Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 86256 dokumen yang sesuai dengan query
cover
cover
Wildan Suyuthi
Jakarta : Kencana, 2013
174.309 598 WIL k
Buku Teks SO  Universitas Indonesia Library
cover
Haslinda
Depok: Universitas Indonesia, 2002
S22182
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Abintoro Prakoso
Surabaya: Laksbang Justitia, 2015
340.112 ABI e
Buku Teks SO  Universitas Indonesia Library
cover
Muhammad Brillyan Alvayedo
"Hakim sebagai peran terpenting dalam dunia persidangan diharuskan untuk menjaga perilaku dan perbuatannya baik mengenai substansi dalam persidangan maupun berkegiatan sehari-hari di luar persidangan. Melalui Keputusan Bersama Ketua Mahkamah Agung RI dan Ketua Komisi Yudisial RI Nomor 047/KMA/SKB/IV/2009 – 02/SKB/P.KY/IV/2009, Kode Etik dan Pedoman Perilaku Hakim dibentuk sebagai pedoman bagi hakim dalam berperilaku yang dimana wewenang Komisi Yudisial sebagai pengawas eksternal hakim memiliki peran dalam penegakan kode etik dan pedoman perilaku hakim, namun seberapa besar wewenang yang dimiliki oleh Komisi Yudisial dalam fungsi pengawasan hakim tersebut dan hakim tidak dapat serta merta dihukum apabila melanggar prinsip dasar kode etik dan pedoman perilaku hakim, terdapat penyelesaian hukum untuk membuktikan perbuatan pelanggaran oleh hakim dan penjatuhan sanksi kepada hakim yang terbukti melanggar kode etik dan pedoman perilaku hakim. Peneliti memakai metode penelitian Yuridis Normatif dengan sifat deskriptif analisis yang memakai data sekunder dari menerapkan alat pengumpul data meliputi studi kepustakaan dengan Metode analisis data secara Kualitatif. Pertanyaan penelitian Hasil dari penelitian ini menunjukkan bahwa lemahnya fungi pengawasan dari Komisi Yudisial terhadap penjatuhan sanksi yang hanya berupa rekomendasi merupakan fokus utama dalam pembenahan hubungan antara Mahkamah Agung dan Komisi Yudisial. Hal ini juga turut memberikan implikasi terhadap penyelesaian hukum yang dimana seharusnya para pengawas hakim saling bahu membahu dalam menegakkan prinsip-prinsip dasar Kode Etik dan Pedoman Perilaku Hakim.

Judges as the most important role in the world of trial are required to maintain their behavior and actions both regarding substance in the trial and daily activities outside the trial. Through a Joint Decision of The Chairman of The Supreme Court Republic of Indonesia and The Chairman of The Judicial Commission Republic of Indonesia Number 047/KMA/SKB/IV/2009 – 02/SKB/P.KY/IV/2009, the Code of Ethics and Guidelines of Conduct for Judges was established as a guide for judges in their behavior which The authority of the Judicial Commission as an external supervisor of judges has a role in enforcing the code of ethics and guidelines of conduct for judges behavior, but how much authority does the Judicial Commission have in the supervisory function of these judges and judges cannot be immediately punished if they violate the basic principles of the code of ethics and guidelines of conduct for judges behavior, there is a legal settlement to prove violations by judges and the imposition of sanctions on judges who are proven to have violated the code of ethics and guidelines of conduct for judges. The researcher uses a normative juridical research method with descriptive analysis that uses secondary data from applying data collection tools including literature study with qualitative data analysis methods. The results of this study indicate that the weak supervisory function of the Judicial Commission against the imposition of sanctions that are only in the form of recommendations is the main focus in improving the relationship between the Supreme Court and the Judicial Commission. This also has implications for legal settlements where supervisory judges should work hand in hand in upholding the basic principles of the Code of Ethics and Guidelines of Conduct of Judges.
"
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2022
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Jonathan Albert Nicolas
"Kasus korupsi yang melibatkan dua orang hakim agung Sudrajad Dimyati dan Gazalba Saleh seolah meruntuhkan marwah Mahkamah Agung sebagai pelaksana kekuasaan kehakiman di Indonesia dalam menegakkan hukum dan keadilan. Terjadinya korupsi bahkan pada jabatan hakim agung yang berada di Mahkamah Agung, dimana seharusnya Mahkamah Agung melaksanakan pengawasan tertinggi secara internal kepada hakim di bawah Mahkamah Agung itu sendiri. Hal tersebut menggambarkan degradasi moral dan etika telah sampai ke tubuh lembaga penegak hukum itu sendiri. Kasus korupsi yang melibatkan dua hakim agung tersebut tidak lepas dari pelanggaran Kode Etik dan Perilaku Hakim. Oleh karena itu, skripsi ini akan membahas mengenai analisis pengaturan pengawasan hakim di Indonesia beserta analisis implementasi penegakannya yang terdapat pada kasus korupsi Sudrajad Dimyati dan Gazalba Saleh sebagai hakim agung. Metode penelitian pada tulisan ini menggunakan penelitian yuridis normatif yang menggunakan sumber hukum dan kepustakaan dalam menganalisis permasalahan yang ada. Penelitian ini juga mencoba menganalisis temuan permasalahan yang menjadi hambatan Komisi Yudisial dalam mengawasi hakim mulai dari tidak adanya pengaturan secara normatif terkait kapan pelaksanaan pemeriksaan etik dilakukan saat bersamaan dengan pemeriksaan pidana, sulitnya bersinergi dengan POLRI dan KPK untuk mendapat bantuan penyadapan dalam rangka mengawasi hakim, hingga akses keterbukaan publik terhadap temuan pelanggaran etik hakim yang dianggap sulit oleh masyarakat sebagai mitra dalam pengawaasan hakim. Untuk mengetahui implementasi pemeriksaan kode etik yang dilakukan saat bersamaan dengan pemeriksaan pidana pada profesi lain, penelitian dilakukan dengan membandingkan penegakan kode etik hakim dengan kode etik POLRI dan hakim konstitusi. Analisis terhadap penegakan pengawasan hakim ini diharapkan agar kedepannya dapat dilakukan perbaikan terhadap penegakan dan pengawasan etik hakim untuk mencapai peradilan yang bersih dan adil.

The corruption case involving two Supreme Court judges, Sudrajad Dimyati and Gazalba Saleh, seemed to undermine the spirit of the Supreme Court as the executor of judicial power in Indonesia in upholding law and justice. The occurrence of corruption even in the position of supreme court judge in the Supreme Court, where the Supreme Court should carry out the highest supervision internally to judges under the Supreme Court itself. This illustrates that moral and ethical degradation has reached the body of the law enforcement agency itself. The corruption cases involving the two Supreme Court justices cannot be separated from violations of the Code of Ethics and Judge Behavior. Therefore, this thesis will discuss the analysis of the regulation of supervision of judges in Indonesia and the analysis of the implementation of its enforcement contained in the corruption cases of Sudrajad Dimyati and Gazalba Saleh as supreme court judges. The research method in this paper uses normative juridical research that uses legal sources and literature in analyzing existing problems. This research also tries to analyze the findings of problems that become obstacles for the Judicial Commission in supervising judges ranging from the absence of normative arrangements related to when the implementation of ethical examinations is carried out at the same time as criminal examinations, the difficulty of synergizing with POLRI and KPK to obtain wiretapping assistance in order to supervise judges, to access to public disclosure of findings of ethical violations of judges which are considered difficult by the public as partners in supervising judges. To find out the implementation of code of ethics examinations conducted simultaneously with criminal examinations in other professions, research was conducted by comparing the enforcement of judges' code of ethics with the code of ethics of POLRI and constitutional judges. This analysis of the enforcement of judges' supervision is expected to improve the enforcement and supervision of judges' ethics in the future to achieve a clean and fair judiciary."
Jakarta: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2023
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Siahaan, Lintong Oloan
"Yudisial power is free and independent in nature (Yudisial Independence). It is arranged in both the constitution and tire law. The judge in hearing and deciding a case must be free, objective and neutral. The judge must be free of any influences, including the influence of executive and legislative. The separation of Yudisial institution from the Department of Justice (executive) may result in concern that the Supreme Court (judicative) will became a party controlling indicative power (a tyranny). To prevent it from happening, a Komisi Yudisial is established as an independent institution (external control), whose function is to supervise and develop the judges (checks and balances). Many countries in the world already have a Komisi Yudisial, using different names. In addition to maintaining the standard and the value of judges, Komisi Yudisial also serves to recruit the judges of the Supreme Court."
Hukum dan Pembangunan, 2005
HUPE-35-4-(Okt-Des)2005-407
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
cover
Syafitri Apriyuani Supriatry
"ABSTRAK
Tesis ini bertujuan untuk menganalisis kinerja Komisi Yudisial sebagai penegak kode etik (code of ethics) hakim dan merekonstruksi kewenangan Komisi Yudisial sebagai peradilan etik (court of Ethics) hakim Indonesia. Penelitian ini adalah penelitian hukum normatif dengan pendekatan konseptual, sejarah hukum, dan perbandingan hukum. Hasil penelitian ini menunjukkan kinerja Komisi Yudisial sebagai penegak kode etik hakim belum optimal. Rekomendasi dari Komisi Yudisial yang dilaksanakan oleh Mahkamah Agung relatif sangat kecil, angka ini dapat ditafsirkan bahwa rekomendasi Komisi Yudisial belum efektif dilaksanakan sehingga fungsi Komisi Yudisial dalam menjaga dan menegakkan kode etik hakim belum optimal yang disebabkan oleh Pertama, ketidakjelasan garis demarkasi antara ranah etik dan teknis Yudisial oleh Komisi Yudisial dan Mahkamah Agung. Kedua, resistensi hakim terhadap lembaga penegak kode Etik di luar struktur lembaga. Ketiga, Kewenangan Komisi Yudisial yang terbatas pada usulan penjatuhan sanksi. Maka didasarkan hal tersebut Kewenangan Komisi Yudisial di masa depan (ius constituendum) perlu direkonstruksi sebagai peradilan etik (court of Ethics) hakim dengan cara, Pertama, Memetakan Yuridiksi ranah etik dan teknis Yudisial oleh Komisi Yudisial dan Mahkamah Agung yaitu dengan menganulir kewenangan KY untuk menilai putusan hakim dan menyerahkan seluruh kewenangan dalam penegakan kode etik hakim kepada Komisi Yudisial. Kedua, Mengklasifikasikan hakim Indonesia yaitu, hakim agung, dan seluruh hakim di bawah Mahkamah Agung. Ketiga, menerapkan konsep Quasi peradilan dan prinsip peradilan modern dalam merkonstruksi Komisi Yudisial. Keempat, mengkomposisikan keanggotaan Komisi Yudisial terdiri atas Ketua Komisi Yudisial yang dijabat oleh Ketua Mahkamah Agung secara ex-officio dan enam komisioner lain dengan komposisi anggota mayoritas non-hakim. Kelima, amandemen konstitusi sebagai upaya merekonstruksi Komisi Yudisial.

ABSTRACT
The reasearch aims to analyze the achivement of Judicial Commission as the institutions that enforce the code of ethics of judges and to reconstruct the authority of the Judicial Commission as court of Ethics for Indonesian judges.This research is a normative research that use historical, comparative, and conceptual approach. The results of this reasearch indicate the performance of the Judicial Commission to enforcing the code of ethics of judges has not been optimal. Recommendation of the Judicial Commission are implemented by the Supreme Court is relatively small, this can be interpreted to mean that the Judicial Commission's recommendations have not been effectively implemented so that the function of the Judicial Commission in guarding and enforcing the code of ethics of judges has not been optimal. This was caused by the First, unclear demarcation line between ethics domain and Judicial Technical by Judicial Commission and the Supreme Court. Second, the resistance of judge against an external institution to enforce code of ethics. Third, the limited authority of the Judicial Commission to propose the punishment. So based on that, the authority of the Judicial Commission in the future (ius constituendum) needs to be reconstructed as court of Ethics for Indonesian judges. These things done in some ways, First mapping the jurisdiction of the ethics domain and technical Judicial by the Judicial Commission and the Supreme Court is with annulled the authority of judicial commission to to assess a judge's decision and hand over all the authorities in the enforcement of the code of ethics of judges to the Judicial Commission. Second, classifying of Indonesian judges are supreme court judges, and all the judges under the scope of Supreme Court. Third, applying the concept of Quasi-judicial and modern judicial principles in the reconstrution of Judicial Commission. Fourth, compose the membership of the Judicial Commission consists of the Chairman of the Judicial Commission is chaired by the Chief Justice as ex-officio and six other commissioners with the composition of the majority of non-judges. Fifth, amending the constitution to reconstruct the Judicial Commission.
"
2016
T45987
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Arbijoto
"Kode Kehormatan Hakim adalah kode etik dari para hakim, yaitu kaidah-kaidah atau norma-norma bagi para hakim dalam menjalankan tugas dan kewajibannya. Kaidah-kaidah dalam kode tersebut, merupakan norma moral, karena mengikat para hakim dalam menjalankan profesinya. Ikatan itu bukan secara fisik akan tetapi secara psikis, dan karenanya pelaksanaannya secara primer tidak dapat dipaksakan dari luar, akan tetapi harus-timbul dari diri hakim itu sendiri, walaupun secara seconder dimungkinkan adanya penindakan secara fisik.
Apabila dihubungkan dengan tugas sehari-hari hakim dalam memeriksa dan memutuskan perkara yang dihadapkan kepadanya, maka kewajiban hakim tidak hanya sekedar memperhatikan aspek legalitas (Arbitrary Rules) yaitu sekedar menerapkan norma-norma hukum sehubungan dengan perkara (kasus) yang dihadapkan kepadanya, akan tetapi juga harus diperhatikan aspek legitimasi (Ethical Princip_les), yaitu apakah hakim dalam memutuskan telah sesuai dengan prinsip deontologi sebagaimana yang dimaksudkan dalam kode kehormatan tersebut, yaitu apakah putusannya telah sesuai dengan prinsip kejujuran, keadilan, kebijaksanaan, berkelakuantidak tercela dan telah mendasarkan pada ketaatannya terhadap Allah.
Dikatakan bahwa hakim dalam menjalankan profesinya telah memenuhi azas legitimasi (Ethical Principles), apabila hakim dalam menjalankan profesinya berpegang teguh pada prinsip deontologis, sebagaimana dikemukakan di atas. Prinsip itu dapat dicapainya apabila sanggup untuk melaksanakan tugas dan kewajibannya tanpa pamrih dan mempertanggungjawabkan kepada suara hatinya (transendensi diri) serta kepada Allah (transendensi iman) dan ia hanya dapat mempertanggungjawabkannya apabila ia bebas dalam menjalankan profesinya.
Karena kode kehormatan tersebut memuat ajaran tentang moralitas bagi para hakim dalam melaksanakan profesinya, maka penulis akan meninjau Kode Kehormatan Hakim dengan melakukan suatu refleksi (pemikiran secara kritis), dengan menelusuri pemikiran para filsuf dari zaman Yunani kuno sampai zaman Post-Modern terhadap ajaran moralitas bagi para hakim yang termaktub dalam kode kehormatan."
Depok: Universitas Indonesia, 1995
S16003
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>