Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 158453 dokumen yang sesuai dengan query
cover
"Praperadilan merupakan suatu kewenangan dari Pengadilan
Negeri untuk memeriksa dan memutus (bukan mengenai pokok
perkara) tentang keabsyahan penangkapan, penahanan, penghentian
penyidikan, penghentian penuntutan dan memutus permintaan ganti
kerugian dan rehabilitasi yang perkara pidananya tidak
dilanjutkan ke sidang Pengadilan Negeri. KUHAP tidak mengatur
secara tegas mengenai adanya kemungkinan upaya hukum kasasi
terhadap putusan praperadilan. Namun sejak berlakunya UU No. 5
Tahun 2004 tentang Mahkamah Agung di dalam Pasal 45A disebutkan
bahwa putusan praperadilan merupakan perkara yang dikecualikan
dari perkara-perkara yang dapat diajukan kasasi. Adapun
permasalahan mulai timbul, manakala Hakim praperadilan memberi
putusan melebihi batas wewenangnya atau Hakim salah dalam
menerapkan hukum. Hal inilah yang terjadi dalam perkara
praperadilan PT. Newmont Minahasa Raya (yang terjadi setelah UU
No. 5 Tahun 2004 berlaku) dan perkara Ginanjar kartasasmita
(yang terjadi sebelum UU No. 5 Tahun 2004 berlaku) sebagai
perbandingan. Kemudian timbul permasalahan dapatkah diajukan
kasasi terhadap putusan praperadilan tersebut. Ternyata
Mahkamah Agung menerima dan mengabulkan permohonan kasasi yang
diajukan, dengan alasan bahwa sebagai Pengadilan Negara
Tertinggi MA wajib memeriksa dan memutus permohonan kasasi
yang diajukan terhadap putusan pengadilan yang berada di
bawahnya yang nyata-nyata salah dalam menerapkan hukum atau
Hakim melebihi batas wewenangnya. Dengan demikian dapat
dikatakan bahwa dalam praktik peradilan, masih dimungkinkan
upaya hukum kasasi terhadap putusan praperadilan, namun
sifatnya kasuistis, yaitu apabila putusan praperadilan melebihi
batas wewenang atau salah dalam menerapkan hukum. Skripsi ini
akan mengulas mengenai upaya hukum kasasi terhadap putusan
praperadilan, baik menurut teori maupun penerapannya dalam
praktik peradilan di Indonesia, serta hendak menganalisis
putusan Mahkamah Agung RI No. 190 K/Pid/2005 tanggal 15 Maret
2005 (kasus praperadilan PT. NMR) dan putusan Mahkamah Agung RI
No. 35 K/Pid/2002 Tanggal 6 Maret 2002 (kasus praperadilan
Ginanjar)."
[Universitas Indonesia, ], 2006
S21919
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Jakarta: Proyek Yurisprudensi. M.A., [date of publication not identified]
345 IND p
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
cover
Theodora Yuni Shah Putri
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2002
S22095
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Harahap, M. Yahya
"Commentary on the Indonesian Criminal Procedure Code"
Jakarta: Sinar Grafika, 2009
345.05 HAR p
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
cover
Harahap, M. Yahya
Jakarta: Sinar Grafika, 2013
345.05 HAR p
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
cover
cover
Darwan Prinst
Bandung: Citra Aditya Bakti, 1993
345.072 DAR p
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
cover
Yoga Baskara Y.
"Salah satu fungsi yang melekat pada Mahkamah Agung adalah melaksanakan pengadilan kasasi. Dalam prakteknya, pengadilan kasasi seakan menjadi pengadilan tingkat ketiga setelah pengadilan banding. Hal tersebut menjadi salah satu pembahasan dalam penyusunan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana ("KUHAP") yang baru. Para penyusun KUHAP bermaksud untuk memurnikan fungsi pengadilan kasasi sebagai judex juris dengan memberikan batasan bagi Mahkamah Agung berupa larangan untuk menjatuhkan pidana yang lebih berat dibandingkan pengadilan sebelumnya. Skripsi ini membahas dan menganalisis apakah benar bahwa Mahkamah Agung dalam kedudukannya sebagai judex juris tidak dapat menjatuhkan pidana lebih berat dari pengadilan sebelumnya, sekaligus juga menganalisis putusan kasasi yang menjatuhkan pidana lebih berat. Penelitian ini merupakan penelitian yuridis-normatif menggunakan data sekunder.
Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa pada praktenya, Mahkamah Agung dapat menjatuhkan pidana yang lebih berat dibandingkan putusan pengadilan sebelumnya. Selain itu, peneitian ini juga menunjukan bahwa dalam dua putusan yang penulis analisis, pertimbangan majelis hakim pemeriksaan kasasi telah keliru memahami konsep dari pengadilan kasasi itu sendiri, dimana hal tersebut juga menunjukan bahwa kasasi yang ada di Indonesia telah keluar dari koridornya sebagai judex juris.

One of the functions of the Supreme Court is conducting the court of cassation. In practice, the court of cassation turns out to be a third-level court after the court of appeal. It became one of the discussion in the preparation of the new Code of Criminal Procedure. The drafters of the new Code of Criminal Procedure intend to purify the function of court of cassation as judex juris by limiting the Supreme Court to impose a more severe punishment than the previous court`s decision. This thesis discusses and analyzes wether it is true that the Supreme Court in his capcity as judex juris can not impose a more severe punishment than the prevous court`s decision, as well as analyzing the Cout of Cassion`s decisions that impose a more severe punishment than the prevous court`s decision. This research is a normative legal research using secondary data.
The results of this thesis showed that in practice, the Supreme Court may impose a more severe punishment than the prevous court`s decision. In addition In addition , this study also shows that in consideration of the judge in the decision that the authors analyzed , the judges of cassation examination has misunderstood the concept of a court of cassation itself , so it shows that appeal in Indonesia has come out of the corridors as judex juris."
Depok: Universitas Indonesia, 2015
S58968
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Soedirjo
Jakarta: Akademika Pressindo, 1984
345 SOE k
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
cover
Christina
"ABSTRAK
Fenomena Notaris memperoleh panggilan dari penyidik Polri, penuntut umum atau hakim semakin sering terjadi dalam proses peradilan pidana. Pada umumnya, ketentuan-ketentuan dalam Kitab Undang - Undang Hukum Pidana (KUHP) yang disangkakan dan dapat digunakan oleh penyidik, penuntut umum maupun hakim untuk menetapkan seorang Notaris menjadi tersangka, terdakwa dan selanjutnya menjatuhkan pidana adalah Pasal 55 sampai dengan Pasal 62 KUHP tentang penyertaan dalam melakukan perbuatan pidana, dihubungkan (di-juncto-kan) dengan perbuatan pidana atau delik itu sendiri. Meskipun sering digunakan dalam proses peradilan pidana terhadap Notaris, pada kenyataannya ketentuan tentang penyertaan dalam KUHP maupun Undang ? Undang Jabatan Notaris (UUJN) tidak memberi penjelasan yang memadai mengenai hal tersebut. Mengingat fokus penelitian adalah penerapan ajaran penyertaan melalui pendekatan UUJN dengan melakukan studi kasus terhadap putusan hakim, maka penelitian ini dilakukan dengan cara eksplanatoris. Penelitian menghasilkan beberapa temuan pokok, sebagai berikut: pertama, agar seseorang dapat dipidana sebagai peserta tindak pidana ia harus memenuhi persyaratan penyertaan serta unsur kesalahan dan pertanggungjawabannya tidak tergantung pada dipidana atau tidak dipidananya pelaku utama; kedua, perbuatan Notaris yang memenuhi kriteria sehingga dapat dikategorikan sebagai peserta dalam suatu tindak pidana hanya mengakibatkan Notaris dipidana sama dengan pelaku tindak pidana. Namun demikian, perbuatan tersebut tidak secara serta merta berimplikasi pada akta yang dibuat oleh Notaris dalam mewujudkan penyertaan dalam tindak pidana. Perbuatan tersebut baru dapat berimplikasi pada akta Notaris apabila persyaratan dalam UUJN tidak terpenuhi dalam pembuatan akta, dimana akta yang dibuat adalah tidak otentik dan hanya mempunyai kekuatan seperti akta yang dibuat di bawah tangan.

ABSTRAK
Notorious phenomenon of Notary receiving summons to appear before Police investigator, prosecutors or judge has been increasing in the criminal justice system. In general, the provisions in the Penal Code (KUHP) imposing by the investigator, prosecutor or judge, to determine a Notary to be a suspect, the accused, and further to sentence them on an act of crime are Article 55 to Article 62 KUHP concerning participation in doing an act of crime, in conjunction to (juncto) the predicate crime. Eventhough, those article are often used, KUHP and the Law of Notarial Function (UUJN) gives insufficient explanation on such matter. Considering the focus on this research is the application of theory of participation based on UUJN by examining a judge?s decision, thus, this research will use explanatory method. The research gives several findings such as: first, to accuse a person as a participant of a crime, he/she must fulfill the requirements of participation, moreover, the elements of fault and his/her responsibility is not depend on whether the perpetrator is guilty; second, an act of a Notary that meet the requirements as a participant in a crime shall only cause the Notary to be accused equally with the perpetrator. However, such act does not automatically affect the Notarial Deed. It can only be implied to a Notarial deed, only if, the Deed does not drafted in accordance with the requirementsunder UUJN, namely, the deed does not made in a notarial form which can only be equalized to a non notarial form of deed.
"
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2014
T42460
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>