Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 79959 dokumen yang sesuai dengan query
cover
cover
cover
Napitupulu, Romelto
"ABSTRAK
Dikeluarkannya Undang-undang No. 34 Tahun 2004 Tentang TNI telah menimbulkan suatu aturan yang baru terhadap sistem peradilan pidana, secara yuridis dalam tatanan kewenangan mengatur masalah kekuasaan kehakiman adalah sesuai yang diatur dalam pasal 24 UUD 1945. Hal ini telah tersisipkan dalam Undang Undang tentang TNI yang merujuk pada pasal 30 UUD 1945 tentang pertahanan negara. Hal ini membawa dampak yang sangat besar terhadap masyarakat yang terkena aturan tersebut, sebab harus memulai dari mana sedangkan aturan hukum yang mengatur hanya mengenai penundukan militer terhadap peradilan umum dalam hal melakukan tindak pidana umum dan penundukan militer kepada peradilan militer yang melakukan tindak pidana militer. Hal ini ada dua yurisdiksi yang mengadili anggota militer. Penelitian ini mencoba menyikapi persoalan yang terjadi dengan menginventarisir peraturan-perundangan yang dianggap perlu serta menganalisa kelemahan-kelemahannya dan memberikan saran dalam efektifitas pemberlakuannya. Dalam melaksanakan perintah Undang¬undang No. 34 Tahun 2004 ini perlu diperhatikan selain aspek yuridis juga aspek sosiologis dan psikologis, karena hukum akan menjadi kaidah yang mati apabila kaidah tersebut hanya berlaku secara yuridis, artinya harus juga mempertimbangkan faktor¬faktor lain yang akan mempengaruhi pemberlakuan hukum tersebut seperti budaya hukum dari anggota masyarakat atau kelompok masyarakat yang terkena aturan tersebut. Apabila melihat pads kedudukan kepolisian sebagai penyidik terhadap semua tindak pidana sesuai yang di atur dalam Undang-undang No, 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia dan dalam Undang¬undang No. 8 Tahun 1981 tentang KUHAP yang mengatakan bahwa Polisi sebagai pejabat negara yang melakukan penyidikan, maka apabila hal ini dihadapkan dengan Undang-undang No. 31 Tahun 1997 yang mengatakan bahwa penyidik di lingkungan peradilan militer adalah Ankum, PaM dan Oditur, sama halnya yang berlaku dalam hukum militer Amerika Serikat bahwa penyidikan dilakukan oleh anggota militer yang ditunjuk oleh Undang-undangnya. Maka oleh karena itu, kedudukan Kepolisian umum sebagai penyidik terhadap semua tindak pidana tidak dapat diberlakukan juga kepada militer karena tidak ada landasan hukumya yang mengatur demikian. Untuk efektifitas pelaksanaan pemberlakuan Undang¬undang ini maka perlu menyiapkan aturan hukum terkait sebagai pendukung seperti pembenahan terhadap hukum materiilnya, atau memberlakukan sistem peradilan pidana campuran, atau merevisi Undang-undangnya. Dalam penelitian ini dilakukan usaha-usaha dalam menemukan sinkronisasi analisa normatif dan sosiologis yang akan menghasilkan jawaban-jawaban atas permasalahan¬permasalahan yang terdapat dalam penelitian ini.

ABSTRACT
The promulgation of Law no. 34/2004 on Indonesian National Armed Forces marks the emergence of a new regulation in the criminal court system which juridically governs-at the level of authority-the judicial power pursuant to Article 24 of the 1945 Constitution. This issue has been incorporated in the Armed Forces Law referring to the Article 30 of the 1945 Constitution on state defense. This has brought tremendous impact to the people affected by the Law: it is unclear from where the prosecution should begin because the existing regulations only govern the military's submission to the general court in relation to general criminal cases as well as military's submission to the military court in the case of military criminal acts. Hence, there are two jurisdictions that are able to try military personnel. This research attempts to face this problem by listing the necessary legislations and analyzing their weaknesses as well as providing suggestions for their effective implementation. In the implementation of Law no. 34 Year 2004, the social and psychological aspects also need to be considered besides juridical aspect since a law will become an inapplicable norm if it is mere juridical. It signifies that other factors which influence the implementation, such as the legal culture hold by the members of society affected by the law should be taken into account. In view of the position of the police as criminal investigator, pursuant to Law no. 2/2002 on Police Force of the Republic of Indonesia and Law no. 8/1981 on Criminal Procedural Laws, the police is the state official who conducts investigation. However, if contrasted to Law no. 31/1997, the investigator within the military tribunal environment is the Ankum (Atasan yang berhak merrghukum) 'judging supervisor', the POM 'military police' and the military prosecutor. The same is also applicable in the US martial law where investigation is conducted by a personnel assigned by the law. Therefore, the position of police as investigator to any criminal cases is not applicable to the military situation due to the absence of appropriate legal basis. For an effective implementation of this Law, it is necessary to have supporting relevant regulations to refine the material law, impose mixed criminal tribunal, or revise the Law itself. In this study, several attempts have been performed to identify the harmonization between normative and sociological analyses which will find solutions to the problem.
"
2008
T 22903
UI - Tesis Open  Universitas Indonesia Library
cover
cover
"Pengkajian mengenai mekanisme penindakan terhadap Anggota DPR yang melakukan tindak pidana korupsi dipandang perlu didasarkan pada beberapa pertimbangan, yaitu pertama bahwa lembaga DPR RI saat ini berada pada posisi tertinggi dalam daftar kasus korupsi. Kedua, upaya pemberantasan korupsi merupakan komitmen bersama yang harus menjadi prioritas. Hasil kajian ini menunjukkan bahwa keterlibatan Anggota DPR RI dalam tindak pidana korupsi karena secara normatif terjadi perluasan subyek pelaku tindak pidana korupsi termasuk Anggota DPR sebagai penyelenggara negara, serta penekanan pada tindak pidana korupsi sebagai tindak pidana formil dan tidak perlu adanya kerugian keuangan negara dan perekonomian negara yang nyata. Mekanisme perijinan sebagai bagian dari penindakan terhadap Anggota DPR RI untuk kasus tindak pidana korupsi tidaklah mutlak. Mekanisme perijinan ini penting untuk melindungi hak-hak dan kepentingan Anggota DPR. Kajian ini sampai pada saran agar rumusan mengenai tindakan terhadap Anggota DPR RI dalam Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2009 tentang MPR, DPR, DPD dan DPRD (MD3) dan Peraturan Tata Tertib perlu lebih lengkap dan rinci"
JLI 8:2 (2011)
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
cover
Universitas Indonesia, 1997
S21818
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
cover
cover
Jelli Rita
"Penulisan ini mengkaji Eksistensi Peradilan Militer Pasca Tunduknya Militer pada Peradilan umum dalam hal melakukan tindak pidana umum. Hal ini bertitik tolak dari pasal 3 ayat 4 huruf a Ketetapan MPR Nomor VII/MPR/2000 tentang Peran TNI dan Peran Polri. Kemudian diatur kembali dalam Undang-undang Nomor 34 tahun 2004 tentang Tentara Nasional Indonesia pasal 65 ayat 2 khususnya yang mengatur Prajurit tunduk kepada kekuasaan peradilan militer dalam hal pelanggaran hukum pidana militer dan tunduk pada kekuasaan peradilan umum dalam hal pelanggaran hukum pidana umum. Yang membawa perubahan sangat mendasar, karena selama ini Peradilan Militer berwenang mengadili semua tindak pidana yang dilakukan prajurit, baik tindak pidana militer maupun tindak pidana umum.
Penelitian ini memberikan hasil bahwa hukum pidana militer merupakan lex spesialis dari hukum pidana umum yaitu hukum yang berlaku bagi justisiabel peradilan militer. Saat ini pemerintah dan DPR sedang membahas RUU tentang Perubahan terhadap UU Nomor 31 tahun 1997 tentang Peradilan Militer sebagai tindak lanjut dari pasal 65 ayat 2 UU Nomor 34 tahun 2004 tentang TNI. Merubah UU Nomor 31 tahun 1997 tentang Peradilan Militer hanya melakukan perubahan yang parsial, karena hanya merubah aspek structural saja. Sedangkan untuk Aspek substansi (hukum pidana materiel) tentang pelanggaran hukum pidana umum yang dilakukan oleh militer diatur dalam KUHPM pada pasal 2 yang menyatakan terhadap tindak pidana yang tidak tercantum dalam kitab Undang-undang ini (KUHPM) yang dilakukan oleh orang-orang yang tunduk pada kekuasaan badan-badan Peradilan Militer diterapkan hukum pidana umum. Menurut KUHPM tindak pidana yang dilakukan militer adalah tindak pidana yang diatur dalam KUHPM terdiri dari tindak pidana militer murni (hanya mungkin dilakukan oleh militer) misalnya, desersi, insubordinasi dan tindak pidana militer campuran yang pada prinsipnya sudah diatur dalam KUHP atau ketentuan lain tetapi dianggap ancaman pidananya perlu diperberat.

This thesis focuses on the existence of military court after placing the military under direction of general court in case of it member excecutes a general criminal action. The starting point of this study begin with article 3 paragraph 4 sub paragraph a, of People's Consultative Council Establishment number VII/MPR RI/2000 of Military and Police Role. Futhermore, this issue has been rearranged in law number 34 year 2004 of Indonesian Army, especially in article 65 paragraph 2 with is stated that soldiers should be processed in military court in case of the committed military criminal action, and yet should be processed in general court in case of they committed general criminal action. This brings a fundamental changes regarding authority of processing the soldiers who so far had been processed in military court, either they committed general criminal action or military criminal action in particular.
The study shows that military criminal law is a lex specialis of general criminal law which is applicable in military court jurisdiction. Recently, the Government and House of Representative have been discussing the Draft of Amendment of Law Number 31 year 1997 of Military Court as a follow up of article 65 paragraph 2 of Law number 34 year 2004 regarding Indonesian Army. By changing the law number 31 year 1997 of Military court is only necessary partial changes which focus only on structural aspect perse. While its substantial aspect i.e, material of criminal law itself regarding desecration to general criminal law committed by soldiers arranged in article 2 of Military Criminal Code (KUHPM) which is stated that over any criminal action which is not regulated in this code (KUHPM) committed by people that should be processed in military court affected by general criminal law. In KUHPM, criminal action committed by military covers what is known as pure military criminal which is only possible committed by military members such as desertation, insubordonance, and mixed military criminal action which have been regulated in Criminal Code, principally, or other regulations but the punishment of such action should be imposed heavier.
"
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2007
T38073
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Harahap, Muhammad Hanafi
"ABSTRAK
Pidana bersyarat di Indonesia menganut sistem suspended sentence, dimana yang ditangguhkan adalah pelaksanaan pidananya. Pertimbangan Hakim dalam penjatuhan pidana bersyarat terhadap tindak pidana kelalaian berlalu lintas yang mengakibatkan orang lain meninggal dunia, didasari oleh adanya karakteristik restorative justice dalam upaya penyelesaian oleh terdakwa melalui perdamaian dengan pihak keluarga korban, sehingga mencerminkan sikap tanggungjawab dari terdakwa. Dalam penerapan pidana bersyarat terhadap tindak pidana ini, ditemukan adanya persamaan konsep dengan model kombinasi Denmark, dimana selain dijatuhi pidana bersyarat, tetapi juga dijatuhkan pidana pokok lainnya. Namun, jenis pidana pokok yang diterapkan oleh sistem kombinasi Denmark berbeda dengan pidana pokok yang ditemukan dalam penelitian ini.

ABSTRACT
The conditional sentence of Indonesia in accordance with the suspended sentence system which is execution of sentence is suspended. The consideration of judge in sentencing of the suspended sentence to the crime of traffic negligence that causing other people death, based on the existence of a characteristic of restorative justice in the settlement attempts by the defendant through peace with the families of victims, so that reflect the attitude of the defendant?s liability. In the implementation of suspended sentence to this crime, it was found that there is a common concept with the model combination Denmark, where beside sentenced suspended sentence, but also sentenced with another sentence. However, the sentence which combined with suspended sentence in model combination Denmark is different with the sentence that found in this study.
"
2015
S61594
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>