa setelah surety membayarkan ganti rugi, maka kontraktor perlu membayar kembali ganti rugi tersebut kepada surety. Oleh karena itu, apabila kegagalan principal diakibatkan oleh force majeure maka perusahaan asuransi tidak perlu mencairkan surety bond karena dalam force majeure debitur tidak bertanggung jawab atas kerugian yang timbul. Berdasarkan hasil penelitian ini, maka disarankan bagi para pihak untuk memahami risiko yang ditanggung oleh surety, melakukan tindakan preventif untuk mengantisipasi keadaan force majeure, dan memasukkan klausul force majeure di dalam perjanjian surety bond.
Surety bond is one of the common guarantee products offered by Insurance Companies in implementing projects to guarantee that the contractor or principal can carry out their obligations in accordance with the main agreement. If the contractor defaults, the insurer will provide compensation to the employer or obligee. Even so, there are problems that may arise regarding the liability of the insurance company if the principal failure occurs due to force majeure. This thesis uses the Normative Juridical method by using secondary data in the form of literature studies and analyzing related court decisions. The results of the study indicate that the conflict regarding surety bonds that often occurs is regarding the disbursement of compensation. In general, when the contractor fails to carry out its performance, the employer (obligee) will ask the insurance company to pay the claim. However, in the event that the principal claims that the failure to carry out the performance is due to force majeure, it is necessary to review whether the condition claimed by the principal can be called a force majeure situation. This is because there is an indemnity agreement between the contractor and the insurance company which states that after the surety pays compensation, the contractor needs to pay back the compensation to the surety. Therefore, if the principal failure is caused by a force majeure, the insurance company does not need to liquidate the surety bond because in a force majeure the debtor is not responsible for any losses that arise. Based on the results of this study, it is suggested for the parties to understand the risks borne by the surety, take preventive actions in order to anticipate force majeure situations, and include a force majeure clause in the surety bond agreement."
Jakarta: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2023
S-pdf
UI - Skripsi Membership Universitas Indonesia Library
Universitas Indonesia, 2006
S24023
UI - Skripsi Membership Universitas Indonesia Library
Hamid
"Dalam proses kegiatan pembangunan, permasalahan yang dihadapi oleh kontraktor bukan saja terbatas pada masalah ketrampilan (skill), peralatan dan permodalan, akan tetapi juga menyangkut masalah sulitnya memperoleh surat-surat jaminan sebagaimana dipersyaratkan oleh para pemilik proyek. Sehubungan dengan pentingnya surat jaminan dalam pelaksanaan pembangunan suatu proyek, saat ini telah tersedia suatu fasilitas jaminan dalam bentuk "Surety Bond" sebagai alternatif baru selain dari Bank Garansi. Jaminan Surety Bond ini hanya diberikan I diterbitkan oleh PT. (Persero) Asuransi Kerugian Jasa Raharja sebagai satu-satunya Lembaga Keuangan Non Bank yang berwenang menerbitkan Surety Bond. Jaminan ini relatif lebih meringankan bagi para kontraktor karena untuk memperolehnya tidak dipersyaratkan adanya agunan atau setoran uang jaminan, sehingga modal kerja yang dimiliki oleh kontraktor sepenuhnya dapat d ipergun akan untuk pelaksanaan pembangunan proyek. Adapun prosedur untuk memperoleh Surety Bond terdiri dari 2 (dua) tahapan. Pertama, setiap perusahaan (kontraktor) yang berminat menggunakan jaminan Surety Bond harus mengajukan surat permohonan menjadi nasabah terlebih dahulu. Sedangkan tahap kedua setiap kontraktor harus mengajukan surat permohonan jaminan Surety Bond. Permohonan ini hanya dapat dilakukan oleh perusahaan (kontraktor) yang telah menjadi nasabah. Dalam hal pelaksanaan pembangunan apabila kontraktor melakukan wanprestasi dan tidak mau membayar ganti rugi kepada pemilik proyek, maka pemilik proyek dapat mengajukan klaim kepada Jasa Raharja selaku pihak Surety yang menjamin terlaksananya kewajiban kontraktor. Pihak Surety akan membayar ganti rugi sesuai dengan kerugian yang nyata-nyata diderita oleh pemilik proyek dengan ketentuan maksimum sebesar nilai jaminan yang tertera dalam Surety Bond yang diterbitkan. Surety Bond akan hapus/berakhir apabila kontraktor telah selesai melakukan kewajibannya dengan baik atau apabila Jasa Rahaja selaku pihak Surety telah membayar ganti rugi kepada pemilik proyek. Apabila Jasa Raharja telah melakukan pembayaran klaim, maka berdasarkan Perjanjian Ganti Rugi dan adanya prinsip hak Subrograsi pihak Jasa Raharja dapat menuntut kembali ganti rugi kepada kontraktor dan / atau Indemnitor. Apabila baik kontraktor maupun Indemnitor tidak mau membayar ganti rugi kepada pihak Surety, maka Jasa Raharja selaku pihak dapat mengajukan gugatan melalui pengadilan. (HAMID)."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 1994
S-Pdf
UI - Skripsi Membership Universitas Indonesia Library
Bayu Adityo
"Skripsi ini membahas mengenai aspek hukum perasuransian khususnya mengenai perusahaan pialang asuransi. Pembahasan dimulai pada kegiatan usaha atau penyelenggaraan usaha perusahaan pialang asuransi serta tanggung-jawab yang dimiliki oleh perusahaan pialang asuransi berdasarkan pengaturan Pasal 22 Ayat (3) Peraturan Pemerintah No 73 Tahun 1992 Tentang Penyelenggaraan Usaha Perasuransian. Kemudian diuraikan mengenai pengertian, pengaturan dan pengecualian asas indemnitas. Juga dibahas mengenai kemungkinan penerapan asas indemnitas pada perusahaan pialang asuransi dalam kaitannya dengan tanggung-jawab perusahaan pialang asuransi berdasarkan pengaturan Pasal 22 Ayat (3) Peraturan Pemerintah No 73 Tahun 1992 Tentang Penyelenggaraan Usaha Perasuransian. Penelitian dalam skripsi ini adalah penelitian yuridis normatif dan bersifat diskriptif . Hasil penelitian dalam skripsi ini menyarankan bahwa pemerintah perlu melakukan pengubahan pengaturan Pasal 22 Ayat (3) Peraturan Pemerintah No 73 Tahun 1992 Tentang Penyelenggaraan Usaha Perasuransian dengan menambahkan kata karena kelalaian atau kesalahan perusahaan pialang asuransi dalam pasal tersebut agar perusahaan pialang asuransi yang dapat dikenakan tanggung-jawab dalam pengaturan pasal tersebut hanya perusahaan pialang asuransi yang melakukan kelalaian atau kesalahan saja dalam memerantarai pembayaran premi sehingga terlambat atau melewati tempo pembayaran premi.
This thesis explains about the aspect of insurance law, especially concerning the insurance broker company. The explanation starts from to describe of insurance broker bussiness and the responsibilites and obligation of insurance broker as stipulated in the 2nd paragraph of Article 22, Government Rule No. 73 of 1992 About Insurance Bussiness. Also being explained is about the rules and exceptions of the principle of indemnity. The possibility of the application of the principle of indemnity in insurance broker company, relating to the responsibilites of insurance broker as stipulated in 3rd paragraph of article 22, Government Rule No. 73 of 1992 About Insurance Bussiness. This thesis is a normative juridical research, and in a descriptive form. The conclusion of the research in this thesis recommend that the government need to amandement the article 22, Government Rule No. 73 of 1992 About Insurance Bussiness by adding the word “due to the negligence or by defaul of the insurance broker company” in the article so that the insurance broker company can only be considered responsible in that article only if the said insurance broker company negligent, or defaul in intermediary of premium payment, resulting in that the premium payment past it’s due date."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2010
S24815
UI - Skripsi Open Universitas Indonesia Library
EK. Imam Munawwir
Suranaya: Usaha Nasional, 1983
303.34 MUN a
Buku Teks Universitas Indonesia Library
Teguh Wicaksono Saputra
"Sistem terbuka dan asas kebebasan berkontrak yang dianut oleh hukum perjanjian Indonesia memberikan kesempatan yang sama bagi semua orang untuk dapat membuat atau menutup kontrak yang dikehendakinya secara bebas. Asas kebebasan berkontrak ini memiliki implikasi yang luas dalam aktivitas ekonomi masyarakat, sehingga apabila asas kebebasan berkontrak ini tidak dibatasi dan diawasi oleh pemerintah serta diterapkan tanpa mengakomodasi asas keseimbangan, maka akan menimbulkan dampak negatif. Hal tersebut disebabkan karena meskipun hukum memandang semua orang memiliki kedudukan yang sama, namun pada kenyataannya tidak semua orang memiliki kedudukan dan/atau kemampuan yang sama seperti misalnya secara sosiologis, psikologis dan/atau ekonomis. Oleh karena itu kebebasan berkontrak seharusnya memberikan kesempatan bagi para pihak untuk mengadakan tawar-menawar secara adil. Meskipun tidak terdapat ketentuan di dalam hukum perjanjian Indonesia yang secara tegas menyebutkan berlakunya asas keseimbangan di dalam pembuatan dan/atau pelaksanaan suatu Perjanjian, namun pada kenyataannya secara tidak langsung KUHPerdata Indonesia sesungguhnya telah mengadopsi asas keseimbangan di dalam ketentuan-ketentuannya. Hal ini membuktikan bahwa asas kebebasan berkontrak yang dianut oleh hukum perjanjian Indonesia sesungguhnya memiliki keterkaitan yang erat dengan asas keseimbangan. Pengadopsian asas keseimbangan terlihat dari ketentuan-ketentuan Pasal 1320 sampai dengan Pasal 1337 KUHPerdata Indonesia yang secara tidak langsung menghendaki adanya keseimbangan kehendak, keseimbangan kecakapan, dan keseimbangan informasi di antara para pihak. Selain itu, ditekankannya 'kesepakatan kedua belah pihak', 'pelaksanaan dengan iktikad baik' serta terikatnya suatu Perjanjian dengan 'kepatutan, kebiasaan dan undang-undang' di dalam ketentuan Pasal 1338 dan Pasal 1339 KUHPerdata Indonesia dan pengaturan 'keadaan memaksa' di dalam ketentuan Pasal 1244, Pasal 1245, Pasal 1444 dan Pasal 1445 KUHPerdata Indonesia juga menunjukkan bahwa ketentuan KUHPerdata Indonesia sesungguhnya menekankan harus adanya suatu keseimbangan (keadilan) di antara para pihak di dalam Perjanjian. Perjanjian yang pembuatannya hanya didasarkan pada asas kebebasan berkontrak telah menunjukkan bahwa Perjanjian tersebut berlangsung dalam suasana ketidakseimbangan. Oleh karena itu sesungguhnya suatu Perjanjian yang tidak seimbang tidak mempunyai kekuatan mengikat yang absolut sebab bertentangan dengan iktikad baik, rasa keadilan, dan kepatutan. Sehingga jika pelaksanaan Perjanjian menurut hurufnya justru akan menimbulkan ketidakadilan, maka demi memulihkan keseimbangan, hakim mempunyai wewenang untuk menyimpang dari isi Perjanjian menurut hurufnya baik dengan mengadakan penyesuaian terhadap klausul atau syarat-syarat yang tercantum dalam Perjanjian tersebut atau bahkan membatalkan Perjanjian tersebut. Hal tersebut pun ternyata juga telah diterapkan oleh pengadilan di Indonesia di dalam beberapa putusannya dalam perkara-perkara yang terkait dengan Perjanjian.
The open system and the principle of freedom of contract that applied by Indonesian law on contract gives every person the freedom to draw up and conclude a contract. This principle of freedom of contract has large implications in the economic activities of the people that consequently if this principle of freedom to engage in contract is not restricted and supervised by the government and be applied without accommodating the principle of equality of contract, negative impacts arising therefrom may be unavoidable. It is because, even though every person is equal before the law, it is the fact is that people do not have the same position and competence compared with how they are sociologically, psychologically and/or economically. Hence, the freedom to engage in contract is supposed to gives people the freedom to negotiate fairly. While the Indonesian law system lacks the provision that firmly stipulates the applicability of the principle of equality of contract in the execution and delivery of a contract, the fact is that indirectly, the Indonesian Civil Code has actually adopted the principle of equality of contract in its articles. This proves the principle of freedom of contract that applied by the Indonesian law on contract actually has close relationship to the principle of equality of contract. The adoption of the principle of equality of contract is reflected in the provisions of Article 1320 until Article 1337 of the Indonesian Civil Code which indirectly requires equality in intention, equality in competence, and equality in information between the two parties. Besides with the emphasis on 'consent of both parties', 'performed in good faith' and the binding of an agreement with 'courteousness, customary and law' in the provisions of Article 1338 and Article 1339 of the Indonesian Civil Code and also the rule of 'force majeur' in the provisions of Article 1244, Article 1245, Article 1444 and Article 1445 of the Indonesian Civil Code which at the same time shows that the Indonesian Civil Code actually emphasize the need of equality (fairness) between the parties in an agreement. An agreement that made only based on the principle of freedom of contract has shown that such an agreement goes along with the atmosphere of inequality. Accordingly, an agreement without the basis of equality does not have an absolute binding effect because it is incompatible with good faith, justice and courteousness. Consequently, if the implementation of the agreement literally will actually produce injustice, than the judge has the authority to divert from the literal wording of an agreement by making adjustments of the clauses or terms and conditions contained therein and even cancel the entire agreement in order to restore the equality between the parties. It also shows that such practice has been applied by the court in Indonesia in a number of its decisions on cases relating to agreements."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2011
T29261
UI - Tesis Open Universitas Indonesia Library