Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 151930 dokumen yang sesuai dengan query
cover
A. Ridwan
Universitas Indonesia, 2004
S21064
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Baheramsyah
"Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui apakah eksekusi yang dilaksanakan oleh PUPN dapat menunjang terpenuhinya pengembalian piutang negara yang macet, masalah-masalah apa saja yang timbul di dalam praktek dan apakah keputusan PUPN mengikat para debitur yang lalai (wanprestasi) atau pihak ketiga yang berkepentingan.
Penelitian ini bersifat deskriptif analisis dan penelitian ini merupakan penelitian hukum normatif, sehingga data utama yang dipergunakan adalah data sekunder. Untuk melengkapi data sekunder, juga dipergunakan data primer.
Berdasarkan hasil penelitian maka pembahasan dan kesimpulan yang diperoleh adalah bahwa didalam Undang-Undang No.49 Prp Tahun 1960, PUPN bertugas menyelesaikan piutang negara yang berasal dari kreditur negara (Instansi-Instansi Pemerintah atau Badan Usaha Milik Negara) sedangkan adanya dan besarnya piutang tersebut telah pasti menurut hukum. Dalam melaksanakan tugas, PUPN dengan kuasa undang-undang diberi kewenangan untuk membuat "Pernyataan Bersama" antara Ketua PUPN dengan pihak Debitur, sifat Pernyataan Bersama mempunyai nilai seperti putusan Pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap, yang eksekutabel (dapat dieksekusi), asal Pernyataan Bersama tersebut berkepala "Demi Keadilan Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa". Selain itu PUPN juga berwenang untuk menetapkan dan melaksanakan Surat Paksa, berupa surat penetapan untuk: 1) Menjalankan sita eksekusi terhadap harta kekayaan Debitur; 2) Menjalankan penjualan lelang atas harta kekayaan Debitur yang telah disita melalui perantaraan Kantor Lelang Negara; 3) Menerbitkan Surat Perintah Pencegahan Berpergian Keluar Negeri; 4) Menerbitkan Surat Perintah Penyanderaan terhadap Debitur dengan persetujuan Kepala Kejaksaan Tinggi; dan 5) Pemblokiran Benda Jaminan milik Penanggung Hutang (Debitur). Atas dasar kewenangan tersebut, maka keputusan PUPN sering dikatakan sebagai peradilan semu (quasi recht spraak) yaitu keputusan yang disamakan dengan keputusan hakim perdata yang telah berkekuatan hukum tetap.
Dengan Kewenangan yang demikian besar ternyata didalam praktek sering dijumpai masalah-masalah, baik disebabkan oleh faktor ekstern maupun faktor intern. Adapun masalah-masalah tersebut yaitu: 1) Adanya peninjauan kembali terhadap kewenangan PUPN dalam membuat Surat Pernyataan Bersama, Surat Paksa, Penyitaan dan Pelelangan yang diajukan oleh debitur dan/atau pihak ketiga yang berkepentingan ke Pengadilan Tata Usaha Negara, dengan tujuan agar sita dan lelang dapat ditunda atau dibatalkan; 2) Adanya penyitaan kembali oleh Pengadilan Negeri terhadap objek barang yang pengurusannya telah diserahkan atau sedang diurus oleh PUPN; 3) Adanya kesulitan pengosongan terhadap objek benda yang telah dibeli oleh pembeli lelang; 4) Adanya pembatalan penyitaan dan pelelangan, karena penerbitan Surat Paksa sebagai dasar hukum pelelangan tidak didahului dengan Pernyataan Bersama; 5) Adanya perlawanan dari istri/suami orang yang disita dan dilelang barangnya; dan 6) Adanya beberapa barang jaminan yang mendadak disita oleh Kepolisian atau Kejaksaan. Kantor Badan Pertanahan tidak mengeluarkan Surat Keterangan Tanah (SKT) atau Surat Keterangan Pendaftaran Tanah (SKPT) untuk lelang. Masalah dokumen dan berkasberkas yang diserahkan ke PUPN tidak lengkap, juga masalah-masalah lain seperti debitur sudah meninggal dunia, perusahaannya bangkrut, dan masalah agunan yang diserahkan ke PUPN Iebih kecil dari total utangnya.
Dengan adanya masalah-masalah tersebut mengakibatkan: 1) Piutang negara yang diurus PUPN sampai saat ini belum dapat memenuhi piutang negara yang macet; 2) Telah menghambat PUPN dalam menyelesaikan piutang negara secara cepat dan efisien; dan 3) Dengan adanya keberatan dari pihak Debitur dan pihak ketiga, mengakibatkan keputusan PUPN dapat ditunda dan dibatalkan, dengan demikian kekuatan mengikat keputusan PUPN tidak bersifat maksimal.
Berdasarkan hasil penelitian, maka disarankan: 1) Untuk mengatasi permasalahan yang sering terjadi antara PUPN dan pengadilan sehubungan dengan penyitaan dan pelelangan, maka diperlukan Surat Keputusan Bersama (SKB) antara Ketua Mahkamah Agung dan Menteri Keuangan; 2) PUPN perlu melakukan sinkronisasi dan koordinasi dengan lembaga-lembaga hukum yang ada, seperti Mahkamah Agung serta dengan instansi-instansi pemerintah lain yang terkait, seperti Bank Indonesia dan Badan Pertanahan Nasional (BPN) dan dilakukan secara berkala, dengan agenda mencari pola (model) penyelesaian piutang negara macet; dan 3) Kewenangan PUPN untuk melakukan Sandera (Paksa Badan) dan Pemblokiran Benda Jaminan milik Debitur yang ada di bank, yang selama ini jarang digunakan, hendaknya dimanfaatkan oleh bank dengan memberikan dukungan informasi dan kalau perlu dukungan tempat dan biaya."
Depok: Universitas Indonesia, 2005
T15541
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
cover
Gatot Wibisono
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 1984
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
cover
Irda Dewi Puspita
"ABSTRAK
Sarah dengan perkembangan dunia perbankan dan lembaga-lembaga pembiayaan lainnya yang tidak bisa leas dari resiko kredit bermasalah maka lelang barang jaminan dituntut untuk d apat menjamin kepastian h ukum bagi p ihak-pihak yang berkepentingan dengan pelaksanaan lelang. Permasalahan pokok adalah bagaimana perlindungan hukum terhadap pembeli yang beritikad baik dalam hal adanya gugatan terhadap harga lelang yang jauh lebih rendah dari Nilai Jual Objek Pajak (NJOP) dan nilai pasar (under value) dan sejauh mana batasan tanggung jawab pejabat lelang dan penilai (appraisal) menurut hukum dalam Putusan Mahkamah Agung Nomor 2426 K/Pdt/2005. Metode penelitian yang digunakan adalah penelitian kepustakaan dengan tipe penelitian eksploratoris serta rancangan penelitian case study desain untuk memperoleh informasi secara menyeluruh dan terintegrasi yang terkait dengan kasus dalam putusan pengadilan yang diteliti dan didukung dengan bahan hukum primer, sekunder dan tersier. Data dihimpun melalui studi dokumentasi. Hasil penelitian menunjukkan bahwa pada kasus tersebut termyata bahwa pembeli yang beritikad baik dilindungi oleh undang-undang. Menurut Putusan Mahmakah Agung tersebut di atas, lelang adalah sah dengan pertimbangan bahwa mengenai hasil lelang yang nilainya jauh di bawah NJOP dan nilai pasar (under value) tersebut tidak dapat dijadikan sebagai dasar pembatalan lelang, karena di dalam suatu pelelangan yang berlaku adalah mekanisme pasar karena lelang itu sebenarnya merupakan sebuah institusi pasar, sarana tempt bertemunya penjual dan pembeli pada satu tempt tertentu dengan pembentukan harga yang transparan. Tidak ada ketentuan yang membebani tanggung-jawab pejabat lelang dan penilai (appraisal) bilamana harga limit atas benda yang dijual terlalu rendah jika semua prosedur yang ditetapkan telah dilaksanakan dengan sebaik-baiknya.

ABSTRACT
Along with banking and finance institution developments, the risk of bad loans a re also growing, an auction of collateral goods is expected to give a legal certainty to all parties who have interests in the auction. A major issue is the protection for utmost good faith buyers in an event of a proceeding because the auction price is lower than Object Sales Value Tax (NJOP and market price, furthermore to what extent auction officials and appraisals are legally liable, a case analysis of Supreme Court Decision Number 2426 K/Pd/2005.
Research
methodology used is library research with explanatory type of research and case study design in order to get holistic and integrated information related to the court decision analysis with primary, secondary, and tertiary source of data as support. The result shows that utmost good faith buyers are protected by laws. The Supreme Court Decision stated that the auction is valid and the argument auction price formed that is lower than Object Sales Value Tax (NJOP) and market price, is not a valid argument for a cancellation of an auction, and since the process of an auction applies market mechanism, the auction itself is one of market institutions, a place where sellers and buyers met in a specific place with price discovery in a transparent form. There are no legal liabilities for auction officers and appraisals for the good's reserve price is set at under value price, if all the obligatory procedures were conducted."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2008
T37016
UI - Tesis Open  Universitas Indonesia Library
cover
Siregar, Tessy Ladina Khairifani
"Kredit macet seringkali menjadi permasalahan berkepanjangan yang dialami tiap-tiap Bank. Namun demikian Bank senantiasa memberikan dukungan kepada para pengusaha yang membutuhkan modal untuk kelangsungan usaha mereka melalui pemberian kredit. Salah satu upaya penanggulangan kredit macet adalah dengan Restrukturisasi Kredit. Restrukturisasi Kredit adalah upaya penyelamatan kredit yang dilakukan oleh Bank terhadap debitur yang menunjukan itikad baik untuk bekerjasama dan usahanya masih berjalan serta mempunyai prospek yang baik sehingga debitur dapat memenuhi kewajibannya. Berlakunya Undang-Undang Nomor 49 Prp. Tahun 1960 tentang PUPN merupakan dasar bagi Pengurusan Piutang Negara yang berasal dari kredit macet Bank Pemerintah. Lembaga PUPN ini diadakan untuk melakukan penarikan kembali dana-dana pemerintah yang macet dalam pengembaliannya secara efektif dan efisien dan waktu yang singkat tanpa melalui proses Pengadilan. Meningkatnya jumlah kredit bermasalah mengakibatkan pemerintah merasa perlu diadakan revisi dalam tata cara penghapusan piutang negara/daerah yang dituangkan dalam Peraturan Pemerintah Nomor 33 Tahun 2006, yang merupakan penyempurnaan dari Undang-Undang Nomor 49 Prp. Tahun 1960. Tesis ini bertujuan untuk meneliti upaya penyelesaian kredit macet pada Bank Mandiri melalui sebelum dan sesudah berlakunya Peraturan Pemerintah Nomor 33 Tahun 2006.

Non- performed loans often become long standing issues for any commercial Bank. Nevertheless, Banks continue to help business people who needs capital funds to keep their business going through provision of loans/credits. One way to resolve non-performed loans is through Loan Restructuring. Loan Restructuring is a tool to save non-performed loan which is done by the Bank to the debitors who actually have good intention to cooperate and whose business are still running and potential, so that the creditors are able to make the loan repayment. Law Number 49 of 1960 regarding Committee of State Claims Management (PUPN) is the basis for processing the non-performed loans in the State Bank. This Committee on State Claims Management (PUPN) institution was established to collect the government fund which becomes non-performed loans in an effective and efficient way and in a short period of time without going through a Court process Due to the fact that non-performed loans increased, the government sees that it is necessary to revisit the mechanism of offsetting non-performed loan as stated in Government Regulation Number 33 of 2006, which is inconsistent to Law Number 49 of 1960. This thesis examine the settlement of non-performed loan at State Bank (Bank Mandiri) before and after the enactment of Government Regulation Number 33 of 2006."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2010
T27498
UI - Tesis Open  Universitas Indonesia Library
cover
Parlindungan, D.P.B.
"Penelitian ini bertujuan untuk menggambarkan dan menjelaskan prosedur pelelangan aset-aset Negara oleh Panitia Urusan Piutang dan Lelang Negara/Badan Urusan Piutang Dan Lelang Negara. Pengurusan kredit macet melalui pengadilan dalam prakteknya sangat lambat, sehingga Panitia Urusan Piutang Negara didirikan sebagai jalan pintas agar uang negara dapat dengan cepat dikembalikan atau diselamatkan. Putusan-putusan yang dikeluarkan oleh Panitia Urusan Piutang Negara bersifat eksekutorial, seperti layaknya putusan pengadilan yang mempunyai kekuatan hukum yang tetap. Dalam melakukan pengurusan piutang negara, khususnya dalam mengeksekusi agunan kredit Panitia Urusan Piutang Negara menghadapi kendala-kendala yang mengakibatkan Panitia Urusan Piutang Negara tidak dapat bekerja dengan cepat dan efektif. Penelitian ini mencoba untuk menjelaskan secara rinci masalah yang dihadapi oleh lembaga Negara tersebut."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 1996
S21185
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Widyaningsih
"Jaminan Perorangan yang diberikan oleh pihak ketiga yang bertindak sebagai penanggung/penjamin debitur dalam pelunasan utang debitur merupakan salah satu alternatif penyelesaian kredit macet pada Bank Badan Usaha Milik Negara, manakala debitur ingkar janji (wanprestasi). Perjanjian perorangan/penanggungan tersebut bersifat asesor, dalam arti senantiasa dikaitkan dengan perjanjian pokok, sehingga dapat diartikan bahwa tak akan ada penanggungan tanpa adanya perutangan pokok yang sah. Pada Bank Badan Usaha Milik Negara sebelum dikeluarkannya PP Nomor 14 tahun 2005 tentang Cara Pengapusan Piutang Negara / Daerah, yang kemudian diubah dengan PP Nomor 33 tahun 2006 tentang Perubahan atas PP Nomor 14 tahun 2005, yang berwenang untuk menyelesaikan kredit macet adalah Panitia Urusan Piutang Negara berdasarkan Undang-undang Nomor 49 Prp tahun 1960 tentang Panitia Urusan Piutang Negara (Undang-undang PUPN). Tindakan eksekusi terhadap jaminan perorangan oleh PUPN merupakan upaya terakhir untuk dilakukan, setelah dilakukan terlebih dahulu upaya penyitaan terhadap barang jaminan dan harta kekayaan debitur yang kemudian dilanjutkan dengan tindakan pelelangan. Apabila dalam pelaksanaan eksekusi jaminan perorangan, ternyata penanggung utang tidak beritikad baik untuk menyelesaikan kewajibannya secara sukarela atau menyerahkan harta kekayaannya, maka PUPN akan melakukan hal-hal sebagai berikut : a. Pencarian dan pemeriksaan (investigasi) terhadap kekayaan penanggung utang yang dapat digunakan untuk membayar utang, baik berupa barang tetap seperti tanah dan bangunan dan atau barang bergerak seperti kendaraan bermotor, tagihan/tabungan dan lain-lai; b. Pencarian data/dokumen (bukti kepemilikan) atas harta kekayaan penanggung utang melalui instansi/lembaga yang terkait, untuk digunakan sebagai pendukung dalam pelaksanaan eksekusi.

An individual guarantee provided by a third party acting as a debt guarantor/avalist in settling debtor?s debt constitute an alternative settlement for bad debts with State Owned Corporations, in case of defalt by debtor. Said individual guarantee is of the assessor type, meaning it is continually linked to a principal agreement, with the consequence that it can be defined as having no guarantee without an existing legal principal debt. The previously issued Government Regulation Number 14 years 2005 at the State Owned Corporation regarding the Writing Off Process of State/Regional Claims, which was further amended by Government Regulation Number 33 year 2006 regarding the Amendment of Government Regulation Number 14 year 2005, appointing the State Claims Affairs Committee (PUPN) as the authorized party to settle bad credits based on Law Number 49 Prp year 1960 regarding State Claims Affairs Committee (PUPN Law). Execution measure against individual guarantee by the PUPN will be effected as the last resort by the PUPN, after prior confiscation of the debtor?s collateral and assets which is further followed by its auctioning off. If during the execution of the individual guarantee, there is an indication that guarantor has no intention of a voluntary settlement of the liability or to surrender his/her assets, the PUPN shall resort to the following actions : a. investigation and examination of the guarantor?s assets that can be employed as debt payment, either consisting of fixed goods such as land and buildings or movable goods such as motorized vehicles, collections/savings and others; b. Finding data/documents (proof of ownership of guarantor/s assets through related instances/institutions to support the execution."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2007
T 02301
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Widiyaningsih
"Jaminan Perorangan yang diberikan oleh pihak ketiga yang bertindak sebagai penanggung/penjamin debitur dalam pelunasan utang debitur merupakan salah satu alternatif penyelesaian kredit macet pada Bank Badan Usaha Milik Negara, manakala debitur ingkar janji (wanprestasi). Perjanjian perorangan/penanggungan tersebut bersifat asesor, dalam arti senantiasa dikaitkan dengan perjanjian pokok, sehingga dapat diartikan bahwa tak akan ada penanggungan tanpa adanya perutangan pokok yang sah. Pada Bank Badan Usaha Milik Negara sebelum dikeluarkannya PP Nomor 14 tahun 2005 tentang Cara Pengapusan Piutang Negara / Daerah, yang kemudian diubah dengan PP Nomor 33 tahun 2006 tentang Perubahan atas PP Nomor 14 tahun 2005, yang berwenang untuk menyelesaikan kredit macet adalah Panitia Urusan Piutang Negara berdasarkan Undang-undang Nomor 49 Prp tahun 1960 tentang Panitia Urusan Piutang Negara (Undang-undang PUPN). Tindakan eksekusi terhadap jaminan perorangan oleh PUPN merupakan upaya terakhir untuk dilakukan, setelah dilakukan terlebih dahulu upaya penyitaan terhadap barang jaminan dan harta kekayaan debitur yang kemudian dilanjutkan dengan tindakan pelelangan. Apabila dalam pelaksanaan eksekusi jaminan perorangan, ternyata penanggung utang tidak beritikad baik untuk menyelesaikan kewajibannya secara sukarela atau menyerahkan harta kekayaannya, maka PUPN akan melakukan hal-hal sebagai berikut : a. Pencarian dan pemeriksaan (investigasi) terhadap kekayaan penanggung utang yang dapat digunakan untuk membayar utang, baik berupa barang tetap seperti tanah dan bangunan dan atau barang bergerak seperti kendaraan bermotor, tagihan/tabungan dan lain-lai; b. Pencarian data/dokumen (bukti kepemilikan) atas harta kekayaan penanggung utang melalui instansi/lembaga yang terkait, untuk digunakan sebagai pendukung dalam pelaksanaan eksekusi.

An individual guarantee provided by a third party acting as a debt guarantor/avalist in settling debtor?s debt constitute an alternative settlement for bad debts with State Owned Corporations, in case of defalt by debtor. Said individual guarantee is of the assessor type, meaning it is continually linked to a principal agreement, with the consequence that it can be defined as having no guarantee without an existing legal principal debt. The previously issued Government Regulation Number 14 years 2005 at the State Owned Corporation regarding the Writing Off Process of State/Regional Claims, which was further amended by Government Regulation Number 33 year 2006 regarding the Amendment of Government Regulation Number 14 year 2005, appointing the State Claims Affairs Committee (PUPN) as the authorized party to settle bad credits based on Law Number 49 Prp year 1960 regarding State Claims Affairs Committee (PUPN Law). Execution measure against individual guarantee by the PUPN will be effected as the last resort by the PUPN, after prior confiscation of the debtor?s collateral and assets which is further followed by its auctioning off. If during the execution of the individual guarantee, there is an indication that guarantor has no intention of a voluntary settlement of the liability or to surrender his/her assets, the PUPN shall resort to the following actions : a. investigation and examination of the guarantor?s assets that can be employed as debt payment, either consisting of fixed goods such as land and buildings or movable goods such as motorized vehicles, collections/savings and others; b. Finding data/documents (proof of ownership of guarantor/s assets through related instances/institutions to support the execution."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2007
T19420
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>