Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 95121 dokumen yang sesuai dengan query
cover
"Artikel ini mendeskripsikan etika kebijaksanaan dalam ajaran budi pekerti luhur penghayat kepercayaan.
Pendeskripsian dilakukan dengan pemahaman analitis etnograf
is terhadap aktualisasi budi pekerti luhur penghayat
kepercayaan kejawen. Pengumpulan
data dilakukan dengan cara participant observation
dan wawancara mendalam dengan informan secara
snowballing. Hasil kajian menunjukkan bahwa etika kebijaksanaan dalam ajaran budi pekerti luhur penghayat kepercayaan kejawen dapat digolongkan dalam dua hal. Pertama, etika kebijaksanaan di tingkat
paguyuban, yaitu hidup yang selalu mengedepankan sikap (1) pasrah, berserah diri kepada Tuhan secara total (sumarah)
dan (2) bertindak jujur dan ikhlas. Kedua, penghayat hendaknya tolong-menolong. Etika kebijaksanaan ini merupakan
aktualisasi dari konsep ?tapa ngrame?. Tapa ngrame
dilakukan dengan semangat sepi ing pamrih
yang diasumsikan akan menjadi perwujudan pandangan hidup ?
memayu hayuning bawana ? Dengan cara ini penghayat meyakini bahwa hidup mereka kelak dapat mencapai cita-cita tertinggi, yaitu ?
manunggaling kawula-Gusti.?

Abstract
This article aims to describe wisdom etic in the dedactic of
budi pekerti luhur
on Javanese believe (vivify). The
description is provided using ethnographic analytic on the actualization of budi pekerti luhur on Javanese believe. The
data collection was held by taking participant observation and indepth interview with the informant using snowballing
method. The study shows that budi pekerti luhur
on Javanese believe can be categorized into two matters: The first,
wisdom etic in congregation level i.c. life that always attitude of: (1)
pasrah , submit to God totally (
sumarah), and (2) the honest and sincere. The second, help mutual. This wisdom etic as actualization of concept
tapa ngrame. Tapa ngrame conducted by sepi ing pamrih spirit than as shape of world view on memayu hayuning bawana. This way vivify believe that their the next time life can achievement of the desired high level on manunggaling kawula-Gusti."
[Direktorat Riset dan Pengabdian Masyarakat Universitas Indonesia, Universitas Negeri Yogyakarta. Fakultas Bahasa dan Seni], 2010
pdf
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
cover
Suwardi
"ABSTRAK
Artikel ini mendeskripsikan etika kebijaksanaan dalam ajaran budi pekerti luhur penghayat kepercayaan. Pendeskripsian dilakukan dengan pemahaman analitis etnografis terhadap aktualisasi budi pekerti luhur penghayat kepercayaan kejawen. Pengumpulan data dilakukan dengan cara participant observation dan wawancara mendalam dengan informan secara snowballing. Hasil kajian menunjukkan bahwa etika kebijaksanaan dalam ajaran budi pekerti luhur penghayat kepercayaan kejawen dapat digolongkan dalam dua hal. Pertama, etika kebijaksanaan di tingkat paguyuban, yaitu hidup yang selalu mengedepankan sikap (1) pasrah, berserah diri kepada Tuhan secara total (sumarah) dan (2) bertindak jujur dan ikhlas. Kedua, penghayat hendaknya tolong-menolong. Etika kebijaksanaan ini merupakan
aktualisasi dari konsep tapa ngrame. Tapa ngrame dilakukan dengan semangat sepi ing pamrih yang diasumsikan akan menjadi perwujudan pandangan hidup ?memayu hayuning bawana.? Dengan cara ini penghayat meyakini bahwa hidup mereka kelak dapat mencapai cita-cita tertinggi, yaitu ?manunggaling kawula-Gusti.?
This article aims to describe wisdom etic in the dedactic of budi pekerti luhur on Javanese believe (vivify). The description is provided using ethnographic analytic on the actualization of budi pekerti luhur on Javanese believe. The data collection was held by taking participant observation and indepth interview with the informant using snowballing method. The study shows that budi pekerti luhur on Javanese believe can be categorized into two matters: The first, wisdom etic in congregation level i.c. life that always attitude of: (1) pasrah, submit to God totally (sumarah), and (2) the honest and sincere. The second, help mutual. This wisdom etic as actualization of concept tapa ngrame. Tapa ngrame conducted by sepi ing pamrih spirit than as shape of world view on memayu hayuning bawana. This way vivify believe that their the next time life can achievement of the desired high level on manunggaling kawula-Gusti."
Universitas Negeri Yogyakarta. Fakultas Bahasa dan Seni; Universitas Negeri Yogyakarta. Lembaga Penelitian, 2010
J-Pdf
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
cover
Yogyakarta: Balai Pelestarian Nilai Budaya, 2015
170.959 8 KAJ
Buku Teks SO  Universitas Indonesia Library
cover
R.M. Koentjaraningrat, 1923-1999
Oxford: Oxford Universoty Press, 1985
306 KOE j
Buku Teks SO  Universitas Indonesia Library
cover
Bella Talia
"Rewang dalam masyarakat Jawa dikenal sebagai kegiatan bergotong-royong terutama ketika adanya hajatan. Upaya pelestarian rewang sebagai hasil budaya terlihat mulai dari adanya penelitian, hingga produksi film pendek. Namun, apakah makna rewang yang dikenal dalam masyarakat Jawa memiliki pengertian yang sama dari masa ke masa? Penelitian ini bertujuan untuk menunjukkan adanya perubahan makna pada kata rewang dalam masyarakat Jawa. Data dalam penelitian ini diperoleh dari Serat Centhini Jilid 1 (Pupuh 1-29) tahun 1922 oleh H. Buning, dua film pendek Jawa dengan tema rewang tahun 2021 dan 2022, dan wawancara kepada masyarakat pelaku rewang di Desa Sidomulyo, Jember-Jawa Timur pada tahun 2022. Penelitian ini menggunakan metode deskriptif kualitatif dengan teori semiotika Peirce yang dikembangkan oleh Hoed (1994), serta teori perubahan makna Chaer (2009) untuk menemukan adanya perubahan makna dalam kata rewang. Hasil penelitian ini menunjukkan adanya penyempitan makna kata rewang, dari tiga makna yang diasosiasikan dengan kata rewang dalam serat Centhini yaitu ‘pengiring’, ‘teman’, dan ‘perewang’, menjadi satu makna utama yaitu ‘perewang’, sebagaimana dikenal dalam masyarakat Jawa melalui film pendek dan wawancara. Penelitian ini menyimpulkan bahwa bahasa bersifat dinamis dan adanya perubahan makna kata seperti pada kata rewang, dapat terjadi karena perubahan faktor waktu, ekonomi dan perkembangan pikiran dalam masyarakat.

Rewang in Javanese society is known as a mutual cooperation activity, especially when there is a celebration. Efforts to preserve rewang as a cultural product can be seen from the existence of research, to the production of short films. However, does the meaning of rewang known to the Javanese people from time to time have the same meaning? This study aims to show the changing meaning of rewang in Javanese society. The data in this study were obtained from Serat Centhini Volume 1 (Pupuh 1-29) in 1922 by H. Buning, two short Javanese films with the theme rewang in 2021 and 2022, as well as interviews with the rewang community in Sidomulyo Village, Jember-East Java in 2022. This study uses a qualitative descriptive method with Peirce's semiotic theory developed by Hoed (1994) and Chaer's (2009) meaning change theory to find changes in the meaning of the word rewang. The results of this study show the meaning of the rewang, of the three meanings associated with the word rewang in the Serat Centhini, namely 'accompaniment', 'friend', and 'perewang', one of the main meanings of which is 'perewang', as known by Javanese people through short films and interview. This study concludes that language is dynamic and changes in the meaning of words, such as the word rewang, can occur due to changing times, the economy and the development of thought in society."
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia, 2022
TA-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Wahyu Dwi Saputro
"ABSTRAK
Kejawen sebagai sebuah kepercayaan di tanah Jawa memiliki sejarah dan dinamika yang panjang. Berbagai upaya dilakukan agar kepercayaan yang mereka yakini dapat terlestari, salah satunya ialah dengan melakukan perpaduan dan peleburan terhadap unsur-unsur kebudayaan lokal. Kejawen memiliki spiritualitas yang begitu dalam di benak para penganutnya. Spiritualitas yang hidup dalam sanubari tersebut membuat kepercayaan ini terlestari dari masa ke masa. Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis spiritualitas salah satu kelompok kepercayaan yakni Roso Sejati dengan perspektif sosiologi. Penulis memiliki argumen bahwa pengalaman spiritual yang diperoleh para penganut Roso Sejati membuat spiritualitas yang ada pada diri mereka tumbuh dengan subur. Spiritualitas pada kelompok kepercayaan ini juga semakin diperdalam ketika melakukan interaksi dengan dunia supernatural. Disisi lain adanya pemimpin yang dianggap sebagai manusia pilihan yang memiliki kharisma yang kuat juga turut ikut membangun spiritualitas para penganut Roso Sejati. Hasil penelitian menunjukkan spiritualitas yang terdapat pada Roso Sejati berkembang dan terlestari karena adanya unsur supernatural yang turut bermain di dalamnya serta adanya pemimpin kharismatik yang membimbing para penganutnya.
ABSTRACT
Kejawen as a belief in the land of Java has a long history and dynamics. Various efforts are made to trust that they believe can be sustainable, one of which is to do mix and melting of elements of local culture. Kejawen has a deep spirituality in the minds of its adherents. The spirituality that lives in the heart makes this belief sustain from time to time. This study aims to analyze the spirituality of one group of beliefs namely Roso Sejati with the perspective of sociology. The author has an argument that the spiritual experience that the True Rosos make makes their own spirituality thrives. Spirituality in this belief group is also deepened when interacting with the supernatural world. On the other side of the existence of leaders who are considered as human choices that have a strong charisma also helped build the spirituality of the true Roso. The results show that the spirituality contained in the True Roso developed and sustainably because of the supernatural elements that participate in playing in it as well as the presence of charismatic leaders who guide the adherents."
Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2017
MK-Pdf
UI - Makalah dan Kertas Kerja  Universitas Indonesia Library
cover
Darmoko
"ABSTRAK
Aspek suluk dalam lakon/pertunjukan wayang purwa belum mendapatkan perhatian khusus oleh para sarjana yang mendalami dan menekuni dalam hal wayang. Dalam penelitian ini permasalahn utama yang perlu diangkat adalah: 1. bagaimana bentuk suluk dalam 1akon/pertunjukan wayang purwa; 2. bagaimana penggunaan su1uk da1am lakon/petunjukan wayang purwa; 3. bagaimana kedudu­kan suluk dalam lakon/pertunjukan wayang purwa; dan 4. bagaimana fungsi suluk dalam lakon/pertunjukan wayang purwa.
Sedangkan tujuan penelitian ini ialah mengupas atau mengana­lisis suluk dalam lakon/pertunjukan wayang purwa agar didapatkan makna yang utuh dan menyeluruh (wholeness).
Metode penelitian yang dipergunakan yaitu metode dan teknik analisis struktural, yaitu metode yang bertujuan membongkar dan memaparkan secermat, seteliti, semenditel, dan sedalam mungkin keterkaitan dan keterjalinan semua anasir dan aspek karya sastra yang bersama-sama menghasilkan makna yang menyeluruh. Analisis struktural bukanlah penjumlahan anasir-anasir itu, misalnya tidak cukup didaftarkan semua kasus aliterasi, asonansi, rima akhir, rima dalam, inversi sintaktik, metafor dan metonimi dengan segala macam peristilahan yang muluk-muluk dengan apa saja yang secara formal dapat diperhatikan pada sebuah sajak atau dalam hal romanpun tidak cukup semacam enumerasi gejala-gejala yang berhubungan dengan aspek waktu, aspek ruang, perwatakan, point of view, sorot balik dan apa saja. (Teew, 1984: 135-136)
Dalam menganalisis aspek suluk dalam lakon/pertunjukan wayang purwa ini diperlukan pendekatan intrinsik, yaitu pendekatan yang bertitik tolak dari dalam, batiniah, sifat dasar atau bagian dasar karya sastra itu sendiri. Menurut Panuti Sudjiman intrinsik berarti: 1. dari dalam, batiniah; 2. merupakan sifat atau bagian dasar. (1984:35). Bahan yang diangkat dalam penelitian ini ialah Diktat Sulukan Ringgit Purwa Cengkok Mangkunagaran, yang dihimpun oleh Ki Ng. Suyatno WS, seorang pamong PDMN di Surakarta tahun 1986:
Kesimpulan akhir yang didapatkan adalah bahwa:
1. Bentuk suluk dalam lakon/pertunjukan wayang purwa merupakan susunan bahasa Jawa Kuno dan Jawa Klasik (Baru) berbentuk tembang gedhe maupun macapat.
2. Penggunaan suluk dalam lakon/pertunjukan wayang purwa ialah setelah suatu iringan gending pada adegan tertentu suwuk (berhenti). Suluk tersebut berupa pathetan, ada-ada, dan sendhon.
3. Kedudukan suluk dalam lakon/pertunjukan wayang purwa amatlah penting, karena suatu adegan dalam pakeliran wayang purwa sangat memerlukan suasana batin yang sesuai. Dalam keseluruhan struktur dalam lakon/pertunjukan wayang purwa, suluk dipandang sebagai unsur yang turut mendukung terjalinnya kaitan suatu peristiwa satu dengan yang lainnya (berikutnya).
4. Fungsi suluk dalam lakon/pertunjukan wayang purwa adalah untuk melukiskan dan menggambarkan atau memberikan suasana tertentu pada suatu adegan tertentu pula. Suasana tersebut adalagh agung, khidmat, marah (sereng), "tergesa-gesa", semangat, sedih, dan haru.
Demikian abstrak penelitian saya dengan judul "Aspek Suluk dalam Lakon/Pertunjukan Wayang Purwa". "
Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya, 1996
LP-pdf
UI - Laporan Penelitian  Universitas Indonesia Library
cover
Ismail Yahya
Jakarta: Inti Medina, 2009
306.598 ISM a
Buku Teks SO  Universitas Indonesia Library
cover
Darmoko
"ABSTRAK
Permasalahan yang diangkat dalam penelitian ini yaitu, bagaimanakah bentuk dan isi, penggunaan dan penyajian, fungsi
dan peranan, serta kedudukan narasi dalam lakon/pertunjukan wayang kulit purwa. Sedangkan tujuan penelitian ini yaitu mengu-
pas narasi agar mendapatkan makna yang utuh mengenai narasi dalam lakon/pertunjukan wayang kulit purwa.
Metode penelitian yang digunakan yaitu metode dan teknik analisis struktural, yaitu metode yang bertujuan membongkar dgn memaparkan secermat, seteliti, semenditel dan sedalam mungkin keterkaitan dan keterjalinan semua anasir dan aspek karya sastra yang bersama-sama menghasilkan makna menyeluruh. Analisis struktura1 bukanlah penjumlahan anasir-anasir itu, misalnya cukup didaftarkan semua kasus aliterasi, asonansi, rima akhir, rima dalam, inversi sintaktik, metafor dan metonimi segala macam peristilahan yang muluk-muluk dengan apa_saja yang secara formal dapat diperhatikan pada sabuah sajak atau dalam hal romanpun tidak cukup semacam enumerasi gejala-gejala yang berhubungan dangan aspek waktu, aspek ruang, pernatakan, point of view, sorot balik dan apa saja. (A, Teew, 1984: 135-136). Dalam menganalisis masalah ini diperlukan pendekatan intrinsik, yaitu pendekatan karya sastra yang bnrtitik tnlak dari dalam, batiniah, sifat dasar atau bagian dasar karya sastra itu sendiri. Menurut Panuti Sudjiman intrinnik berarti: 1. dari dalam, batiniah; 2. merupakan sifat :tau bagian dasar. (19B4: 35). Bahan yang diangkat dalam penelitian ialah dua sumber karya
sastra lakon wayang kulit purwa, pertama berbentuk drama dan yang kedua berbentuk tembang hal ini agar dapat diperbandingkan secara sederhana antara narasi yang terdapat dalam drama dan yang da1am bentuk tembang.
Kesimpulan akhir yang dapat dipntik dalam panelitian ini ialah: l. Bentuk narasi dalam lakon/pertunjukan uayang kulit purwa berupa prosa berirama, berbahasa Jawa Baru (klasik) dan kadang-kadang masih bercampur dengan bahasa sansekerta maupun bahasa Jawa Kuno; 2. Narasi dalam lakon/pertunjukan wayang kulit purwa berisi pemaparan, pelukisan dan penggambaran mengenai situasi dan kondisi adegan yang ditampilkan, baik tokohnya, situasi hatinnya, situasi Iingkungannya dan sebaga1nya; 3. Penggunaan dan penyajian narasi dalam lakon/pertunjukan wayang kulit purwa biasanya diucapkan berirama (prosa berirama), sangat memperhatikan nuansa nada dan irama gamelan (tinggi rendah nada) dan setelah diadakan jejer pada adugan tertentu; 4. Fungsi danperanan narasi dalam lakon/pertunjukan wayang kulit purwa ialah untuk melukiskan situasi dan kondisi adegan yang telah, sedang dan/atau akan terjadi. Sedangkan fungsi secara keseluruhan
struktur dalam Iakon ialah menjalin ketarpautan dan keterpaduan dalam membentuk alur/plot; menjelaskan/menerangkan kepada masyarakat penikmat mengenai suatu _peristiwa; 5. Kedudukan narasi dalam lakon/pertunjukan wayang kulit purwa sangat penting dan menentukan, mengingat fungsinya yang demikian besar itu. Betapahambarnya suatu partunjukan wayang apabila tidak ditopang dengan
narasi. Narasi turut mempnrmudah menerangkan cerita didalamnya."
Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya , 1995
LP-pdf
UI - Laporan Penelitian  Universitas Indonesia Library
cover
"Naskah ini berisi teks silsilah Adipati Danureja I, patih semasa Sultan HB I, di Yogyakarta. Isinya membicarakan silsilah dari pihak ayah dan pihak ibu, jasa-jasnaya, keadaannya, sampai dengan keturunannya. Silsilah dari pihak ayah dimulai dari Raja Brawijaya III, sedangkan dari pihak ibu, ia keturunan Raja Brawijaya V (Raja Majapahit VII) yang kemudian menurunkan penguasa Wirasaba, Banyumas dan seterusnya hingga pengangkatan Yudanagara III, bupati Banyumas menjadi Patih Sultan HB I. Keterangan pada h.37 menyebutkan bahwa naskah ini selesai disusun pada tanggl 31 Agustus 1940 di Yogyakarta, oleh Padmasumitra."
[Place of publication not identified]: [publisher not identified], [date of publication not identified]
PW.98-K 14.03
Naskah  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>