Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 138054 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Fajar Herbudi Arifianto
"Salah satu fungsi hukum adalah menegakkan dan menemukan kebenaran. Dalam menegakkan dan menemukan kebenaran tersebut di bentuklah apa yang dinamakan hukum. Hukum adalah aturan ciptaan manusia untuk menjaga agar masyarakat dapat hidup tertib dan nyaman. Hukum dalam perkembangannya ada yang tertulis dan tidak tertulis. Dalam mewujudkan kepastian hukum, hukum oleh manusia dimanifestasikan dalam bentuk tertulis berupa peraturan perundang-undangan. Manusia adalah mahluk yang tidak sempurna dan dapat saja khilaf. Hakim sebagai salah satu aparat penegak hukum dapat saja berbuat kesalahan atau kekhilafan saat menerapkan hukum yang berakibat kepada dirugikannya para pihak yang bersengketa. Selain itu, dimungkinkan pula hal yang sama terjadi pada tidak sempurnanya produk yang dibuat oleh manusia dalam hal ini suatu produk perundang-undangan. Dalam meminimalisasi efek kekhilafan hakim tersebut dan untuk menemukan kebenaran dan keadilan seadil-adilnya maka dalam kitab hukum acara pidana diatur tentang upaya hukum. Upaya hukum menurut KUHAP terdiri atas upaya hukum biasa dan luar biasa.
Upaya hukum biasa dilakukan pada saat kekuatan hukum atas suatu putusan belum berkekuatan hukum tetap, sedangkan upaya hukum luar biasa dilakukan bila suatu putusan telah berkekuatan hukum tetap. Upaya hukum biasa terdiri atas banding dan kasasi, sedang upaya hukum luar biasa terdiri atas Kasasi demi Kepentingan Hukum dan Peninjauan Kembali. Dalam kasus pembunuhan aktivis HAM Munir dengan terdakwa pollycarpus, ia diputus bebas oleh majelis hakim pada tingkat kasasi, sebelumnya pada tingkat I ia diputus bersalah atas tuduhan pembunuhan Munir dan divonis 14 tahun penjara demikian pula ketika mengajukan banding di Pengadilan Tinggi, hakim menguatkan putusan pengadilan tingkat I dengan memberikan hukuman yang sama yaitu 14 tahun penajara. Atas putusan bebas tersebut, jaksa penuntut umum yang mewakili kepentingan korban mengajukan upaya hukum Peninjauan kembali karena menganggap telah terjadi kesalahan penerapan hukum (kekhilafan hakim) serta ditemukannya bukti baru (novum) yang mana bila saja hal tersebut diketahui sebelum putusan dibacakan maka akan mempengaruhi hasil putusan hakim tersebut. Pengajuan upaya hukum peninjauan kembali oleh jaksa penuntut umum hingga kini masih mengundang pro dan kontra dikalangan masyarakat."
Depok: Universitas Indonesia, 2008
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Fajar Herbudi Arifianto
"Salah satu fungsi hukum adalah menegakkan dan menemukan kebenaran. Dalam menegakkan dan menemukan kebenaran tersebut di bentuklah apa yang dinamakan hukum. Hukum adalah aturan ciptaan manusia untuk menjaga agar masyarakat dapat hidup tertib dan nyaman. Hukum dalam perkembangannya ada yang tertulis dan tidak tertulis. Dalam mewujudkan kepastian hukum, hukum oleh manusia dimanifestasikan dalam bentuk tertulis berupa peraturan perundang-undangan. Manusia adalah mahluk yang tidak sempurna dan dapat saja khilaf. Hakim sebagai salah satu aparat penegak hukum dapat saja berbuat kesalahan atau kekhilafan saat menerapkan hukum yang berakibat kepada dirugikannya para pihak yang bersengketa. Selain itu, dimungkinkan pula hal yang sama terjadi pada tidak sempurnanya produk yang dibuat oleh manusia dalam hal ini suatu produk perundang-undangan. Dalam meminimalisasi efek kekhilafan hakim tersebut dan untuk menemukan kebenaran dan keadilan seadil-adilnya maka dalam kitab hukum acara pidana diatur tentang upaya hukum. Upaya hukum menurut KUHAP terdiri atas upaya hukum biasa dan luar biasa. Upaya hukum biasa dilakukan pada saat kekuatan hukum atas suatu putusan belum berkekuatan hukum tetap, sedangkan upaya hukum luar biasa dilakukan bila suatu putusan telah berkekuatan hukum tetap. Upaya hukum biasa terdiri atas banding dan kasasi, sedang upaya hukum luar biasa terdiri atas Kasasi demi Kepentingan Hukum dan Peninjauan Kembali. Dalam kasus pembunuhan aktivis HAM Munir dengan terdakwa pollycarpus, ia diputus bebas oleh majelis hakim pada tingkat kasasi, sebelumnya pada tingkat I ia diputus bersalah atas tuduhan pembunuhan Munir dan divonis 14 tahun penjara demikian pula ketika mengajukan banding di Pengadilan Tinggi, hakim menguatkan putusan pengadilan tingkat I dengan memberikan hukuman yang sama yaitu 14 tahun penajara. Atas putusan bebas tersebut, jaksa penuntut umum yang mewakili kepentingan korban mengajukan upaya hukum Peninjauan kembali karena menganggap telah terjadi kesalahan penerapan hukum (kekhilafan hakim) serta ditemukannya bukti baru (novum) yang mana bila saja hal tersebut diketahui sebelum putusan dibacakan maka akan mempengaruhi hasil putusan hakim tersebut. Pengajuan upaya hukum peninjauan kembali oleh jaksa penuntut umum hingga kini masih mengundang pro dan kontra dikalangan masyarakat."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2008
S21817
UI - Skripsi Open  Universitas Indonesia Library
cover
Ajeng Kamaratih
"Upaya hukum Peninjauan Kembali merupakan salah satu dari jenis upaya hukum luar biasa. Permohonan Peninjauan Kembali dapat dilakukan terhadap putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap, kecuali terhadap putusan bebas atau lepas dari segala tuntutan hukum. Pihak yang berhak mengajukan Peninjauan Kembali menurut Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana adalah terpidana dan ahli warisnya. Namun belakangan ini yang terjadi adalah Penuntut Umum yang merupakan pihak-pihak di luar yang disebutkan dalam KUHAP diberikan hak untuk mengajukan Peninjauan Kembali. Dalam tulisan ini perkara yang akan diangkat adalah Peninjauan Kembali oleh Penuntut Umum dalam kasus pembunuhan aktivis HAM, Munir. Yang menjadi pokok permasalahan dalam tulisan ini adalah pihak-pihak manakah yang mempunyai hak untuk mengajukan Peninjauan Kembali, bagaimanakah putusan Mahkamah Agung selama ini menanggapi permintaan Peninjauan Kembali yang diajukan oleh Penuntut Umu, dan apa yang menjadi legitimasi yuridis dari Mahkamah Agung dalam menerima permohonan Peninjauan Kembali oleh Penuntut Umum. Metode penelitian yang dilakukan adalah dengan penelitian yang bersifat normatif, sumber data sekunder dengan bahan hukum primer dan sekunder yang berupa peraturan perundang-undanganm yurisprudensi, dan buku. Analisa datanya bersifat deskriptif analitis. Pihak yang dapat mengajukan Peninjauan Kembali bersifat limitatif menurut Pasal 263 ayat (1) KUHAP, sehingga dikeluarkannya putusan Mahkamah Agung yang menerima Peninjauan Kembali terhadap Pollycarpus dalam kasus pembunuhan aktivis HAM, Munir merupakan awal dari ketidakpastian hukum apalagi beberapa bulan sebelum diterimanya permohonan Peninjauan Kembali tersebut, Mahkamah Agung menolak pengajuan Peninjauan Kembali oleh Penuntut Umum dalam putusan No.84/PK/PID/2006. Mahkamah Agung harus menentukan ketentuan mana dan penafsiran seperti apa yang harus digunakan dalam memberikan hak pada pihak yang dapat mengajukan Peninjauan Kembali."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2008
S22065
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Dewi Kusumawati
Universitas Indonesia, 1989
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Budi Suhariyanto, 1983-
Jakarta: Puslitbang Hukum dan Peradilan. Badan Litbang Diklat Kumdil. Mahkamah Agung RI , 2012
345.05 PEN
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
cover
Panggabean, Manahan
"Kesesatan hakim dalam menggali fakta-fakta hukum seperti yang terjadi pada perkara Sengkon dan Karta, telah menyebabkan hakim menjatuhkan hukuman terhadap orang yang tidak bersalah, hal mana merupakan latar belakang dan filosofi diadakannya lembaga peninjauan kembali. Pada prinsipnya, KUHAP “melarang” untuk menjatuhkan putusan “yang melebihi” putusan yang dimintakan peninjauan kembali, dan hanya “memperkenankan” putusan yang menerapkan ketentuan pidana “yang lebih ringan”. Asas yang dianut KUHAP itu sejalan dengan tujuan lembaga peninjauan kembali, yang bermaksud membuka kesempatan kepada terpidana dalam membela kepentingannya, untuk terlepas dari ketidak-benaran penegakan hukum. Meskipun demikian, Mahkamah Agung telah “melegalkan” jaksa penuntut umum untuk “merampas” hak terpidana itu, yakni dikabulkannya permohonan peninjauan kembali yang diajukan oleh “jaksa penuntut umum” dan pula terhadap “putusan bebas”, lebih lagi dijatuhkannya putusan yang “tidak diperbolehkan”, sehingga peluang dan sarana upaya hukum yang diberikan undang-undang dan “hanya” kepada terpidana itu, berbalik “menjadi bumerang” dan “merugikan” terpidana sendiri. Demikian juga dalam memutus perkara peninjauan kembali, Mahkamah Agung “hanya” berdasarkan dokumen perkara yang berupa permintaan peninjauan kembali, berkas perkara semula, serta berita acara pemeriksaan dan berita acara pendapat hakim pengadilan negeri, “tanpa” terlebih dahulu melakukan pemeriksaan secara langsung terhadap saksi sebagai novum, hal mana “penilaian” atas pembuktian “petunjuk” yang bersumber dari alat bukti keterangan saksi sebagai novum tersebut “bukan” sebagaimana ditentukan Pasal 188 ayat (2) dan ayat (3) KUHAP. Karenanya, terhadap putusan Mahkamah Agung yang dianggap sebagai penemuan hukum dan dijadikan sebagai yurisprudensi itu, mesti direnungkan kembali dengan pengkajian secara mendalam.

Misjudge in law facts upholding of the courtroom verdict such as Sengkon and Karta law,had arisen a wrong verdict to innocent persons,that caused a philosophical ratio of a lawful review team. As a principle, KUHAP (Court of lawful Judicial Procedure)is “against” “overrule” of plea bargaining (Law Review) and it only “admits” a verdict which applies for “light penalty”.The basic right which is adhered in KUHAP must be in accordance with the lawful review team, that aims to give opportunity to the convicts to defend their favour, to be free from the unjustice of the law upholding.On the other hand,the Supreme Court has legalized General Prosecutors to “seize” the convicted rights,allows the plea of law review wich is issued by general prosecutors and also for “unguilty verdict”, and pass the verdict to the “unprecise moment” of the law, so the opportunities and facilities of the convicts for the personal law enforcement which denotes to defend under the bylaw and toward the convicts “alone”,but reverse toward the “disarmity” and “the loss of the convict rights”.And also in passing the verdict in the law review or plea bargaining, the Supreme Court in passing the verdict is “only” based on criminal case documents, previous case files, investigation imposing agenda and civil courtroom judgement record,”without” cross-examination in ahead of eyewitnesses as novum,but the true “assessment” is based on “the guide” of witness statement which testify the approved evidence case as a novum, “not” stipulated by KUHAP Chapter 188 verses (2), and (3).Thus, toward the Supreme Court Verdiction which is prejudice as law finding and as criminal jurisprudence should be re-discussed deeply."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2008
S21992
UI - Skripsi Open  Universitas Indonesia Library
cover
cover
Muhamad Fauzan Haryadi
"Tesis ini membahas tentang upaya hukum peninjauan kembali oleh korban dan penuntut umum. Praktik peradilan terkait upaya hukum peninjauan kembali telah dilakukan oleh korban baik dalam kualitasnya sebagai saksi korban, pihak ketiga yang berkepentingan maupun Penuntut Umum yang mewakili korban dan negara. Perbedaan dalam penafsiran ekstensif dari pemberian hak peninjauan kembali oleh MA khususnya terhadap upaya hukum peninjauan kembali oleh korban dalam kualitasnya sebagai saksi korban yang dinyatakan tidak dapat diterima mendorong penulis untuk melakukan penelitian terkait permasalahan kedudukan korban dalam sistem peradilan pidana di Indonesia, alasan apa yang mendasari Mahkamah Agung menyatakan permohonan upaya hukum peninjauan kembali oleh saksi korban tidak dapat diterima serta bagaimana peluangnya di masa mendatang.
Hasil penelitian diperoleh kesimpulan bahwa secara teoritis dan praktik kedudukan korban masih sangat terasing dan diasingkan dalam sistem peradilan yang kita anut sekarang. Terhadap upaya hukum oleh korban dalam kualitasnya sebagai saksi korban Mahkamah Agung belum menerima secara formal atas dasar korban tidak mempunyai legal standing dalam perkara pidana. Berdasarkan atas pertimbangan rasa keadilan dan asas keseimbangan dengan menggunakan landasan perspektif posisi sentral korban dan pergeseran sistem peradilan pidana seharusnya selain Penuntut Umum dalam kapasitasnya mewakili korban, masyarakat umum, bangsa dan negara, serta korban dalam kualitasnya sebagai pihak ketiga yang berkepentingan, maka korban dalam kualitasnya sebagai saksi korban juga beralasan untuk diberikan hak mengajukan peninjauan kembali. Guna memberi landasan yang kuat bagi korban agar dapat mengajukan permintaan peninjauan kembali dikemudian hari, ketentuan Pasal 263 KUHAP sebagai dasar pengajuan permintaan peninjauan kembali perkara pidana perlu direvisi dan dilenturkan sedemikian rupa sehingga juga bisa memberikan hak kepada korban kejahatan maupun keluarganya untuk mengajukan upaya hukum peninjauan kembali.

This thesis discusses review appeals by victims and prosecutors. The practice of judicial review appeals have been made by the victim both in quality as witnesses, interested third parties and the public prosecutor representing the victims and the state. Differences in interpretation of the extensive granting review appeals by the Supreme Court in particular to effective judicial review appeals of the victim in the victim's quality as a witness cannot be accepted encourage writers to do some research problems related to the position of the victim in the criminal justice system in Indonesia, what is the underlying reason for the Supreme Court request review appeals of legal action by the victims cannot be accepted and how the chances in the future.
The results concluded that the theoretical and practical position of the victim is very isolated and ostracized in the justice system that we embrace today. Against legal action by the victim in the victim's quality as a witness Supreme Court has not received a formal on the basis of the victim haven't a legal standing. According to the sense of justice and the principle of balance by using runway perspective of the central position of victims and the criminal justice system should shift other than prosecution General in his capacity representing the victims, the general public, state and nation, as well as victims in quality as an interested third parties, the victim in the victim's quality as a witness was also given the right reasons to submit a review. In order to provide a strong foundation for victims to apply for review appeals in the future, the provision of Article 263 of the Criminal Procedure Code as the basis for reconsideration filing criminal cases need to be revised and bent in such a way that it can also give rights to victims of crime or their families to apply for review appeals.
"
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2013
T33051
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Aditya Salim
"Untuk dapat menjalankan fungsinya yang telah diamanatkan dalam Undang-Undang Dasar, sebuah undang-undang tentu harus dirumuskan secara jelas, tidak mengandung kecacatan substansial, dan tidak menimbulkan inkonsistensi dalam penerapannya terhadap sistem hukum secara keseluruhan. Merupakan sebuah tanggung jawab bagi perancang peraturan perundang-undangan dan merupakan fungsi dari Ilmu perundang-undangan untuk mewujudkan hal tersebut. Rumusan sebuah pasal sangat menentukan dapat atau tidak dapatnya hukum memberikan keadilan, kepastian, dan kemanfaatan bagi manusia. Tidak dirumuskannya sebuah undang-undang secara baik akan menimbulkan permasalahan yang pelik, contohnya adalah diterimanya permohonan peninjauan kembali yang diajukan oleh jaksa terhadap putusan bebas yang telah berkekuatan hukum tetap dalam perkara pidana oleh Mahkamah Agung. Ketidakjelasan dalam pasal-pasal yang mengatur tentang peninjauan kembali menimbulkan berbagai macam penafsiran yang sayangnya tidak sesuai dengan hakikat dari peninjauan kembali. Oleh karena itu, terhadap rumusan pasal-pasal tersebut perlu diadakan perbaikan dan karena proses perubahan sebuah undang-undang memakan waktu, tentunya terhadap pasal-pasal yang masih berlaku tersebut perlu diterapkan sebuah metode penafsiran yang tepat.

In order to apply its function as has been mandated under the Constitution of the Republic of Indonesia, an act must be formulated clearly, doesn’t have a substantial defects, and doesn’t cause any incosistency in its implementation at the whole level. It is a duty for a legal drafter to make sure that it is done properly and it is the functions of the legislation theory to implement it. The drafting of each articles in an act is essential towards to ensure its impartiality and its certainty, also its benefit towards the people governed by it. Fraud of act’s legal drafting process will cause a huge consequences. Example given, the approval of a case review requestas has been appealed by Prosecutor to a legal and binding judgment in a criminal case by the Supreme Court of the Republic of Indonesia. The uncertainty in articles that governs about the rights to file a case review will cause a misinterpretation and distorting the basic philosophy of the case revie (herziening) itself. Hence, the drafting of an act’s article must be coordinated together with revision and in such a lengthy time-frame, especially to implement the interpretation of the articles properly."
Universitas Indonesia, 2014
S54028
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>